• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Hasil Pengamatan dan Wawancara

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif dengan metode studi kasus. Studi kasus sebagai kajian yang rinci atas suatu fenomena tertentu dan digunakan untuk menyelidiki unit sosial yang kecil seperti keluarga, masyarakat dalam suatu desa, dan juga kelompok kecil lainnya (Robert, 2003). Hasil dari penelitian kualitatif dengan metode studi kasus adalah hasil yang tidak dapat digeneralisasikan, karena hasil penelitian tersebut hanya berlaku di daerah dimana penelitian tersebut berlangsung. Penelitian ini dilakukan di dua daerah, yaitu Desa Surbakti, Kabupaten Karo dan Desa Unjur, Kabupaten Samosir. Sebelum memulai wawancara terhadap informan di Desa Surbakti, dan Desa Unjur, peneliti sudah tinggal di desa tersebut untuk beberapa waktu dengan tujuan untuk melakukan pengamatan terhadap kehidupan warga secara umum. Dalam hal inilah peneliti bisa melihat bagaimana mereka berinteraksi satu dengan yang lainnya, bagaimana hubungan komunikasi yang terjalin antara satu dengan yang lainnya. Sangat menarik untuk mengamati serangkaian aktivitas mereka dalam satu hari. Bahkan yang paling menarik, Desa Surbakti adalah salah satu desa

dimana jumlah penduduk yang berasal dari suku Batak Toba lumayan banyak. Sementara Desa Unjur adalah desa yang tidak mempunyai penduduk yang berasal dari Batak Karo. Interaksi dan perilaku merekalah yang diamati oleh peneliti. Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap informan penelitian.

Kasus Pertama

Setelah peneliti bercerita panjang lebar kepada bapak Dedep, hangatnya sambutannya ditunjukkan dari sikapnya yang tidak canggung, beliau langsung mengajak peneliti ke rumahnya, supaya wawancara bisa dilaksanakan dengan efektif. Bapak Dedep pun bersedia untuk menjadi salah satu informan bagi peneliti. Rumah bapak Dedep tidaklah jauh dari perempatan jalan tempat kami saling menyapa, tepatnya di ujung desa Surbakti. Pada saat ditemui sore itu, isteri dari bapak ini sedang tidak berada dirumah, karena masih bekerja di ladang yang jaraknya cukup jauh dari rumah tersebut. sementara ketika peneliti menanyakan

Nama : Bapak Dedep Sembiring Milala/ Boru Sitepu

Umur : 57 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak Karo

Alamat : Desa Surbakti

Keluarga Bapak Dedep Milala Sembiring adalah keluarga yang pertama diwawancarai oleh peneliti. Diawali dari perjalanan peneliti ke Desa Surbakti, tiba-tiba di perempatan jalan peneliti menyapa seorang bapak berkulit hitam, badan tinggi besar, rambut sudah mulai ubanan, dengan ciri khas kepala yang agak sedikit botak dibagian ubun-ubun. Bapak ini memakai kemeja kuning, celana tissue berwarna biru gelap, lengkap dengan jaket kulit hitam yang dikenakannya. Peneliti langsung memberi salam, “mejuah-juah, kila” (dalam bahasa batak karo). Kila itu adalah sebutan untuk suami dari saudara perempuan ayah kita. Sapaan peneliti disambut hangat oleh bapak Dedep, bahkan peneliti diajak mengobrol. Banyak hal yang ditanyakan oleh Bapak Dedep kepada peneliti, mulai dari asal-usulnya, tujuannya ke Desa Surbakti dan juga kondisi lainnya.

kenapa bapak tidak ikut ibu ke ladang, bapak Dedep hanya menjawab sembari tersenyum kalau kondisi kesehatannya yang sudah tidak mengijinkan.

Dalam keadaan yang sudah sama-sama rileks dan santai, maka situasi ini pun dipakai oleh peneliti untuk langsung memulai berbagi dan bertanya banyak hal kepada informan, bapak Dedep Milala. Peneliti memulai dari pandangan agama dan makna agama, nilai agama yang dianut, nilai budaya dari suku informan, pandangan terhadap pendidikan, pandangan informan terhadap perkawinan campuran antara Batak Karo dengan Batak Toba, efek bahasa yang berebeda dalam perkawinan campuran tersebut dan pewarisan nilai budaya yang dipegang oleh informan tersebut kepada anak-anaknya. Namun sebelumnya, peneliti menjelaskan terlebih dahulu apa yang menjadi inti permasalahan dalam skripsi yang sedang dikerjakannnya.

“Ihhh, suka kali pun orang batak Karo, terkhusus bapak lah ya nakku, kalau ada anakku pacaran sama orang batak Toba. Samanya kami sama bibi ndu dirumah ini. kami suka kok kalau anak kami pacaran sama Batak Toba. Sebetulnya batak Karo itu asli batak Toba, seperti aku sendiri kan nakkuh sebenarnya dari Tongging. Asli bataknya kita semua, bukan Karo sebenarnya ini. Tapi dibuatlah di Karo itu sembiring. Kalau gak nakku, marga Silalahinya kami ini semua di Batak Toba.”

Bapak Dedep Milala, dengan spontan meresponi penjelasan peneliti tentang inti permasalahan dalam skripsi tersebut. itulah yang menjadi pendapat Bapak Dedep secara pribadi dan yang sependapat juga dengan isterinya, tidak ada istilah keberatan jika anak pacaran dengan orang yang berasal dari Suku Batak Toba.

Menurut Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa, “Kepercayaan bekerja sebagai sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, dan interpretasi terhadapa suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya seseorang.” Apa kepercayaan yang dianut, apa maknanya, serta bagaimana nilai-nilai yang ada didalamnya? Itu menjadi hal yang sangat penting, “karena diterima sebagai suatu kebenaran” (dalam Samovar, 2010: 224). Peneliti menanyakan kepada Bapak Dedep Milala tentang kepercayaan yang dianutnya dan maknanya serta bagaimana menerapkan nilai-nilai agama itu kepada anak-anak di rumah.

“Agama kami Kristen. Makna agama yang kita anut itu banyak. Kita hidup ini kan susah, jangan kamu kira gampang loh, hidup kita ini kan merantau, kampung halaman kita kan sesudah meninggal. Nah itu kota kita, bukan yang kita diami sekarang ini. Walaupun penduduk disini, kita tetap penduduk sorga kelak. Seperti bapak ini kan sudah berumur 57 tahun, apalagi yang bapak cita-citakan selain daripada surga? Ya kan nak? Bapak dulu supir ke semua kota nak, bandung, surabaya, lampung, jakarta, dll. Sekarang untuk hal- hal seperti itu, tinggal perasaan bapak saja yang kuat namun tenaga sudah kurang. Jadi serahkan saja semua sama Tuhan, biarlah Tuhan yang memberkati.”

Kepercayaan yang dianut oleh Bapak Dedep Milala adalah Kristen Protestan. Sesuai paparan jawaban Bapak Dedep, apapun yang dikerjakan dan diusahakan di dalam dunia yang hanya sementara ini, tidak akan kita bawa mati. Karena kampung halamannya menurut kepercayaan yang dianutnya adalah bersama Tuhan Yesus di Surga kelak. Makna agama pun bagi Bapak Dedep sangatlah banyak. Dia hanya mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan. Sebenarnya beliau banyak bercerita bagaimana pengalamannya selama berpuluh-puluh tahun menjadi supir lintas provinsi. Bagaimana beliau berserah kepada Yang Maha Kuasa dalam segala hal yang dikerjakan.

Selanjutnya peneliti menanyakan bagaimana nilai agama itu diwariskan kepada anak-anak yang sudah dikaruniakan kepada keluarga Bapak Dedep. Beliau mengakui ada sedikit kesalahan dan kelainan dari dirinya sendiri sebagai seorang bapak yang bekerja sebagai supir, dibandingkan dengan kepala keluarga lainnya. Namun beliau tetap bersyukur telah dipercayakan 4 orang anak dalam keluarganya.

“Aku bersyukur nakkuh, kami diberikan Anak 4 orang, 1 lagi lajang, 3 orang sudah menikah. Kalau soal mengajari anak nilai agama itu, ada sedikit kesalahan memang sama bapak, karena aku jarang kali dirumah, karena memang jadi supir itu adalah sangat susah kan, kesana kemari. Satu pun anak bapak ini tidak ada yang sekolah tinggi. Bapak usahakan nak, tapi kalau memang niat mereka tak ada, mau gimana lagi? Anak bungsu ini kelass 1 SMP berhenti sekolah, yang diatasnya SMA kelas dua udah kawin, yang nomor dua tamat SMP gak mau melanjut, yang pertama itu tamat SMA langsung kawin. Aku sudah disini mulai tahun 1977, tetapnya disini mulai tahun 2010 lah, ke Gereja aja bapak sangat jarang. Kadang-kadang nak, masih baru sampai di rumah sudah harus berangkat lagi. Jadi benar- benar tidak

ada waktu yang cukup untuk menanamkan nilai agama pada anak. Terkadang pun nak kuh, kalau ada waktu menginap dirumah entah satu malam dua malam, bapak tidak bisa mendidik anak-anak dengan sepenuhnya, karena kan memang udah capek dari kerjaan, sementara esoknya sudah berangkat lagi. Jadi anak-anak saya serahkan sama ibunya. Sejauh ini saya perhatikan, anak-anak saya ini baik-baik kok, sekalipun mereka tidak takut sama ibunya, maksud bapak tidak setakut mereka ke bapak, tapi mereka semua mendengarkan nasihat ibunya kok. Saya percayakan saja kalau mendidik dan mengajar itu kepada ibunya.”

Dengan kondisi yang sangat jarang di rumah, dan mengakui kekurangannya sebagai seorang ayah yang seharusnya mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama kepada anak bersama dengan isterinya, peneliti bisa melihat kalau sebenarnya keluarga bapak Dedep ini kurang kuat dalam hal mewariskan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya. Peneliti pun kembali memintai pendapat bapak Dedep tentang perkawinan beda agama (di luar kepercayaan yang dianut keluarga).

“Itu saya ada prinsip nak kuh “asal mereka sama-sama senang, yasudah tidak ada masalah”, bagi bapak, mau orang apa pun diambilnya gak masalah. Toh bukan saya yang kelak jadi kawannya, kan kawan anakkunya nanti itu, kenapa harus saya campuri? Walaupun berbeda agama, bagi saya tidak masalah. Tapi kan yang pasti saya sudah katakan sebelumnya sama anakku, kalau dia itu orang kristen, ya kalau dia dapat yang beda agama, berarti itu kan jodoh dia nak kuh. Namun sejauh ini sih, anak bapak yang sudah menikah kan ada 3 orang, semua diberkati digreja. Makanya bapak selalu sigap mengurus semua surat-surat anak bapak ini dari gereja. Setelah diberkati, dia mau ke agama mana pun bagi bapak tidak masalah, asalkan dia dan isterinya sama-sama senang. Samanya kami sama bibimu ini, gak masalah buat kami itu.”

Secara keseluruhan pemaparan Bapak Dedep tentang perkawinan beda agama itu, peneliti menemukan bahwa Bapak Dedep dan Ibu Sitepu tidak mempermasalahkan pernikahan yang berbeda agama, seandainya hal seperti ini terjadi pada anaknya sendiri. Karena pun memang prinsip yang dipegang oleh bapak itu sendiri adalah “asal mereka sama-sama senang, gak masalah buat kita.” Selanjutnya, peneliti mulai menanyakan tentang nilai-nilai yang ada dalam budaya yang dipegang teguh oleh informan. Seperti yang diungkapkan oleh Bertens (2004) bahwa tidak ada komunitas masyarakat yang terbentuk dan berdiri tanpa

adanya sistem nilai. Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi, yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat.

“Sebenarnya nak kuh, nilai yang ada dalam budayamu sama dengan nilai yang ada dalam budaya bapak, gak ada bedanya. Pastinya harus saling menyayangi dalam keluarga kan nak? Jangan lupa dengan agama, dimana kau tinggal buat orang tuamu disitu, maksudnya cari orang yang semargamu, itulah yang kau anggap orang tuamu, gitu nak ku. Memang kalau di kami ini nak kuh, gak sekental dan sehormat orang batak Toba kalau soal adat istiadat dalam perkawinan itu sendiri. Misalnya kek di Toba sana kan, ada yang namanya “Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru,” kalau di kami ini tidak terlalu dipentingkan itu. Selanjutnya nak, kami Karo ini tidak mengenal yang namanya Ulos seperti orang Toba itu, yang diuloskan ke pengantinnya banyak-banyak. Adat kami itu cukup hanya Kain Panjang yang diberikan ke pengantin, tilam, tikar, lampu dan piring.” Jadi kami tidak ada istilah kasih ulos atau mangulosi seperti kalian batak Toba itu, kalau kami cukup datang ke pesta kasih sebisa mungkin duitnya, misalnya Rp. 20.000 cukup itu saja nak.”

Seperti itulah Bapak Dedep menjelaskan kepada peneliti. Sebelumnya memang beliau sudah mengatakan kepada peneliti bahwa beliau kurang mengerti dan paham tentang adat budaya Karo itu sendiri secara menyeluruh, sekali pun beliau adalah orang Karo Asli. Bahkan lebih lanjut lagi, beliau katakan kalau budaya itu hanya sebatas melekat pada pribadi bapak dan bibi itu saja, bahkan mulai memudar ke anak-anak. Beliau menjelaskan pandangannya terhadap perkawinan campuran antara batak Karo dan Batak Toba.

“Kalau istilah perkawinan campuran dengan batak Toba, mungkin yang lebih saya soroti itu biayanya yang sudah sangat tinggi. Modal harus besar kalau mau menikah dengan adat Batak Toba. Tukur di Batak Toba atau harga dari si perempuan itu kan tinggi kali, beda dengan kami orang Batak Karo. Udah gitu, kalau di Batak Toba ini kan harus kasi Ulos sama semua, itu aja udah sampai lima jutaan, udah gitu kalau di Toba itu setahu bapak pesta itu dilaksanakan di tempat si laki-laki kan? Beda dengan adat kami orang batak Karo ini, pesta adat itu harus di tempat atau dipihak si perempuan. Kalau di adatnya ya sama seperti kita batak Toba, pasti dikasi petuah kan sama orang-orang tua di kampung itu. Kalau seperti saya sendiri, seandainya anak saya pacaran dengan orang batak Toba misalnya ke Samosir sana, bapak pasti bilang sama dia, apa yang kau kejar dari anak gadis itu? kalau toh sama-sama ke ladangnya, yasudah ambil anak perempuan

sini sajalah. Jadi sama bapak sendiri, tidak ada masalah kalau anak saya pacaran atau menikah dengan orang mana pun. Karena anak itu bukan kita yang ciptakan, rejeki dan jodohnya ada di tangan Tuhan. Kita hidup ini kan hanya yang di atas yang tahu. Kita kan merantau ke dunia ini.” Tapi kalau kam bilang nikah atau pacaran anak orang Karo sama orang Sunda, atau suku jawa yang lainnya, barulah bapak keberatan nak kuh, karena orang sunda ini misalnya, musuh berat Karo ku rasa (sembari tersenyum), karena kebanyakan mereka itu tidak beres cara berpikirnya. Kalau sama Batak Tobanya nak kuh senang kali pun aku. Karena prinsip orang batak Toba yang bapak lihat itu tidak suka menganggur atau bermalas-malasan di rumah, mereka itu pekerja keras, giat. Sekalipun tadi bapak bilang tentang biaya tinggi atau modal tinggi untuk menikah dengan orang batak Toba, bapak pasti berjuang dan berusaha, menjual ladang pun tidak masalah. Di Desa Surbakti ini sudah banyak orang Batak Karo yang menikah dengan Batak Toba nak kuh, kenapa itu bisa terjadi? Karena memang dimusyawarahkan, ada kesepakatan. Misalnya dikampung ini selalu dua kali adatnya dibuat. Sebelum makan siang adat Karo dulu, setelah makan siang masuk adat Batak Toba, jadi adil kan. Satu lagi prinsip yang bapak tanamkan sama anak-anak itu adalah jangan sampai menikah dua kali.”

Prinsip yang dipegang teguh oleh Bapak Dedep sendiri adalah tidak melarang anaknya untuk menikah dengan suku Batak Toba, asalkan tidak menikah dengan orang sunda atau suku jawa lainnya. Karena bagi beliau yang menjadikan anak adalah Tuhan, dan yang tahu rejeki serta jodoh anak pun hanya Tuhan, untuk apa dilarang. Bahkan dalam hal lambang, yaitu bahasa pun, beliau tidak masalah. Beliau mengatakan bahwa kesepakatan akan membawa berkat.

“Aku nak kuh, dari kelas satu SMP di Sidikalangnya aku sekolah, semua bisa kita pelajari kok nak kuh, aku aja banyak tau bahasa batak Toba, yang penting kita mau belajar. Memang jelas beda kali pun bahasa kita, lambang-lambang dalam adat budaya, tapi kan itulah yang perlu didiskusikan bersama, disepakati bersama. Jadi bahasa buat bapak tidak masalah, bisa dipelajari. Kalau masih susah, ya pakai bahasa indonesia kan bisa.”

Kemudian bapak Dedep kembali menjelaskan seperti yang diungkapkan oleh Liliweri (2004), bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, norma yang berlaku, sistem budaya dan karakter budaya dari lawan bicara kita. Beliau berbagi banyak

hal tentang pandangannya terhadap orang Batak Toba serta pengalamannya selama bertahun-tahun dengan orang Batak Toba.

“Tadi kan bapak bilang kalau bapak dulu lama tinggal di Sidikalang, mulai dari kelas 1 SMP bapak di Sidikalang. Bersahabat sama orang Batak Toba mayoritas kan? Tapi aku suka. Sejak kecil pergaulanku sudah sama orang Batak Toba. Sebenarnya banyak orang yang bilang kalau orang Batak Toba ini kasar dan keras. Padahal kalau menurut bapak sendiri, orang Batak Karo pun banyaknya yang kasar dan keras, orang Jawa pun banyak yang kasar dan keras. Menurut bapak gak ada istilah “orang Batak Toba kasar dan keras” nak kuh. Sebenarnya dibilang kasar dan keras karena memang merantau dari kampung itu dengan tangan kosong tanpa modal, bisa dibilang kalau secara alam, lebih kaya nenek moyang orang Batak Karo daripada Batak Toba. Orang Batak Toba itu nak kuh Bertanggung jawab penuh terhadap keluarga, pekerja keras, tidak gengsian walaupun dibilang orang dia inang-inang sambu, dia tidak peduli, yang penting keluarga bisa bahagia, kebutuhan anak tercukupi, dan satu lagi bagi orang Batak Toba yang menganut kepercayaan tertentu, Kristen misalnya, yang bapak perhatikan selama ini tekun beribadah. Gak ke ladang hari minggu. Kalau kami oraang Batak Karo ini beda nak kuh, poin-poin yang bapak bilang untuk orang Batak Toba tadi kurangnya untuk Batak Karo. Kalau Batak Karo ini nak kuh, gengsian orangnya, lebih malasnya orang batak Karo daripada Batak Toba.”

Pandangan Bapak Dedep terhadap pernikahan campuran Batak Karo dengan Batak Toba jelas tidak kaku, sekalipun berbeda agama. Karena persepsinya terhadap Batak Toba pun tidak menjadi penghalang baginya. Bagi beliau yang paling penting jangan menikah dengan orang diluar Batak, misalnya Jawa, Dayak, dll. Satu hal lagi jangan sampai menikah dua kali. Demikianlah wawancara peneliti dengan Bapak Dedep Milala.

Kasus Kedua

Nama : Bapak Olet Sitepu/ Ibu br Ginting

Umur : 68 Tahun/ 58 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak Karo

Keluarga ini adalah keluarga yang sebelumnya sudah dikenal oleh peneliti, bahkan peneliti sendiri diijinkan tinggal di rumah keluarga Bapak Sitepu dan Ibu br Ginting di Desa Surbakti ini selama penelitian berlangsung. Sebenarnya Bapak Sitepu ini, pernah saya dengar dari putrinya sendiri adalah salah satu sosok ayah yang melarang anak-anaknya untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang yang berasal dari Batak Toba. Beliau adalah sosok yang cukup keras dengan pendirian dan pendapatnya. Bapak dan Ibu ini adalah pensiunan dari Perawat. Keseharian mereka kebanyakan dihabiskan dengan berladang dan berusaha kos-kosan di Medan. Namun pada hari kedua di Desa Surbakti, peneliti melihat Bapak dan Ibu ini tidak seperti biasanya langsung ke ladang pagi sekali. Kemudian peneliti mencoba menanyakan hal itu kepada kedua orang tua ini, dan memang benar mereka tidak berladang hari itu juga. Peneliti pun langsung memberitahukan niatnya kepada Bapak dan Ibu ini, utuk mengadakan wawancara atau berbagi tentang adat budaya. Dengan senang hati mereka bersedia untuk peneliti wawancarai. Sembari tersenyum, Bapak Sitepu dan Ibu br Ginting mempersilahkan peneliti untuk duduk bersama mereka.

Di ruang tamu yang cukup luas, udara yang dingin karena angin yang berhembus, dan ditemani suguhan secangkir teh manis di pagi hari, cukup menambah kahangatan suasana pada saat itu. Bapak Sitepu dengan jaket kulit berwarna hitam yang masih melekat di badannya, lengkap dengan kaca mata cokelat miliknya, sementara Ibu br Ginting juga masih dihangatkan oleh jaket rajutan berwarna hijau, lengkap dengan syal berwarna abu-abu.

Peneliti mulai bertanya kepada informan, bagaimana mereka bisa bertemu, bagaimana keluarganya dan berapa anak yang dikaruniakan Tuhan dalam keluarga mereka. Orang tua Bapak Sitepu ini sebenarnya di Kabanjahe, beliau disekolahkan menjadi seorang perawat. Beliau lahir dari keluarga yang bisa digolongkan dengan keluarga yang otoriter. Sebenarnya sebelum bertemu dan menjalin hubungan dengan Ibu br Ginting ini, Bapak Sitepu sudah punya seseorang yang berasal dari Batak Toba. Namun ayah dari beliau melarang keras untuk berhubungan dengan perempuan yang berasal dari Batak Toba tersebut. sejak itulah beliau mulai mencari seorang perempuan yang memang satu suku

dengan dia, supaya mendapat restu dari orangtuanya. Bertemulah beliau dengan Ibu br Ginting. Tidak selama menjalin hubungan dengan perempuan yang berasal dari Batak Toba itu, Bapak Sitepu menikahi Ibu br Ginting. Mereka sangat bersyukur sudah dipercayakan anak sebanyak empat orang.

Ketika peneliti mulai melihat situasi dan kondisi dari informan yang sudah cukup rileks, peneliti pun memulai menanyakan kepercayaan yang dianut dan maknanya bagi mereka, serta bagaimana sebenarnya nilai yang ada dalam kepercayaan yang mereka anut itu ditanamkan kepada anak-anak. Mangingat bahwa kepercayaan juga akan mempengaruhi cara berpikir dan cara pandang kita

Dokumen terkait