• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

HASIL PENELITIAN

G. Hasil Wawancara dengan Kepala IRM, Tenaga Koder Umum dan BPJS,

G. Hasil Wawancara dengan Kepala IRM, Tenaga Koder Umum dan BPJS,

dan Analising Reporting

Berdasarkan hasil wawancara kepada kepala IRM, koder umum dan BPJS, serta tenaga analising reporting diketahui, di RSUD Tugurejo belum terdapat protap/SOP/kebijakan khusus yang mengatur mengenai penetapan kode penyakit kasus neoplasma, yang ada saat ini hanya langkah-langkah pemberian kode secara umum menggunakan sistem komputer (ICD-elektronik). Hal ini dapat berdampak pada ketidakserasian tenaga rekam medis pada satu acuan institusi, tenaga rekam medis tidak memiliki pedoman kerja dalam menentukan kode neoplasma, serta resiko kesalahan

dalam menetapkan kode tinggi. Dimana kebijakan yang menjadi acuan tersebut semestinya memenuhi kaidah ICD-10. Untuk itu perlu dibuat protap/SOP/kebijakan tentang penetapan kode neoplasma.

Kurang lebih 1 bulan terakhir ini dilakukan pemberian kode morfologi namun masih belum sesuai dengan harapan, kolom penulisannya belum tersedia di DRM. Selain itu sistem pada komputer untuk entry (masukan) data koding yang digunakan belum memuat kode morfologi begitu pula sistem BPJS. Hal ini dapat berdampak kesulitan koder dalam menyajikan informasi kode morfologi pada formulir RM, infomasi pada RL, data registrasi kanker, dan indeks penyakit kurang lengkap, akurat, dan kurang informatif. Dari sisi pasien, gambaran kasus neoplasma yang diderita pasien belum lengkap karena informasi untuk sifat dan perangainya belum ada sehingga kode morfologi dibutuhkan untuk memenuhi aspek kelengkapan. Sehingga perlu bagian PDE sistem RSUD Tugurejo untuk melakukan instalasi sistem RS pada bagian inputan koding, berkesinambungan bagian pelaporan agar memuat masukan kode morfologi kasus neoplasma dan dapat menyajikan informasi yang informatif. sedangkan bagian assembling membuat desain ulang formulir resume keluar (RM 20) pada kolom penulisan kode.

Kendala-kendala tidak dilaksanakannya pemberian kode morfologi antara lain sistem pada komputernya belum ada, kode morfologi tidak tertarik pada data entrian komputer, pada entrian kode INA CBG‟s juga tidak ada, dan terkait pembiayaan rumah sakit kode morfologi tidak berpengaruh dengan kata lain tanpa kode morfologi klaim sudah lolos, hal ini perlu diskusi lebih lanjut antara pihak rumah sakit, asuransi, dan bagian yang terkait pelaporan RS untuk mencapai persamaan persepsi pentingnya kode

morfologi pada kasus neoplasma agar kode yang ditetapkan sesuai kaidah ICD-10. Karena tanpa kode morfologi sama saja kode neoplasma dianggap tidak tepat. Sehingga berdampak seluruh kode neoplasma yang diberikan di RS memiliki kualitas yang buruk.

Diketahui sarana-prasarana yang tersedia dalam membantu penetapan kode penyakit di RSUD Tugurejo terdiri dari, koding umum : unit komputer yang memuat sistem entri-an dan koding, memuat ICD-10 elektronik, ICD-9 berupa PDF, buku ICD-O, PMK (Peraturan Menteri Kesehatan), kamus kedokteran, dan berkas DRM sedangkan koding BPJS : ICD-10 elektronik tahun 2005, ICD-9 cm PDF, kamus kedokteran. Sarana prasarana tersebut menurut koder umum sudah dirasa lengkap untuk membantu penetapan kode penyakit, namun koder umum hanya enggunaan O untuk merujuk referensi saja, sedangkan koding BPJS tidak ada ICD-O dan jika diperlukan maka melalui online. Hal ini berdampak kurang akurat pada kode neoplasma perangai tidak jinak. Karena ICD-O memiliki tingkat spesifikasi lebih besar tentang situs neoplasma tidak ganas dibanding ICD-10. Sedangkan ICD-10 yang digunakan koder adalah elektronik sehingga akan lebih sulit mengetahui kaidah-kaidah yang ada di ICD-10. Untuk itu perlu inventarisasi ICD-O baik di koder umum maupun BPJS.

Dalam menunjang akurasi penentuan kode kasus neoplasma di RSUD Tugurejo, ada beberapa hambatan dengan bagian-bagian terkait selama menentukan kode neoplasma. Bagi koder umum mereka merasa terkait dengan dokter, laborat pemeriksaan penunjang (PA) dengan hambatan sebagian besar tulisan Dokter rusak, sedangkan hasil laborat PA telat. Bagi koder BPJS merasa terkait dengan tim koding, dokter oncology,

bagian keuangan, BPJS, keperawatan, dan laborat. Hambatan dengan dokter terkadang bahasa diagnosannya berubah lebih ke istilah, dengan bagian laboratorium hasil laborat PA telat 7 harian. Hal ini berdampak pada kurangnya tingkat akurasi kode neoplasma yang ditetapkan koder, karena hasil PA menunjukkan struktur dan tipe sel atau jaringan seperti yang terlihat di bawah mikroskop. Yang nantinya dijadikan pedoman menentukan kode morfologi dan kode letak neoplasma. Sedangkan terkait penulisan dokter jika penafsirannya salah dapat terjadi kekeliruan kode yang ditetapkan. Yang nantinya berdampak luas baik finansial RS, biaya pasien, akurasi pelaporan, maupun kualitas rekam medis. Untuk itu perlu diperlukan evaluasi lebih lanjut mengenai kendala-kendala tersebut. Bisa diadakan reward maupun

punishment, dan sosialisasi persamaan persepsi antara koder, dokter, dan

tenaga laboratorium.

Diketahui pemanfaatan RL 4a dan RL 4b kasus neoplasma di RSUD Tugurejo ada beberapa yaitu ; untuk kebutuhan SIRS (Sistem Informasi Rumah Sakit) online, penelitian mahasiswa, permintaan data oncology untuk mengetahui berapa banyak kasusnya, dan untuk data registrasi kanker terkait pemetaan kasus di wilayah. Namun butir informasi yang ada pada RL 4a dan 4b yang sekaligus sebagai indeks elektronik pada penyakit neoplasma belum menggambarkan secara lengkap mengenai kasus neoplasma yang diderita pasien, oleh karenanya kode morfologi sangat dibutuhkan sehingga diperlukan titik temu petugas dan kebijakan RS untuk pemberlakuan kode morfologi agar rumah sakit dapat memanfaatkan RL 4a dan RL 4b secara maksimal.

87 BAB VI

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1. Pada aspek karakteristik diketahui tenaga rekam medis di RSUD Tugurejo secara mayoritas terdiri dari usia dewasa, berjenis kelamin perempuan, berpengalaman kerja 2 - 4 tahun, berpendidikan terakhir D3 RMIK, dan mengikuti pelatihan

2. Pada aspek pengetahuan diketahui, pengetahuan tenaga rekam medis tentang kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10 di RSUD Tugurejo tahun 2016 sebagai berikut ; mayoritas responden mengetahui dengan baik tentang kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10, namun ada beberapa hal yang paling tidak diketahui yaitu tidak dapat membedakan antara buku yang digunakan untuk menentukan kode penyakit dengan yang untuk kode tindakan (80% responden), bab dalam ICD-10 yang berisi tentang neoplasma (70% responden), digit kode morfologi yang menunjukkan sifat neoplasma (90% responden), arti istilah overlapping (60% responden), arti digit perangai kode morfologi neoplasma (50%responden), dan rentang blok yang menunjukkan sifat neoplasms of

uncertain or unknown behavior (70% responden). Pengetahuan

masing-masing responden diketahui mayoritas (70%) memiliki pengetahuan tergolong baik dan 30% kurang baik mengenai kode neoplasma sesuai

kaidah ICD-10. Pengetahuan berdasarkan karakteristik paling baik pada tenaga rekam medis umur 31-37 tahun, tenaga rekam medis jenis kelamin laki-laki, tenega rekam medis lama kerja 8-10 tahun, tenaga rekam medis pendidikan D3 RMIK melanjutkan S1 KesMas, dan yang mengikuti pelatihan.

3. Pada aspek sikap tenaga rekam medis tentang kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10 di RSUD Tugurejo tahun 2016 diketahui, mayoritas responden memiliki sikap mendukung tentang kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10, namun mayoritas responden memiliki sikap kurang mendukung dengan beranggapan bahwa bila tidak ada kode morfologi maka kode neoplasma tergolong tetap tepat, tanpa adanya kode morfologi pelaporan kode neoplasma sudah dianggap lengkap, blok C00-D48 berlaku untuk kode kemotherapy kasus neoplasma, dan mayoritas sikap responden paling tidak mendukung dengan beranggapan bahwa neoplasma jinak sudah pasti bersinonim dengan tumor maupun kanker begitu pula kodenya. Sedangkan sikap masing-masing responden diketahui tenaga rekam medis di RSUD Tugurejo memiliki bobot sikap seimbang antara mendukung dan tidak mendukung tentang kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10.

4. Tidak dilaksanakannya pemberian kode morfologi di RSUD Tugurejo dikarenakan masih terkendala desain formulir dan sistem komputer yang belum sesuai, serta masalah keterkaitan tarif baik asuransi maupun umum.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan evaluasi mengenai kebijakan penetapan kode neoplasma, dengan cara mengamati apakah informasi pelaporan terkait kode letak saja yang dihasilkan sudah memenuhi aspek kaidah ICD-10 dan aspek informatif suatu laporan atau belum.

2. Dibuat protap/SOP/kebijakan khusus tentang kode neoplasma memuat kode morfologi agar sesuai kaidah ICD-10, dengan cara sebelumnya didiskusikan bersama oleh tenaga dokter, koder, asuransi, bagian pelaporan, dan pihak RS terkait administrasi. Setelah itu disosialisasikan kepada seluruh tenaga rekam medis terutama bagian koder umum maupun BPJS.

3. Diberikan pelatihan kepada tenaga rekam medis untuk meningkatkan pengetahuan dan agar mengambil sikap yang baik agar kode neoplasma yang ditetapkan akurat, lengkap, informatif, sesuai kaidah ICD-10, khususnya mengenai ICD dasar dan kode neoplasma sesuai kaidah ICD-10 yang masih belum dikuasai dan paling fatal kesalahannya, antara lain tentang buku yang digunakan untuk membantu mengkode penyakit, bab ICD tentang neoplasma, digit yang menunjukkan sifat neoplasma, blok kode pada neoplasma, mengenai perbedaan kanker, tumor, neoplasma beserta kodenya. pentingnya kode morfologi untuk aspek ketepatan kode pada kasus neoplasma, kriteria pelaporan yang memenuhi aspek kelengkapan informasi pada neoplasma, dan blok kode

4. Diberikan inventaris sarana prasarana koding yang lengkap terutama buku ICD-O disetiap bagian tenaga koder agar kode lebih akurat terutama pada kasus neplasma tidak jinak.

5. Tidak hanya ICD elektronik, tetapi tenaga koder juga perlu ditunjang penggunaan buku ICD manual (volume 1, 2, 3) agar memahami kaidah-kaidah pengkodean dengan baik dan langkah-langkah mengkoding yang benar menggunakan sesuai pedoman pengkodingan penyakit dan tindakan.

6. Dilakukan instalasi sistem komputer rumah sakit untuk memuat masukan data kode morfologi, berkerjasama dengan bagian PDE, hasilnya disosialisasikan ke tenaga koder.

7. Dibuat desain formulir resume keluar baru yang memuat tempat penulisan kode morfologi, dan hasilnya disosialisasikan ke tenaga koder. 8. Karakteristik diperhitungkan juga dalam melakukan seleksi tenaga kerja

rekam medis.

9. Diterapkan kode morfologi agar informasi yang dihasilkan lengkap, kode tepat, akurat, tercapai pemanfaatan Rl 4a RL 4b yang sekaligus sebagai indeks penyakit dengan maksimal, serta memenuhi aspek sesuai kaidah ICD-10.

10. Perlu dilakukan sosialisasi untuk menyamakan persepsi koder, dokter, tenaga bagian laporan pemeriksaan penunjang (laboran) dan kebijakan rumah sakit lainnya yang terkait penerapan kode morfologi dan yang menunjang akurasi kode pada kasus neoplasma.

91