• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

5. Variabel Kemandirian

4.4. Hasil Uji Hipotesis

4.4.5 Hasil uji hipotesis kelima yang akan diuji adalah:

Ho: rx1.3..2.y = 0 Tidakada hubungan antara pola asuh demokratik anak

yang ditinggal orang tuanya dan harga diri secara bersama-sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ha: rx1.3.2.y > 0 Ada hubungan antara pola asuh demokratik anak yang

ditinggal orang tuanya dan harga diri secara bersama- sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009. Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi bersama-sama antara harga diri dengan kemandirian siswa dan perhitungan nilai signifikansi alphanya dapat dilihat dalam tabel 4.20

Tabel 4.20

Hasil Analisis Variabel Pola Asuh Demokratik dan Harga Diri dengan Variabel Kemandirian

Variabel Bebas (X) Variabel terikat (Y) Koefisien korelasi Signifikansi Pola Asuh Demokratik (X1.2) dan Harga Diri

Kemandirian 0.572** 0,000

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari tabel 4.20. tampak jelas bahwa veriabel Pola asuh demokratik dan harga diri secara bersama-sama berkorelasi signifikan dengan kemandirian siswa (R = 0,572), dengan p = 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima . Kesimpulannya bahwa hipotesis yang menyatakan “Tidak

ada hubungan antara Pola asuh demokratik dan harga diri secara bersama- sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009” ditolak, dan diterima hipotesis “Tidak ada hubungan antara Pola asuh demokratik dan harga diri secara bersama-sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009”

4.5. Pembahasan

Memperhatikan hasil temuan dalam penelitian ini, maka pada bagian iniakan diuraikan pembahasan hasil penelitian. Pembahasan hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memperjelas analisis deskriptif, statistik dan pengujian hipotesis. Berdasarkan uji signifikansi disajikan pada tabel 4.11, 4.12 dan 4.13 menunjukkan bahwa hipotesis yang terbukti secara statistik adalah:

4.5.1 Tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan kemandirian siswa SMP Negeri yang ditinggal orang tuanya di wilayah Kecamatan Pabelan. Dengan kata lain bahwa skor pola asuh otoriter bila mengalami kenaikan ataupun penurunan tidak dapat ditentukan pola hubungan dengan skor kemandirian siswa.

Kemandirian dapat terbentuk dari faktor pola asuh. Pola asuh orang tua adalah cara/ metoda yang digunakan orang tua dalam mengasuh anak- anaknya. Menurut Hurlock (1999: 17) yang menjelaskan pola asuh otoriter dengan ciri bahwa anak-anak harus patuh tanpa banyak bertanya semua perintah orang tua. Orang tua itu seperti dogmatis, menutut, mengontrol,

berkuasa, dan menghukum. Mereka tidak membicarakan berbagai masalah dengan anak, dan tidak memberikan penjelasan tentang aturan-aturan yang mereka buat. Mereka sangat sedikit menerima pandangan anak-anaknya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengatur diri sendiri, menyebabkan anak tidak dapat tumbuh rasa kemandirian dengan baik, sehingga pola asuh orang tua kurang sesuai dengan kondisi anak yang berada dalam posisi remaja yaitu dimana anak masih mengalami perkembangan kemandirian yang membutuhkan kebebasan untuk mengembangkan kemampuan secara optimal.

Mengacu pada aspek kemandirian yaitu berorientasi pada kemampuannya untuk tidak bergantung kepada dukungan orang lain terutama orang tuanya, mampu mengambil keputusan secara mandiri dan menerima akibat keputusannya serta memiliki seperangkat prinsip tentang benar-salah dan penting dan tidak penting.

Aspek tidak bergantung orang lain, pola asuh orang tua otoriter adanya kontrol yang ketat dan kaku, memaksa kehendak, menyebabkan anak sangat tergantung pada orang lain, tidak berani memikul tanggung jawab dan mudah putus asa. Anak dibesarkan di bawah kondisi pengasuhan yang otoriter cenderung patuh dan menunjukkan sikap penyesuaian diri dengan standard perilakunya yang diberlakukan oleh orang tua. Hal ini terjadi mungkin karena adanya tekanan-tekanan dari orang tua yang memaksa kehendaknya terhadap anak, sehingga anak menjadi tergantung dan tidak mandiri. Salah satu indikator kecenderungan

pola asuh orang tua tipe otoriter adalah didasari oleh maksud agar anak mencapai keinginan orang tua, gambaran diri ideal yang dipatok orang tua, belum tentu didukung kemampuan anak dalam perwujudan terlebih anak SMP sangat sulit. Jika kemampuan anak untuk mewujudkan harapan orang tuanya tidak memadai, dan orang tua tetap memaksa kehendak, maka kecenderungan pola asuh tipe otoriter mungkin akan dirasakan sebagai bentuk ketidaksesuaian. Jika kemampuan anak cukup memadai untuk mewujudkan harapan orang tuanya, mungkin pola asuh orang tua tipe otoriter akan menumbuhkan rasa menyukai atau menghargai diri sendiri.

Aspek mampu mengambil keputusan secara mandiri, pola asuh otoriter dengan ciri memaksakan kedisiplinan, memberikan perintah dan larangan menyebabkan anak merasa ketakutan, merasa tertekan, anak pasif dan kurang berinisiatif, sehingga anak bersifat pesimis dan takut untuk mengambil keputusan sendiri. Aspek memiliki seperangkat prinsip benar- salah, penting dan tidak penting, pola asuh otoriter anak harus mematuhi peraturan, tidak boleh membantah, tidak pernah mempertimbangankan pendapat anak, suka mendikte/mengatur, menyebabkan anak cepat bosan dalam mengerjakan tugas tidak dan tidak ada rasa tanggungjawab terhadap seperangkat nilai benar-salah, penting dan tidak penting.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anisa (2005) bahwa pola asuh otoriter tidak berkorelasi terhadap kemandirian. Dengan pola asuh otoriter, ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam akan menjadikan anak “patuh” dihadapan orang tua, tetapi dibelakangnya ia

akan memperlihatkan rekasi-reaksi misalnya menentang/ melawan karena anak merasa “dipaksa”. Reaksi menentang dan melawan bisa ditampilkan dalam tingkah lakunya yang melanggar norma-norma dan menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya maupun lingkungan rumah, sekolah dan pergaulannya. Selain itu dapat juga menimbulkan akibat hilangnya kebebasan anak, inisiatif dan aktivitas-aktivitas menjadi tumpul sehingga kemandirian akan menurun.

4.5.2 Tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif dengan kemandirian siswa SMP Negeri yang ditinggal orang tuanya di wilayah Kecamatan Pabelan. Dengan kata lain bahwa skor pola asuh permisif bila mengalami kenaikan ataupun penurunan tidak dapat ditentukan pola hubungan dengan skor kemandirian siswa.

Salah satu indikator pola asuh orang tua permisif yaitu pola asuh orang tua tanpa tuntutan. Gambaran ideal yang ingin diwujudkan adalah gambaran diri ideal bangunan anak, yang dimungkinkan disesuaikan dengan kemampuan anak itu. Bagi anak berkemampuan rendah pola asuh orang tua tanpa tuntutan kecil kemungkinakannya dirasakan merendahkan anak. Namun bagi anak yang berkemampuan lebih tinggi jika ia dimanja/ diproteksi mungkin akan muncul perasaan tidak pernah dihargai dan diberi kebebasan apapun sehingga anak kurang/tidak memiliki kemandirian dalam hidupnya. Hasil penelitian ini sejalan pendapat Hurlock (1999 : 17-18) yang menjelaskan pola asuh permisif mengakibatkan anak tidak mempunyai pegangan dalam melakukan sesuatu sehingga anak menjadi

individu yang tidak bertanggung jawab, tidak mampu mengontrol perilakunya, bingung, cemas dan merasa tidak aman. Anak juga merasa tidak bahagia karena hubungan dengan orang tua tidak hangat, dan merasa orang tuanya tidak memperhatikan, dan pada akhirnya anak kurang memiliki tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun pada orang lain termasuk lingkungan sekitarnya.

Pada umumnya pola asuh permisif terdapat pada keluarga yang keduanya orang tuanya bekerja termasuk ibunya yang bekerja di luar negeri, terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan sehingga tidak ada waktu untuk mendidik anak dalam arti yang sebaik-baiknya. Orang tua merasa sudah mempercayakan masalah pendidikan pada orang lain yang bisa mengasuh khusus atau bisa pula anggota keluarga yang tinggal di rumah ( saudara, kakek/nenek). Orang tua hanya bertindak sebagai “polisi” yang mengawasi, menegur dan mungkin memarahi. Orang tua tidak bisa bergaul dengan anak, hubungan tidak akrab dan merasa anak harus tahu sendiri. Karena anak harus menentukan sendiri maka perkembangan kepribadiannya menjaditidak terarah, tumbuh keakuannya yang terlalu kuat dan kaku dan mudah menimbulkan kesulitan-kesulitan bila harus menghadapi larangan-larangan yang ada dalam lingkungan sosialnya. 4.5.3 Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh demokratik dengan

kemandirian siswa SMP Negeri yang ditinggal orang tuanya di wilayah Kecamatan Pabelan Artinya bahwa siswa dengan skor pola asuh demokratik yang tinggi akan diikuti dengan kemandirian siswa yang tinggi

pula. Sebaliknya siswa yang memiliki skor pola asuh demokratik rendah akan diikuti dengan kemandirian siswa yang rendah pula. Temuan bahwa pola asuh demokratik berhubungan dengan kemandirian siswa sejalan dengan kerangka berpikir bahwa semakin tinggi pola asuh demokratik. Hasil penelitian ini sejalan pendapat dari Coopersmith (1981:27) yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai kemandirian tinggi adalah mereka yang berasal dari keluarga dimana orang tua diterima secara positif oleh anak dan hal tersebut hanya dapat dijumpai pada pola asuh demokratik.

Selain itu hasil penelitian Markum (2002:2) dan Zaff (2002: 5) terungkap fakta bahwa pola asuh demokratik dapat menumbuhkan ikatan antara orang tua dan anak, sehingga akan mendorong kemandirian, pembentukan sifat kerja keras, kedisiplinan, dan komitmen prestatif dan realistis pada anak. Hasil penelitian juga sejalan penelitian dari Indrawati (2002) yang menyatakan bahwa pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja di SLTP Muhammadiyah 6 Dau Malang, terhadap siswa-siswa SLTP Muhmmadiyah 6 Dau Malang dengan populasi total siswa kelas 1 dan kelas 2 diperoleh hasil adanya pengaruh yang signifikan antara pola asuh demokratik terhadap kemandirian siswa. dengan F= 13,146 dengan p<0,010 . Demikian juga hasil penelitian Anisa (2005) terhadap 78 siswa kelas II SMA 1 Bapulang Kabupaten Tegal diperoleh hasil bahwa kemandirian siswa kelas II yang diasuh dengan pola asuh demokratis

59,80% bila dibandingkan dengan tipe pola asuh otoriter maupun pola asuh permisif.

4.5.3 Ada hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri yang ditinggal orang tuanya di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Menurut Arikunto (2002:245) keeratan hubungan tersebut termasuk kategori agak rendah. Artinya bahwa siswa dengan skor harga diri yang tinggi akan diikuti dengan kemandirian siswa yang tinggi pula. Sebaliknya siswa yang memiliki skor harga diri rendah akan diikuti dengan kemandirian siswa yang rendah pula. Temuan bahwa harga diri berhubungan dengan kemandirian siswa sejalan dengan kerangka berpikir bahwa semakin tinggi harga diri semakin tinggi pula kemandirian siswa. Temuan ini juga sejalan pendapat Coopersmith (dalam Aswagati, 2001: 19) yang mengemukakan bahwa individu dengan harga diri tinggi memiliki karakteristik yang meliputi adanya penilaian positif terhadap keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang dianutnya, lebih mandiri dalam menghadapi lingkungannya, kreaktif, yakin akan gagasan dan pendapatnya dan memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi juga melihat dirinya mampu dan mempunyai harapan-harapan yang tinggi untuk masa depannya.

4.5.4 Korelasi berganda (multiple correlation) merupakan koefisien yang menunjukkan arah dan kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih secara bersama-sama dengan variabel yang lain (Soegiono, 2005:45). Dalam penelitian ini (lihat tabel 4.16.), ditemukan hubungan berganda

antara pola asuh demokratik dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Dari data koefisien korelasi ini dapat dijelaskan bahwa siswa dengan skor pola asuh demokratik dan harga diri yang tinggi akan diikuti dengan kemandirian siswa yang tinggi pula. Sebaliknya siswa yang memiliki skor pola asuh demokratik dan harga diri rendah akan diikuti dengan kemandirian siswa yang rendah.

Kekuatan hubungan berganda pola asuh demokratik dan harga diri dengan kemandirian siswa sebesar 0,572**. terlihat lebih besar dari kekuatan hubungan secara mandiri antara pola asuh otoriter dengan kemandirian siswa sebesar 0,244** dan kekuatan hubungan harga diri dengan kemandirian siswa sebesar 0,562** (r = 0,244 dan r = 0,562 < 0,572). Gejala ini merupakan gejala yang wajar karena sifat dari hubungan berganda selalu menunjukkan interkorelasi antar veriabel bebasnya. Sehingga angka kekuatan hubungannya lebih besar. Artinya bahwa dalam diri siswa terjadi perpaduan antara karakter siswa yang memiliki pola asuh demokratik tinggi dengan karakter harga diri siswa yang kuat. Perpaduan dua kelompok karakter inilah yang menyebabkan angka koefisien hubungan berganda lebih besar.

108 BAB V

Dokumen terkait