• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASILDAN PEMBAHASAN Analisis RAPD

Amplifikasi PCR-RAPD dengan primer OPAA-01 menghasilkan 36 pita DNA dengan kisaran 364 – 987 bp. Primer OPAA-02 menghasilkan 38 pita DNA dengan kisaran 300 – 2220 bp. Primer OPAA-03 hanya menghasilkan 11 pita dengan ukuran 900 bp. Primer OPAA-09 menghasilkan 46 pita DNA dengan kisaran 310 – 828 bp. Primer OPAA-14 menghasilkan 42 pita DNA dengan kisaran 300 – 1210 bp. Sedangkan primer OPAA-15 menghasilkan 66 pita DNA dengan kisaran 348 – 792 bp (Gambar 1).

OPAA01 OPAA02

OPAA03 OPAA09

OPAA14 OPAA15

Gambar 1. Keragaman Pita DNA Kedelai pada Berbagai Dosis Radiasi Sinar Gamma pada Tanah Salin

Analisis DNA kedelai pada berbagai dosis radiasi sinar gamma yang ditanam di tanah dengan primer OPAA-01 memperlihatkan 4 lokus, hanya 1 lokus yang menunjukkan polimorfisme (25 %). Persentase polimorfisme pada primer OPAA-02 dan OPAA-09 adalah 60 %. Persentase polimorfisme tertinggi ditunjukkan oleh primer OPAA-14 yaitu 83 %. Analisis DNA kedelai dengan menggunakan primer OPAA-03 dan OPAA-15 tidak menunjukkan adanya polimorfisme (Tabel 2).

Persentase polimorfisme pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Khan et al. (2013) yang menunjukkan 98,17% polimorfisme pada berbagai kultivar kedelai dengan cekaman NaCl. Li dan Nelson (2005) serta Singh et al.(2006) melaporkan persentase polimorfisme sebesar 56 dan 53,9 %. Sedangkan Thompson et al. (1998) melaporkan polimorfisme sebesar 36 %. Perbedaan dalam beberapa hasil

134 penelitian tersebut berkaitan dengan sifat materi genetik kedelai yang diselidiki dan urutan primer nya

Tabel 2. Primer dan Jumlah Lokus yang Terbentuk

.

Hasil amplifikasi dengan 6 primer yang digunakan memperlihatkan beberapa pita yang menunjukkan pola pita khusus (Tabel 3). Kekhususan yang ditunjukkan adalah terdapat beberapa lokus yang muncul pada tanaman kontrol (Detam 3) tetapi tidak muncul pada pada tanaman kedelai dengan dosis radiasi tertentu. Pola pita khusus yaitu pada primer OPAA-02, tanaman kontrol memperlihatkan pita dengan ukuran 755 bp, sedangkan tanaman kedelai pada perlakuan radiasi 160, 256, 352, 400, 448 dan 544 tidak menunjukkan adanya pita tsb. Pada primer OPAA-02, kedelai dengan dosis radiasi 448 Gy tidak memiliki pita ukuran 1340 bp, sedangkan kontrol dan tanaman dosis radiasi lainnya memperlihatkan pita tsb. Hal tersebut juga tampak pada primer OPAA-14, tanaman dengan dosis radiasi 256 Gy tidak memiliki lokus DNA dengan ukuran 700 dan 520 bp. Sedangkan tanaman dengan radiasi sinar gamma 496 Gy tidak memiliki pita dengan ukuran 520 bp.

Kekhususan yang lain adalah munculnya pita baru yang tidak dimiliki oleh tanaman kontrol. Pada primer OPAA-02, muncul pita dengan ukuran 2220 bp pada kedelai dengan radiasi sinar gamma 256 Gy. Pada primer OPAA-02 juga muncul pita dengan ukuran 520 bp pada tanaman dengan dosis radiasi 256, 352, 400, 496 dan 544 Gy. Pita yang baru juga muncul pada primer OPAA-09 dengan ukuran 460 bp pada tanaman dengan dosis radiasi 160,208, 256, 304, 352, 448, 496, 544 dan 592 Gy. Pada primer OPAA-14, pita yang baru muncul pada ukuran 1210 bp, 850 bp dan 370 bp.

Kekhususan yang ditunjukkan baik munculya pita baru atau tidak munculnya pita pada tanaman kedelai dengan radiasi sinar gamma dibandingkan tanaman kontrol menunjukkan perbedaan pola pita. Perbedaan pola pita tsb juga mengindikasi perbedaan DNA yang menunjukkan adanya keragaman genetik antara tanaman dengan perlakuan radiasi sinar gamma yang berbeda. Perbedaan ukuran pita DNA yang dihasilkan dari primer yang sama diasumsikan bahwa perbedaan berasal dari lokus yang berbeda. Hasil penelitian ini sesuai dengan Magoub et al. (2016) yang melaporkan munculnya pita baru dan hilangnya pita hasil analisis dengan RAPD pada tanaman kedelai kontrol dibandingkan tanaman yang mendapat cekaman salinitas (NaCl). Analisis RAPD adalah metode yang bermanfaat untuk mendeteksi penanda khusus yang dapat digunakan untuk karakterisasi ketahanan tanaman terhadap salinitas (Iqbal et al., 2007).

No. Primer Jumlah Lokus Polimorfisme Lokus % Polimorfisme

1. OPAA-01 4 1 25 2. OPAA-02 5 3 60 3. OPAA-03 1 0 0 4. OPAA-09 5 3 60 5. OPAA-14 6 5 83 6. OPAA-15 4 0 0

135 Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer spesifik untuk identifikasi ketahanan tanaman kedelai pada cekaman salinitas (Khan et al., 2013). Perbedaan pita pada analisis DNA dengan RAPD antara tanaman dengan perlakuan radiasi sinar gamma yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan/keragaman genetik ketahanan tanaman kedelai pada tanah salin. Setiap tanaman kedelai dengan radiasi sinar gamma yang berbeda pada penelitian ini menunjukkan pita-pita yang berbeda satu sama lain. Hal tersebut menunjukkan setiap tanaman tsb adalah berbeda genetik dan ketahanannya terhadap salinitas.

Analisis Gerombol

Hasil analisis gerombol (cluster analysis) dalam bentuk dendogram menunjukkan kekerabatan antara tanaman kedelai dengan perlakuan dosis radiasi sinar gamma yang berbeda (Gambar 2). Hasil analisis gerombol menunjukkan terdapat 4 kelompok yaitu kelompok A, B, C dan D. Kelompok A adalah tanaman kontrol yaitu Detam-3 dan kedelai

Tabel 3. Analisis Pita DNA pada berbagai Marker Primer Bp Detam 3 Dosis Radiasi 160 208 256 304 352 400 448 496 544 592 OPAA-01 987 + + + + + + + + + + + 755 + + + + 683 + + + + + + + + + + + 384 + + + + + + + + + + + OPAA-02 2220 + 1340 + + + + + + + + + + 740 + + + + + + + + + + + 520 + + + + + 300 + + + + + + + + + + + OPAA-03 900 + + + + + + + + + + + OPAA-09 828 + + + + + + + + + + + 656 + + + + + + + + + + + 460 + + + + + + + + + 393 + + + + + + + + + + 310 + + + + + OPAA-14 1210 + + + 850 + 700 + + + + + + + + + + 520 + + + + + + + + + 370 + + + + + + + + 300 + + + + + + + + + + + OPAA-15 792 + + + + + + + + + + + 601 + + + + + + + + + + + 428 + + + + + + + + + + + 348 + + + + + + + + + + +

136 dengan radiasi gamma 592 Gy dengan kesamaan genetik 89 %. Kelompok B terdiri dari 5 genotipe yaitu kedelai dengan radiasi sinar gamma 160, 352, 544, 208 dan 496 Gy. Jarak genetik tanaman pada kelompok B sebesar 85 % dengan tanaman kontrol. Kelompok C terdiri dari tanaman kedelai dengan radiasi sinar gamma 304 dan 448 Gy dengan tingkat kesamaan 81 % dengan tanaman kontrol (tanpa radiasi sinar gamma). Kelompok D adalah tanaman dengan radiasi sinar gamma 256 Gy dengan tingkat kesamaan sebesar 72 % atau jarak genetik 28 % dengan tanaman kontrol.

Gambar 1. Dendogram Hasil Analisis Pengelompokan Berbagai Genotipe Kedelai pada Radiasi Sinar Gamma yang Berbeda

Perbedaan jarak genetik antara tanaman kontrol tanpa radiasi sinar gamma dengan tanaman yang mendapat perlakuan radiasi sinar gamma menunjukkan adanya keragaman genetik akibat mutasi induksi pada penelitian ini. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Khan et al. (2007) menyatakan keragaman genetik pada tebu akibat mutasi induksi dengan sinar gamma, hasil RAPD menunjukkan kesamaan antara tanaman mutan dan tanaman kontrol menurun dengan meningkatnya dosis radiasi. Atak et al. (2011) juga menggunakan analisis RAPD untuk mendeteksi mutasi pada tanaman Rhododendron. Keragaman genetik tanaman mutan akibat mutasi induksi dengan sinar gamma berbeda dengan tanaman kontrol.

KESIMPULAN

Analisis DNA dengan primer 01, 02, 03, 09,

OPAA-14 dan OPAA-15 pada kedelai yang dimutasi dengan radiasi sinar gamma menghasilkan

239 pita dengan ukuran 300 – 2220 bp. Hasil analisis gerombol menggunakan UPGMA pada program NTSYS PC Software menunjukkan dendogram dengan 4 kelompok dengan tingkat kesamaan 89 % - 72 % antara tanaman kontrol dengan tanaman yang diradiasi sinar gamma. Mutasi induksi dengan radiasi sinar gamma pada kedelai menyebabkan keragaman genetik toleransi tanaman kedelai pada tanah salin.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas dana yang diberikan melalui skim Penelitain Terapan Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2017 – 2018. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Diponegoro.

REFERENSI

Astari, R.P. & R.M. Basyuni. Kemajuan genetik, heritabilitas, dan korelasi beberapa karakter agronomis progeni kedelai F3 persilangan Anjasmoro dengan genotipe tahan salin. J. Pertanian Tropik. 3 (1): 52-61

137 Atak, C., O. Celik & L. Acik. 2011. Genetic analysis of Rhododendron mutants using random amplified polymorphic DNA (RAPD). Pakistan J. of Botany. 43 (2) : 1173 – 1182.

Heimlich, B. & F. Bloetscher. 2011. Effects of sea level rice and other climate change impacts on Southeast Florida‟s water resources. Florida Water Resources J. 20 (1) : 36-46.

Iqbal, M., A. Navabi, D.F. Salmon, R.C. Yang, B.M. Murdoch, S.S. Moore & D. Spaner. 2007. Genetic analysis of flowering and maturity time in high latitude spring wheat. Euphytica. 154 : 207―218.

Juwarno, J & S.Samiyarsih, S. 2017. Anatomical and molecular responses of soy bean (Glycine max (L.) Merr.) due to salinity stresses. Molekul. 12(1) : 45–52. Khan, I.A., M.U. Dahot & A. Khatri. 2007. Study of genetic variability in sugarcane

induced through mutation breeding. Pakistan J. Botany. 39(5): 1489-1501 Khan, F., K.R. Hakeem, T.O. Siddiqi & A. Ahmad. 2013. RAPD markers associated with

salt tolerance in soybean genotypes under salt stress. Applied Biochemistry and Biotechnology. 170(2) : 257–272.

Li, Z., & R.L.Nelson. 2001. Genetic diversity among soybean accessions from three countries measured by RAPD. Crop Sci. 41 : 1337-1347.

Mahgoub, H. A. M., A.R.Sofy , E.A. Abdel-azeem & M.S. Abo-zahra. 2016. Molecular markers associated with salt-tolerance of different soybean ( Glycine max L .) cultivars under salt stress. International J. of Advanced Research in Biological Sci. 3(8) : 241–267.

Mundewadikar, D.M. & P.R. Deshmukh. 2014. Genetic variability and diversity studies in soybean [Glycine max (L.) Merrill] using RAPD marker. International J. of Scientific and Research Publication. 4 (9) : 1- 4.

Rustikawati, E. Suprijono, A. Romeida, C. Herison, S.H. Sutjahjp. 2012. Identification of M4 gamma irradiated maize mutant based on RAPD markers. Agrivita. 34 (2) : 161 – 165.

Shrivastava, P. & R. Kumar. 2015. Soil salinity: a serious environmental issue and plant growth promoting bacteria as one of the tools for its alleviation. Saudi J. of Biological Sci. 22 (2): 123-131.

Singh, R. K., A. Kumar, M. Billore, A. Rani, S.M. Husain & G.S. Chauhan. 2006. Analysis of soybean germplasm using randomly amplified polymorphic DNA markers. The Nucleus. 49 : 165–172.

Thompson, J. A., R.L. Nelson & L. D. Vodkin. 1998. Identification of diverse soybean germplasm using RAPD markers. Crop Sci. 38 : 1348–1355.

Tidke, S. A., D. Ramakrishna , S. Kiran & G. Kosturkova. 2017. Analysis of genetic diversity of 12 genotypes of Glycine max by using RAPD marker. Int. J. Curr. Microbiol. App. Sci. 6(7) : 656–663.

Olufemi, A.G., O.O. Utieyin & O.M. Adebayo. 2010. Assesment of groundwater quality and saline intrusionas in coastal aquifers of Lagos Metropolis, Nigeria. J. of Water Resources and Protection . 2: 849-853.

Williams, S.J.. 2013. Sea-level rise implications for coastal regions. J. of Coastal Research. 63: 184-196.

138

A-16

Persilangan Full Diallel Dua Tetua Varietas Unggul Lokal Anak Daro dan Saqganggam Panuah serta Satu Varietas Unggul Inpari 21

Full Diallel Crosses of Two Parents of Local Superior Varieties Anak Daro and Saganggam Panuah, and One Superior Variety Inpari 21

Selfiria Andelin*, Aprizal Zainal, Etti Swasti

Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang Indonesia *e-mail :selfiriaandelin@gmail.com

ABSTRACT

This study was aimed at determining the ability of cross-breeding parents in forming F1 seeds from several combinations of rice crops cross. The study was conducted in a plastic house, University of Andalas. The artificial cross was done by a full diallel method involving its reciprocal using three parents, Anak Daro, Saganggam Panuah , and Inpari 21 varieties to obtain six combinations of crosses, in which each combination of cross three panicles were crossed and each panicle consisted of 20 spikelets. The experimental result showed that parental cross ability in forming F1 seeds rated from the percentage of F1 seeds formed in several cross combinations ranging from23.33% - 40.00% per panicle with high diversity of parental cross ability. Average percentage of F1 seeds harvested ranged between 44.44% -100.00 of the total F1seedsformed. Cross ability of reciprocal cross combinations with their reciprocal had the the same cross ability in forming F1 seeds by using t test.

Keywords : hybridization, full diallel, cross ability ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan silang tetua dalam membentuk biji F1 dari beberapa kombinasi persilangan tanaman padi. Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2016 sampai bulan Maret 2017 di Rumah Plastik UPT. Farm Lahan Basah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas. Persilangan buatan dilakukan dengan metoda full diallel yang melibatkan resiprokalnya dengan menggunakan tiga tetua yaitu Anak Daro, Saganggam Panuah, dan Inpari 21 sehingga diperoleh enam kombinasi persilangan, dimana setiap kombinasi persilangan disilangkan tiga malai dan setiap malai terdiri dari 20 spikelet. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kemampuan silang tetua dalam membentuk biji F1 yang dinilai dari persentase biji F1 terbentuk pada setiap kombinasi persilangan berkisar antara 23,33%-40,00% per malai dengan keragaman kemampuan silang tetua antar semua kombinasi yang tinggi. Rata-rata persentase biji F1 dipanen berkisar antara 44,44%-100,00% dari total biji F1 terbentuk. Kemampuan silang kombinasi persilangan dengan resiprokalnya memiliki kemampuan silang yang sama dalam membentuk biji F1 berasarkan uji t.

139

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak sumber plasma nutfah padi yang bisa dijadikan sumber materi genetik untuk merakit varietas yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan. Salah satu sumber plasma nutfah yang berpotensi adalah varietas lokal Sumatera Barat, diantaranya Varietas Anak Daro dan Varietas Saganggam Panuah, yang telah dilepas sebagai varietas unggul lokal tahun 2007 dan 2011 ini memiliki kelebihan yaitu tekstur nasi pera, kandungan amilosa tinggi (25,00-30,00%), dan pertanaman luas (Zen, Syarif, dan Yufdy, 2011).

Varietas unggul baru yang telah dilepas juga bisa digunakan sebagai sumber plasma nutfah. Salah satu varietas unggul nasional yang berpotensi adalah Inbrida Padi Irigasi 21 (Inpari 21). Inpari 21 adalah varietas unggul baru dan memiliki keunggulan umur 120,00 hari (genjah), rata-rata hasil 6,40 ton/ha GKG, tahan hama dan penyakit, dan tahan rebah karena memiliki tinggi 96,00 cm (rendah atau ideal) (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012).

Perakitan varietas unggul dalam kegiatan pemuliaan tanaman menggunakan beberapa cara, salah satunya melalui hibridisasi atau persilangan buatan. Persilangan buatan dapat dilakukan melalui beberapa metoda persilangan, salah satunya dengan metode persilangan diallel. Persilangan buatan terdiri dari 3 metoda persilangan diallel yaitu full diallel (melibatkan resiprokalnya), half diallel (tanpa resiprokal) dan partial diallel.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan melakukan persilangan full diallel menggunakan tiga tetua yaitu dua tetua varietas unggul lokal Sumatera Barat yaitu varietas Anak Daro dan varietas Saganggam Panuah serta satu varietas unggul nasional yaitu varietas Inpari 21 untuk mengetahui kemampuan tetua dalam membentuk biji F1.