• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.3 Implikasi

Dalam komunikasi antarbudaya yang efektif dan ideal, tentu ada persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Persepsi-persepsi tersebut berasal dari kebudayaan. Persepsi tentunya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang kita dapat dari keluarga dan juga dari sekolah. Namun, seperti apakah kebiasaan-kebiasaan, aturan, dan juga pola perilaku dalam kebudayaan yang kita pegang, sering sekali menjadi kendala dalam berkomunikasi antarbudaya. Berbeda kebudayaan, maka berbeda pula persepsi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan adanya penelitian ini, maka secara teoritis telah ditunjukkan bahwa hambatan komunikasi antarbudaya acapkali tampil dalam bentuk perbedaan persepsi terhadap nilai-nilai budaya, cara pandang dan sistem lambang (bahasa) (Liliweri,2004: 16). Ternyata kedekatan fisik secara geografis turut menentukan perubahan cara pandang masyarakat.

b. Praktis

Peneliti hanya bisa memberi saran kepada pemimpin keluarga untuk mau membuka diri dengan orang lain di luar suku. Nilai-nilai kebudayaan tetap diwariskan kepada anak, namun bukan berarti melarang anak untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengan seseorang dari suku lain. Mulailah meningkatkan minat untuk belajar mengenali budaya lain. Untuk tetap mempertahankan nilai budaya masing-masing, acara adat harus diadakan dalam dua versi, misalnya acara adat pernikahan.

DAFTAR REFERENSI

Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Feist, Jess dan Gregory G. Feist. 2010. Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba

Humanika

Gerungan, W.A. 1986. Psikologi Sosial. Bandung: PT ERESCO

Hafied, Cangara. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Hutagalung, Wasinton. 1961. Tarombo Marga ni Suku Batak. Medan: U.D Bahagia

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga

Irohmi, T.O. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kriyantono, Rachmat. 2007. Tehnik Praktis komunikasi. Jakarta: Kencana Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Asdi Mahasatya Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

---2004. Dasar-dasar komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Lubis, Lusiana. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan: USU PRESS

Lubis, Suwardi. 1998. Metodologi Penelitian Komunikasi. Medan: USU PRESS Marthin, Judith N dan Thomas K. Nakayama. 2008. Experiencing Intercultural

Communication An Introduction. New York: McGraw-Hill Education

Moleong, Lexi J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya

---2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 1993. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya Robert K. 2003. Studi Kasus. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Samovar, Larry A; Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Slemba Humanika

Sears, David O, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga

Setiadi, Elly M, H.Kama A. Hakam, dan Ridwan Effendi. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana

Siahaan, E.K, dkk. 1975. Monografi Kebudayaan Tapanuli Utara. Medan

Soelaeman, Munandar.2005. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Jakarta: Refika Aditama

Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Tinambunan, Djapiter. 2010. Orang Batak Kasar?Membangun Citra dan

Karakter. Jakarta: Elex Media Komputindo

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT INDEKS Sumber lain :

diakses

tanggal 08 Desember 2012

diakses tanggal 15 Desember 2012

Diakses tanggal 15 Desember 2012

Februari 2013

tanggal 28 Februari 2013

diakses tanggal 09 Maret 2013

diakses tanggal 09 Maret 2013

tanggal 2013-03-12

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

NO.

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI NAMA : Liberty T. Togatorop

NIM : 090904066

PEMBIMBING : Dra. Lusiana A. Lubis, M.A., Ph.D

TGL. PERTEMUAN PEMBAHASAN PARAF

PEMBIMBING

1. 28 Januari 2013 ACC Seminar Proposal

2. 28 Januari 2013 Seminar Proposal

3. 06 Maret 2013 Revisi Bab I-III

4. 27 Maret 2013 Revisi Bab I-III

5. 03 April 2013 Revisi Bab I-III

6. 18 April 2013 Model Teoritis

7. 02 Mei 2013 Revisi Bab III

8. 10 Mei 2013 Interview Guide

9. 14 Mei 2013 Interview Guide

10. 31 Mei 2013 ACC Penelitian

11. 27 Juli 2013 Bab IV dan V

12. 31 Juli 2013 Revisi Bab IV dan V

Hasil Wawancara

Pasangan Bapak Efran Ginting dan Ibu Br Sitepu

Nama : Bapak Efran Ginting

Umur : 45 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak Karo

Alamat : Desa Surbakti

Peneliti : P

Informan : I

P : Agama yang dipeluk dan apa makna agama dalam kehidupan sehari-hari? Bagaimana menerapkan nilai-nilai agama dalam keluarga?

I : Kalau bapak katakan tadi keluarga bapak adalah pemeluk agama Kristen

Protestan, tentunya kami hanya percaya kepada Tuhan Yesus. Tuhan yang memberikan berkat bagi kami sampai sekarang. Hidup kami hanya kami serahkan kepada Tuhan. Masa depan anak-anak sering kami khawatirkan, namun tetap kami doakan dan kami serahkan pada yang di atas. Hanya Tuhan yang tau apa yang terbaik bagi kami, itulah maknanya bagiku pribadi. Nilai-nilai yang ada dalam kepercayaan yang bapak anut ini, pastinya semua perkataan Tuhan dalam kitab suci Alkitab itu lah nak, di Bibel kata kita orang batak, semua perintah Tuhan, tetapi bagi bapak dan ibu dirumah, ada sedikit kesulitan dalam mewarisi nilai-nilai itu kepada anak-anak di rumah nak ku, keluarga kami kebanyakan orang muslim, ada Ustad, Haji, guru mengaji, bayangkan dari keluarga ibu dirumh, sembilan mereka bersaudara, Cuma keluarga kami yang Kristen Protestan. Hanya saja bapak dan ibu kalau di rumah selalu berjuang dan berusaha mengajari anak-anak untuk tetap memegang teguh kepercayaan itu, jangan mau pindah-pindah agama, itu jelas bapak tekankan pada anak-anak.

P : Pandangan terhadap sekolah atau pendidikan sebagai wadah untuk memobilisasi dan sosialisasi nilai-nilai kebudayaan

I : Untuk pendidikan sih bapak dan ibu selalu menekankan dan

punya apa-apa, paling tidak tamat SMA harus, wajib istilahnya. Sebisa mungkin akan bapak dan ibu usahakan untuk sekolah anak, asalkan anak ada kemauan sekolah, kemana pun akan kami junjung. Biarpun susah, sekolah harus tetap lanjut. Sementara zaman sekarang ini nak, ijazah SMA pun tak laku. Soalnya kita sudah rasakan itu dulu, bagaimana sakitnya tidak mengecap dunia pendidikan. Paling tidak ijazah SMA kan bisa dibawanya dasar untuk cari kerjaan kemana-mana. Anak pertama saya tamat SMA merantau ke Batam, anak kedua tamat juga SMA merantau ke Malaysia, anak yang ketiga sekarang SMA di Belawan. Kami disini tidak punya lahan sepetak pun nak, jadi kalau tidak merantau, cari duit, kita mau makan apa nantinya? Lagian kalau anak tamat dari SMA itu jelas pemikirannya berbeda dengan yang tamat SD dan SMP. Merantau beda cara pandangnya dengan yang tinggal di desa.

P : Pandangan terhadap perkawinan campuran, khususnya Batak Toba dan Batak Karo

I : Bapak oke oke saja, bapak perbolehkan. Semua suku baik itu Batak Karo

dan Batak Toba kan punya sisi baik dan sisi buruknya masing-masing. Kalau anak zaman sekarang, jika tidak diijinkan bisa dia nanti jadi lari dari jalan yang benar, jadi ngapain kita halang-halangi kan? Bagi bapak sendiri, semua suku itu sama. Prinsip bagi bapak dan ibu di rumah itu, kalau masalah pacaran, pernikahan atau perkawinan itu bebas suku, yang penting orangnya beradat. Hanya saja mungkin kalau anak bapak pacaran dengan orang Batak Toba atau mungkin nantinya menikah, yang paling bapak soroti adalah perbedaan bahasa, tetapi bahasa kan bisa dipelajari sih nak. Kami tidak mengerti bahasa Batak Toba, gimana mau berkomunikasi dengan baik, apalagi kalau orang tua yang umurnya sekitar 50 tahun lebih gitu mana ngerti. Dulu kebanyakan tidak sekolah, bahasa yang dimengerti itu hanya sebatas bahasa sukunya saja, bahasa batak karo. Kemudian yang kedua adalah rumitnya adat budaya orang Batak Toba ini. Batak Karo adat budayanya sangat simpel. Ketiga adalah banyaknya biaya yang habis di suku Batak Toba, salah satunya tukur (harga yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan), sementara kami suku Batak Karo ini paling tinggi sekitar Delapan ratus ribu saja. Intinya semua itu nak, adanya kesepakatan untuk masalah biaya, dan ada pembelajaran untuk kedua suku, jngan fanatik kali dengan suku sendiri.

P : Apakah pandangan terhadap orang Batak Toba mempengaruhi beliau untuk melarang anak pacaran dengan orang Batak Toba?

I : Saya juga punya pengalaman dengan orang Batak Toba, yang saya lihat dan perhatikan orang Batak Toba itu semangat juang dan semangat hidup sangat tinggi, tidak gengsian, tidak malu sekali pun harus kerja berat. Harga diri sangat dipertahankan, kalau menghadiri acara-acara misalnya, diusahakan supaya tidak dipandang rendah oleh orang lain. Sangat kental dalam adat istiadat. Namun di sisi lain, orang Batak Toba ini pada umumnya pelit, sedikit kasar. Sementara orang Batak Karo ini pribadi yang sangat gengsian pada umumnya. Namun itu semua tidak jadi alasan bagi saya secara pribadi untuk melarang anakanak saya pacaran atau mungkin menikah nantinya dengan orang Batak Toba.

P : Nilai-nilai budaya Batak Karo terkait perkawinan dan cara mewariskannya kepada anak

I : Iya, kami adalah Karo asli yang memegang dan menjunjung tinggi

budaya adat suku Batak Karo ini, sekalipun bapak adalah bukan orang yang cukup matang untuk hal adat nak, jadi mengajari anak-anak pun soal adat ya sekedar yang saya tahu ajalah yang bapak ajarkan. Nilai yang paling penting menurut bapak secara pribadi yang harus kita warisi kepada anak itu adalah silsilah, tarombo, supaya dia kelak tahu dan paham tentang Sangkep Sitelu, siapa yang jadi mamanya, maminya, kalimbubunya (saudara laki-laki dari ibu), senina (saudara/i kandung), dan anak beru (anak perempuan yang sudah menikah dan keluarga yang dinikahinya), itu seperti apa. Nilai yang lain misalnya kita beritahukan kepada anak-anak, jika kelak mereka berumah tangga, antara menantu dengan mertua itu tidak boleh berbicara langsung empat mata.

P : Saran untuk meningkatkan pemeliharaan dan pelestarian adat istiadat budaya Batak Karo

I : Ya, intinya supaya tetap terpelihara ada di orang tua, orang tua harus

lebih banyak belajar, dan marilah sama-sama semangat untuk meluangkan waktu belajar budaya Batak Karo supaya ada yang endak diwariskan kepada anak-anak kelak.

Pasangan Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan

Nama : Bapak Ronald Togatorop dan Ibu Nurmala Siallagan

Umur : 60 Tahun/ 57 Tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak Toba

Alamat : Desa Unjur

Peneliti : P

Informan : I

P : Kepercayaan yang dianut dan apa makna agama tersebut dalam kehidupan, serta bagaimana mewariskan nilai-nilai agama itu kepada anak-anak?

I : Bapak dan ibu adalah penganut kepercayaan Kristen Protestan, kami

ibadah di Gereja HKBP. Kami mengajari dan membawa anak-anak sejak kecil untuk mengenal Tuhan. Makna agama bagi kami itu sangat banyak. Hal yang paling penting dalam kepercayaan yang bapak anut dan bapak ajarkan kepada anak-anak adalah untuk keselamatan. Mengikut Tuhan dan mengimani Yesus sebagai Juru Selamat yang hidup, itulah keselamatan, tidak akan binasa nantinya. Dengan adanya agama, hati bapak dan keluarga bapak bisa tentram, damai dan menikmati berkat Tuhan yang luar biasa. Banyak nilai yang ada dalam kepercayaan atau agama yang kita anut tersebut. Menurut bapak, cara yang paling baik untuk mewarisinya kepada anak-anak, yang pertama itu adalah melalui perbuatan kita sehari-hari. Karena nilai itu akan sangat tampak dan terlihat lewat perbuatan kita sehari-hari. Misalnya, ketika nilai yang bapak ajarkan itu di rumah adalah saling mengasihi, sementara hal yang bapak dan ibu kerjakan adalah berbeda atau bertolak belakang, kan susah nak. Tidak jadi teladan yang baik lagi bagi anak-anak. Nilai yang sering bapak dan ibu ingatkan dan ajarkan kepada anak-anak itu adalah saling mengasihi sesama. Anak-anak sejak kecil sudah kita bawa mengenal Tuhan, kita ajari membaca Alkitab setiap malam hari, ajari berdoa, kita sama-sama beribadah ke Gereja, kita himbau langkah mereka seperti apa di luar.

P : Pandangan terhadap sekolah atau pendidikan sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai dan jendela dunia

I : Sesuai dengan nilai atau prinsip hidup orang kita Batak Toba dan juga

yang bapak dan ibu pegang, yaitu Anakhonhi do hamoraon di au, maka harta bukan segalanya. Namun, yang paling utama adalah anak-anak yang sudah Tuhan percayakan dalam keluarga kami, itulah harta yang terbesar bagi kami, itulah kekayaan yang bapak dan ibu miliki. Tujuh anak bapak dan ibu, harus bisa minimal sarjana semua. Pendidikan, taraf hidup, dan keadaan mereka nantinya harus lebih tinggi dari bapak dan ibu sekarang. Rumah adat Batak Toba kan bermakna seperti itu, dengan ujung atap yang lebih tinggi di bagian belakang. Bapak dulu hanya sebatas Sarjana Muda, ibu disini hanya tamatan SPG, jadi prinsip itu yang terus kami pegang, mereka harus lebih tinggi lagi dari kami. Pendidikan anak harus lebih tinggi dari kami orangtuanya, walaupun menuntut ilmu itu nantinya menciptakan jarak yang sangat jauh antara anak dengan kami orang tua. Ini menjadi doa kami kepada Tuhan, agar Tuhan selalu menyertai anak-anak di setiap pendidikan yang ditempuh, agar tidak terpengaruh dengan kejahatan anak-anak muda zaman sekarang, sehingga motto atau nilai Anakhonhi do hamoraon di au ittu bisa terwujud. Kebanyakan orang kita Batak Toba ini adalah pejuang sejati untuk anak-anakya. Walaupun miskin dan tidak punya apa-apa, tetapi anak itu harus sekolah dan mencapai cita-citanya. Dengan mengecap pendidikan yang semakin baik, maka wawasan anak pasti semakin luas dan pengetahuan semakin tinggi, dengan sendirinya hal itu akan menanamkan nilai-nilai kepada anak, jadi bukan hanya dirumah mereka bisa mendapatkan pengajaran. Perilaku orang yang berpendidikan pasti jauh berebda dengan perilaku orang yang tak punya pendidikan.

P : Pandangan terhadap perkawinan beda agama

I : Jika anak kami berhubungan atau mungkin pacaran dengan seseorang

yang berbeda agama, ibu jelas akan menentangnya. Tidak untuk yang beda agama! Makanya dari kecil kita sudah didik dan ajari itu anak supaya tidak sekali-sekali murtad. Begini sebenarnya nak, kami jelas jelas melarang anak kami untuk pacaran dengan seseorang yang berasal dari agama yang berbeda. Menurut kepercayaan yang bapak dan ibu yakini, bahwa anak-anak itu sudah dibaptis di dalam nama Yesus Kristus, Roh Tuhan ada padanya, bagaimana mungkin dia akan murtad lagi? Yah walaupun sebenarnya keselamatan yang kami yakini itu adalah urusan pribadi dengan Tuhan, maksud bapak ketika dia murtad pun, itu adalah pilihan hidupnya, jika mau binasa silahkan murtad, berarti keselamatan yang ada padanya itu perlu kita beri tanda tanya. Akan tetapi, sebisa mungkin kita

akan terus berdoa untuk anak-anak agar tidak murtad hanya karena cinta dan godaan dunia yang hanya sesaat. Bapak dan ibu disini juga kan tidak mau melihat begitu saja anak-anak kami berjalan menuju kebinasaan. Kita harus tetap arahkan, nasehati dan didik mereka. Kalau memang harus menikah dengan seseorang yang berbeda agama tersebut, yasudahlah jangan menyesali orang tua, itu adalah pilihannya.

P : Pandangan terhadap perkawinan campuran Batak Toba dengan Batak Karo

I : Pendapat bapak sih seperti tadi, tidak jauh beda dengan perbedaan

agama, tetapi kalau memang harus itu dan sudah itu jodoh yang Tuhan tetapkan, ya tidak masalah. Yang penting kan dia dengan suaminya kelak, atau dia dengan calon isterinya, bukan kita lagi. Pastinya nasehat sudah kita berikan jauh sebelumnya, jauh sebelum anak mulai masuk dalam tahap tertarik dengan laki-laki. Bagi ibu juga itu adalah hal yang penting, karena tidak hanya menyangkut mereka berdua menurut ibu, itu sudah menyangkut dua keluarga yang sangat besar, karena sudah pasti masuk dalam acara adat nantinya kan jika menikah. Ibu sendiri adalah pribadi yang tidak setuju anak pacaran dengan orang Karo, ibu akan terus menasehati dan mengarahkan anak-anak untuk tidak pacaran dengan beda agama dan beda suku, terutama orang suku Batak Karo. Bahkan di rumah pun bapak dan ibu selalu mengingatkan supaya tidak pacaran dengan orang Batak Karo. Perkawinan campuran itu sangat susah untuk dijalankan nak, karena yang pertama, tidak ada kesesuaian adat istiadat dengan mereka orang Batak Karo, kemudian yang kedua itu adalah dari segi bahasa kita tidak mengerti apa yang mereka katakan, dan mereka juga demikian. Jadi, bagaimana komunikasi bisa nyambung? Bagaimana pesan bisa tersampaikan? Misalnya, sinamot manang tuhor ni boru (harga yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Bagi orang Batak Karo, sinamot itu sangat murah, sementara Batak Toba sinamotnya harus besar. Kenapa? Karena memang orang Batak Toba itu adalah anak dan boru ni Raja. Makanya sebagai raja harus berwibawa ke dalam dan keluar, terutama dalam hal adat istiadat. Mungkin bagi mereka sesama itu tidak menjadi masalah, tetapi ketika keluar dari suku itu menjadi batu sandungan, karena sering menimbulkan masalah. Nilai yang lain yang tidak sesuai dari Batak Karo ke Batak Toba adalah adanya keharusan bagi tulang dari pihak laki-laki untuk membuat surat pernyataan setuju akan pernikahan berenya ke putri Batak Karo itu tadi, jika itu tidak ada, maka perkawinan akan segera ditunda. Itulah beberapa nilai adat istiadat yang berbeda.

P : Pandangan terhadap orang Batak Karo

I : Orang Batak Toba itu masih mau kata memaafkan, sementara kalau

orang Batak Karo itu keras sekali, tidak mau memaafkan, sangat pendendam. Kemudian egoisme yang cukup tinggi, terus masih banyak mereka yang percaya kepada dunia gaib atau mistik, kalau hal lain sih mereka suka makan sirih, jadi terkesan jorok, tetapi memang kebanyakan mereka itu penjorok, jarang memperhatikan kebersihan di rumah, karena mereka itu fokus hanya ke ladang. P : Nilai-nilai budaya Batak Toba terkait perkawinan dan cara

pewarisan nilai kepada anak dalam keluarga

I : Pertama itu adalah Dalihan Na Tolu itu harus kita perjelas kepada anak,

yaitu sebagai prinsip kehidupan dalam menjalankan budaya suku Batak, artinya ada tiga golongan kedudukan yang sama dan sederajat di dalam sub suku Batak, ketiga golongan inilah yang melahirkan istilah-istilah kekerabatan dalam masyarakat batak yang harus diutamakan dan dihormati. Golongan pertama yaitu Menghormati dan sujud pada pihak pemberi isteri dalam suatu perkawinan, disebut Somba marhula-hula, golongan kedua adalah tetap berhati-hati dan menjaga persaudaraan yang baik dengan Saudara/i kandung kita, disebut Manat mardongan tubu, golongan ketiga adalah menghormati serta bisa mengambil hati dari kelompok anak perempuan dan suaminya juga anak-anaknya, serta orangtua dari suaminya (bagi anak perempuan yang telah menikah), disebut Elek marboru. Dalam sub suku Batak Toba, ketiga golongan ditambah lagi dengan satu pelengkap, yaitu Sopan dan baik dalam persahabatan satu kampung. Dengan adanya silsilah orang Batak Toba, maka anak-anak saya itu tahu yang mana keluarganya, dan tahu bagaimana bertutur sapa dengan kerabat keluarga, dia juga bisa tahu kepada siapa dia bisa menikah. Kemudian nilai yang lain yang juga bapak ajarkan ke anak-anak bahwa orang Batak Toba itu memegang teguh dan mengusahakan hidupnya menuju 3H, yaitu hamoraon, hagabeon, hasangapon. Simbol orang batak yaitu ulos juga penting kita jelaskan maknanya bagi anak-anak, karena memang ulos itu kan berbeda-beda maknanya dan ragamnya, seperti Ulos Sibolang diberikan kepada orang yang sudah meninggal, Ulos Bintang maratur diberikan kepada anaknya yang datang dari perantauan, kemudian dibawa

ke rumah tulang, dan diberkati disana, itulah ulos yang diberikan tulang kepada anak, Ulos Mangiring itu diberikan kepada yang sudah berkeluarga, supaya punya putra dan putri yang banyak, dan keturunan yang sejahtera.

P : Pendapat terhadap pergeseran nilai-nilai budaya Batak Toba

I : Memang benar itu nak, zaman sekarang sudah banyak anak-anak zaman

sekarang tidak mau tahu lagi tentang budaya dan adat istiadat orang Batak Toba, hal ini diakibatkan oleh kemajuan telekomunikasi, mereka banyak meniru gaya yang ditampilkan dalam pesawat televisi, padahal itu kan gaya orang luar negeri, bukan gaya dan adat kita, tetapi bukan hanya faktor kemajuan teknologi, faktor orang tua juga ada. Banyak orang tua yang tidak peduli akan perkembangan dari anaknya, tidak peduli apakah adat istiadat ini perlu saya sampaikan kepada anak? Bahkan pendidikan anak pun tidak diperhatikan, kenapa? Karena pendidikan zaman sekarang sudah jauh lebih canggih dari zaman dulu, jadi orang tua tidak mampu lagi menjangkau apa yang dikerjkan anak di sekolah, ini membuat orang tua malas mendampingi anaknya belajar, dibiarkan begitu saja. Padahal secara psikologi, hanya didampingi belajar atau mungkin duduk disamping anak saja

Dokumen terkait