• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transformasi struktural merupakan proses yang terjadi dari sistem ekonomi tradisional ke sistem ekonomi modern. Perubahan struktur atau transformasi ekonomi dari tradisional menjadi modern secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan dalam ekonomi yang berkaitan dengan

komposisi permintaan, perdagangan, produksi, dan faktor-faktor lain yang diperlukan secara terus menerus untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan pendapatan per kapita. Definisi tersebut telah dinyatakan oleh Chenery dan Watanabe (1958), Chenery (1960), Chenery dan Tailor (1968), Chenery dan Syrquin (1975), dan Chenery, Robinson dan Syrquin (1986) dalam Sulistyaningsih (1997).

Teori transformasi struktural Fisher (1975) dalam Kagami (2000)

menekankan transformasi struktural dari segi adanya pergeseran tenaga kerja dan investasi yang bersifat permanen dari sektor pertanian ke sektor industri kemudian ke sektor jasa. Sementara, pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan transformasi dapat dicapai dengan cara: (1) meningkatkan produktivitas pada setiap sektor dan (2) mengalihkan tenaga kerja dari sektor dengan produktivitas rendah ke sektor dengan produktivitas tinggi (Clark, 1940).

Transformasi struktur produksi ditandai dengan terjadinya penurunan pangsa relatif sektor pertanian terhadap PDB. Keadaan ini memungkinkan relatif lambatnya peningkatan laju pertumbuhan produksi dan nilai tambah bruto sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (Anwar, 1983). Makin tinggi pendapatan suatu negara, maka pangsa sektor pertanian semakin kecil. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan pendapatan yang akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa, sebaliknya laju permintaan terhadap barang- barang pertanian makin menurun karena elastisitas pendapatan terhadap permintaan lebih rendah dari barang-barang non pertanian.

Sukirno (1985), menyatakan bahwa penurunan pangsa relatif sektor pertanian disebabkan oleh: (1) semakin lambatnya permintaan barang-barang

pertanian dibandingkan dengan barang-barang non pertanian dan (2) adanya kemajuan teknologi di bidang pertanian.

Di Indonesia peranan sektor pertanian selama proses pertumbuhan hanya menjadi pasar bagi produk-produk industri dan penghasil devisa dari ekspor. Peranannya dalam penyedia bahan baku, modal dan tenaga kerja untuk sektor industri tidak terlampau besar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor industri. Kurangnya keterkaitan ini baik dari segi produksi maupun penyerapan tenaga kerja dapat mempengaruhi transformasi struktural.

Model Lewis membagi sistem perekonomian menjadi dua sektor, yaitu: (1) sektor tradisional (pertanian) adalah sektor pedesaan yang subsisten dan kelebihan penduduk, yang dicirikan dengan produktivitas marjinal tenaga kerja hampir sama dengan nol dan (2) sektor modern (industri) dengan produktivitas tinggi adalah tempat penampungan tenaga kerja dari sektor pertanian. Produksi di sektor modern akan meningkat dan keuntungan yang diperoleh akan meningkat pula. Proses pertumbuhan terus berlangsung sampai semua surplus tenaga kerja di sektor tradisional diserap oleh sektor industri. Proses ini akan berhenti pada saat produktivitas marjinal di sektor pertanian sama dengan upah di sektor modern (Todaro, 1998).

Model Lewis ini merupakan kritikan terhadap paham Neo-Klasik tentang ketenagakerjaan. Analisis Neo-Klasik bertolak dari pandangan bahwa penawaran kerja dalam masyarakat tidak berhenti. Lewis beranggapan bahwa paham tersebut tidak sesuai dengan keadaan di negara-negara berkembang.

Fei dan Ranis melengkapi kekurangan teori Penawaran Tenaga Kerja Tidak Terbatas dari Lewis. Dalam teori Lewis analisis lebih ditekankan pada pertumbuhan di sektor modern, tetapi mengabaikan analisis mengenai perubahan- perubahan yang berlaku pada sektor pertanian. Analisis Fei dan Ranis tidak hanya menekankan kepada sektor modern, tetapi juga perubahan-perubahan yang terjadi di sektor pertanian (Sukirno, 1985).

Model Fei-Ranis berkaitan dengan proses perubahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, teori ini lebih menekankan pada perubahan yang terjadi di sektor pertanian. Fei-Ranis (FR) membagi tahapan perubahan tenaga kerja menjadi tiga berdasarkan pada produktivitas marjinal (PM) dan upah yang dianggap konstan dan ditetapkan secara exogeneous (Gambar 1; Fei-Ranis, 1964 dalam Suryana, 1989).

Pada tahap pertama, karena tenaga kerja melimpah maka produk marjinal (PM) tenaga kerja sama dengan atau mendekati nol seperti yang ditunjukkan oleh garis OB, sehingga surplus tenaga kerja yang ditransfer dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran yang elastis sempurna seperti yang ditunjukkan oleh garis SSi. Pada tahap ini walaupun ada transfer tenaga kerja, total produksi di sektor pertanian tidak menurun, produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh karena didukung oleh tambahan tenaga kerja dari sektor pertanian. Jadi transfer tenaga kerja menguntungkan ke dua sektor ekonomi. Dalam Gambar 1, PM tenaga kerja nol digambarkan oleh ruas OB, tingkat upah sepanjang garis W (Gambar 1b) dan penawaran tenaga kerja yang elastis sempurna sepanjang SSi (Gambar 1a).

Pada tahap kedua, pengurangan satu-satuan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi karena PM tenaga kerja sudah positif (BC) namun besarnya PM masih lebih kecil dari tingkat upah (W). Transfer tenaga kerja dari pertanian ke industri pada tahap ini mempunyai biaya imbangan positif,

Produk fisik marjinal

Tenaga kerja Upah (konstan) Produk Rata-rata W O I B II III (1.b) Sektor Pertanian C Tenaga kerja Produk fisik marjinal

Sii Produk marjinal

(1.a) sektor Industri S

0

Fi Fii Si

Gambar 1. Penawaran Tenaga Kerja Model Fei-Ranis Sumber: Suryana (1989)

sehingga kurva penawaran tenaga kerja di sektor industri mempunyai elastisitas positif mulai dari titik Si

Tahap ketiga merupakan tahap komersialisasi di semua sektor ekonomi. Pada tahap ini PM tenaga kerja sudah lebih tinggi dari upah. Produsen pertanian akan mempertahankan tenaga kerjanya sehingga masing-masing sektor harus berusaha secara efisien. Transfer masih akan terjadi jika inovasi tenaga kerja dapat meningkatkan PM tenaga kerja. Di sektor industri, permintaan tenaga kerja meningkat terus dengan asumsi keuntungan (pembentukan modal) di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha.

. Transfer tenaga kerja akan tetap terjadi, produsen di sektor pertanian akan dengan sukarela melepaskan tenaga kerjanya walaupun mengakibatkan produksi menurun, namun perubahan tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di pihak lain, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat (karena ada tambahan tenaga kerja yang masuk), harga relatif komoditas pertanian akan meningkat.

Pandangan model Fei-Ranis adalah bahwa kecepatan transfer tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri tergantung: (1) tingkat pertumbuhan penduduk, (2) perkembangan teknologi di sektor pertanian, dan (3) tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri. Keseimbangan pertumbuhan ke dua sektor ini menjadi prasyarat untuk menghindari stagnasi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Ke dua sektor ini harus tumbuh secara seimbang dan transfer penyerapan tenaga kerja di sektor industri harus lebih cepat dari pertumbuhan angkatan kerja.

Teori pergeseran tenaga kerja yang mendekati kenyataan di negara-negara berkembang adalah model Todaro. Dalam teori ini terdapat dua tahap penyerapan tenaga kerja oleh sektor modern (industri) dari sektor pertanian. Tahap pertama, tenaga kerja dari sektor pertanian bergeser ke sektor yang mempunyai produktivitas marjinal yang sama dengan sektor pertanian, yaitu sektor jasa informal. Tahap selanjutnya tenaga kerja di sektor jasa informal akan pindah ke sektor industri. Walaupun mendekati keadaan di negara-negara berkembang, namun ada berbagai kritikan terhadap model Todaro. Pada kenyataannya setelah magang di sektor jasa informal, tenaga kerja belum tentu dapat pindah ke sektor industri padat modal, apabila selama magang tidak melakukan peningkatan kualitas tenaga kerja.

Pada kasus di Indonesia pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dicirikan dengan pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa informal, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian sebagian besar terserap di sektor jasa informal, dan sebagian kecil terserap di sektor industri. Oleh karena sektor jasa informal lebih terkonsentrasi di daerah perkotaan maka pergeseran ini ditandai dengan migrasi dari desa ke kota, konsekuensinya adalah bahwa penambahan jumlah tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian akan terlihat pada sektor jasa informal, karena pada sektor inilah tenaga kerja yang berasal dari pertanian dapat diserap.

Transformasi tenaga kerja juga ditandai dengan proses migrasi dari desa ke kota. Salah satu penyebab terjadinya pergeseran ini adalah tingkat upah riil

yang lebih tinggi dan tersedianya kesempatan berusaha yang lebih luas di perkotaan.

Dokumen terkait