• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3) Pada Saat Penelitian

Menderita sakit dalam rentang waktu yang cukup lama memberikan kemampuan bagi subjek untuk lebih mampu mengenali kondisi sakitnya. Subjek berusaha untuk lebih berhati-hati dalam

melakukan hal-hal yang berhubungan dengan kondisi sakitnya. Adanya pemikiran tentang akibat yang kurang baik dan cenderung bertindak yang bisa menguntungkan kondisinya. Strategi koping

cautiousness menjadi strategi subjek untuk mempertimbangkan

kondisi sakitnya dalam bertindak.

“Kalo sebangsane pijet refleksi aku nggak berani, itu kan sakit, aku takut nanti malah nggak kuat takute malah sesek takute” (Lamp. A, no.150).

Kondisi subjek dengan segala keterbatasannya menuntut kesadaran untuk sebisa mungkin dilakukan usaha tindakan pengobatan. Hal itu dilakukan untuk membuat kondisi subjek stabil sehingga dapat mencegah kondisi memburuk dan hal-hal yang tidak diinginkan.

Strategi koping instrumental action dalam bentuk pengobatan yang

dijalani subjek, tidak hanya medis saja namun juga di luar medis / alternatif.

“Ke itu ya, pengobatan alternatif, apa itu, totok itu” (Lamp. A, no.148).

Subjek sebenarnya memiliki kerinduan agar kondisinya bisa diterima dari sudut pandangnya. Keinginan subjek untuk bisa dimengerti dan dipahami oleh lingkungan di sekitarnya cukup besar. Adanya ungkapan kejengkelan atas sikap orang lain yang kurang mengerti kondisi sakit yang dialami subjek merupakan hal yang seringkali dialaminya. Strategi koping negotiation nampak dalam hal ini.

“kadang–kadang kalo ketemuan sama orang-orang itu, yang lihat itu, kadang-kadang orang yang lihat itu memandangku dari sudut pandangnya dia, bukan dari sudut pandangku gitu lho, kesannya itu aku rak stroke ki kok belum bisa anu, mereka pikir itu, aku stroke dipikire kayak orang stroke yang lain gitu lho, padahal aku stroke karena penyakit tho, terus ini masalah aku belum bisa duduk itu kan, kaki kiriku dah kaku ya, jadi kalau berdiri nggak bisa stabil gitu lho, ya orang lain itu, mbok untuk anu, mbok untuk belajar duduk tho” (Lamp. A, no.112).

“Yo kadang menjelaskan tapi kan orang yang orang medis pun kadang juga belum tentu bisa memahami tho, apalagi yang awam, dan lagi aku ngomong kan nggak bisa gatuk gitu lho, maksudnya kan aku mau ngomong gini, situ ngomongnya gini, soale aku kan komunikasinya juga terbatas tho…ho oh tho…sekarang kan sok jarang komunikasi, sosialisasi kan terbatas, kadang-kadang kalo ngomong, kalo orang lain cerita sama aku itu, kadang-kadang cerita sama aku itu juga kadang-kadang aku menangkapnya lain gitu lho…sering nggak gatuk” (Lamp. A, no.126).

Kondisi subjek yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik mendorong untuk mencari bantuan guna menjalani hidup dengan sakit. Ketergantungan subjek dengan orang lain dalam kondisi sakitnya terutama saat penelitian cukup besar. Penggunaan strategi koping seeking instrumental social support nampak dalam hal ini.

mandi tergantung orang lain, makan tergantung orang lain, hidup dari belas kasihan orang lain” (Lamp. A, no.86).

Menderita sakit dalam rentang waktu yang lama menimbulkan kejenuhan, merasa bosan dan kesepian. Hal itu seringkali dirasakan subjek selama menjalani hari-harinya. Untuk mengatasi hal itu subjek memiliki beberapa bentuk kegiatan yang dirasakan bisa membantunya menjalani sakit yang dirasakan berat

digunakan oleh subjek dalam mengatasi masalah yang timbul karena kondisi sakitnya itu.

Ya aku nggak melupakan, tetap ada di pikiran, tapi ya

berusaha menghibur diriku sendiri, anu ya nyetel radio, nanti nyanyi-nyanyi” (Lamp. A, no.194).

Subjek berusaha menerima kondisi sakitnya itu karena kemampuannya yang juga terbatas dalam segala daya upaya yang bisa ditempuhnya selama ini. Selama kurun waktu yang cukup lama subjek telah melakukan berbagai pengobatan dan terapi untuk mendapatkan kesembuhan sehingga usaha, doa dan beberapa cara yang sekiranya bisa dilakukan. Strategi koping minimization nampak dari sikap yang diambil subjek dengan berusaha untuk tidak menjadikan sakitnya sebagai beban yang harus setiap saat dipikirkan tetapi lebih pada kecenderungan untuk menerima dan menjalani sesuatu yang awalnya cukup sulit itu.

“ya mosok sakit kok nggak dipikir, yo mesti kepikiran, bener tho, tapi ya itu, aku ya berusaha nggak dipikir terus” (Lamp. A, no.68).

Kondisi yang tidak cukup mengenakkan subjek juga mempengaruhi kondisi psikis subjek. Adanya perasaan bersalah atas tindakan di masa lalu yang hal itu dikaitkan dengan sakit yang diderita. Sikap yang cenderung bersifat pasif ke arah batin subjek ini memperlihatkan strategi koping self blame.

“ternyata kan orang lain, ternyata bukan hanya itu yang membuat hidup ini berarti, ho oh tho, ya mungkin dulu salahnya aku mikirnya sudah puas dengan keadaanku, misalnya orang lain yang dulu di bawah aku, yang di sekolah

kuanggap bodoh, yang sekarang malah lebih berhasil, trus aku akhirnya memandang orang lain dari sudut pandang

yang lain, tidak merasa sombong katakanlah gitu” (Lamp.

A, no.220).

Kondisi sakit sebenarnya memiliki banyak hal yang bisa

diambil dalam sudut pandang yang lebih positif. Seeking meaning

merupakan strategi koping yang dipilih subjek. Pencarian ini lebih pada usaha subjek untuk bisa merefleksikan hidupnya. Subjek melihat bahwa apa yang dialaminya dan menimpa hidupnya tidak seluruhnya buruk adanya. Ada sesuatu yang baik dan positif yang bisa subjek dapatkan dari sakitnya. Pencarian makna itu mendorong subjek memiliki sikap dan pikiran yang positif dalam memandang dan menjalani hidup, menikmati hidup dalam ketertekanan yang dirasakannya karena sakit. Adanya usaha untuk mensyukuri hidup dalam kondisi apa pun menjadi salah satu hal yang mencoba untuk senantiasa dilakukan subjek. Kondisi sakit ternyata juga memberikan kesadaran subjek pada nilai-nilai yang baik dan berkualitas dalam hidup.

aku mikirnya kan aku dulu orangnya introvert gitu ya, jadi sama orang lain kurang gitu, atau kasarannya terlalu mungkin orang lain lihat aku sombong gitu lho, akhirnya aku disadarkan bahwa ternyata aku juga butuh orang lain, maksudnya orang lain yang dulu aku anggap rendah gimana, sekarang aku melihat orang lain dari sudut pandang yang lain, trus dulu juga lama-lama aku memandangnya sudah

yang paling baik, sekolah lancar, prestasi” (Lamp. A,

Strategi koping seeking emotional social support juga nampak dalam pencarian subjek untuk dimengerti, dipahami dan mencari empati dari orang lain atas kondisinya. Hal itu cukup membantu subjek untuk bisa meringankan beban yang dirasakan atas sakitnya. Selama sakitnya subjek banyak mencari bantuan dan dukungan emosional sehingga rasa empati dan merasa dipedulikan oleh orang-orang yang bersimpati dengan sakitnya menjadi hal yang positif bagi subjek.

“justru mbak itu yang kutahu itu malah cerita, pas telepon gitu tak denger juga itu cerita, aku sempet baca itu di surat yang mbak Din kirimkan itu mbak itu cerita kok keadaan dia gimana gimana, minta doane, dukungan supaya kuat”

(Lamp. A, no.946).

c. Faktor yang mempengaruhi strategi koping

Usia subjek yang cukup matang dengan kemampuan intelektual dan emosional yang cukup baik merupakan faktor pendukung dalam menghadapi dan berusaha mengatasi masalah yang timbul karena sakit. Adanya sebuah bentuk ‘pelarian’ yang disalurkan dalam bentuk kegiatan yang dapat membantu subjek mengatasi kejenuhan, baik untuk kesenangan, hiburan atau pun yang bisa menambah wawasan dan pengetahuannya. Dalam proses penerimaan kondisi sakit, subjek juga berusaha melihat kondisi sakitnya secara objektif. Sebagai manusia biasa, untuk bisa menerima kenyataan sakitnya dengan kesadaran dan keihklasan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Subjek membutuhkan waktu dan proses yang panjang untuk menerima sesuatu di luar batas

kemampuannya itu. Adanya suatu proses dan faktor waktu yang dijalani subjek dalam peristiwa hidup, yaitu mengalami sakit dalam rentang waktu cukup lama, turut menjadi hal yang mempengaruhi subjek untuk bisa menerima kondisi sakitnya. Selain itu, ketertutupan dan kecenderungan introvert sebelum sakit sedikit justru berubah karena sakit. Sikapnya untuk menyapa orang dengan ramah, lebih terbuka dengan orang terdekatnya dan cukup peduli dengan orang di sekitarnya menjadi hal yang cukup bertolak belakang dengan sikapnya dahulu sebelum sakit.

“hasilnya itu lho nggak ada kan, ya mau nggak mau, bisa nggak bisa ya harus bisa, harus mau gitu lho ; meski dengan terpaksa, yo akhire yo kudhu iso nompo kan” (Lamp. A, no.667 ; 669).

“kalo nggak diajak ngomong, biasane dia juga nggak ngomong, tapi pas sakit itu kan kalo ada yang jenguk gitu ya mbak Din sudah bisa ngajak ngobrol yang jenguk dia gitu ; dah bisa nyapa lah mbak itu” (Lamp. A, no.488 ; 490).

Keterbatasan kemampuan fisik seringkali menjadi hal yang menghambat subjek untuk menjalin relasi dengan lingkungan secara luas. Subjek merasa memiliki hambatan dalam bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain secara lebih baik. Keseriusan sakit yang dialami subjek ini menjadi penghambat pula untuk bisa hidup secara mandiri karena keterbatasan fisik.

“soale aku kan hubungan dengan orang lain kan terbatas, sudah tidak begitu, kalo kamu kan benar-benar bertemu orang kalo aku kan paling cuma dengar kabarnya, biasanya adikku pun juga nggak langsung berhadapan gitu lho, jadi gitu lho, jadi ya aku sosialisasinya terbatas” (Lamp. A, no.84).

“aku ngomong kan nggak bisa gatuk gitu lho, maksudnya kan aku mau ngomong gini, situ ngomongnya gini, soale aku kan

komunikasinya juga terbatas tho…ho oh tho…sekarang kan sok jarang komunikasi, sosialisasi kan terbatas, kadang-kadang kalo ngomong, kalo orang lain cerita sama aku itu, kadang-kadang cerita sama aku itu juga kadang-kadang aku menangkapnya lain gitu lho…sering nggak gatuk” (Lamp. A, no.126).

Spiritualitas dalam bentuk agama yang dianut dan kebiasaan yang dilakukan subjek merupakan salah satu faktor yang mendukung. Adanya sikap yang lebih mengarah kepada hubungan vertikal antara subjek dengan Tuhan. Adanya perasaan ketakutan akan kematian dan peristiwa tentang kematian yang hampir menjemputnya ketika kondisi memburuk seringkali dipikirkan juga menjadi salah satu faktor pendorong bagi subjek yang cukup mempengaruhi untuk lebih memperdalam ajaran agama. Kondisi sakit cukup memberikan waktu lebih banyak bagi subjek untuk bisa mendekatkan diri dengan Tuhan. Kualitas cukup baik ditunjukkan subjek dalam hal ini yaitu adanya ketekunan dalam beribadah. Subjek merasakan adanya ketenangan batin melalui peningkatan keimanannya yang membuat subjek lebih sabar, tabah dan ikhlas menjalani sakitnya. Peran penting kedudukan dari agama yang dianut subjek cukup nyata setelah ia sakit.

“ya aku tak kembalikan ke agamaku ya, ya biasanya apa penderitaanku nanti mendatangkan kemuliaan Allah, aku baca-baca yang menguatkan, memberikan kekuatan dan pengharapan,

maksudnya apa gitu lho, rencanaNya, kehendakNya” (Lamp. A,

no.94).

“ya katakanlah gitulah, Tuhan yang memberi, Tuhan juga yang akan mengambil kalo sekarang pikirannya cuma gini, yang jadi presiden nanti juga akan mati, yang orang paling termiskin pun nanti juga akan mati, toh akhirnya nanti semua kepada kematian, aku cuma berharap nanti kalau aku mati, nanti aku boleh mati sama Tuhan” (Lamp. A, no.172).

Dukungan sosial juga memegang peranan yang penting. Subjek berusaha mencari bantuan baik secara instrumental atau pun emosional. Hal itu berupa mencari dukungan untuk memperoleh lebih baik tentang pengetahuan dan informasi penyakit lupus, pencarian kenyamanan psikis dengan meminta nasehat, semangat, doa dan saran secara psikis membawa subjek pada suatu keadaan emosional yang lebih stabil. Adanya sesuatu yang menyenangkan subjek ketika mendapatkan dukungan dan bisa lebih baik dalam menghadapi sakitnya.

“kalo aku sama teman-temanku juga dulu setelah tahu lupus, kondisiku itu, terus ya teman-teman yang dekat ya, aku kirim surat malah tak critain gitu lho…aku ya bukanne maksudte meminta belas kasihan opo po gitu tapi ingin menjalin relasi lagi gitu lho”

(Lamp. A, no.158).

“makane kalo ada yang datang, ngajak ngomong, cerita apa, nemenin dia gitu itu, mbak Din itu senengnya, ada kelompok kelompok doa gitu itu, seneng mbak itu didatangi, diajak ngobrol gitu” (Lamp. A, no.892).

Hubungan keluarga juga menjadi faktor pendukung. Keluarga merupakan sumber materi bagi subjek untuk bisa bertahan hidup dan melakukan pengobatan atas sakitnya. Selain itu, keluarga sebagai orang terdekat subjek untuk mencari kenyamanan psikologis. Kondisi sakit yang dialami subjek menjadi sebuah sarana untuk mendekatkan hubungan antara anggota keluarga menjadi lebih dekat. Adanya rasa kepedulian, berkorban dan saling menolong menjadi hal yang cukup terlihat sejak subjek sakit. Selama sakit dukungan terbesar yang subjek dapatkan berasal dari keluarga sebagai orang terdekat dalam hidupnya baik secara finansial maupun emosional. Keluarga menjadi lebih rukun dan bersatu untuk

bersama-sama mengatasi masalah kesehatan subjek terutama dalam hal biaya pengobatan subjek.

“ya kalo misale sama ibu ya di itu…kalo misale badanku agak nggak enak tho, ditulisin di kamar situ sama spidol, Dina lagi sakit, jangan rame-rame” (Lamp. A, no.291).

“tapi kok ya untungnya itu banyak yang peduli kok Tik, apalagi Pak Lek, dulu pas masih ada Budhe, Budhe juga bantu” (Lamp. A, no.683).

d. Hikmah Sakit

Peristiwa sakit memberikan hikmah bagi subjek. Hal yang cukup dirasakan subjek adalah adanya kedekatan dengan Tuhan. Hubungan vertikal subjek melalui agama yang dianutnya ini cukup menjadi hal yang memberikan implikasi psikologis yang cukup baik bagi subjek selama menjalani sakit. Sikap untuk tekun dalam beribadah dan berusaha untuk arif menghadapi masalahnya selama ini yaitu menderita sakit. Adanya keyakinan dan sikap yang lebih positif dalam memandang hidupnya, pengharapan tentang kehidupan dan masa depan yang lebih baik serta berusaha bersyukur dalam kondisi yang kurang menyenangkan menjadi suasana psikologis subjek pada saat penelitian. Kondisi sakit yang membawa subjek untuk sabar, tabah dan lebih ‘kuat’ menanggung beban hidup ini juga mengajarkan subjek tentang nilai-nilai yang baik dalam kehidupan.

“ya itu, sekarang ya memberi kekuatan dan penghiburan, pengharapan ya, nanti kan cuma bisa berharap pada Tuhan tho, toh apa pun yang akan terjadi kan semua kembali kesana, kepada Tuhan, kalau pun nanti akhirnya aku sehat nanti juga aku akan seperti itu” (Lamp. A, no. 178).

“ya aku mikirnya ya bersyukur aja, bersyukur, saya walaupun dikasih seperti gini, adikku masih mau merawat aku ini, ya kasarannya masih mau mengurusi ; mungkin caranya Tuhan menyayangi saya, walaupun saya diberi sakit tetapi saya juga diberi hal yang lain”(Lamp. A, no. 263 ; 265 ).

Kondisi yang cukup dominan juga nampak dari sikap subjek untuk berusaha membuka dirinya dan berusaha membangun komunikasi dengan orang lain secara lebih baik. Subjek berusaha untuk bisa membangun relasi dengan orang lain seperti menulis surat pada teman sebagai tindakan dalam menjalin sosialisasi meskipun dengan keterbatasan yang dimilikinya. Hal yang cukup sederhana tentang ini adalah kedekatan emosional dengan saudaranya terjalin setelah subjek sakit. Melalui relasi itu subjek cukup banyak mendapatkan dukungan sosial sehingga memberikan kekuatan secara psikologis tersendiri pada diri subjek selama sakit.

“ya memberi, menumbuhkan, ya misalnya kalau sudah bosen terus ada temen-temen itu seperti disegarkan, ada suasana lain memberi kesegaran, kesenangan gitu ; ya merasakan kalo mereka peduli, bahkan sangat peduli” (Lamp. A, no.180 ; 182).

“tetangga tetangga itu juga kan pada jenguk, kalo mbak sebelum sakit itu nggak begitu akrab, jarang itu kan, karena sering dijenguk jadi malah akrab” (Lamp. A, no. 860).

e. Dinamika Psikologis Subjek

Penyakit lupus yang diderita menjadi sumber stres dalam hidup subjek terutama stroke yang dialami. Stroke yang cukup parah selama ± 10 tahun cukup membelenggu hidup subjek secara fisik yang mengakibatkan ketergantungan subjek dengan orang lain cukup besar. Selama kurun

waktu itu pula pengobatan secara intensif dilakukan subjek untuk mencegah semakin memburuknya kondisi. Rutinitas pengobatan dan berulang kali harus menjalani perawatan di rumah sakit merupakan hal yang menjadi masalah bagi subjek. Pada saat penelitian, kondisi ibu yang menderita sakit dengan keadaan ekonomi keluarga yang pas-pasan juga menjadi penambah sumber tekanan bagi subjek yang menyebabkan subjek merasa stres.

Strategi koping diperlukan subjek dalam mengatasi stres yang dirasakan. Strategi koping yang dikemukakan disini mengacu pada tiga tahap yang menonjol selama subjek sakit yaitu pada awal sakit terdapat strategi koping instrumental action dan minimization; pada saat kondisi

memburuk terdapat strategi koping cautiousness, instrumental action,

seeking instrumental social support, escapism, minimization, self blame

dan seeking emotional social support; dan pada saat penelitian

cautiousness, instrumental action,negotiation, seeking instrumental social support, escapism, minimization, self blame, seeking meaning, dan seeking emotional social support.

Beberapa faktor yang cukup mempengaruhi dalam strategi koping subjek adalah usia subjek, memiliki prestasi pendidikan yang baik di masa lalu, sakit yang dialami cukup parah dalam waktu yang lama, sisi religi subjek, dukungan sosial dari kelompok doa dan orang lain yang peduli dengan kondisi subjek, serta perhatian yang besar dari keluarga/orang terdekat. Hikmah dari sakit yang diperoleh subjek adalah hubungan

vertikal (dengan Tuhan) yang lebih baik dan hubungan horizontal (dengan sesama ) juga terjalin lebih baik.

Berdasarkan penjelasan yang ada maka gambar di bawah ini merupakan dinamika psikologis pada subjek 1 – Dina.

Gambar 3. Dinamika Psikologis Subjek 1 – Dina Stres

Merasa sedih dengan kuliah yang harus terputus ditengah jalan karena sakit

Merasa tertekan dengan kondisi fisik yang tidak bisa beraktifitas

Merasa takut dengan kematian

Merasa terhukum dengan kondisi sakit

Merasa putus asa dengan kondisi yang tidak mengalami perbaikan

Merasa jenuh dengan pengobatan dan rutinitasnya yang lama

Merasa sosialisasi dan interaksi dengan orang lain terganggu

Merasa menjadi beban bagi adik yang merawatnya

Merasa kepikiran dengan kondisi ibu yang sakit

Merasa membebani ekonomi keluarga

Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping

Usia subjek 32 th

Prestasi pendidikan yang baik dimasa lalu

Sakit yang dialami sudah lama

Menderita sakit yang parah

Kedewasaan dalam berfikir dan bertindak

Kehidupan religi subjek

Kepedulian dari kelompok sosial

Keluarga yang perhatian dengan kondisi subjek

Strategi Koping Subjek 1 – Dina

♀ usia 32 th

Pada awal sakit : diagnosa 1991 saat usia 19th

Ia : berusaha memahami tentang penyakit yang diderita. Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita

Pada saat kondisi memburuk (Stroke parah) : tahun 1995 usia 23 th

Ca : bertindak yang lebih menguntungkan bagi kondisi subjek

Ia : mencari informasi yang jelas dan detail tentang penyakit yang diderita, menjalani beberapa terapi dan metode pengobatan Si : mencari bantuan pada orang lain untuk mendapatkan informasi tentang lupus

Es : bersikap menghindari sesuatu yang dirasakan kurang menyenangkan, menangis Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita

Sb : sakit yang diderita dirasakan sebagai hukuman, menyalahkan tindakan di masa lalu, merasa bersalah telah menjadi masalah bagi saudara dan keluarga

Se : mencari dukungan emosional dari orang terdekat, sesama penderita, dari orang lain yang peduli dengan kondisi subjek

Pada saat penelitian : tahun 2004 usia 32 th

Ca : berhati-hati dalam melakukan tindakan/beraktifitas dan dalam menjalani pengobatan, bertindak yang lebih menguntungkan bagi kondisi subjek

Ia : memahami kondisi tubuh, bertindak mengatasi masalah kesehatan, mencoba berbagai pengobatan, pemahaman tentang sakit yang diderita

Ne : mengungkapkan kemarahan/rasa jengkel pada orang lain, memberikan penjelasan pada orang lain yang kurang paham atas kondisi subjek

Si : mencari bantuan orang lain untuk melakukan aktifitas fisik Es : melakukan kegiatan tertentu yang menghibur, melamun

Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita, menerima sakit sebagai takdir, tidak terlalu menjadikan sakit sebagai masalah, berusaha menjalani hidup dengan sakit

Sb : merasa sebagai orang yang tidak berguna, menyalahkan tindakan di masa lalu, penyesalan kurang mensyukuri hidup

Sm : mencari makna sakit melalui kedekatan dengan Tuhan, mencari kekuatan dengan menumbuhkan harapan sembuh, mencari kesadaran tentang hal yang baik dalam hidup

Se : mencari pengertian dari orang lain mengenai kondisi sakit subjek, mencari dukungan emosional dari orang terdekat

Hikmah dari sakit

Hubungan vertikal (dengan Tuhan) yang lebih baik, misal: berusaha mensyukuri kondisi sakit, lebih tekun

beribadah

Hubungan horizontal ( dengan sesama ) terjalin lebih baik, misal: sikap untuk menyapa orang lain, lebih terbuka

dengan adiknya

Stressor Subjek 1 - Dina

♀ usia 32, diagnosa 1991 usia 19 th Status : memburuk sampai meninggal

Awal sakit : menerima diagnosa lupus terdeteksi dari darah

Kondisi memburuk : stroke, ketergantungan fisik pada orang lain

Saat penelitian (2004) : bertambahnya organ yang di serang yaitu syaraf ,

paru, ginjal, serangan stroke parah yang harus bed rest total ± 10 th, berkali-kali menjalani opname, menjalani bermacam-terapi dan pengobatan, menjalani rutinitas pengobatan yang lama.

Bapak meninggal, ibu menderita sakit bahkan harus bed rest total, kondisi

Dokumen terkait