• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Sebagai ilmu pengetahuan bagi penulis dan juga pembaca yang membutuhkan.

2. Sebagai sumber informasi dan juga referensi bagi yang membutuhkan.

3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ketahanan Pangan

Menurut Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang ketahanan pangan, pengertia n ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami.Pangan dan gizi merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi setiap saat.

Definisi ketahanan pangan menurut para pimpinan negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (termasuk Indonesia) pada World Food Conference Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai budaya setempat. Selain itu, organisasi pertanian dan pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization) mendefinisika n ketahanan pangan sebagai sebuah kondisi dimana semua masyarakat dapat memperoleh pangan yang aman dan bergizi untuk dapat hidup secara sehat dan aktif.

Di satu sisi untuk menikmati ketahanan pangan harus ada sebuah ketetapan tentang pangan yang aman, bergizi, baik dari segi kuantitatif maupun kualitat if yang dapat mempermudah dalam menentukan ketetapan pangan yang bergizi (Hanafie, 2011).

Bappenas (2014) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki.

Dari berbagai pendekatan tersebut, ditunjukan bahwa indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bappenas adalah (1) Kurangnya sandang, pangan, dan papan yang layak, (2) tingkat kesehatan yang memprihatinkan, (3) kurangnya pendidikan yang berkualitas, (4) kurangnya kemampuan membaca dan menulis, (5) terbatasnya kepemilikan tanah dan faktor produksi, (6) kurangnya jaminan kesejahteraan hidup, (7) kurangnya rasa aman, (8) kesejahteraan sosial yang rendah dan lain-lain.

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Menurut International Congress of Nutrition (ICN) di Roma tahun 1992, ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakuka n kegiatan sehari-hari. Definisi tersebut diperluas dengan menambahkan persyaratan

“harus diterima oleh budaya setempat”, hal ini disampaikan dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 (Ariani, 2011).

Terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan dalam rumah tangga yaitu kronis dan transitory. Ketidaktahanan pangan kronis sifatnya menetap, merupakan ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga dalam memperoleh pangan biasanya kondisi ini diakibatkan oleh kemiskinan. Ketidaktahana n pangan transitory adalah penurunan akses terhadap pangan yang sifatnya sementara, biasanya disebabkan oleh bencana alam yang berakibat pada ketidakstabilan harga pangan, produksi, dan pendapatan (Emenda, 2016).

2.1.2 Pengukuran Ketahanan pangan

Pengukuran ketahanan pangan dilakukan di berbagai tingkatan dari tingkat global, nasional, regional sampai tingkat rumah tangga dan individu. Pada tingkat global, nasional dan regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusaka n tanaman/ternak/perikanan, rasio stok dengan konsumsi pangan; skor PPH; keadaan keamanan pangan; kelembagaan pangan dana pemerintah; dan harga pangan.

Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, tingkat pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi sehingga hal tersebut dapat menjadi suatu indikator yang dapat dilakukan untuk melakuka n

pengukuran terhadap suatu ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Juliana, 2011).

2.1.3 Pengeluaran Rumah Tangga

Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberika n gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Tingkat pengeluaran terdiri atas dua kelompok, yaitu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Tingkat kebutuhan/

permintaan (demand) terhadap kedua kelompok tersebut pada dasarnya berbeda- beda.

Dalam kondisi pendapatan terbatas, kebutuhan makanan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli makanan. Seiring dengan peningka ta n pendapatan, maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk bukan makan (Badan Ketahanan Pangan 2015).

2.1.4 Pangsa atau Persentase Pengeluaran Pangan

Salah satu indikator ketahanan pangan dapat dilihat dari pangsa pengeluaran pangan.

Hukum Working 1943 yang dikutip oleh Pakpahan dkk. (2013) menyatakan bahwa pangsa pengeluaran pangan mempunyai hubungan negatif dengan pengeluaran rumah tangga, sedangkan ketahanan pangan mempunyai hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga semakin rendah ketahanan pangannya.

Pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengelua ra n total penduduk selama sebulan. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan (PF) pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut :

Dimana:

PF = Pangsa atau persentase pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)

(Agustina, 2015).

Dalam konteks analisis ketahanan pangan, pengetahuan tentang proporsi atau pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran pangan rumah tangga merupakan indikator ketahanan pangan rumah tangga yang sangat penting. Hubungan antara pangsa pengeluaran pangan dengan total pengeluaran dikenal sebagai Hukum Working. Dalam hukum working menyatakan bahwa ketahanan pangan mempunya i hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Hal ini berarti semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, maka semakin rendah tingkat ketahanan pangan rumah tangga tersebut.

Apabila menggunakan indikator ekonomi, dengan kriteria apabila pangsa atau persentase pengeluaran pangan rendah (≤ 60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga tahan pangan. Sementara itu apabila pangsa atau pengeluaran pangan tinggi (>60 % pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga rawan pangan. (Agustina, 2015).

Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran rendah dan cukup mengkonsumsi energi. Pangsa pengeluaran pangan rendah berarti kurang dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Dan ini mengindikasikan bahwa rumah tangga tahan pangan memiliki kemampuan untuk mencukupi konsumsi energi karena mempunyai akses yang tinggi secara ekonomi juga memiliki akses yang tinggi secara fisik. Rumah tangga rawan pangan adalah rumah tangga yang mempunyai pangsa pengeluaran tinggi dan kurang mengkonsumsi energi.

Pangsa pengeluaran pangan tinggi berarti lebih dari 60 % bagian pendapatan dibelanjakan untuk pangan. Ini mengindikasikan rendahnya pendapatan yang diterima oleh kelompok rumah tangga tersebut. Dengan rendahnya pendapatan yang dimilik i, rumah tangga rawan pangan dalam mengalokasikan pengeluaran pangannya tidak dapat memenuhi kecukupan energi (Purwaningsih, 2014).

2.1.5 Variabel-Variabel Ketahanan Pangan Pendidikan Ibu Rumah Tangga

Pendidikan memandang manusia sebagai objek. Dikatakan sebagai objek karena manusia itu menjadi sasaran pendidikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, ciri dari sifat pertumbuhan dan perkembangan itu menjadi perhatian pendidikan untuk dipengaruhi dan diarahkan.

Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya. Hak memperoleh pendidikan bagi setiap warga

negara tidak memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender.

Hal tersebut sudah tertuang dalam UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 C, ayat 1 dinyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuha n kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia

Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang akan memberikan pendapatan relatif lebih tinggi pula. Oleh karenanya, orang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan untuk memiliki pangan lebih banyak dan lebih bermutu

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan.

Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibanding mereka yang mempunyai pendidikan lebih rendah (Indikator Kesejahteraan Rakyat Medan, 2015).

Seorang ibu memiliki peranan besar dalam keluarga, dialah yang berbelanja pangan, mengatur menu keluarga, mendistribusikan makanan, dan lain- lain. Pendidikan ibu rumah tangga berkaitan dengan pengasuhan dan kesadaran dalam pemberian pangan kepada anak. Pendidikan yang tinggi akan meningkatkan kesadaran seorang ibu rumah tangga untuk mencari informasi sebanyak banyaknya dalam usaha mensejahteraka n keluarganya, termasuk informasi tentang pangan dan pengetahuan gizi. Sebaliknya, ibu rumah tangga dengan pendidikan rendah, maka rata- rata pengetahuan gizi ibu rumah

tangga ini pun rendah. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu rumah tangga, maka semakin kecil persentase pengeluaran untuk pangan (Agustina, 2015).

Pekerjaan

Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang untuk mempertahankan kelangsunga n hidupnya. Raymond (2004) menyatakan bahwa “ Job description is a list of the tasks, duties, and responsibilities that a particular jobentails.” Yang berarti deskripsi pekerjaan adalah sebuah daftar tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang diperluka n oleh pekerjaan tertentu. Pekerjaan adalah mata pencaharian seseorang untuk menghasilkan pendapatan demi mencukupi kebutuhannya. Jenis pekerjaan juga bervariasi. Jenis pekerjaan yang bervariasi tersebut dapat menentukan besar kecilnya pendapatan (Susilowati, 2014).

Pendapatan Rumah Tangga

Pada rumah tangga miskin hampir seluruh pendapatannya dibelanjakan untuk konsumsi pangan. Sayogyo (1994) dalam Hariyani (2016) menyatakan bahwa pendapatan keluarga mepunyai peranan penting dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek disini lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain.

Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan itu

mungkin disebabkan menganggur atau setengah menganggur karenan susahnya memperoleh lapangan kerja tetap sesuai dengan yang diinginkan.

Adanya sifat keterbatasan sumberdaya keluarga atau pendapatan yang tersedia akan mempengaruhi adanya prioritas alokasi pengeluaran keluarga. Keluarga yang berpenghasilan rendah, sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mencukup i kebutuhan pangan, sehingga persentase pengeluaran untuk pangan akan relatif besar.

Akan tetapi karena kebutuhan pangan relatif terbatas, maka mulai pada tingkat pendapatan tertentu pertambahan pendapatan akan dialokasikan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan nonpangan, sehingga pada kondisi tersebut persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun. Peningkatan pendapatan menyebabkan timbulnya kebutuhan- kebutuhan lain selain pangan, sementara pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam peningkatannya tidak sebesar pengelua ra n nonpangan (Citra, 2014).

Hasil penelitian Oktavionita, 1989 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan yang berbeda akan menyebabkan alokasi pengeluaran yang berbeda, karena tingkat pengeluaran merupakan fungsi dari total pendapatan. Pada golongan berpendapatan rendah, persentase pengeluaran untuk pangan lebih besar dibandingkan pengelua ra n lainnya, sedangkan pada golongan berpendapatan tinggi, persentase pengelua ra n pangan lebih kecil dibandingkan dengan pengeluara n lainnya. Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60 - 80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan.

Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan

kebutuhan akan makanan untuk tiap 1% perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soesilowati, 2014).

Untuk komoditas pangan, peningkatan pendapatan tidak diikuti dengan peningka ta n permintaan yang progresif. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel, yang menyatak a n bahwa semakin rendah pendapatan keluarga, maka semakin besar proporsi dari pendapatan tersebut yang dibelanjakan untuk makanan. (Agustina, 2015).

Jumlah Anggota Keluarga

Keluarga adalah orang yang tinggal dalam satu rumah dan memiliki hubungan atau ikatan darah . Orang yang tinggal dalam satu rumah ini menjadi tanggungan rumah tangga tersebut dan pada umumnya kepala keluarga dan ibu rumah tangga secara bersama bertugas untuk bertanggung jawab dalam memenuhi tanggung jawab dalam pemenuhan tanggungan dalam rumah tangga tersebut (Susilowati, 2014).

Hubungan antara besar rumah tangga dengan konsumsi pangan,dimana diketahui bahwa rumah tangga miskin dengan jumlah anak lebih banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan dengan keluarga dengan jumla h anggota lebih sedikit. Semakin besar ukuran keluarga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang dapat didistribusikan pada anggota-anggota keluarga sehingga semakin sedikit pangan yang dikonsumsi (Hariyani, 2016).

2.2 Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)

Bantuan pangan non tunai (BPNT) merupakan kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan dengan metode non tunai, yang mana bantuan tersbut

merupakan kebutuhan pokok (beras dan telur) melalui mekanisme akun elektronik yang digunakan hanya untuk membeli pangan di e-Warong dengan jumlah Rp.150.000.

Program bantuan pangan non tunai ini juga diperkuat dengan instrumen presiden republik Indonesia (RI) dan kabinet tentang keuangan inklusif yang di selenggaraka n pada 26 April 2016 memberikan arahan agar bantuan sosial dan subsidi disalurka n secara non tunai agar tidak terjadinya penyimpangan tujuan program BPNT (KEMENSOS, 2018).

Tujuan Bantuan Pangan Non Tunai

a) Mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagai kebutuhan pangan.

b) Memberi nutrisi yang lebih seimbang kepada KPM.

c) Meningkatkan ketetapan sasaran dan waktu penerima Bantuan Pangan bagi KPM.

d) Memberikan lebih banyak pilihan dan kendali kepada KPM dalam memenuhi kebutuhan pangan.

e) Mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainab le Development Goals/SDGs).

Manfaat Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)

a) Meningkatkan ketahanan pangan di tingkat KPM sekaligus sebagai mekanis me perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

b) Meningkatkan efisiensi penyaluran bantuan sosial.

c) Meningkatkan transaksi non tunai dalam agenda Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

d) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, terutama usaha.

e) Pengembangan usaha mikro dan kecil di bidang perdagangan.

2.3 Landasan Teori Teori Konsumsi

Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money memberikan perhatian besar terhadap hubungan antara konsumsi dan pendapatan. Lebih lanjut Keynes mengatakan bahwa ada pengeluaran konsums i minimum yang harus dilakukan oleh masyarakat (outonomous consumption) dan pengeluaran konsumsi akan meningkat dengan bertambahnya penghasilan.

Konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Penghasila n keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk membeli yang diperlukan untuk hidup. Dalam ilmu ekonomi dikatakan: dibelanjakan untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan, tetapi mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup (Waluyo, 2012).

Teori konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan relatif dikemukakan oleh James Duesenberry dengan bukunya Income, Saving, and the Theory of Consummer Behavior, bermaksud merekonsiliasi hubungan yang tidak proporsional dan yang proporsional antara konsumsi dengan pendapatan dengan maksud agar diperoleh gambaran mengenai alasan sebab- sebab timbulnya perbedaan tersebut.

Di dalam teorinya, Duesenberry menggunakan dua asumsi yang digunakan untuk mengamati faktor- faktor yang dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsums i seseorang, yaitu:

a) Selera rumah tangga atas barang konsumsi adalah Interdependen. Artinya, pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya (tetangga). Jadi faktor lingkungan dapat berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi.

b) Pengeluaran konsumsi adalah Irreversible. Artinya, pola pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasila n mengalami penurunan. Di dalam hal ini dikatakan bahwa pengeluaran konsums i seseorang dalam jangka pendek dapat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan relatif.

c) Pendapatan relatif disini adalah merupakan pendapatan tertinggi yang pernah dicapai oleh seseorang. Sebagai misal, apabila pendapatan seseorang mengala m i kenaikan maka secara otomatis konsumsi juga mengalami kenaikan dengan proporsi tertentu, dan sebaliknya bila pendapatan mengalami penurunan maka akan diikut i juga oleh penurunan konsumsinya. (Waluyo, 2012).

d) Konsumsi itu merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjaka n.

Penghasilan keluarga atau uang masuk sebagian besar dibelanjakan lagi, untuk membeli yang diperlukan untuk hidup. Dalam ilmu ekonomi dikatakan:

dibelanjakan untuk dikonsumsi. Konsumsi tidak hanya mengenai makanan, tetapi mencakup pemakaian barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup.

2.4 Penelitian Sebelumnya

Tabel 2.1 Tabel Peneliti Sebelumnya yang Mendukung/Relevan

No Nama Judul Metode

Penelitan Tujuan Hasil

1 Fisrika

pangan pada rumah

5. Pendidikan

fenomena

tahan pangan dan

Implikasi Serta

RTM di

2.5 Kerangka Pemikiran

Penelitian dilakukan di Kecamatan Medan Belawan dengan responden rumah tangga miskin dan dengan Indikator rumah tangga miskin dalam penelitian ini merupakan

rumah tangga yang menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang tersebar di beberapa kelurahan di Kecamatan Medan Belawan.

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu ketahanan pangan rumah tangga miskin dengan pendekatan pangsa pengeluaran pangan. Dan variabel bebas dalam penelit ia n ini yaitu pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan, pendapatan rumah tangga dan jumlah anggota keluarga.

Keterangan :

: Adanya Hubungan : Adanya Pengaruh

Gambar 2.1 : Skema Kerangka Pemikiran Persentase Pengeluaran Pangan pada

Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Pangan Non Tunai

Pendidikan Ibu Rumah Tangga

Pekerjaan Pendapatan

Rumah Tangga

Jumlah Anggota Rumah Tangga

Ketahanan Pangan

2.6 Hipotesis Penelitian

Faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga dan jumlah anggota pada rumah tangga berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Kecamatan Medan Belawan.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) di kecamatan Medan Belawan kota Medan. Dipilihnya Kecamatan ini dikarenakan memiliki jumla h penduduk miskin terbanyak dan rumah tangga terbanyak penerima manfaat bantuan sosial, berupa Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebesar 11.499 yang tersebar pada beberapa kelurahan di kecamatan Medan Belawan.

Tabel 3.1 Jumlah KK Penerima Bantuan Tertinggi di Kota Medan

No Kelurahan Jumlah Penerima Manfaat

Bantuan (Kepala Keluarga)

1 Medan Belawan 11.499

2 Medan Marelan 9877

3 Medan Labuhan 8452

4 Medan Deli 6511

5 Medan Tembung 4376

6 Medan Perjuangan 3209

Jumlah 43.924

Sumber : Kantor Walikota Medan 2020

3.2 Metode Penentuan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode penelusuran (Accidental Sampling), yaitu pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu dimana penelit i langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang memenuhi kriteria sampel.

31

Kriterianya adalah rumah tangga miskin penerima manfaat Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Data yang telah diperoleh dari penelusuran tersebut, kemudian akan dipilih lagi dengan menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Adapun sampel penelitian yang terpilih dianggap mampu memenuhi dan memberikan informas i sesuai kebutuhan dan tujuan penelitian (Taufik, 2016).

Menurut Sugiono (2011) dalam Taufik (2016), sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga penerima manfaat Bantuan Pangan Non Tunai dan Penentuan besarnya sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode Slovin, dengan rumus:

n=

Dimana:

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Medan Belawan e = kesalahan pengambilan sampel yang ditolerir, dalam hal ini 10%

Dengan demikian, besarnya sampel yang diperoleh sebanyak :

n =

n =

n =

n =

n

= 90,35

= 90 Rumah Tangga

Banyaknya sampel penduduk miskin yang diperoleh dengan metode slovin sebanyak 90 rumah tangga yang ada di Kecamatan Medan Belawan, kemudian akan dipilih dari 90 rumah tangga miskin yang terdiri dari 45 rumah tangga miskin penerima BPNT dan 45 rumah tangga miskin non penerima BPNT. Maka diharapkan besar sampel tersebut dapat mewakili populasi.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber informasi dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh secara tidak langsung melalui pihak ketiga seperti, BPS Kota Medan, internet, dan instansi lain terkait.

3.4 Metode Analisis Data

Untuk identifikasi masalah 1 dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif yaitu dengan melihat pangsa ataupun presentase pengeluaran pangan terhadap total

pengeluaran rumah tangga miskin di daerah penelitian, dan dihitung dengan menggunakan formula :

PF =

Dimana:

PF = Pangsa atau persentase pengeluaran pangan (%) PP = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP = Total pengeluaran (Rp/bulan)

(Agustina, 2015).

Apabila menggunakan indikator ekonomi, dengan kriteria apabila pangsa atau persentase pengeluaran pangan rendah (≤ 60% pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga tahan pangan. Sementara itu apabila pangsa atau persentase pengeluaran pangan tinggi (> 60% pengeluaran total) maka kelompok rumah tangga tersebut merupakan rumah tangga rawan pangan (Purwantini, 2011).

Untuk identifikasi masalah 2 dianalisis dengan menggunakan model regresi linie r berganda untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor (pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan KK, pendapatan rumah tangga, dan jumlah anggota keluarga) terhadap ketahanan pangan penerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dengan menggunaka n pendekatan pangsa pengeluaran pangan pada rumah tangga miskin. Pengolahan data digunakan dengan menggunakan alat bantu software spss 20. Setelah data diolah

menggunakan spss 20, maka dilakukan interpretasi hasil. Dengan model persamaan sebagai berikut:

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+b5X5+ ɛ Keterangan :

Y = Ketahanan Pangan (Persentase).

a = Konstanta.

X1 = Pendidikan Ibu Rumah Tangga (Tahun).

X2 = Pekerjaan Kepala Keluarga (Nelayan (1), Non Nelayan (0), (D1).

X3 = Pendapatan Rumah Tangga (Rupiah).

X4 = Jumlah Anggota Keluarga (Orang).

X5 = Penerima Bantuan(1), Tidak Menerima Bantuan (0), (D2).

b1, b2, ... bi = Koefisien Regresi Untuk Masing-Masing Variabel . ɛ = Eror.

Dalam hal ini pengukuran ketahanan pangan diukur melalui metode perhitunga n persentase pengeluaran pangan dalam rumah tangga. Apabila persentase pengelua ra n

Dalam hal ini pengukuran ketahanan pangan diukur melalui metode perhitunga n persentase pengeluaran pangan dalam rumah tangga. Apabila persentase pengelua ra n

Dokumen terkait