• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Hasil Uji Koefisien Determinasi

2.1 Peneliti Sebelumnya yang Mendukung/Relevan 22 3.1 Jumlah Kepala Keluarga Penerima Bantuan di Kecamatan

Medan Belawan

29 4.1 Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2019 42

4.2 Distribusi Penduduk Menurut Umur 43

4.3 Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2019 44 4.4 Distribusi Prasarana Tempat Peribadatan Tahun 2019 44 4.5 Distribusi Prasarana Tempat Pendidikan Tahun 2019 45 4.6 Distribusi Prasarana Kesehatan Tahun 2019 45 4.7 Karakteristik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Sampel 47

4.8 Karakteristik Berdasarkan Pekerjaan 47

4.9 Karakteristik Berdasarkan Pendapatan Rumah Tangga 48 4.10 Karakteristik Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga 48

5.1 Hasil Uji Multikolonieritas 53

5.2 Hasil Uji Autokolerasi 54

5.3 Hasil Uji Regresi 55

5.4 Hasil Uji Koefisien Determinasi 58

5.5 Hasil Uji Statistik F 60

ix

x

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1 Proses Pengambilan Keputusan Konsumen 9

2 Peta Kecamatan Medan Belawan 41

3 Histogram Normalitas 51

4 Grafik Normal P Plot 52

5 Scatterplot 54

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1 Tabulasi Data Rumah Tangga Miskin Kecamatan Medan Belawan 2 Tabulasi Pengeluaran Pangan

3 Tabulasi Pengeluaran Non Pangan

4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan pada Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Pangan Non Tunai di Kecamatan Medan Belawan

5 Besar Pangsa atau Persentase Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Pangan Non Tunai di Kecamatan Medan Belawan

6 Hasil Regresi Linear Berganda 7 Uji Normalitas

8 Uji Heteroskedastisitas 9 Tabel T Hitung

xi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang penting, terutama bagi negara yang mempunyai jumlah penduduk sangat banyak seperti Indonesia. Pangan merupakan istilah yang sangat penting bagi pertanian karena secara hakiki pangan merupakan salah satu kebutuhan paling dasar dalam pemenuhan aspirasi humanist ik.

Masalah konsumsi pangan dan pemenuhannya akan tetap merupakan agenda terpenting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Status konsumsi pangan penduduk sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pasal 1 Ayat 17 Undang-Undang Pangan (UU No. 7/1996) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau.

Dan Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses, baik secara fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya dan rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut (Hanafi, 2011).

Secara ekonomi, kemiskinan merupakan suatu kondisi kehidupan serta keluarga yang dialami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal hidupnya.

Standar kehidupan atau kebutuhan minimal itu juga berbeda antara satu daerah

dengan daerah lainnya, tergantung kebiasaan/adat, fasilitas transportasi dan distribus i serta letak geografisnya. Kebutuhan minimal tersebut meliputi kebutuhan untuk makanan terutama energi kalori sehingga memungkinkan seseorang bisa bekerja untuk memperoleh pendapatan serta kebutuhan minimal non makanan yang harus dipenuhi (Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2018).

Salah satu indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari pangsa pengeluaran pangan.

Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (2013) menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan pangannya.

Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar sangat erat kaitannya dengan pendapatan yang diperoleh. Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dari besarnya konsumsi atau pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga.

Rumah tangga dengan pendapatan rendah akan mendahulukan pengeluaran untuk kebutuhan pangan. Namun pendapatan rumah tangga bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga. Masih ada faktor lain yang turut memberikan kontribusinya seperti jumlah anggota rumah tangga, pendidikan, serta pekerjaan.

Bantuan pangan non tunai salah satu program pemerintah dalam menanggula ngi kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat kalangan bawah. Program ini

dikeluarkan dengan instrumen Presiden Republik Indonesia (RI) dan kabinet tentang keuangan inklusif yang diselenggerakan pada 26 April 2016 arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurkan secara non tunai agar tidak terjadinya penyimpangan tujuan program. Hal ini disesuaikan dengan peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2016 tentang strategi Nasional Keuangan Inklusif menyatakan bahwa strategi pengelolaa n keuangan dan keterhubungan masyarakat dengan perbankan merupakan upaya untuk mempercepat pengentasan kemiskinan.

Bantuan ini merupakan peralihan dari beras raskin menjadi bantuan non tunai dan jumlah penerima bantuan pangan non tunai (BPNT) ini sama halnya dengan jumla h penerima raskin yang sudah ditentukan. Keluarga penerima manfaat (KPM) akan diberikan uang berjumlah Rp.120.000 dan rencananya akan meningkat ditahun 2020 menjadi Rp.150.000 dalam kartu elektronik yang bisa dibelanjakan di e-warong atau mitra yang sudah ditentukan oleh pemerintah yang tersebar luas di wilayah masing-masing kota atau kecamatan.

Dalam hal ini keluarga penerima manfaat tersebut tidak dapat mencairkan dana tersebut secara tunai melainkan harus membelanjakannya untuk kebutuhan pangan seperti beras dan telur dengan jumlah dan nilai yang telah disesuaikan dengan jumlah bantuan tersebut. Hal ini bertujuan agar lebih tepat guna dan tepat sasaran sebagai upaya pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan dalam upaya terciptannya pengentasan kemiskinan dan terwujudnya ketahanan pangan dalam keluarga penerima bantuan tersebut (KEMENSOS, 2018).

Tabel 1.1 Tujuan dan Manfaat Program Bantuan Pangan Non Tunai

Tujuan Bantuan Pangan Non Tunai Manfaat Bantuan Pangan Non Tunai 1. Mengurangi beban pengeluaran KPM

melalui pemenuhan sebagai kebutuhan pangan

1. Meningkatkan ketahanan pangan di tingkat KPM sekaligus sebagai mekanisme perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

2. Memberi nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM.

2. Meningkatkan efisiensi penyalura n bantuan sosial.

3. Meningkatkan ketetapan sasaran dan waktu penerima Bantuan Pangan bagi KPM.

3. Meningkatkan transaksi non tunai dalam agenda Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

4. Memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan.

4. Meningkatkan pertumbuha n ekonomi di daerah, terutama usaha.

5. Mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjuta n (Sustainable Development Gaols/SDGs).

5. Pengembangan usaha mikro dan kecil di bidang perdagangan

Sumber : Kementrian Sosial Republik Indonesia

Bantuan pangan non tunai di Kecamatan Medan Belawan mulai di implementasika n pada bulan September tahun 2019. Program BPNT ini membuat Keluarga Penerima Manfaat (KPM) membantu dalam memenuhi kebutuhan pokok untuk mencap ai ketahanan pangan di Kota Medan. Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan yang tereletak di Kota Medan. Dalam hal ini kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu kecamatan dengan tingkat rumah tangga miskin terbesar di Kota Medan.

Tabel 1.2 Jumlah Keluarga Miskin per Kecamatan di Kota Medan Tahun 2018

No Kecamatan Jumlah Kepala Keluarga

(KK)

(1) (2)

1 Medan Tuntungan 4096

2 Medan Johor 7317

3 Medan Amplas 5718

4 Medan Denai 7821

5 Medan Area 3575

6 Medan Kota 3656

7 Medan Maimun 3193

8 Medan Polonia 2948

9 Medan Baru 1089

10 Medan Selayang 5210

11 Medan Sunggal 5354

12 Medan Helvetia 5852

13 Medan Petisah 2391

14 Medan Barat 3646

15 Medan Timur 5127

16 Medan Perjuangan 5428

17 Medan Tembung 6918

18 Medan Deli 9931

19 Medan Labuhan 12.351

20 Medan Marelan 12.601

21 Medan Belawan 15.370

Medan 2018 129.250

Sumber : BPS, Medan Dalam Angka 2019

Berdasarkan Tabel 1 bahwa Kota Medan memiliki rumah tangga miskin (pra sejahtera) sebanyak 129.250. Kecamatan Medan Belawan merupakan kecamatan dengan rumah tangga miskin terbesar dengan jumlah 15.370. Selain itu kecamatan Medan Belawan merupakan kecamatan penerima bantuan sosial terbanyak di kota Medan dengan jumlah bantuan 11.499.

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut dengan kata education yang juga diserap dalam bahasa Indonesia menjadi edukasi.

Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau untuk kemajuan yang lebih baik. Pendidikan dapat mengembangkan karakter melalui berbagai macam kegiatan, seperti penanaman nila i, pengembangan budi pekerti, nilai agama, pembelajaran dan pelatihan nilai-nilal moral, dan lain sebagainya (Hanafi, 2011).

Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan oleh manusia untuk tujuan tertentu yang dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Manusia perlu bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Dengan bekerja seseorang akan mendapatkan uang.

Uang yang diperoleh dari hasil bekerja tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi

Pendapatan adalah uang yang diterima seseorang atau bisnis sebagai imbalan setelah mereka menyediakan barang, jasa, atau melalui modal investasi dan digunakan untuk mendanai pengeluaran sehari-hari.Bagi kebanyakan orang, pendapatan paling sering diterima dalam bentuk upah atau gaji. Untuk mendapatkannya tentu harus melakuka n sesuatu terlebih dahulu. Misalnya seperti bekerja di perusahaan, nantinya perusahaan akan membayar dengan uang (Pakpahan dkk, 2013).

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang tersusun atas kepala keluarga (berperan sebagai suami dan ayah) dan beberapa orang yang terkumpul dan tingga l bersama pada suatau tempat di bawah satu atap dalam kondisi yang saling membutuhkan / ketergantungan. Sedangkan jumlah anggota keluarga ialah sekumpula n individu yang hidup berdampingan dalam suatu rumah tangga yang memiliki tujuan yang secara umumnya sama dan saling terikat satu sama lain. Keluarga merupakan bentuk lingkup terkecil dari sistem bermasyarakat dan berlingkungan. Dalam keluarga biasanya dipimpin oleh kepala rumah tangga yang biasa disebut ayah (Hanafi, 2011).

Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti berkeinginan untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang meliputi pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga dan jumlah anggota pada rumah tangga apakah berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) menggunaka n pendekatan metode pangsa atau persentase pengeluaran pangan rumah tangga di Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana persentase pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Medan Belawan?

2. Seberapa besar pengaruh faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang mempengaruhi ketahanan pangan pada rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Medan Belawan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis persentase pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Medan Belawan.

2. Untuk menganalisis pengaruh faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan jumlah anggota keluarga yang mempengaruhi ketahanan pangan pada rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Medan Belawan.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai ilmu pengetahuan bagi penulis dan juga pembaca yang membutuhkan.

2. Sebagai sumber informasi dan juga referensi bagi yang membutuhkan.

3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ketahanan Pangan

Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang ketahanan pangan, pengertia n ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami.Pangan dan gizi merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi setiap saat.

Definisi ketahanan pangan menurut para pimpinan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (termasuk Indonesia) pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Selain itu, organisasi pertanian dan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization) mendefinisika n ketahanan pangan sebagai sebuah kondisi dimana semua masyarakat dapat memperoleh pangan yang aman dan bergizi untuk dapat hidup secara sehat dan aktif.

Di satu sisi untuk menikmati ketahanan pangan harus ada sebuah ketetapan tentang pangan yang aman, bergizi, baik dari segi kuantitatif maupun kualitat if yang dapat mempermudah dalam menentukan ketetapan pangan yang bergizi (Hanafie, 2011).

Bappenas (2014) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.

Dari berbagai pendekatan tersebut, ditunjukan bahwa indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bappenas adalah (1) Kurangnya sandang, pangan, dan papan yang layak, (2) tingkat kesehatan yang memprihatinkan, (3) kurangnya pendidikan yang berkualitas, (4) kurangnya kemampuan membaca dan menulis, (5) terbatasnya kepemilikan tanah dan faktor produksi, (6) kurangnya jaminan kesejahteraan hidup, (7) kurangnya rasa aman, (8) kesejahteraan sosial yang rendah dan lain-lain.

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Menurut International Congress of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakuka n kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan

“harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 (Ariani, 2011).

Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumah tangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahana n pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Emenda, 2016).

2.1.2 Pengukuran Ketahanan pangan

Pengukuran ketahanan pangan dilakukan di berbagai tingkatan dari tingkat global, nasional, regional sampai tingkat rumah tangga dan individu. Pada tingkat global, nasional dan regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusaka n tanaman/ternak/perikanan, rasio stok dengan konsumsi pangan; skor PPH; keadaan keamanan pangan; kelembagaan pangan dana pemerintah; dan harga pangan.

Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, tingkat pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi sehingga hal tersebut dapat menjadi suatu indikator yang dapat dilakukan untuk melakuka n

pengukuran terhadap suatu ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Juliana, 2011).

2.1.3 Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberika n gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/

permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda.

Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningka ta n pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makan (Badan Ketahanan Pangan 2015).

2.1.4 Pangsa atau Persentase Pengeluaran Pangan

Salah satu indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari pangsa pengeluaran pangan.

Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (2013) menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan pangannya.

Pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengelua ra n total penduduk selama sebulan. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan (PF) pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut :

Dimana:

PF = Pangsa atau persentase pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)

(Agustina, 2015).

Dalam konteks analisis ketahanan pangan, pengetahuan tentang proporsi atau pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga merupakan indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting. Hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan total pengeluaran dikenal sebagai Hukum Working. Dalam hukum working menyatakan bahwa ketahanan pangan mempunya i hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga tersebut.

Apabila menggunakan indikator ekonomi, dengan kriteria apabila pangsa atau persentase pengeluaran pangan rendah (≤ 60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga tahan pangan. Sementara itu apabila pangsa atau pengeluaran pangan tinggi (>60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga rawan pangan. (Agustina, 2015).

Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran rendah dan cukup mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan rendah berarti kurang dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Dan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga tahan pangan memiliki kemampuan untuk mencukupi konsumsi energi karena mempunyai akses yang tinggi secara ekonomi juga memiliki akses yang tinggi secara fisik. Rumah tangga rawan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran tinggi dan kurang mengkonsumsi energi.

Pangsa pengeluaran pangan tinggi berarti lebih dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Ini mengindikasikan rendahnya pendapatan yang diterima oleh kelompok rumah tangga tersebut. Dengan rendahnya pendapatan yang dimilik i, rumah tangga rawan pangan dalam mengalokasikan pengeluaran pangannya tidak dapat memenuhi kecukupan energi (Purwaningsih, 2014).

2.1.5 Variabel-Variabel Ketahanan Pangan Pendidikan Ibu Rumah Tangga

Pendidikan memandang manusia sebagai objek. Dikatakan sebagai objek karena manusia itu menjadi sasaran pendidikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, ciri dari sifat pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi perhatian pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan.

Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Hak memperoleh pendidikan bagi setiap warga

negara tidak memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender.

Hal tersebut sudah tertuang dalam UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 C, ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuha n kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia

Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang akan memberikan pendapatan relatif lebih tinggi pula. Oleh karenanya, orang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan untuk memiliki pangan lebih banyak dan lebih bermutu

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan.

Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibanding mereka yang mempunyai pendidikan lebih rendah (Indikator Kesejahteraan Rakyat Medan, 2015).

Seorang ibu memiliki peranan besar dalam keluarga, dialah yang berbelanja pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikan makanan, dan lain- lain. Pendidikan ibu rumah tangga berkaitan dengan pengasuhan dan kesadaran dalam pemberian pangan kepada anak. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kesadaran seorang ibu rumah tangga untuk mencari informasi sebanyak banyaknya dalam usaha mensejahteraka n keluarganya, termasuk informasi tentang pangan dan pengetahuan gizi. Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan pendidikan rendah, maka rata- rata pengetahuan gizi ibu rumah

tangga ini pun rendah. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga, maka semakin kecil persentase pengeluaran untuk pangan (Agustina, 2015).

Pekerjaan

Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang untuk mempertahankan kelangsunga n hidupnya. Raymond (2004) menyatakan bahwa “ Job description is a list of the tasks, duties, and responsibilities that a particular jobentails.” Yang berarti deskripsi pekerjaan adalah sebuah daftar tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang diperluka n oleh pekerjaan tertentu. Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang untuk menghasilkan pendapatan demi mencukupi kebutuhannya. Jenis pekerjaan juga bervariasi. Jenis pekerjaan yang bervariasi tersebut dapat menentukan besar kecilnya pendapatan (Susilowati, 2014).

Pendapatan Rumah Tangga

Pada rumah tangga miskin hampir seluruh pendapatannya dibelanjakan untuk konsumsi pangan. Sayogyo (1994) dalam Hariyani (2016) menyatakan bahwa pendapatan keluarga mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.

Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan itu

mungkin disebabkan menganggur atau setengah menganggur karenan susahnya memperoleh lapangan kerja tetap sesuai dengan yang diinginkan.

Adanya sifat keterbatasan sumberdaya keluarga atau pendapatan yang tersedia akan mempengaruhi adanya prioritas alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang berpenghasilan rendah, sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mencukup i kebutuhan pangan, sehingga persentase pengeluaran untuk pangan akan relatif besar.

Akan tetapi karena kebutuhan pangan relatif terbatas, maka mulai pada tingkat pendapatan tertentu pertambahan pendapatan akan dialokasikan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nonpangan, sehingga pada kondisi tersebut persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun. Peningkatan pendapatan menyebabkan timbulnya kebutuhan- kebutuhan lain selain pangan, sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam peningkatannya tidak sebesar pengelua ra n nonpangan (Citra, 2014).

Hasil penelitian Oktavionita, 1989 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat pengeluaran merupakan fungsi dari total pendapatan. Pada golongan berpendapatan

Hasil penelitian Oktavionita, 1989 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat pengeluaran merupakan fungsi dari total pendapatan. Pada golongan berpendapatan

Dokumen terkait