• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian Subjek 1

Pada saat penelitian, subjek berusia 32 tahun, memeluk agama Katolik, adalah anak ke 4 dari lima bersaudara dengan 3 laki-laki dan 2 perempuan. Subjek tumbuh dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang cukup harmonis dengan keadaan ekonomi yang cukup. Ayah sebagai kepala keluarga dilihat sebagai figur yang cukup bertanggung jawab dan tulang punggung keluarga sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Suasana rumah dan hubungan dalam keluarga subjek cukup bersahabat antara anggota keluarga yang satu dengan yang lain. Namun dalam kesehariannya subjek lebih dekat dengan ibu daripada dengan ayahnya sedangkan dengan saudaranya yang lain subjek lebih dekat dengan kakaknya laki-laki yang nomer 3.

“Sebenarnya tidak, deketnya sama ibu, lha bapak kan yang mencukupi segalanya” (Lamp. A, no. 44).

“Karena kebetulan aku sama ibu itu cocok ya, soale ya mungkin karena dekat itu aku bisa menyesuaikan diri” (Lamp. A, no. 78).

Dibandingkan dengan saudara-saudaranya, subjek memiliki sifat introvert namun memiliki kelebihan di antara yang lain yaitu dalam hal prestasi di sekolah. Subjek mendapat julukan anak yang sombong dari teman-temannya di sekolah karena sikapnya yang tertutup dan terkesan angkuh pada orang lain. Subjek cukup menjadi anak kebanggaan dan harapan dari orang tuanya karena prestasinya.

“tapi ya memang mbak Din itu orangnya pendiem, jadi nggak banyak bicara, makanya dikira orang sombong, padahal biasa-biasa saja ya; kayak nggak mau kenal sama orang lain kan, padahal juga nggak gitu kok” (Lamp. A, no. 458; 460).

Selama sakit subjek dirawat oleh adik perempuannya (nomer 5 / bungsu) sehingga mereka lebih dekat dimana sebelum subjek sakit secara emosional hubungan antara keduanya kurang begitu dekat.

“ya kalo sama aku ya setelah sakit itu malah jadi deket” (Lamp. A, no.478).

Subjek terdiagnosa SLE pada tahun 1991 saat berusia 20 tahun ketika masih duduk di bangku kuliah semester 4 pada sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta.

“Tahun 91 ; semester empat” (Lamp. A, no.2 ; 6).

Selama kurang lebih 4 tahun subjek mengidap lupus subjek masih bisa beraktivitas normal karena penyakit lupus tidak menjadi hal yang mengganggu dan dalam kondisi yang cukup baik. Sejak didiagnosa, subjek tidak pernah berhenti dalam melakukan pengobatan secara medis dimana hal itu dirasakan sudah cukup dalam menyikapi sakit subjek saat itu. Selama itu pula, subjek berusaha melanjutkan kuliahnya meski mudah sakit dan beberapa kali terserang stroke ringan dimana kondisi itu dirasakan sebagai hal yang biasa dan bukanlah sesuatu yang serius untuk diperhatikan.

“Stroke itu 93, 93 stroke tapi kan abis stroke kan sudah itu bisa aktivitas sebagai penderita mantan stroke, kan sebulan setelah stroke itu dah bisa jalan, rembet-rembet” (Lamp. A, no.32).

“yo pas ngerti kan, oh sakit lupus, terus yo wes, diobati ke dokter, terus e…istilahe ya dibawa berobat gitu” (Lamp. A, no.406).

Pada mulanya subjek merasakan sakitnya sebagai hal yang biasa. Adanya sikap yang cukup tenang dalam menerima diagnosa dan menjalani aktivitas seperti saat sebelum sakit. Subjek bersikap pasif atas apa yang dialaminya. Subjek hanya mencoba untuk menerima diagnosa itu sebagai sakit yang pada umumnya tanpa berusaha untuk mengetahui secara pasti tentang penyakit lupus. Secara psikologis subjek tidak merasakan adanya guncangan yang berarti pada tahun-tahun awal sakitnya. Keengganan subjek untuk mencari informasi yang mendetail menjadi salah satu alasan yang memicu kondisinya memburuk.

“aku kan belum ngeh ya aku ngadepinnya biasa saja, kayak sakit panas, apa sakit apa gitu, ndak menjadi beban gitu lho ; tapi belum berpikir ke arah maksudnya itu nanti pengaruhnya di masa depan, pokoknya aku ya tetap menjalani biasa, pikirnya ya udah…sakit ini” (Lamp. A, no. 16 ; 18).

Sebenarnya stroke dialami subjek selama 3 kali namun serangan yang membuat perubahan drastis dalam hidupnya terjadi pada tahun 1995

yaitu lupus itu menyerang otak dan mengakibatkan stroke yang cukup

parah. Keadaan ini terjadi setelah ayahnya meninggal dunia karena serangan jantung.

“ini kan ambruknya tahun 95; mulai ndak bisa apa-apa sampai sekarang” (Lamp. A, no.32).

“bed rest ini setelah bapak meninggal” (Lamp. A, no.40).

Pada saat penelitian lupus ini pun telah menyerang beberapa organ dalam tubuh subjek seperti ginjal dan paru-paru dan subjek merasakan fisiknya semakin melemah.

“91 itu yang diserang darah merahnya tho, Hb turun sampe dua trus tahun 91 nyerang ginjal, ginjalnya bocor protein, 93 stroke”

(Lamp. A, no.20).

“95 itu nyerang paru-parunya, ada infeksi paru-paru” (Lamp. A, no.22).

Subjek pun bed rest total karena mengalami kelumpuhan meskipun sudah diupayakan berbagai pengobatan. Selama +/- 10 tahun subjek menjalani hari-harinya di atas tempat tidur dalam kamarnya. Selama itu

pula kondisi tubuhnya itu seringkali drop yang mengharuskan subjek

untuk keluar masuk sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta.

“usaha itu ya cari cari pengobatan ke mana aja, pokoknya yang sekiranya bisalah membuat mbak Din itu paling nggak bisa jalan”

(Lamp. A, no.586).

Kondisi yang cukup berat dialami subjek ketika pertama kali harus membiasakan dirinya di tempat tidur. Perubahan rutinitas, aktivitas fisik, rencana dan pola hidup yang secara tiba-tiba harus berubah total menjadi sebuah tekanan yang cukup berarti bagi subjek. Respon subjek atas kondisinya nampak dari munculnya perasaan-perasaan negatif. Adanya luapan emosi atas sakitnya nampak dari rasa marah pada diri subjek sendiri ataupun dengan mengekspresikan kemarahan itu dengan hal di luar dirinya seperti kepada Tuhan. Subjek juga terlihat menyalahkan diri sendiri atas sikapnya yang mungkin kurang baik di masa lalu. Sakitnya dipandang sebagai hukuman atas perilakunya di masa lalu seperti sombong dan memandang rendah orang lain karena ia merasa memiliki prestasi pendidikan yang cukup bagus.

“ya dulu pertama itu habis sakit tahun berapa itu, kok aku gitu lho, kok aku yang dikasih seperti gini, apa dosaku gitu, punya salah apa ya aku ; ya dulu he eh…pernah nyalahkan Tuhan juga”

(Lamp. A, no.212 ; 214).

Kondisi sakit itu pula yang mengharuskan subjek untuk berhenti dari kuliah. Masa depan yang menjadi tidak menentu akibat penyakit lupus yang dideritanya cukup menjadi beban bagi diri subjek sendiri dan keluarganya. Pada saat penelitian, ibu subjek juga sedang sakit yang cukup mempengaruhi kondisi pikiran dan perasaan subjek. Selain itu, permasalahan tentang biaya hidup, biaya pengobatan dan ketergantungan subjek secara fisik dengan orang lain dalam hidup sehari-hari seringkali menjadi hal yang membebani subjek sehingga munculnya perasaan telah menjadi beban dan masalah bagi keluarga dan orang terdekatnya. Ibu subjek menderita sakit (diabetes mellitus kronis) dan beliau telah bed rest

total +/- 1 tahun. Secara umum, stroke yang menyerang subjek mengakibatkan keterbatasan kemampuan fisik dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga ketergantungan subjek dengan bantuan orang lain cukup besar.

“trus yang terakhir itu, yang stroke ketiga itu, saya kan ndak bisa jalan gini kan, saya otomatis kan saya nggak bisa kuliah, nggak bisa” (Lamp. A, no.225).

“yang itu nggak bisa sendiri tho, yo semuanya kan harus orang lain” (Lamp. A, no. 719).

Kondisi sakit pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan hidup yang memaksa subjek untuk bisa menerima dan menjalaninya. Pada tahap ini subjek lebih bisa berbesar hati ‘nrimo legowo’ menerima sakitnya dengan

sikap yang cukup sabar dan tabah. Akhirnya ketika subjek merasa segala sesuatunya adalah sebuah realita yang mengarahkan hidupnya pada satu titik, ia melihat bahwa apa yang dialaminya adalah tidak seluruhnya jelek. Subjek merasakan telah mendapatkan hikmah karena kondisi sakitnya itu.

Untuk ya bertobat dulu, mungkin bisa lebih mendekatkan diri

mungkin, ya ada hikmahnya lah gitu” (Lamp. A, no. 341).

Ya mungkin ya mbak itu bisa dapet banyak temen, nambah temen, banyak orang yang tahu, o…mbak Dina yang sakit lupus, yang sakitnya lama itu ya” (Lamp. A, no. 856).

Gambar 2. Gambaran Umum Subjek 1 – Dina Pada awal sakit

diagnosa 1991 saat usia 19th

Pada saat kondisi memburuk (Stroke parah)

Tahun 1995 usia 23 th

Stres

Hikmah dari sakit Saat Penelitian

Tahun 2004 usia 32 th

Merasa putus asa

Muncul perasaan negatif Kurangnya pengetahuan dan

informasi tentang penyakit lupus

Menyalahkan diri sendiri

Tidak ada keinginan hidup Merasa terhukum Marah

Menyalahkan diluar diri subjek (Tuhan)

b. Strategi Koping Subjek 1) Pada awal sakit

Pada awal sakit, strategi koping yang digunakan subjek

adalah minimization. Pada mulanya penyakit lupus yang diderita

dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak perlu dipikirkan. Subjek menerima dan menjalani sakit itu dengan memikirkan aktifitas perkuliahan yang masih bisa dilakukan. Penyakit lupus yang dideritanya bukan menjadi suatu beban yang perlu untuk diperhatikan dan dipikirkan dengan serius. Hal ini seperti yang diungkapkan subjek: “kalau dulu habis stroke yang keberapa itu, setelah sakit ginjal itu yang sebelumnya aku kan masih bisa kuliah ya, ya sakitku nggak tak pikir dengan kuliah itu tadi” (Lamp. A, no. 202).

Kondisi kesehatan subjek yang akhirnya memburuk merupakan kenyataan yang jauh dari pemikiran dan perkiraan yang tidak terduga sebelumnya. Kondisi penyakit lupus yang diderita subjek mengalami kemunduran dan serangan yang cukup parah ketika lupus itu mengakibatkan stroke. Selama 2 kali serangan stroke yang dialami, subjek masih bisa dan merasa mampu untuk memulihkan kondisinya meskipun secara pelan seperti masih bisa berjalan dengan memakai tongkat dan beraktivitas normal. Serangan yang berdampak cukup parah pada subjek terjadi yang ke 3 di tahun 1995. Dampak dari stroke yang terjadi itu cukup membuat subjek tidak berdaya secara fisik untuk pulih kembali secara normal. Pada kondisi yang mungkin sudah mulai memburuk itu subjek didorong untuk mencari informasi yang mungkin

bisa menolongnya. Selama kurun waktu untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi tentang penyakit lupus yang diderita subjek itu beberapa usaha juga telah dilakukan dan disinilah strategi koping

instrumental action digunakan, seperti terungkap berikut ini :

“kalo aku sudah awal-awalnya baca-baca artikel itu, trus juga dibilangi dokter, pokoknya nggak boleh mikir berat-berat kalo nggak pingin parah, ya aku berusaha menaatinya” (Lamp. A, no. 66).

Dokumen terkait