• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Hubungan Pola Asuh dengan kemandirian siswa

Dari penjelasan tentang perkembangan kemandirian, Steinberg (1989:277) menjelaskan bahwa faktor eksternal dalam proses pembentukan kemandirian dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orang tua dalam perlakuannya sehari-hari. Kondisi anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya ataupun salah satu orang tuanya, kondisi pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua, banyaknya anggota keluarga merupakan faktor eksternal. Selain itu, dijelaskan pula peran orang tua tunggal ataupun peran orang tua yang keduanya berkarir dalam suatu rumah tangga mengakibatkan orang tua sangat mengharapkan anaknya untuk menjadi lebih mandiri sepanjang hari. Selain itu juga urutan anak dalam keluarga dan jumlah saudara juga mempengaruhi kemandirian anak, karena anak yang lebih tua bisa diberikan tanggung jawab lebih besar banyak oleh orang tuanya.

Dari berbagai macam faktor tersebut nampaknya peranan pola asuh orang tua merupakan interaksi sosial yang pertama kali dialami seorang anak adalah interaksi dengan keluarga terutama dengan orang tua.

Orang tua merupakan pelindung, pembimbing dan sekaligus sebagai teman bagi anak-anaknya, yang setiap saat siap memberikan bimbingan

dan bantuan. Oleh karenanya dalam tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, orang tua mempunyai pengaruh paling besar atas perkembangan dan pertumbuhan anaknya, termasuk perkembangan kemandirian anaknya.

Kita semua menyadari bahwa tidak ada satu orang tuapun yang sengaja mendidik anaknya supaya tidak berhasil dalam hidupnya, tetapi kenyataannya orang tua sering kali secara tidak sengaja dan tidak disadari mengambil sikap tertentu dalam memperlakukan atau mengasuh anaknya sehingga akhirnya terbentuk suatu kepribadian tertentu pada diri anak- anaknya yang bisa bersifat positif maupun negatif.

Setiap orang tua memiliki gaya yang unik dalam mendidik anaknya, secara garis besar ada beberapa tipe pola asuh. Menurut Hurlock (1999: 17-18) ada tiga pola asuh anak, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif

Pola asuh otoriter dengan ciri bahwa anak-anak harus patuh tanpa banyak bertanya semua perintah orang tua. Orang tua itu seperti dogmatis, menutut, mengontrol, berkuasa, dan menghukum. Mereka tidak membicarakan berbagai masalah dengan anak, dan tidak memberikan penjelasan tentang aturan-aturan yang mereka buat. Mereka sangat sedikit menerima pandangan anak-anaknya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengatur diri sendiri. Dengan gaya pengasuhan model otoriter menjadikan anak cenderung tidak bertanggung jawab, dan tidak mandiri. Anak dibesarkan di bawah kondisi pengasuhan yang otoriter cenderung

patuh dan menunjukkan sikap penyesuaian diri dengan standard perilakunya yang diberlakukan oleh orang tua. Hal ini terjadi mungkin karena adanya tekanan-tekanan dari orang tua yang memaksa kehendaknya terhadap anak, sehingga anak menjadi tergantung dan tidak mandiri.

Demikian juga pola pengasuhan permisif yang menekankan kebebasan. Dimana orang tua bersikap terlalu lunak pada anak-anaknya, memberikan kebebasan pada anak-anaknya tanpa memberikan norma yang jelas dan tegas (tidak membatasi perilaku anaknya/tanpa kontrol), kurang menuntut, selalu mengiyakan dan menerima keinginan anaknya. Jadi anak diberi kebebasan yang penuh untuk menentukan apa yang akan dilakukannya tanpa kontrol dari orang tuanya.

Pola asuh ini mengakibatkan anak tidak mempunyai pegangan dalam melakukan sesuatu sehingga anak menjadi individu yang tidak bertanggung jawab, tidak mampu mengontrol perilakunya, bingung, cemas dan merasa tidak aman. Anak juga merasa tidak bahagia karena hubungan dengan orang tua tidak hangat, dan merasa orang tuanya tidak memperhatikan, dan pada akhirnya anak kurang memiliki tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun pada orang lain termasuk lingkungan sekitarnya sehingga akan menghambat kemandirian anak.

Sedangkan pola asuh demokratis dengan ciri adanya hubungan dan pengertian timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua dan anak- anak sama-sama memiliki hak dalam pengambilan keputusan. Orang tua

mau mendengarkan keluhan dari anak dan anak juga diberi kebebasan namun orang tua tetap sebagai kontrol, dan menanamkan sikap disiplin dalam menggerakkan anaknya ketimbang menghukum, serta memberi kebebasan agar anak berekspresi sehingga anak dapat mengembangkan sikap kemandirian, Huxley (dalam anonim,2003:3). Dengan memiliki sikap kemandirian yang tinggi diharapkan anak-anaknya dapat hidup yang layak sesuai harapan dari orang tuanya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Coopersmith (1989:27) yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai kemandirian tinggi adalah mereka yang berasal dari keluarga dimana orang tua diterima secara positif oleh anak dan hal tersebut hanya dapat dijumpai pada pola asuh demokratis.

Menurut hasil penelitian Markum (2002:2) dan Zaff (2002: 5) terungkap fakta bahwa pola asuh demokratis dapat menumbuhkan ikatan antara orang tua dan anak, sehingga akan mendorong kemandirian, pembentukan sifat kerja keras, kedisiplinan, dan komitmen prestatif dan realistis pada anak.

Dari uraian di atas maka pola asuh orang tua memegang peranan yang penting bagi terbentuknya kepribadian yang sehat pada anak- anaknya, daya inisiatif, kepercayaan diri, rasa tanggung jawab, dan lain sebagainya yang merupakan aspek – aspek yang membentuk kemandirian. 2.4 Hubungan harga diri dengan kemandirian siswa

Salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dan berpengaruh dalam tingkah laku manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,

nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang adalah harga diri. Tinggi rendahnya harga diri banyak menentukan sikap, perilaku dan berbagai aspek lain dalam diri anak.

Pada dasarnya setiap anak membutuhkan penghargaan, penerimaan dan pengakuan dari orang lain. Buss (dalam Aswagati, 2001: 18) mengemukakan bila seseorang menilai bahwa dirinya berharga, maka akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena tidak memiliki rasa rendah diri, mempunyai aspirasi yang tinggi dan penghargaan untuk berhasil. Pendapat ini sejalan dengan Coopersmith (dalam Aswagati, 2001: 19) yang mengemukakan bahwa individu dengan harga diri tinggi memiliki karakteristik yang meliputi adanya penilaian positif terhadap keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang dianutnya, lebih mandiri dalam menghadapi lingkungannya, kreaktif, yakin akan gagasan dan pendapatnya dan memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Anak-anak dengan harga diri tinggi melihat dirinya sebagai kompeten dan mempunyai harapan-harapan yang tinggi untuk masa depannya sehingga memiliki motivasi yang lebih tinggi maka anak tersebut juga lebih bahagia dan efektif dalam kehidupan sehari-harinya karena mampu mengatasi kecemasan yang dihadapinya.

Dokumen terkait