• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan transformasi ekonomi dan tenaga kerja dikemukakan oleh Swasono dan Sulityaningsih (1993). Mereka berpendapat bahwa jika pengembangan sumberdaya manusia akan diimplementasikan maka hal ini akan berkaitan dengan keadaan ekonomi suatu negara.

Pada kasus Indonesia, setelah krisis ekonomi yang terjadi pada periode 1982-1986 (pada waktu itu ekonomi Indonesia tumbuh di bawah 5 persen per tahun), pada akhir tahun1980-an ekonomi Indonesia mengalami recovery. Pada tahun 1989 ekonomi Indonesia tumbuh dengan 7.5 persen, tahun 1990 tumbuh dengan 7.1 persen dan pada tahun 1991 tumbuh dengan 6.6 persen. Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia ini terutama terjadi karena meningkatnya kontribusi sektor industri pengolahan (tanpa minyak) pada pembentukan nilai pendapatan nasional dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 11 persen per tahun pada periode 1985-1990. Peningkatan peranan sektor industri pengolahan ini sangat penting artinya mengingat sektor ini menyangkut kehidupan rakyat banyak. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik, terlihat bahwa 53 persen dari seluruh kegiatan (perusahaan) di sektor industri pengolahan terdiri dari kegiatan industri menengah, kecil dan rumahtangga. Sektor ini juga penting artinya karena mempunyai kemampuan untuk menyediakan kesempatan kerja bagi angkatan kerja baru. Perkembangan sektor jasa dan perdagangan juga

tergantung pada pertumbuhan sektor industri, karena sektor tersebut merupakan sektor pendukung bagi perkembangan sektor industri. Pengamatan selama ini menunjukkan bahwa jumlah kesempatan kerja di sektor jasa akan meningkat tiga kali lipat dari pertumbuhan kesempatan kerja di sektor industri.

Pada 20 tahun terakhir telah terjadi perubahan struktur ekonomi Indonesia (Swasono dan Boediono, 1990). Dilihat dari struktur pendapatan nasional (atau nilai tambah), peranan sektor pertanian semakin menurun, dan peranan sektor industri makin meningkat. Pengalaman dari negara lain sebagaimana dirangkum oleh Chenery, Robinson dan Syrquin (1986) dalam Swasono dan Sulistyaningsih (1993) menunjukkan bahwa titik temu antara peranan (share) sektor pertanian dan

industri terjadi pada saat pendapatan per kapita mencapai rata-rata US $ 500-600. Di Indonesia peranan sektor pertanian menurun dari 60 persen tahun 1968 (sebelum dimulainya Repelita I) menjadi 18.5 persen pada tahun 1991; sedangkan peranan sektor manufaktur meningkat dari 8.6 persen pada tahun 1968 menjadi 19,4 persen pada tahun 1991 dan peranan sektor pertambangan meningkat dari 4.1 persen pada tahun 1968 menjadi 15.6 persen pada tahun 1991.

Sebagai pembanding di Thailand ditemukan bahwa peranan sektor pertanian turun dari 32 persen menjadi 17 persen dan peranan sektor industri pengolahan meningkat dari 14 persen menjadi 24 persen untuk kurun waktu 1965- 1988. Peningkatan sektor ini didukung dengan kenyataan bahwa terjadi peningkatan ekspor, dimana hampir separuh dari seluruh ekspor nasional atau lebih dari empat per lima ekspor non-migas merupakan ekspor hasil industri pengolahan. Berarti perubahan struktur terjadi juga di bidang perdagangan luar negeri. Dari kenyataan ini tampak bahwa tujuan pemerintah untuk mencapai

”keseimbangan peranan sektor pertanian dan industri” sesuai dengan harapan dalam buku Repelita dan GBHN telah mendekati kenyataan. Ditinjau dari segi transformasi ekonomi, jelas tampak keberhasilan sektor ini untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan/perkembangan teknologi.

Keberhasilan perubahan struktur ekonomi tidak diikuti sepenuhnya dengan perubahan struktur di bidang ketenagakerjaan. Transformasi di bidang ketenagakerjaan belum memberikan indikasi yang menggembirakan, atau dapat dikatakan bahwa perubahan struktur tenaga kerja belum terjadi di Indonesia. Perubahan struktur di bidang ketenagakerjaan biasanya mempunyai dua arti, yaitu: Pertama, perubahan struktur tenaga kerja dalam arti sektoral (seperti pada perubahan struktur ekonomi); dan kedua, perubahan struktur tenaga kerja di sektor tradisional ke sektor modern. Menurut konsep yang pertama, distribusi tenaga kerja di sektor pertanian menunjukkan tendensi yang menurun selama 10 tahun (1980-1990). Selanjutnya menurut arti yang kedua dianggap bahwa para pengamat perlu mencari suatu titik yang dikenal dengan turning point, yang akan

terjadi apabila upah di sektor modern (non pertanian) dan upah di sektor tradisional (pertanian) adalah sama secara relatif. Keadaan ini dapat memberi pilihan pada penduduk untuk mempunyai sikap indifferent untuk bekerja di sektor

pertanian atau non pertanian. Hal yang sama terjadi pula di sektor industri. Pada tahun 1980 peranan sektor industri pengolahan dalam penyerapan tenaga kerja sekitar 9.1 persen, dalam periode 10 tahun peranan tersebut tidak banyak mengalami perubahan, yaitu meningkat menjadi 11.4 persen. Dengan demikian perubahan struktur tenaga kerja secara sektoral boleh dikatakan belum terjadi, dan mungkin masih lama lagi baru akan terjadi. Pada pertengahan Repelita VI

peranan sektor pertanian dan industri akan sama, tetapi pada perubahan struktur di bidang tenaga kerja baru akan terjadi pada tahun 2015.

Perubahan struktur selanjutnya, yang juga mempengaruhi atau bahkan menjadi pemikiran dalam pelaksanaan pengembangan sumberdaya manusia adalah perubahan struktur tenaga kerja menurut pendidikan seperti yang diuraikan secara lengkap oleh Swasono dan Boediono (1990). Selain itu ada pula perubahan struktur yang secara tidak langsung akan mempengaruhi implementasi pengembangan sumberdaya manusia, yaitu perkembangan atau perubahan upah tenaga kerja di sektor pertanian. Dalam hal ini dianggap bahwa upah mempengaruhi migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Dengan kata lain, selama upah di sektor industri di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan upah di sektor pertanian di daerah pedesaan, dan apabila kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja. Walaupun hasil dari studi-studi tersebut secara kualitatif berlainan, tetapi para pelaksana studi mempunyai keyakinan bahwa upah di sektor pertanian mengalami stagnasi selama puluhan tahun.

Berdasarkan hasil pengolahan data indikator ekonomi oleh Dhanani (1991)

dalam Swasono dan Sulistyaningsih (1993) diketahui bahwa ada sedikit kenaikan

upah riil di sektor pertanian pada periode 1880-1989, yaitu sebesar 0.8 persen per tahun (Jawa Barat), 0.6 persen per tahun (Jawa Tengah) dan –0.02 persen per tahun (Jawa Timur). Indikasi tersebut menunjukkan bahwa di daerah pedesaan masih terdapat penduduk yang tidak merasakan adanya pengaruh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan sektor pertanian dengan 3-4 persen per tahun dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6-7 persen per tahun tidak dapat

menaikkan upah pekerja di sektor pertanian. Sebagian besar dari tenaga kerja di sektor pertanian adalah para petani tanpa tanah atau buruh tani penggarap.

Persoalan yang timbul dalam transformasi (ekonomi dan tenaga kerja) adalah menjawab pertanyaan mengapa perubahan struktur ekonomi dapat berjalan dengan mulus, sedangkan perubahan struktur tenaga kerja tidak? Mengapa dengan kondisi struktur pendidikan angkatan kerja 74 persen berpendidikan kurang dari sekolah dasar dan sekitar 1.7 persen berpendidikan universitas, cukup untuk mendorong adanya transformasi struktural di Indonesia, tetapi tidak menghasilkan transformasi tenaga kerja? Ada beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan di atas (Swasono dan Sulistyaningsih, 1993).

Pertama, struktur industri Indonesia masih pada taraf awal dari proses industrialisasi, dimana masih berorientasi pada kegiatan perakitan. Di samping itu, struktur industri Indonesia masih dipengaruhi oleh pola membeli mesin, memasang dan kemudian menggunakannya untuk produksi. Struktur produksi ini tidak banyak membutuhkan tenaga profesional; yang dibutuhkan adalah tenaga operator yang trampil. Walaupun demikian, banyak negara-negara maju seperti Taiwan dan Jepang pada awal proses industrialisasi juga mempunyai pola yang sama. Struktur semacam ini akan mengalami perubahan pada waktu proses industrialisasi semakin matang.

Kedua, teori baru dalam pasar tenaga kerja yang dikenal dengan labor market flexibility (fleksibilitas pasar tenaga kerja) berjalan dengan baik di

Indonesia. Fleksibilitas tenaga kerja diartikan sebagai pasar kerja yang tanggap terhadap perubahan kebutuhan dan persediaan tenaga kerja. Upah (untuk tenaga

kerja profesional dan ahli) berubah sesuai dengan kesenjangan antara permintaan dan penawaran. Beberapa studi menemukan adanya keterlambatan (time-lag)

selama dua tahun dari penyesuaian upah tadi. Di Indonesia fleksibilitas pasar kerja dapat terjadi dengan baik, karena hubungan industrial tidak terlalu menghambat perubahan kesempatan kerja. Timbulnya sekolah-sekolah swasta yang menghasilkan Sarjana (S2), dan adanya program MBA (Master of Business Administration) di masyarakat menunjukkan bahwa lembaga latihan swasta dapat

memberikan tanggapan yang cepat terhadap kebutuhan yang mendesak akan tenaga kerja profesional di bidang manajemen. Survei yang diadakan oleh Bank Dunia, tahun 1991, juga menunjukkan bahwa pihak swasta telah mengadakan latihan kerja sendiri untuk mengisi kekurangan tenaga kerja tingkat supervisor di perusahaannya. Gejala ini menunjukkan bahwa pasar kerja di Indonesia tampaknya beroperasi secara efisien.

Ketiga, sektor pertanian masih berorientasi pada pertanian tradisional, yang dikerjakan oleh tenaga kerja ”petani tradisional”. Tenaga kerja ini sangat tidak fleksibel dan sulit untuk ditransformasikan ke sektor industri. Adanya peluang dan kesempatan kerja di sektor industri tidak diikuti oleh transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada beberapa kasus terjadi dimana lowongan kerja di sektor industri tidak dapat diisi oleh tenaga kerja yang tersedia.

Dokumen terkait