Kecemasan Sebelum Tindakan dan Sesudah Tindakan Siklus I dan
5. Hasil Wawancara
Pada siklus ke II, kelima subyek terlihat lebih antusias saat konseling
saat diberikan tindakan Brief Counseling. Mereka terlihat saling memberikan
dukungan satu sama lain dengan saling berbagi lebih serius lagi dan sungguh-
sungguh mendengarkan teman kelompok lainnya. Mereka juga makin aktif
dan makin relaks selama proses konseling terjadi. Wawancara dilakukan pada
lima orang anak tunanetra di panti asuhan karya murni medan. Wawancara
Medan dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2014. Hasil wawancara dari
kedua suster, menyatakan bahwa anak tunanetra merasakan kecemasan,
kekhawatiran karena keterbatasan mereka dalam penglihatan dan kadangkala
mereka sulit untuk menghadapi perasaan emosi mereka karena anak tunanetra
sulit untuk terbuka. Wawancara dengan kelima subyek dilakukan pada tanggal
29 Desember 2014 untuk mengetahui kondisi mereka setelah mendapatkan
Brief Counseling. Pada tanggal 3 Januari 2015 wawancara dengan kelima
subyek dan salah satu guru BK di SLB A Karya Murni untuk mengetahui
perkembangan niat-niat yang mereka katakana untuk mengatasi kecemasan
mereka. Hasil wawancara dengan subyek dan para pendamping anak tunanetra
dapat dilihat pada lampiran 7.
Berdasarkan hasil wawancara, ke-lima subyek merasakan adanya
penyadaran kembali bahwa subyek memiliki kekuatan positif untuk
memaksimalkan potensi dalam diri meraka tanpa perlu cemas dengan
penilaian orang lain, kata-kata orang lain dan pemikiran bahwa orang normal
sudah menertawakan keberadaan mereka. Namun salah satu dari subyek
ketika diwawancarai, subyek mengutarakan harapannya tetapi subyek selalu
mengatakan bahwa dirinya tidak bisa. Peneliti meminta subyek tersebut
menyebutkan beberapa kelebihannya dan dengan malu subyek
menyebutkannya dengan baik. Sebenarnya mereka ingin menunjukkan
kemampuan mereka yang hampir sama dengan orang normal namun karena
gunanya, hidupnya begitu saja. Hal ini semakin memupuk kecemasan mereka
untuk memaksimalkan potensinya.
Setelah mengikuti Brief Counseling selama 2 siklus subyek
merasa mulai tenang, ketegangan akan situasi di sekeliling mereka mulai
mereda meskipun mereka massih agak ragu, namun keyakinan pada
kelebihan dan potensi mereka serta yakin bahwa banyak orang yang sangat
mengasihi dan akan peduli kepada mereka. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan bahwa konseling kelompok dapat menurunkan kecemasan
setelah diberikan tindakan pendekatan Brief Counseling.
Peneliti dapat melaksanakan konseling kelompok dengan baik,
mulai dari siklus I dan II dengan pendekatan Brief Counseling . Selain itu
peneliti juga berharap dengan pengalaman memberikan layanan konseling
kelompok, pihak panti asuhan khususnya para pendamping di unit-unit
dapat mempelajari Brief Counseling dalam membantu anak-anak tunanetra
mengatasi masalah mereka.
C. Pembahasan
Pada penelitian ini, peneliti melakukan tindakan layanan konseling
kelompok dengan pendekatan Brief Counseling untuk menurunkan
kecemasan kelima anak tunanetra sebagai subyek penelitian. Pendekatan
Brief Counseling berasumsi bahwa klien adalah pihak yang ahli dalam
permasalahannya sendiri. Teknik yang digunakan dalam pendekatan Brief
Counseling ini adalah miracle question, coping question, dan scaling
konseli agar konselor dapat membantunya membuat perubahan dalam
hidupnya. Meskipun dalam proses pemberian layanan konseling dengan
pendekatan Brief Counseling peneliti juga menggunakan teknik-teknik
konseling dalam buku Winkel&Hastuti namun minim.
Berdasarkan wawancara saat subyek mengikuti Brief Counseling,
mereka antusias dan berani mengungkapkan keraguan dan kecemasan
yang membuat mereka menjadi putus asa dan berdiam diri kecuali kalau
ada perintah dari orang-orang normal yang disekitar mereka. Empat orang
dari subyek terlihat senang dan mempraktekkan apa yang mereka niatkan
sedangkan satu orang subyek masih tetap ragu akan penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Subyek sudah menyadari bahwa dirinya memiliki
kecemasan akan penerimaan orang lain terhadap dirinya maka subyek
membatasi dirinya ketika berhadapan dengan orang lain. Spielberger
(dalam Carducci, 2009) membagi kecemasan dalam dua jenis yaitu state
anxiety dan trait anxiety. State anxiety merupakan perasaan ketegangan
dan ketakutan yang terkait dengan aktivitas saraf otonom sedangkan trait
anxiety merupakan karakteristik individu yang pencemas akan
mempengaruhi intensitas kecemasan saat merespon berbagai situasi.
Individu yang memiliki trait anxiety akan cenderung lebih pencemas
dibandingkan individu yang memiliki trait anxiety rendah. Untuk
mengetahui intensitas kecemasan kelima subyek pada setiap siklus
Kelima subyek ini menyadari bahwa kecemasan yang mereka
rasakan yang meliputi perasaan tegang, gugup, khawatir, sedih, muncul
karena subjek memiliki gangguan secara fisik yakni penglihatan yang
lovision dan tidak bisa melihat sama sekali. Barlow dan Durand
(2006:158) mengatakan bahwa kecemasan merupakan keadaan/suasana
perasaan yang ditandai oleh gejala-gejala jasmaniah seperti ketegangan
fisik dan kekhawatiran tentang masa depan (American Psychiatric
Association, 1994;Barlow, 2002). Gangguan penglihatan bagi kelima
subyek merupakan sesuatu yang dianggap mengancam untuk meraih masa
depan yang diharapkan namun akan dihadapi dengan semangat dan tenang
serta keyakinan akan potensi diri sendiri. Keyakinan pada kekuatan positif
pada diri ke-lima subyek mempengaruhi perasaannya sehingga
kecemasan subyek dapat menurun dan mampu berelasi baik dengan orang
lain tanpa prasangka. Hal ini dibenarkan oleh Elford (2010) yang
menjelaskan pada salah satu keutamaan Brief Counseling yakni jika
konseli lebih fokus pada solusi dan kekuatan-kekuatan dirinya
kemungkinan relasi yang terhambat yang diakibatkan oleh rasa tegang,
gugup, khawatir dengan orang lain dapat dihindarkan.
Layanan konseling kelompok pada setiap siklus membantu kelima
subyek untuk saling terbuka dan berusaha untuk menghasilkan perubahan
dalam diri setiap subyek. Mereka saling mendukung dan saling percaya
satu sama lain. Sebagaimana dikatakan dalam buku Winkel & Hastuti
dinamis, yang berpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari. Proses
itu mengandung ciri-ciri teraupetik seperti pengungkapan pikiran dan
perasaan yang leluasa, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian
dan saling mendukung. Pengalaman yang saling percaya dan mendukung
inilah juga yang dirasakan oleh kelima subyek.
Pada setiap siklus, peneliti menjelaskan alasan diadakannya
pertemuan secara bersama sehingga pada awal pertemuan ada kepercayaan
dan kenyamanan selama terlaksananya tindakan Brief Counseling. Selama
konseling kelompok dengan pendekatan Brief Counseling berlangsung,
peneliti mengamati bahwa pada pada siklus I mereka merasa malu-malu
untuk berbicara. Hal ini terbukti dari hasil observasi peneliti lewat ekspresi
wajah mereka yang hanya tersenyum. Meskipun pada akhirnya mereka
mulai terbuka bercerita bebas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh gambaran penurunan kecemasan pada kelima subyek
dengan menampakkan sikap tenang dan relaks saat berhadapan dan
berbicara dengan orang lain setelah mandapatkan layanan konseling
dengan pendekatan Brief Counseling. Mereka mampu menemukan tujuan
mereka dan mengatakan niat-niat mereka untuk mengatasi masalah
mereka.
Hasil wawancara dengan kelima subyek mengatakan bahwa
faktor-faktor yang membuat mereka cemas adalah takut tidak diterima,
suaranya dianggap jelek, merasa bahwa orang lain tidak senang
ancaman bagi mereka. Dalam keadaan buta mereka berpikir bahwa tidak
ada yang lebih bagus yang bisa dikerjakan. Mereka mengatakan bahwa
orang buta itu hidupnya akan begitu saja hanya jalan akhirnya menjadi
tukang pijat. Perasaan dan pemikiran inilah yang menghambat mereka
berkembang secara emosi, maupun kognitifnya. Setelah mendapakan
layanan konseling kelompok dengan pendekatan Brief Counseling mereka
menyadari bahwa perasaan-perasaan yang mereka alami akan bisa diatasi
karena mereka memiliki kekuatan yang positif dan talenta yang
dianugerahkan Tuhan. Kelima subyek merasa yakin pasti bisa untuk
berkarya mencapai cita-citanya. Walter and Peller (1992) menjelaskan
bahwa semua klien dapat memecahkan masalah mereka sendiri dengan
mengekspos, merinci, dan mereplikasi keberhasilan selama pengecualian.
Mereka menyadari bahwa kekuatan dan potensi yang mereka miliki sangat
membantu mereka untuk bisa menggapai kesuksesan yang mereka
harapkan dan dapat lebih tenang menghadapi situasi yang mereka alami
meskipun secara fisik mengalami cacat mata.
Elford (2010) mengatakan bahwa Brief Counseling memiliki
keutamaan yang mengakui bahwa klien memiliki kekuatan-kekuatan dan
memberdayakan kekuatan yang melekat dalam diri mereka untuk
mengatasi masalahnya. Memberdayakan kekuatannya untuk menetukan
tujuannya sendiri sampai konseli dapat membuat keputusan akan
perubahan dalam dirinya. Demikian juga kelima subyek merasa ada
pendekatan Brief Counseling. Mereka yakin bahwa bisa memberdayakan
kekuatan dalam dirinya untuk bisa sukses dan berkembang. Semua
subyek bangga pada potensi dirinya dan mampu menyadari bahwa
diirinya memiliki kekuatan dalam mengatasi masalah yang dialaminya.
Meskipun salah satu subyek menunjukkan peningkatan pada State Anxiety
namun pada suklus II, kecemasan pada subyek menurun baik itu State
Anxiety maupun Trait Anxiety . Artinya bahwa konseling kelompok
dengan pendekatan Brief Counseling dapat menurunkan kecemasan pada
anak tunanetra meskipun dalam proses pelaksanaan tindakan ini ada
beberapa faktor yang mempengaruhi perasaan setiap subyek, seperti
halnya: subyek tidak mampu melaksanakan niat/gool setting yang
dirumuskan dalam proses konseling kelompok, subyek kurang antusias
dalam megikuti proses konseling kelompok baik sebelum maupun saat
diberikan tindakan, serta keraguan untuk mengatakan isi hatinya yang
mendukung usaha subyek untuk bisa menjadi lebih baik.
97