• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POLA ASUH ANAK YANG DITINGGAL ORANGTUANYA DAN HARGA DIRI DENGAN KEMANDIRIAN SISWA SMP NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2008/2009.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN POLA ASUH ANAK YANG DITINGGAL ORANGTUANYA DAN HARGA DIRI DENGAN KEMANDIRIAN SISWA SMP NEGERI DI WILAYAH KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG TAHUN PELAJARAN 2008/2009."

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA ASUH ANAK YANG DITINGGAL

ORANGTUANYA DAN HARGA DIRI DENGAN

KEMANDIRIAN SISWA SMP NEGERI DI WILAYAH

KECAMATAN PABELAN

KABUPATEN SEMARANG

TAHUN PELAJARAN 2008/2009

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:

SUNU PANCARIATNO

NIM: 1103506087

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

ii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini saya,

Nama : Sunu Pancariatno

NIM : 1103506087

Program Studi : Bimbingan dan Konseling

Menyatakan bahwa yang tertulis di dalam tesis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhanya. Pendapat maupun temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 25 Februari 2009

Yang membuat pernyataan,

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur patut penulis panjatkan kehadirat Bapa di surga atas berkat yang dianugerahkanNya sehingga dapat terselesaikan penulisan tesis dengan judul ” Hubungan Pola Asuh Anak Yang ditinggal Orang Tuanya dan Harga Diri dengan Kemandirian Siswa SMP Negeri Di Wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”. Penulisan tesis ini digunakan untuk memenuhi salah satu syarat yang diperlukan dalam menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Semarang.

Tesis ini dapat penulis selesaikan atas dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Maman Rachman, M. Sc selaku Direktur Pascasarjana Unnes Semarang yang telah memberikan kesempatan yang berharga untuk menimba ilmu pengetahuan hingga terwujudnya tesis ini.

2. Bapak Drs. J.T. Lobby Loekmono, Ph.D selaku pembimbing tesis, yang dengan sepenuh hati membimbing dengan sungguh-sungguh, penuh kesabaran dan kecermatan membaca tesis ini secara detail dengan memberikan saran-saran konstruktif, meluruskan pola pikir, mengoreksi bahasa dan tanda baca serta memberikan wawasan yang luas melalui diskusi pembimbingan.

3. Bapak Prof. Dr. Haryono, M. Psi., selaku pembimbing yang juga dengan penuh kesabaran, ketulusan dan keiklasan dalam memberikan pengarahan dan pembimbingan tesis ini

4. Bapak Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd, Kons., selaku pengajar dan sekaligus konsultan yang memberikan dorongan awal penulis untuk bisa melanjutkan pendidikan di Unnes ini.

(4)

iv

6. Rekan-rekan Assosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Provinsi Jawa Tengah yang juga memberikan arahan dan dorongan serta semangat yang luar biasa kepada penulis.

7. Dra. Siti Basthiyah selaku mantan Kepala SMPN 2 Pabelan yang memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi di Program Pascasarjana jurusan Bimbingan dan Konseling di Universitas Negeri Semarang.

8. Rekan - rekan S 2 angkatan tahun 2006 yang juga memberikan semangat dan dorongan serta bantuan baik secara material maupun imaterial hingga dapat terselesainya tesis ini.

9. Ibunda yang tercinta selaku orang tua dan saudara-saudara penulis dengan penuh pengertian, dorongan dan dukungan doa yang luar biasa sehingga menambah kekuatan tersendiri dalam penyelesaian tesis ini.

10. Istri dan kedua anak penulis dengan penuh setia dan pengertian sehingga mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada semua pihak yang belum sempat disebutkan satu persatu dalam tesis ini. Semoga semua jasa dan kebaikan dari Bp/Ibu/Sdr memperoleh berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 25 Februari 2009

(5)

v

PENGESAHAN KELULUSAN

Tesis ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian Tesis Program Pascasarjana, Universitas Negeri Semarang pada

hari : Jumat

tanggal : 20 Maret 2009

Panitia ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Maman Rachman, M. Sc. Dr. Anawar Sutoyo, M.Pd

NIP 130529514 NIP 131570758

Penguji I Penguji II/ Pembimbing II

Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd, Kons Prof. Dr. Haryono, M.Psi

NIP 131570049 NIP 131570050

Penguji III/Pembimbing I

(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Dan kamu bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.

(Effesus 6:4)

Untuk Istri dan kedua anakku

Prisca Candra Dewi

(7)

vii

Sari

Pancariatno, Sunu. 2009. Hubungan Pola Asuh Anak Yang Ditinggal Orang Tuanya dan Harga Diri dengan Kemandirian Siswa SMP Negeri Di Wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2008/2009”. Kata kunci: Kemandirian siswa, Pola asuh , dan Harga diri.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Pola asuh apa yang mempunyai hubungan signifikansi dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. (2) Signifikansi hubungan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. (3) Signifikansi hubungan pola asuh anak yang ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan. Populasi penelitian ini adalah 195 orang siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.yang ibunya bekerja di luar negeri/kota secara berturut-turut minimal 2 (dua) tahun, dengan jumlah sampel 123 orang siswa.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Variabel pola asuh otoriter tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.1.y = - 0,108 dengan p = 0, 234 > 0,05; (2)

Variabel pola asuh permisif tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.2.y = 0,092 dengan p = 0, 312 >

0,05; (3) Variabel pola asuh demokratis mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx1.3.y = 0,244** dengan p =

0, 006 < 0,05; (4) Variabel harga diri mempunyai hubungan yang signifikan dengan kemandirian. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Rx2.y = 0,562** dengan p = 0,

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Era globalisasi merupakan era dimana persaingan individu semakin ketat dan perubahan sosial dalam masyarakat terjadi sangat cepat. Untuk menghadapi era globalisasi ini diperlukan dan dibutuhkan suatu sumber daya yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang kreatif, ulet, berkemauwan kuat serta memiliki kemandirian yang tinggi, agar mampu menghadapi persaingan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

(9)

persoalan-persolan dirinya sendiri yang kesemuanya itu menunjukkan kurangnya kemandirian pada remaja.

Mandiri atau sering disebut juga berdiri di atas kaki sendiri, merupakan kemampuan seseorang untuk tidak bergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Secara umum kemandirian bisa dilihat dari tingkah laku seperti berusaha memenuhi kebutuhan sendiri, namun kemandirian tidak selalu berbentuk fisik yang ditampilkan dalam tingkah laku. Kemandirian juga dapat dilihat dari cara berpikirnya bagaimana seseorang memecahkan masalahnya, apakah seseorang tersebut bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dan dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan dan norma masyarakat.

Kemandirian sebagai salah satu aspek kepribadian sangat penting dimiliki oleh generasi muda khususnya anak remaja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Masrun (!986:8) bahwa kemandirian merupakan modal dasar bagi manusia dalam mengarahkan dan mengatur perilakunya sendiri, menyelasaikan masalah tanpa bantuan orang lain, sehingga memungkinkan seseorang untuk dapat bertindak bebas, melakukan sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri atas dorongan sendiri, mengejar prestasi dengan penuh ketekunan serta mengejar sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir original, menghargai keadaan diri sendiri dan memperolah kepuasaan atas usahanya.

(10)

kematangan, peserta didik SMP memerlukan bimbingan karena mereka belum memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya, lingkungannya dan pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Dikarenakan dalam proses perkembangan individu itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan, dan nilai-nilai yang dianut maka peranan konselor diperlukan.

Pada hakikatnya manusia selalu membutuhkan bantuan dari manusia lain untuk dapat membantu mencukupi kebutuhan dirinya. Begitu pula seorang anak, membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupannya, dan orang lain tersebut yang pertama adalah keluarganya sendiri, terutama orang tuanya. Orang tua mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak baik secara fisik maupun psikis. Gunarsa (2004:299) menyatakan bahwa sebuah keluarga seharusnya dapat memberikan keakraban dan kehangatan bagi anak-anaknya, memberi rasa aman, memupuk rasa percaya diri dan membantu mempersiapkan anak-anaknya untuk mandiri.

(11)

kakek, nenek, keponakan, sepupu dan hanya saudara lain yang tinggal dalam satu rumah. Sedangkan keluarga dalam hubungan sosial, merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Djamarah, 2004:3).

Sedangkan menurut Soelaeman (dalam Djamarah, 2004:16) menyatakan keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri.

Keluarga sebagai lingkungan primer bagi anak mengajarkan tentang berbagai macam hal misalnya peraturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan. Apa yang setiap hari diajarkan oleh lingkungan keluarga tentang sesuatu yang baik maupun buruk akan memberikan pengaruh baik dan buruk terhadap pertumbuhan kepribadian anak. Disinilah muncul fungsi penting dari orang tua yaitu sebagai peletak dasar utama dan pertama dalam penerapan nilai-nilai yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian anak. Oleh karena itu keluarga memiliki peran yang sangat penting bagi tumbuh dan kembangnya anak yang pada akhirnya akan banyak berperan di dalam lingkungan masyarakat.

(12)

dengan anak diikat oleh rasa cinta kasih, dan pengalaman yang dialami anak dimulai sejak masa bayi melalui usaha-usaha pertama dari orangtua untuk membimbing dan mengatur. Orangtua sebagai pimpinan dalam keluarga sangat berperan dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian berupa pengenalan nilai-nilai dan kebiasaan kepada anak melalui sikap, perilaku dan kebiasaannya. Dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, orangtua adalah sumber pemenuhan kebutuhan psikologis dan dan berperan sebagai pemberi teladan anak-anaknya Gunarsa (2004:297).

Terbentuknya suatu keluarga tidak lepas dari kerja sama yang baik antara ayah dan ibu, mereka hendaknya bersama-sama bertanggung jawab dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. Sebab kekompakan ayah dan ibu sangat diharapkan, sehingga tugas-tugas seorang ayah dalam suatu keluarga tidak hanya pencari nafkah tetapi sebagai pelindung dan pendidik anak-anaknya. Meskipun dalam kenyataannya ayah lebih banyak menghabiskan waktunya di luar keluarganya, tetapi kasih sayang dan perhatian terhadap keluarga harus tetap diberikan. Sedangkan hubungan anak dan ibu bersifat kompleks bila dibandingkan hubungan antara anak dan ayah. Karena ibu adalah satu-satunya figur yang dapat diidentifikasi anak sampai anak memasuki usia sekolah (Walgito, 1993:21).

(13)

Yulianti, 2004:18) menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukan otoritasnya, dan cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anaknya. Sedangkan Hurlock (1999:26) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah metode yang digunakan orang tua dalam hubungannya dengan anak. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan berarti orangtua mendidik, membimbing dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Penanaman nilai dan aturan dipengaruhi oleh pendidikan dan latar belakang kehidupan dari orangtua termasuk juga faktor ekonomi. Kebiasaan dan pendidikan yang sebelumnya diterima orangtua akan menjadi pola asuh seseorang dalam mendidik anaknya. Dengan keberagaman latar belakang pendidikan, budaya maupun faktor lain akan membentuk berbagai macam pola asuh.

(14)

kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Anak yang dididik dalam pola otoriter cenderung untuk pasif, kurang inisiatif, motivasi belajar kurang, tidak percaya diri, merasa rendah diri, tidak berani memikul tanggung jawab, pesimis, dan mudah putus asa.

Pola asuh autoritatif (authoritative parenting) mempunyai ciri mendorong anak-anaknya agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan mereka. Aturan dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga, orang tua memperhatikan keinginan dan pendapat anak, selalu berdiskusi untuk mengambil keputusan. Dengan pola asuh ini anak akan berkembang sesuai tingkat perkembanganya, kreatif, mudah mengeluarkan pendapat, mereka akan merasa aman dengan kasih sayang dari orang tua sehingga memunculkan sikap percaya diri memiliki rasa tanggung jawab, penuh gairah dan optimis dalam hidupnya.

Pola asuh permisif (permissive parenting) dengan ciri tidak adanya bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengontrolan dari orang tua sehingga anak diberi kebebasan dan diizinkan untuk membuat keputusan untuk dirinya. Anak yang dididik dalam keluarga ini akan merasa kurang menikmati kasih sayang dari orang tua, sering menentang, tidak mau belajar, anak merasa tidak bertanggung jawab apabila ditugaskan suatu pekerjaan tanpa bantuan orang lain.

(15)

menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Oleh beberapa unsur seperti kasih sayang, rasa aman dan perhatian. Apabila dalam hubungan antara orang tua dengan anak tidak disertai dengan adanya perhatian, tidak ada toleransi, kurangnya kasih sayang dan sikap orang tua yang selalu mengekang keinginan anak, dapat menciptakan situasi konflik yang akan menghambat pembentukan sikap mandiri pada anak. Hal ini sependapat dengan Bee (dalam Yulianti, 2004:13) pola asuh orangtua terhadap remaja banyak memberikan pengaruh pada perkembangan konsep diri, kemandirian dan identitas ego. Orangtua yang memiliki anak, ingin memelihara, membesarkan, dan mendidiknya dan berusaha mencukupi segala kebutuhan anak karena anak merupakan buah hati dan tumpuan di masa depan.

Data Kaukus Parlemen untuk HAM yang dirilis media pers Indonesia selama semester pertama pada tahun 2007 telah terjadi 45 kasus kekerasan dan 102 kasus kematian Tenaga Kerja Wanita di luar negeri. Artinya bahwa para wanita yang bekerja menjadi tenaga kerja di luar negeri banyak mengalami masalah.

(16)

orang siswa. Dan bila dihitung secara prosentase ada 25,38 % dengan penyebaran siswa kelas 7 sekitar 8,53 %, kelas 8 sekitar 10,94 % dan 6,06 % . Sedangkan data yang diperoleh dari SMP Negeri 1 Pabelan ada 34 orang siswa dan 45 orang siswa untuk siswa SMP Negeri 3 Pabelan yang orang tuanya bekerja di luar kota atau luar negeri minimal 2 tahun berturut-turut. Mereka bekerja kebeberapa kota atau negara antara lain ; Jakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Timur Tengah, Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

(17)

lebih tinggi tingkat kemandirian bila dibandingkan dengan anak-anak yang hidupnya ditunggui oleh orangtuanya.

Namun dari aspek harga diri anak ada 25 anak yang menyatakan bahwa dengan kepergian ibunya bekerja justru meningkatkan harga diri mereka dikarenakan secara finansial mereka dapat memiliki segala sesuatu dibandingkan sebelumnya. Akan tetapi bagi anak-anak yang orangtuanya “bermasalah“ akibat dari kepergian ibunya bekerja di luar negeri justru sebaliknya merasa dirinya tidak berharga baik dimata teman-teman maupun di masyarakat, karena menjadi beban keluarga dekat atau tetangganya.

Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari feeling of belonging (perasaan diterima oleh kelompok sosialnya), feeling competent (perasaan kompeten, efisien, produktif) dan feeling worthwhile (perasaan berharga, cantik, pandai, baik) (Felker, 1998:

187). Jadi Harga diri seseorang bisa dikatakan baik apabila ia merasa diterima oleh kelompok sosialnya, merasa mampu dan merasa berharga.

(18)

Berdasarkan hasil penelitian Indrawati 2002 (http://digilib.

unikom.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2002-erna-8665-pola asuh) dengan

menggunakan Analisis Regresi, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan ( F = 13, 146 dengan P < 0,010) antara pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja. Ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh orang tua yang authoritative terhadap kemandirian

remaja. Sedangkan pola asuh orang tua yang kurang menunjang

kemandirian remaja adalah pola asuh orang tua yang permissive dan pola asuh orang tua yang authoritarian. Dari pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja yang bertipe authoritative sebesar 12,016%, untuk pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja yang bertipe permissive sebesar 1,520%, untuk pengaruh pola asuh orang tua terhadap kemandirian remaja bertipe authoritarian sebesar 7,731%. Jadi jumlah keseluruhan dari pola asuh orang tua adalah 21,3%. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SLTP Muhammadiyah 6 Dau Malang. Teknik pengambilan sempelnya adalah jumlah dari populasi total, dimana siswa-siswi kelas I, II secara keseluruhan.

Sejalan dengan hasil penelitian Indrawati, Ningsih (http://digilib.

upi.edu/pasca/available/etd-0223106-102800) mengadakan penelitian

(19)

memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan arah negatif; dan pola asuh orang tua permissive yang dirasakan siswa memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan kemandirian emosinya.

Sedangkan hasil penelitian Anisa 2005 (http://digilib.unnes.

ac.id/gsdl/ collect/wrdpdf.e/index/assoc/HASHO1a3/5489fec.diri) tentang

Kontribusi Pola Asuh Orang tua terhadap Kemandirian Siswa Kelas II SMA Megeri I Balapulang Kabupaten Tegal Tahun Pelajaran 2004/2005.

Hasil uji signifikansi koefesien korelasi ganda dengan uji F diperoleh diperoleh F hitung = 15,108 > F tabel = 2,71 dan hasil analisis memperoleh koefisien korelasi 0,4163 menunjukan bahwa (a) pola asuh orang tua tipe demokratis dan tipe permisif berkorelasi terhadap kemandirian siswa, (b) pola asuh orang tua tipe otoriter tidak berkolerasi terhadap kemandirian

(20)

kematangan yang lebih tinggi dan pada akhirnya berpengaruh pada kepribadiannya terutama harga dirinya.

Hasil penelitian Arifianto (http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=

jtptums-gdl-s1-2007- kurniawanw-7949) tentang Hubungan antara Harga Diri

dengan Kemandirian, dengan subjek penelitian ini adalah siswa-siswa kelas 2 SMK PGRI 2 Salatiga berjumlah 40 siswa untuk try out dan 78 siswa untuk penelitian, dengan menggunakan cluster random sample. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah skala harga diri dan skala kemandirian. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,670 dengan p < 0,01, hal ini berarti ada hubungan

positif yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian. Artinya, semakin tinggi skor harga diri maka semakin tinggi skor kemandirian dan sebaliknya.

(21)

adalah ada hubungan positif antara harga diri dengan kemandirian remaja. Semakin tinggi skor harga diri maka semakin tinggi pula skor kemandirian pada remaja, sebaliknya semakin rendah skor harga diri maka semakin rendah pula skor kemandirian pada remaja.

Berdasarkan hasil penelitian Indrawati (2002:1) dan Ningsih (2006:1) tentang hubungan pola asuh dengan kemandirian dinyatakan bahwa pola asuh authoritative memiliki korelasi signifikan dengan kemandirian, akan tetapi pola asuh outhoritarian dan permissive tidak berkorelasi dengan kemandirian. Sedangkan hasil penelitian Anisa (2005:1) menyatakan pola asuh demokratis dan permisif berkorelasi signifikan terhadap kemandirian. Dengan adanya perbedaan temuan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ulang tentang hubungan pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa dengan mengambil populasi penelitian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan pada semester II tahun pelajaran 2008/2009.

1.2 Rumusan

Masalah

Berdasarkan uraian di latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

(22)

1.2.2 Adakah hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa di SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan? 1.2.3 Adakah hubungan yang signifikan antara pola asuh anak yang

ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut :

1.3.1 Mengetahui pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya yang mempunyai hubungan signifikansi dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.3.2 Mengetahui signifikansi hubungan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.3.3 Mengetahui signifikansi hubungan pola asuh anak yang ditinggal orangtuanya dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dapat memberi manfaat secara teoritik maupun praktik.

1.4.1 Secara Teoritik

(23)

kemandirian siswa SMPN 2 Pabelan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bee (dalam Yulianti, 2004:13) dan penelitian Indrawati (2002). Bila tidak ditemukan adanya hubungan signifikan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Anisa (2005). Dan bila dalam penelitian ditemukan adanya hubungan signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa SMPN 2 Pabelan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rini (2000:1) dan Arifianto (2007). Bila ditemukan tidak ada hubungan signifikan, maka penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Kusumawati (2005).

1.4.2 Secara praktis

(24)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kemandirian

2.1.1 Pengertian Kemandirian

Istilah kemandirian sering disebut sebagai autonomy atau independency. Angyal (dalam Masrun, 1986:8) autonomy merupakan

tendensi untuk mencapai sesuatu, mengatasi sesuatu, bertindak secara efektif terhadap lingkungan, dan merencanakan serta mewujudkan harapan-harapannya. Sedangkan independency menurut Bhatia (dalam Masrun, 1986:8) diartikan sebagai perilaku yang aktifitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain, dan bahkan mencoba memecahkan atau menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Bernadib (dalam Yulianti, 2004:9) mendifinisikan kemandirian adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu memilih norma dan nilai-nilai atas keputusan sendiri, mampu bertanggung jawab atas segala perilaku dan perbuataan individu yang bersangkutan. Kemandirian yang dimiliki, menjadikan sesorang ketergantungan pada pihak lain menjadi minimal.

Menurut Greenberger (dalam Masrun dkk, 1986:10) menyatakan bahwa kemandirian mencakup beberapa istilah antara lain autonomy, independency dan sefl reliance. Autonomy dimaksudkan sebagai tendensi

(25)

terhadap lingkungannya dan merencanakan serta berusaha mewujudkan harapan-harapannya yang timbul karena kekuatan dorongan dari dalam. Secara fungsional autonomy dapat diartikan juga sebagai tendensi untuk bersikap secara bebas dan original dalam arti tidak mengantungkan kepada orang lain.

Independency diartikan sebagai gerak yang mengarah pada

kesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan persepsi atau pendapat sendiri pada daripada merespons terhadap tuntutan lingkungan atau pengaruh orang lain, aktivitas yang dilakukan diarahkan kepada diri sendiri dan kritis terhadap pengarahan ataupun pengaruh dari orang lain. Bahkan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya cenderung mencoba memecahkan dan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta bantuan orang lain, Bhatia (dalam Masrun, 1986:8). Sedangkan self reliance merupakan perilaku yang didasarkan percaya pada diri sendiri dimana pusat kendali berasal dari dalam diri sendiri.

(26)

bahwa kemandirian adalah suatu sifat yang memungkinkan seseorang untuk dapat bertindak bebas, melakukan sesuatu untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri atas dorongan sendiri , mengejar prestasi dengan penuh ketekunan serta keinginan mengejar sesuatu tanpa bantuan orang lain, mampu berpikir dan bertindak original, menghargai keadaan diri sendiri dan memperoleh kepuasaan atas usahanya. Budiharjo (dalam Utomo, 2006:9) mengatakan bahwa kemandirian (autonomy) adalah kecenderungan untuk tidak bergantung pada orang lain dalam membuat keputusan.

Selanjutnya Irene (2002:21) mendifinisikan kemandirian sebagai suatu sikap yang dapat menerima dan menjadi diri sendiri, percaya pada kemampuan diri sendiri serta tidak bergantung pada orang lain. Sedangkan menurut Kartadinata (1988:88) kemandirian diartikan sebagai kekuatan motivasi dalam diri individu untuk mengambil keputusan dan menerima tanggung jawab atau konsekuensi keputusan itu, yang tingkat perkembangannya dinyatakan dalam tingkat: impulsive, konformistik, sadar diri, seksama, individulistik dan mandiri. Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomy) diartikan kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menemukan dirinya sendiri (Chaplin, 2006:48)

(27)

1) Kemampuan untuk menggali dan mengembangkan potensi diri dan lingkungan.

2) Kemampuan untuk berdiri sendiri dan mengatasi kesulitan.

3) Kemampuan menerima konsekuensi atas segala keputusan yang diambil.

(28)

kehidupan dalam upaya memenuhi kebutuhan dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapinya.

Dalam teori yang dikembangkan Steinberg (1989: 270) istilah independency dan autonomy sering dipertukarkan secara bergantian sesuai

dengan penggunaan konsep kedua istilah tersebut. Secara umum kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama yakni kemandirian, tetapi secara konseptual kedua istilah tersebut berbeda dengan perbedaan yang sangat tipis. Dalam bahasa Inggris independence berarti kemerdekaan atau kebebasan, sedangkan secara konseptual mengacu kepada kapasitas individu untuk memperlakukan diri sendiri. Steinberg (1989: 270) menyatakan bahwa independence generally refers to individual’s capacity to behave on their own. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa

(29)

adolescence, yaitu pertumbuhan independence merupakan bagian dari

menjadi autonomy (mandiri) selama masa remaja.

Pada masa remaja, kemandirian merupakan salah satu tugas perkembangan yang fundamental. Hal ini sesuai tugas perkembangan yang diungkapkan oleh Havighurst (Hurlock,1980:10) yang mana salah satu tugas perkembangan tersebut adalah mencapai perkembangan kemandirian secara emosional dari orang tua. Steinberg (1989: 270) becoming an autonomous person-a self governing persons- is one of the fundamental

developmental tasks of the adolescent years. Artinya bahwa individu yang

mandiri, yang mampu mengelola diri sendiri merupakan satu tugas perkembangan yang mendasar pada masa remaja. Disebut fundamental karena pencapaian kemandirian pada anak sangat penting artinya dalam kerangka menjadi individu dewasa. Bahkan pentingnya kemandirian harus dicapai pada masa remaja sama pentingnya dengan pencapaian identitas diri. Steinberg (1989: 270)

(30)

menentang keinginan dan aturan orang tua. Dan orang tua sering mempersepsikan upaya pemutusan ikatan emosional yang dilakukan anak sebagai bentuk pemberontakan.

2.1.2 Tipe-tipe Kemandirian

Steinberg (1989: 273) membedakan kemandirian kedalam tiga tipe, yaitu kemadirian emosional (emotional autonomy), kemandirian perilaku (behavioral autonomy), kemandirian nilai (values autonomy).

1) Kemandirian emosional (emotional autonomy)

Kemandirian emosional adalah seberapa besar ketidak bergantungan individu terhadap dukungan emosional orang lain, terutama orang tua dalam mengelola dirinya. Pemudaran hubungan anak dengan orang tua pada masa remaja terjadi dengan sangat cepat. Percepatan pemudaran hubungan terjadi sering dengan semakin mandirinya anak dalam mengurus diri sendiri. Proses ini secara tidak langsung memberikan peluang bagi anak untuk mengembangkan kemandiriannya terutama kemandirian emosional.

(31)

keluarga. Semua proses psikososial tersebut lambat laun akan memudarkan ikatan emosional anak dengan orang tua.

Anak yang mandiri secara emosional mempunyai indikator- indikator dalam beberapa hal seperti 1). Anak yang mandiri tidak serta merta lari kepada orang tua ketika dirundung kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, atau membutuhkan bantuan, 2). Anak tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui atau menguasai segala-galanya, 3). Anak sering memiliki energi emosional yang besar dalam rangka menyelesaikan hubungan-hubungan di luar keluarga dan dalam kenyataannya mereka merasa lebih dekat dengan teman-teman daripada orang tua, 4). Anak mampu memandang dan berinteraksi dengan orang tua sebagai pada umumnya bukan semata-mata sebagai orang tua.

2) Kemandirian perilaku (Behavioral autonomy)

(32)

terhadap anak akan memberikan situasi yang kondusif terhadap peningkatan kemandirian.

Kemandirian perilaku pada anak ditandai dengan beberapa indikator yakni, 1). Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain selama hal itu sesuai, 2). Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian sendiri dan saran-saran orang lain, 3). Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana harus bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri

3) Kemandirian nilai (Values autonomy)

(33)

Kemandirian nilai pada anak ditandai dengan beberapa indikator yakni, 1). Cara anak dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin abstrak, 2). Keyakinan-keyakinan anak menjadi semakin bertambah mengakar pada prinsip-prinsip umum yang dimiliki beberapa basis idiologis, 3). Keyakinan-keyakinan anak menjadi semakin bertambah tinggi dalam nilai-nilai mereka sendiri dan bukan hanya dalam suatu sistem nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau figur pemegang kekuasaan lainnya.

Berdasarkan pendapat Batia, Bernadib, Greenberger maupun Brawer, maka dalam penelitian ini kami menggunakan teori kemandirian dari Steinberg (1989:270) yang menyatakan bahwa kemandirian adalah kemampuan individu dalam mengelola dirinya sendiri. Jadi individu yang mandiri adalah individu yang mampu mengelola dirinya sendiri (self governing person). Kemampuan dalam mengelola diri sendiri ini ditandai

dengan kemampuannya untuk tidak bergantung kepada dukungan orang lain terutama orang tua, mampu mengambil keputusan secara sendiri dan mampu menerima akibat keputusan tersebut, serta memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting

2.1.3 Proses perkembangan kemandirian

(34)

serta kemampuan anak. Misalnya: untuk anak-anak usia 3-4 tahun latihan kemandirian dapat berupa membereskan mainan yang telah dipakainya. Menurut Watson dan Lindgren (dalam Suparmi,1991:31) anak mulai menunjukan mandiri pada usia sekitar 2 – 3 tahun. Pada usia ini anak banyak menunjukkan tingkah laku negatif dan menentang. Hal ini disebabkan anak mulai menyadari ”aku”nya antara lain berusaha mandiri dengan menolak bantuan orang lain, menentang petunjuk-petunjuk orang dewasa, dan lain sebagainya.

(35)

keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.

Dengan kemandirian tersebut anak harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya, dengan kata lain mereka melepaskan diri sendiri secara bertahap dari ikatan ketergantungan orang tua. Hal ini juga diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dengan teman sebaya. Melalui hubungan pertemanan mereka belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima atau menolak pandangan atau nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Bila didalam kelompoknya mereka merasa nyaman dan bisa diterima dan dihargai akan keberadaannya dan sebaliknya bila di lingkungan rumah tidak menerimanya maka akan terjadi hambatan atau masalah. Sebab anak akan berpikir kalau mereka melepaskan dari ikatan orang tua maka segala kebutuhan atau keinginan tidak dapat terpenuhi secara finansial, sebaliknya bila mereka mengikuti irama kelompok secara psikologis akan mendapat kepuasaan tersendiri . Agar terjadi perkembangan kemandirian anak maka orang tua hendaknya:

(36)

anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orang tuanya.

2. Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambilnya, bahkan mengusahakan sendiri apa yang diperlukan dan biarkan juga mereka mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Peran orang tua hanya sebagai pengamat dan bisa melakukan intervensi jika tindakan anak dianggap dapat membahayakan dirinya maupun orang lain.

3. Memberi tanggung jawab terhadap tindakan yang diperbuat anak merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggung jawab anak akan belajar untuk tidak mengulang hal-hal yang memberikan dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya.

(37)

2.2 Pola Asuh

2.2.1 Pengertian Pola Asuh

Menurut Jersild (1978:230) memandang pola asuh orang tua merupakan pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya untuk mencapai tujuan keluarga. Hal ini didukung pendapat Gunarsa (1995:116) pola asuh orang tua sebagai cara mendidik anak yang sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antara anak dan orang tua.

Haditono (1990:128) mengartikan pola asuh orang tua adalah cara khas orang tua dalam memperlakukan anak-anak mereka yang berhubungan erat dengan terbentuknya kepribadian. Sedangkan Handayani (2002:33) menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara orang tua dalam mengasuh anaknya dengan memberikan aturan-aturan atau disiplin dengan tujuan membentuk watak, kepribadian dan memberikan nilai-nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Dari beberapa definisi tersebut di atas penulis mengemukakan pola asuh orang tua adalah daya upaya dalam pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, perlakuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari, serta orang tua dalam keluarga mempunyai peranan penuh untuk mengatur dan mendidik anak-anaknya.

(38)

digunakan oleh orang tua dalam mendidik putra-putrinya, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Dalam penerapannya tidak bisa dibedakan secara tegas sehingga kecenderungan pola asuh tertentu yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ketiga pola asuh tersebut mempuanyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola asuh otoriter

Adanya kontrol yang ketat dari orang tua, aturan dan batasan dari orang tua harus ditaati oleh anak, anak harus berperilaku sesuai aturan yang telah ditetapkan orang tua, orang tua tidak mempertimbangkan pandangan atau pendapat anak dan orang tua memusatkan perhatian pada pengendalian secara otoriter yaitu berupa hukuman fisik.

Pada pola asuh ini orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak tanpa memberi alasan atau penjelasan tentang alasannya. Apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskan oleh orang tua, anak tidak diberi kesempatan untuk memberi alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima. Sebaliknya orang tua tidak pernah memberikan hadiah atau pujian apabila anak berbuat sesuai dengan orang tua.

(39)

jawab sesuai dengan perkembangannya, tetapi anak merasa terkekang dalam mencari kemandirian. Karena itu sering terjadi konflik antara anak dan orang tua, anak tidak mau berkomunikasi dengan orang tua, akhirnya terjadi jurang pemisah antara anak dengan orang tua.

2. Pola asuh demokratis

(40)

membuat kesalahan, dengan demikian rasa percaya diri anak akan berkembang dengan baik dan anak mempunyai rasa tanggung jawab. 3. Pola asuh permisif

Tidak adanya bimbingan dan aturan dari orang tua, tidak ada tuntutan kepada anak, tidak ada pengendalian atau pengontrolan dari orang tua. Orang tua tidak memberikan aturan kepada anaknya, anak diberi kebebasan dan diizinkan untuk membuat keputusan untuk dirinya sendiri, anak harus belajar sendiri untuk berperilaku dalam lingkungan sosial, anak diperkenankan berbuat sesuai dengan apa yang dipikirkan anak.Tidak ada hukuman dari orang tua meskipun anak melanggar peraturan dan tidak diberi hadiah bila berperilaku baik.

Pada pola asuh permisif semua serba boleh, karena tidak ada kontrol dari orang tua, anak berbuat sekehendak hatinya, maka anak kurang respek terhadap orang tua, kurang menghargai apa yang diberbuat orang tua untuknya. Anak yang diasuh dan dididik dengan pola ini biasanya mendapat proteksi yang berlebihan, sehingga apapun yang dilakukan anak dibiarkan oleh orang tua. Dengan demikian perhatian serta hubungan orang tua dengan anak akan terganggu, karena tidak ada pengarahan atau informasi dari orang tua, maka anak tidak mengerti apa yang sebaiknya dikerjakan dan mana sebaiknya yang ditinggalkan.

(41)

Perilaku sering melanggar norma- norma masyarakat karena itu akan terbentuk sikap penolakan dari lingkungan dan akibatnya kepercayaan diri goyah serta penghargaan pada diri sendiri kurang baik.

Senada pendapat Hurlock, menurut Baumrid dikutip oleh McKay (2006 : 10) juga membagi pola asuh ke dalam tiga kategori berdasarkan pada kehangatan, yakni tingkat keterlibatan, dukungan dan respon orang tua pada anak, dan kontrol yang meliputi tuntutan atau ekspetasi orang tua pada anak serta tingkat pengawasan anak

Pola asuh jenis pertama adalah Authoritative dimana orang tua menunjukan kehangatan dan kontrol tinggi. Ekspektasi dan aturan yang konsisten, jelas serta rasional dipadukan dengan kehangatan dan komunikasi yang baik. Orang tua dengan pola asuh ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampui kemampuan anak dan juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

(42)

bersifat satu arah serta tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti menganai anaknya.

Pola asuh jenis ketiga adalah pola asuh permissive, pola asuh jenis ini memadukan tingkat kehangatan yang tinggi dengan tingkat kontrol yang rendah. Orang tua terlalu memanjakan anak dan tidak memberikan tuntutan apapun pada anak. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua.

(43)

permisif dengan ciri anak diberi kebebasan penuh, tidak ada pengawasan dan kontrol serta bimbingan dari orang tua

2.2.2 Aspek-aspek pola asuh orang tua

Aspek – aspek pola pengasuhan orang tua menurut Hurlock (1999:124) adalah sebagai berikut:

a) Peraturan dan hukum

Peraturan dan hukum ini dibuat dengan fungsi sebagai pedoman dalam melakukan penilaian terhadap perilaku anak.

b) Hukuman

Hukuman diberikan bagi individu karena pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan dan hukum.

c) Hadiah

Hadiah diberikan untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku sosial yang baik.

Senada pendapat Hurlock,Gunarsa (1995:41) Aspek – aspek dari pola asuh orang tua adalah:

a) Aspek kognitif, yang dimaksud adalah menanamkan disiplin tidak lepas dari pengembangan pengertian-pengertian dan karena itu harus disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan.

(44)

c) Hukuman yang diartikan sebagai sikap tegas, konskuen dan konsisten dengan dasar yang dihukum bukan anak atau perasaan anak tetapi merupakan perbuatan yang melanggar aturan

2.3 Harga Diri

2.3.1 Pengertian harga diri

Harga diri merupakan satu aspek kepribadian yang dianggap penting dan memberi sumbangan besar bagi keberhasilan seseorang. Penelitian – penelitian menunjukan bahwa harga diri akan mempengaruhi proses berpikir dan bertindak individu, sehingga akan mempengaruhi seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku..

Menurut Loekmono (1992:5) harga diri merupakan suatu kebutuhan yang ada dalam diri setiap manusia yang memerlukan pemenuhan dan kepuasaan. Apabila kebutuhan harga diri dipenuhi maka diharapkan seseorang mempunyai sikap percaya diri, rasa berharga, dan rasa mampu. Sebaliknya apabila kebutuhan harga diri tidak terpenuhi akan mengakibatkan rasa rendah diri, merasa lemah, tidak mampu, merasa tidak berguna, merasa hampa dalam hidupnya, merasa putus asa dan ragu-ragu dalam bertindak.

(45)

wajar, mampu mengekspresikan pendapatnya lewat jalur yang baik dan benar, dan memiliki emosi yang stabil, tidak mudah terpengaruh, karena lebih jelas dalam membedakan hal yang positif dan negatif.

(46)

Harga diri menurut Clemes (1995: 8) adalah perasaan yang selalu terungkap sendiri dengan cara orang bereaksi, sehingga harga diri merupakan apa yang dirasakan mengenai dirinya dan menjadi kompenen utama dalam menentukan suatu visi dan misi kehidupan. Sejalan dengan pendapat Clemes, menurut Klass dan Hodge (dalam Ling dan Dariyo, 2002:36) yang menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi yang dibuat dan dipertahankan oleh individu, yang diperoleh dari interaksi individu dengan lingkungan serta penerimaan, penghargaan, dan perlakuan orang lain terhadap individu tersebut.

Menurut Coopersmith (dalam Goble,1987:264) mendefinisikan self-esteem merupakan penilaian diri yang dilakukan oleh seorang individu

dan biasanya berkaitan dengan dirinya sendiri; penilaian tersebut mencerminkan sikap penerimaan atau penolakan, dan menunjukan seberapa jauh individu percaya bahwa dirinya mampu, penting, berhasil serta berharga.

Ditegaskan pula oleh Worchel,dkk (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003:69) bahwa harga diri merupakan kompenen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang dirinya sendiri yang dimiliki seseorang

(47)

positif dapat menerima kualitas-kualitas dalam kebersamaan dan dapat mendekati orang lain dengan percaya diri tanpa merasa ditolak.

Menurut Pudjijogyanti (1985:56) menyatakan bahwa harga diri merupakan bagian yang membentuk konsep diri tentang siapakah saya dan apakah saya. Hal ini dapat diketahui apabila individu mengadakan interaksi dengan orang lain.

Calhoun (alih bahasa RS. Satmoko, 1995: 71) menjelaskan definisi yang paling tepat untuk menggambarkan self-esteem adalah seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin kita menyukai diri kita semakin baik kita akan bertindak dalam bidang apapun yang kita tekuni.

Aldridge (1993:20) menyebutkan “ Self-esteem is the feeling of self-worth and high self-regard.” Lebih lanjut Brecht ( 2000: 4)

menerangkan “self-esteem is the acceptance of ourselves, by ourselves, for who and what we are at any time in our live. It is associated with the belief

that we are worthwile, capable and useful no matter what has happened in

our life, what is happening, or what may happen.”

Menurut Maslow ( 1984:51) mengungkapkan individu dengan harga diri tinggi akan menghasilkan sikap percaya diri, rasa berharga, rasa kuat, rasa mampu, dan berguna sehingga memiliki sikap positip terhadap perkembangan diri yang lebih lanjut dan berusaha memperbaiki serta mengatasi kekurangan yang dimiliki.

(48)

compensation. Over compensation membuat individu menjadi unggul

dalam suatu bidang tertentu mungkin tidak dapat diatasi dengan over compensation tetapi diatasi dengan usaha mengadakan kompensasi (menge

jar keunggulan pada bidang lain). Kompensasi dapat bersifat positip jika hasilnya berbentuk prestasi yang menonjol di baidang lain, namun dapat pula bersifat negatif jika hasilnya berbentuk sikap dan berperilaku merusak, sombong dan sengaja membuat keributan untuk menarik perhatian orang lain.

Dari pendapat Coopersmith, Maslow, Calhoun, Aldridge, maka peneliti menyimpulkan bahwa harga diri adalah suatu penilaian diri seseorang secara keseluruhan tentang rasa keberhargaannya yang kemudian diekspresikan dalam sikap menerima ataupun menolak, dan hal ini menunjukan sejauhmana seseorang percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil maupun berharga.

2.3.2 Pembentukan harga diri

(49)

Harga diri mengandung pengertian ” siapa dan apa diri saya” segala sesuatu yang berhubungan dengan seseorang selalu mendapat penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinterkasi di mana proses ini dapat menguji individu, yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain.

Bagaimana lingkungan menilai diri seseorang akan berpengaruh bagaimana seseorang menilai keadaan dirinya. Apabila lingkungan menerima keadaan seseorang, apabila lingkungan menyenangi seseorang, maka orang tersebut akan menerima dan menyenangi dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, apabila orang lain menghargai diri seseorang, maka orang tersebut juga akan menghargai dirinya secara baik. Oleh karena itu, hubungan seseorang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya merupakan hal yang sangat penting dalam terbentuknya harga diri.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri

Faktor- faktor yang mempengaruhi harga diri yaitu: (1) pengalaman; (2) pola asuh; (3) lingkungan; (4) sosial ekonomi (Coopersmith, dalam Burns, 1993:122)

(50)

orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya yang meliputi cara orang tua menunjukkan otoritasnya, dan cara memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya (Shochib, 1998: 18). Lingkungan memberikan dampak besar kepada anak melalui hubungan yang baik antara anak dengan orang tua, teman sebaya, dan lingkungan sekitar sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial dan harga dirinya. Sosial ekonomi merupakan suatu yang mendasari perbuatan seseorang untuk memenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial yang berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejalan pendapat Coopersmith, Bretch (2000: 15) berpendapat mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri antara lain:

1) Orang tua

Orang tua adalah sumber yang mempengaruhi kualitas harga diri pada anak, perilaku orang tua terhadap anak akan menimbulkan kesan tersendiri bagi anak. Orang tua yang selalu memberikan perhatian ketika anak berkelakuan baik, memberikan penghargaan untuk usaha anak dalam arti bukan hanya hasil yang dicapai, mengkritik perilaku anak bukan terhadap anak itu sendiri, memberi dorongan kepada anak untuk berbaur dengan anak-anak lain, serta sering memeluk, merangkul anak akan menumbuhkan harga diri yang sehat pada anak. Tetapi kadangkala orang tua yang terlalu perhatian dan kasih sayang sebenarnya justru merusak harga diri anak tanpa disadari, meskipun mempunyai maksud yang baik. Sebagai contoh terlalu memanjakan anak atau terlalu membatasi pergaulan anak. Hasil penelitian Coopersmith menunjukkan bahwa anak yang memiliki harga diri tinggi pada umumnya berlatar belakang orang tua yang memberikan kehangatan dan kasih sayang dengan menerapkan batasan-batasan serta model-model disiplin yang tegas.

2) Teman sebaya

(51)

memandang seorang anak sebagai ahli pada bidang tertentu. Memuji seorang anak karena pandai dalam suatu hal maka hal ini dapat memabantu peningkatan harga diri pada anak. Jika kebutuhan untuk teman yang menyenangkan tidak terpenuhi maka anak dapat memiliki harga diri rendah. Hubungan anak dan teman sebaya saling mendukung rasa harga diri masing-masing. Bila dalam kelompok pergaulan individu terhadap perilaku negatif, maka individu tersebut akan berperilaku negatif juga, karena hal ini menyangkut harga diri dalam kelompok tersebut dengan tujuan agar diterima dalam kelompok.

3) Prestasi

Kemampuan untuk menetapkan tujuan yang realistis dan penghargaan terhadap diri sendiri pada setiap langkah yang dicapai. Prestasi juga merupakan pendorong untuk meningkatkan harga diri pada anak. Seorang anak yang mengembangkan suatu pola tertentu untuk berprestasi dalam jumlah bidang maka anak cenderung percaya bahwa dirinya mampu, dirinya bisa, maka hal ini akan menimbulkan rasa senang dan bangga pada diri sendiri.

4) Diri sendiri merupakan sumbangan terpenting bagi peningkatan harga diri. Karena seseorang dituntut untuk mengevaluasi diri terhadap apa yang telah dilakukan maupun dari penilaian orang lain. Anak yang memiliki harga diri tinggi akan mengutamakan apa yang dapat dilakukan dan apa yang telah dilakukan, dapat menghargai diri sendiri, mengkritik perilaku bukan diri sendiri. Sebaliknya anak yang bersikap sinis, negatif, pesimis, mengkritik diri sendiri bukan perilaku, menetapkan tujuan yang tidak realistis, serta melakukan kemauwan kelompok meskipun berorientasi negatif dengan harapan tidak kehilangan teman, merupakan golongan anak yang memiliki harga diri rendah. Baik buruknya perilaku anak dapat dipengaruhi oleh keadaan harga diri pada anak.

2.3.4 Tingkat Harga Diri

(52)

dan Breenberg (dalam Leary dkk, 1995:529) juga mendukung pendapat di atas yaitu anak yang memiliki harga diri tinggi akan dapat melawan kecemasan dalam dirinya, dapat mengatasi masalah serta kondisi fisik.

Sedangkan menurut Pirera (dalam Mawardi, 2005:21) orang yang memiliki harga diri rendah meramalkan hasil yang negatif dan karenanya mengabaikan potensi-potensi yang dimilikinya. Hal ini juga diperkuat pendapat Sigal dan Bould (dalam Indrayani, 1998:26) yang menyatakan bahwa harga diri rendah cenderung menyebabkan anak berperilaku kurang terpuji karena adanya perasaan kurang mantap terhadap kemampuannya.

(53)

kepada kebutuhan, memiliki ekspektasi yang rendah, kurang percaya diri, malas menyatakan diri terutama kalau memiliki gagasan –gagasan baru.

Senada pendapat tentang tingkatan harga diri ini Loekmono (1993:13) menggolongkan dua tingkatan harga diri yaitu harga diri tinggi dan rendah. Orang dengan harga diri tinggi memiliki ciri-ciri : berpikir cukup tinggi terhadap dirinya, mampu menerima dirinya sendiri dan orang lain, mampu mengontrol akibat, berharap sukses daripada gagal, lebih menaruh keprihatinan pada potensi penghargaan dari lingkungan daripada diri sisi keuangan atau finansial. Sedangkan orang yang memiliki harga diri rendah dengan ciri-ciri : merasa ragu tentang dirinya, menilai dirinya lebih negatif sehingga cenderung mengarah pada merusak dirinya dan ingin dapat sama dengan orang pada umumnya, lebih berorientasi pada finasial, kesulitan dalam menerima orang lain .

(54)

mengatasi kekurangan diri sangat lemah, takut mengeluarkan pendapat, takut terhadap kritik, serta mudah tersinggung.

2.3.5 Aspek-aspek Harga Diri

Menurut Coopersmith ( dalam Buss, 1995: 178) mengemukakan bahwa harga diri meliputi beberapa aspek, yaitu :

1). Rasa diterima, berarti merasa sebagai bagian dari suatu kelompok, dihargai dan diterima oleh anggota kelompok lainnya.

2). Rasa mampu, berarti merasa mampu untuk melakukan sesuatu yang penting karena akan mendorong kemajuan.

3). Rasa dibutuhkan, berarti merasa berharga, berarti dan bernilai.

Senada dengan pendapat Coopersmith, Maslow ( 1984:51) harga diri meliputi beberapa aspek yatu :

1). Perasaan untuk dianggap mampu dan berguna bagi orang lain.

2). Perasaan untuk dihormati, seseorang dihormati oleh orang lain, merasa bahwa dirinya berharga.

3). Perasaan yang dibutuhkan oleh orang lain, sehingga akan merasa bahwa dirinya diterima oleh lingkungan.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Buss (1995: 178) bahwa aspek- aspek harga diri yaitu :

(55)

2). Rasa mampu, berarti seorang individu merasa mampu untuk melakukan sesuatu yang penting bagi diri sendiri dan orang lain, karena akan mendorong kemampuan dirinya.

3). Rasa dibutuhkan, berarti seorang individu merasa dirinya berharga, bernilai dan dibutuhkan dalam lingkup sosialnya. Sedangkan menurut Hjella dan Ziegler (1992: 453) mengemukakan ada enam aspek yang mempengaruhi seorang individu menilai dirinya yaitu aspek : pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik dan pengertian.

Pendapat lain dikatakan Nemiah (dalam Aswagati, 2001:17) mengatakan ada tiga aspek yang mempengaruhi terbentuknya harga diri, yaitu :

1). Aspek fisik meliputi : penerimaan diri yang ditujukkan oleh kemampuan individu untuk menghargai diri sendiri, percaya diri, dan menerima apa adanya atas keadaan yang sebenarnya.

2). Aspek psikologis meliputi : parasaan mampu, ditujukkan oleh kemampuan individu bahwa dirinya mampu dan memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah kehidupan.

3). Aspek sosial meliputi: perasaan dibutuhkan, ditujukkan oleh kemam puan individu bahwa dirinya diterima oleh lingkungannya dan dirinya dianggap berguna bagi orang lain.

(56)

harga diri meliputi perasaan diterima, perasaan mampu dan perasaan dibutuhkan, yang dimiliki oleh individu yang diperoleh berdasarkan atas perlakuan dan penilaian orang lain terhadap individu

2.3.6 Cara meningkatkan harga diri pada anak

(57)

anak agar menyatakan gagasannya sendiri untuk dibicarakan. Keempat anak harus diberi kepercayaan sejak dini diawali dengan keputusan-keputusan kecil, dibutuhkan contoh dari orang tua serta perlunya memotivasi anak untuk berpendapat dan sebagainya.

2.3 Hubungan Pola Asuh dengan kemandirian siswa

Dari penjelasan tentang perkembangan kemandirian, Steinberg (1989:277) menjelaskan bahwa faktor eksternal dalam proses pembentukan kemandirian dimulai dari lingkungan keluarga melalui pola pengasuhan orang tua dalam perlakuannya sehari-hari. Kondisi anak yang tinggal dengan kedua orang tuanya ataupun salah satu orang tuanya, kondisi pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua, banyaknya anggota keluarga merupakan faktor eksternal. Selain itu, dijelaskan pula peran orang tua tunggal ataupun peran orang tua yang keduanya berkarir dalam suatu rumah tangga mengakibatkan orang tua sangat mengharapkan anaknya untuk menjadi lebih mandiri sepanjang hari. Selain itu juga urutan anak dalam keluarga dan jumlah saudara juga mempengaruhi kemandirian anak, karena anak yang lebih tua bisa diberikan tanggung jawab lebih besar banyak oleh orang tuanya.

Dari berbagai macam faktor tersebut nampaknya peranan pola asuh orang tua merupakan interaksi sosial yang pertama kali dialami seorang anak adalah interaksi dengan keluarga terutama dengan orang tua.

(58)

dan bantuan. Oleh karenanya dalam tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, orang tua mempunyai pengaruh paling besar atas perkembangan dan pertumbuhan anaknya, termasuk perkembangan kemandirian anaknya.

Kita semua menyadari bahwa tidak ada satu orang tuapun yang sengaja mendidik anaknya supaya tidak berhasil dalam hidupnya, tetapi kenyataannya orang tua sering kali secara tidak sengaja dan tidak disadari mengambil sikap tertentu dalam memperlakukan atau mengasuh anaknya sehingga akhirnya terbentuk suatu kepribadian tertentu pada diri anak-anaknya yang bisa bersifat positif maupun negatif.

Setiap orang tua memiliki gaya yang unik dalam mendidik anaknya, secara garis besar ada beberapa tipe pola asuh. Menurut Hurlock (1999: 17-18) ada tiga pola asuh anak, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif

(59)

patuh dan menunjukkan sikap penyesuaian diri dengan standard perilakunya yang diberlakukan oleh orang tua. Hal ini terjadi mungkin karena adanya tekanan-tekanan dari orang tua yang memaksa kehendaknya terhadap anak, sehingga anak menjadi tergantung dan tidak mandiri.

Demikian juga pola pengasuhan permisif yang menekankan kebebasan. Dimana orang tua bersikap terlalu lunak pada anak-anaknya, memberikan kebebasan pada anak-anaknya tanpa memberikan norma yang jelas dan tegas (tidak membatasi perilaku anaknya/tanpa kontrol), kurang menuntut, selalu mengiyakan dan menerima keinginan anaknya. Jadi anak diberi kebebasan yang penuh untuk menentukan apa yang akan dilakukannya tanpa kontrol dari orang tuanya.

Pola asuh ini mengakibatkan anak tidak mempunyai pegangan dalam melakukan sesuatu sehingga anak menjadi individu yang tidak bertanggung jawab, tidak mampu mengontrol perilakunya, bingung, cemas dan merasa tidak aman. Anak juga merasa tidak bahagia karena hubungan dengan orang tua tidak hangat, dan merasa orang tuanya tidak memperhatikan, dan pada akhirnya anak kurang memiliki tanggung jawab baik terhadap dirinya maupun pada orang lain termasuk lingkungan sekitarnya sehingga akan menghambat kemandirian anak.

(60)

mau mendengarkan keluhan dari anak dan anak juga diberi kebebasan namun orang tua tetap sebagai kontrol, dan menanamkan sikap disiplin dalam menggerakkan anaknya ketimbang menghukum, serta memberi kebebasan agar anak berekspresi sehingga anak dapat mengembangkan sikap kemandirian, Huxley (dalam anonim,2003:3). Dengan memiliki sikap kemandirian yang tinggi diharapkan anak-anaknya dapat hidup yang layak sesuai harapan dari orang tuanya. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Coopersmith (1989:27) yang menyatakan bahwa anak yang mempunyai kemandirian tinggi adalah mereka yang berasal dari keluarga dimana orang tua diterima secara positif oleh anak dan hal tersebut hanya dapat dijumpai pada pola asuh demokratis.

Menurut hasil penelitian Markum (2002:2) dan Zaff (2002: 5) terungkap fakta bahwa pola asuh demokratis dapat menumbuhkan ikatan antara orang tua dan anak, sehingga akan mendorong kemandirian, pembentukan sifat kerja keras, kedisiplinan, dan komitmen prestatif dan realistis pada anak.

Dari uraian di atas maka pola asuh orang tua memegang peranan yang penting bagi terbentuknya kepribadian yang sehat pada anak-anaknya, daya inisiatif, kepercayaan diri, rasa tanggung jawab, dan lain sebagainya yang merupakan aspek – aspek yang membentuk kemandirian. 2.4 Hubungan harga diri dengan kemandirian siswa

(61)

nilai-nilai dan tujuan hidup seseorang adalah harga diri. Tinggi rendahnya harga diri banyak menentukan sikap, perilaku dan berbagai aspek lain dalam diri anak.

Pada dasarnya setiap anak membutuhkan penghargaan, penerimaan dan pengakuan dari orang lain. Buss (dalam Aswagati, 2001: 18) mengemukakan bila seseorang menilai bahwa dirinya berharga, maka akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena tidak memiliki rasa rendah diri, mempunyai aspirasi yang tinggi dan penghargaan untuk berhasil. Pendapat ini sejalan dengan Coopersmith (dalam Aswagati, 2001: 19) yang mengemukakan bahwa individu dengan harga diri tinggi memiliki karakteristik yang meliputi adanya penilaian positif terhadap keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang dianutnya, lebih mandiri dalam menghadapi lingkungannya, kreaktif, yakin akan gagasan dan pendapatnya dan memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Anak-anak dengan harga diri tinggi melihat dirinya sebagai kompeten dan mempunyai harapan-harapan yang tinggi untuk masa depannya sehingga memiliki motivasi yang lebih tinggi maka anak tersebut juga lebih bahagia dan efektif dalam kehidupan sehari-harinya karena mampu mengatasi kecemasan yang dihadapinya.

2.5 Hubungan Pola Asuh dan Harga diri dengan Kemandirian siswa

(62)

Dari sudut perkembangan anak, keluarga memiliki banyak fungsi, selama masa bayi dan kanak-kanak fungsi dan tanggungjawab keluarga adalah memelihara, mengasuh dan melindungan serta mengajarkan bagaimana anak-anak mengadakan sosialisasi dengan lingkungannya. Seiringnya pertumbuhan dan perkembangan anak, maka juga terjadi perubahan atau penambahan fungsi-fungsi keluarga. Interaksi antara orang tua dengan anak dalam keluarga untuk mendidik anak-anaknya di sebut pola asuh.

Pola asuh orang tua sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak berperilaku, bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan akan mempengaruhi harga diri. Harga diri adalah penilaian seseorang terhadap dirinya yang berkembang dari perasaan diterima kelompok sosialnya, perasaan efesiensi dan produktif serta perasaan berharga, cantik, pandai dan sebagainya.

(63)

Anak perlu diajarkan memiliki rasa percaya diri yaitu perasaan yang teguh pendiriannya, tabah dalam menghadapi masalah, kreaktif dalam mencari jalan keluar dan berambisi dalam mencapai sesuatu. Selain itu perlu diajarkan untuk hormat pada diri sendiri yaitu mempunyai perasaan konstruktif, hormat pada orang lain dan bersyukur pada apa yang dimilikinya. Berbagai cara dapat diupayakan untuk menumbuhkan rasa percaya diri serta hormat diri pada anak oleh orang tua. Diantaranya adalah dengan mendorongnya untuk selalu berupaya menerima kelebihan dan kekurangnya, memberikannya pujian dan hadiah pada perilakunya yang mengarah pada kepercayaan diri dan kemandirian anak itu sendiri. 2.6 Hasil- Hasil penelitian terdahulu

Beberapa hasil penelitian dari sejumlah penemuan emperis yang berkaitatan dengan topik kajian pola asuh dan harga diri dengan kemandirian siswa antara lain:

2.6.1 Penelitian yang berkaitan dengan kemandirian.

1) Verawati (2002) meneliti tantang Pengaruh Pola Hubungan Orang Tua- anak Terhadap Kemandirian Remaja, menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh demokratis terhadap kemandirian. Sedangkan pola asuh yang otoriter dan permisif kurang menunjang terhadap kemandirian .

(64)

bahwa: ada korelasi antara pusat kendali internal, kemandirian dan harga diri secara bersama-sama.

3) Astuti (2005) meneliti Pengaruh Pola Asuh terhadap Kemandirian menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh pola asuh terhadap kemandirian.

4) Kurniastuti (2002) meneliti Kemandirian Siswa SLTP Negeri 4 Sragen Dalam Hubungannya Dengan Pola Asuh Orang Tua dan Urutan kelahiran menunjukan hasil bahwa Pola asuh demokratis memberi sumbangan paling besar terhadap kemandirian siswa dan anak sulung tingkat kemandiriannya lebih tinggi dari anak bungsu dan anak tengah. 5) Krisbintara (2005) meneliti Perbedaan Kemandirian Ditinjau Dari Pola

Asuh Orang Tua Dan Jenis Kelamin Siswa Kelas IX SMA Negeri 1 Pabelan Kabupaten Semarang, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kemandirian dengan pola asuh orang tua siswa berdasarkan jenis kelamin.

6) Utomo (2006) meneliti Hubungan Antara Prestasi Belajar Dengan Kemandirian Siswa Kelas X SMA Bruderan Purworejo, menunjukan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara prestasi belajar dengan kemandirian siswa.

(65)

2.6.2 Penelitian yang berkaitan dengan pola asuh.

1) Indrawati (2002) Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemandirian Remaja di SLTP Muhammadiyah 6 Dau Malang, hasilnya ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh demokratis terhadap kemandirian siswa. Dan hasil penelitian Umayi (2007) tentang Pengaruh Pola Asuh dan Interaksi Sosial terhadap Kemandirian Siswa Don Bosko Semarang juga menyatalan Ada pengaruh yang signifikan antara pola asuh otoriter terhadap kemandirian

2) Bashor (2007) Meneliti Pola Asuh Emosi Anak Balita Yang Ditinggal Kerja Ibu di Luar Daerah menunjukkan bahwa pola asuh terbentuk berdasarkan tingkat pengetahuan dan pengalaman pengasuh.

3) Adji (2003) meneliti Hubungan Pola Asuh Orang Tua, Harga Diri Siswa ”SMU Alternatif” Dengan Agresivitas Siswa ”SMU Alternatif” di Kota Semarang, menunjukkan bahwa ada hubungan pola asuh demokratis dan harga diri dengan agresivitas

(66)

di Kabupaten Semarang dengan hasil penelitian menyatakan bahwa pola asuh demokratis akan membuat nilai- nilai budi pekerti meningkat dan sebaliknya pola asuh otoriter dan permisif akan membuat nilai-nilai budi pekerti menurun.

5) Feronika (2004) meneliti Kebutuhan Berafiliasi Remaja Ditinjau Dari Persepsi Pola Asuh Orang Tua, menyatakan bahwa ada kolerasi yang sangat signifikan antara persepsi terhadap pola asuh orang tua dengan kebutuhan berafiliasi remaja.

2.6.3 Penelitian yang berkaitan dengan harga diri

1) Neolaka (2005) meneliti Hubungan Harga Diri Dan Kecemasan Matematika Dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas 1 SMAN 1 Soe, menyatakan bahwa harga diri tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar matematika. Hal ini didukung hasil penelitian Andrian (2005) dan Kusumawati (2005) meneliti Hubungan Harga Diri dan Konsep Diri Dengan Prestasi Belajar Kelas II SMA Negeri 1 Soe, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan harga diri dengan prestasi belajar.

2) Mawardi (2005) meneliti Hubungan Harga diri dan Kebutuhan Berprestasi dengan Prestasi Belajar Siswa SMA Kristen Satya Wacana Salatiga, meyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara harga diri dengan prestasi belajar siswa.

(67)

yang signifikan antara harga diri dengan perilaku seksual masturbasi pada remaja pria.

4) Dewi ( 2004) meneliti Kecemasan Wanita Memasuki Masa Menopause Ditinjau dari Harga Diri, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara harga diri dan kecemasan wanita memasuki masa menopause.

2.7 Hipotesis Empirik dan Statistik

1. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter anak yang ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ho: rx1.1.y = 0 Tidakada hubungan antara pola asuh otoriter anak yang

ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ha: rx1.1.y > 0 Ada hubungan antara pola asuh otoriter anak yang

ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

2. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif anak yang ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ho: rx1.2.y = 0 Tidak ada hubungan antara pola asuh permisif anak

(68)

SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ha: rx1.2.y > 0 Ada hubungan antara pola asuh permisif anak yang

ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

3. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh demokratis anak yang ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ho: rx1.3.y = 0 Tidakada hubungan antara pola asuh demokratis anak

yang ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ha: rx1.3.y > 0 Ada hubungan antara pola asuh demokratik anak yang

ditinggal orang tuanya dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

4. Ada hubungan yang signifikan antara harga diri dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ho: rx2.y = 0 Tidak ada hubungan antara harga diri dengan

(69)

Ha: rx2.y > 0 Ada hubungan antara harga diri dengan kemandirian

siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

5. Ada hubungan yang signifikan antara pola asuh demokratis anak yang ditinggal orang tuanya dan harga diri secara bersama-sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ho: rx1.3.2.y = 0 Tidakada hubungan antara pola asuh demokratik anak

yang ditinggal orang tuanya dan harga diri secara bersama-sama dengan kemandirian siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan tahun pelajaran 2008/2009.

Ha: rx1.3.2.y >0 Ada hubungan antara pola asuh demokratik anak yang

(70)

63

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1

Jenis dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional, yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari sejumlah subjek penelitian untuk menentukan ada tidaknya suatu hubungan antara suatu variabel dengan variabel lain (Arikunto,1998:31). Dalam penelitian ini diupayakan memastikan hubungan pola asuh anak yang ditinggal orang tuanya (ibunya) dan harga diri dengan kemandirian siswa SMP. Lokasi mengambil di wilayah Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.

3.2

Populasi dan Sampel Penelitian 3.2.1 Populasi

Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah siswa SMP Negeri di wilayah Kecamatan Pabelan yang ditinggal orang tua (ibunya) bekerja di luar kota dengan penyebaran sebagai berikut:

Nomer Nama sekolah Jumlah siswa yang

ibunya bekerja di luar kota/negeri

1 SMPN 1 Pabelan 34 orang

2 SMPN 2 Pabelan 116 orang

3 SMPN 3 Pabelan 45 orang

Gambar

Gambar 1. Model Penelitian
Tabel 3.1 Indikator empirik pengukuran konsep kemandirian siswa
Tabel 3. 2 Indikator empirik pengukuran pola asuh
Tabel 3. 3 Indikator empirik pengukuran harga diri
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENERAPAN MOD EL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PAD A MATA PELAJARAN KEAMANAN PANGAN D I SMK.. Universitas Pendidikan Indonesia

Department of Widya Mandala University Surabayat especially.. those who must write thesis with

The writer be certain opinion that the use of cartoon and picture book story in teaching vocabulary for fifth grade elementary school is very influential, its give

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan motivasi antara yang mendapatkan perluasan pekerjaan ( job enlargement ) dengan yang tidak pada

sementara itu Sahabat MQ/ Pukat FUniversitas Gajah Mada/ juga menilai pemeriksaan terhadap dua pejabat negara yang diduga terlibat dalam kasus baillout Bank Century

2 = Dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario

Berkenaan dengan ekonomi, Brown &amp; Brown (1980:241) mengemukakan bahwa “ekonomi dapat didefinisikan sebagai studi tentang cara bagaimana manusia melalui pranata-pranata

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya