• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ucapan terimakasih kepada KEMENRISTEKDIKTI yang mendanai penelitian ini.

REFERENSI

Abdullah,B., S. Tjokrowidodo,dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 27 :1-9.

Andoko, A. 2005. Budidaya Padi Secara Organik. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm. Asfaruddin, 1997. Evaluasi ketenggangan galur-galur padi gogo terhadap keracunan

26 aluminium dan efisiensinya dalam penggunaan kalium. Tesis. Program pascasarjana IPB. Bogor.

BAPELUH Kab. Musi Rawas. 2012. Deskripsi Padi Varietas Dayang Rindu.Heriawan.Musi Rawas.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan, 2010. Peta Zona Agro-Ekologi Provinsi Sumatera Selatan. BPTP Sumatera Selatan. Palembang.

Badan Pusat Statistik . 2016. Banyuasin Dalam Angka.

Edi, S., Midverizanti dan D. Novriati. 2015. Kajian Pertumbuhan dan Potensi Hasil Beberapa Varietas Lokal Padi Gogo Tahan Cekaman Kekeringan. Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015 2015. Palembang.

Gusmiatun. 2015. Performance of Agronomical Characteriistics of Rainfed Rice Varieties at Ogan Ilir District, South Sumatra Province. International Journal of Engineering Research and Science & Technology .South Sumatera Province.International Journal of Engineering Research and Science & Technology.ISSN 2319-5991.Vol 5, No.2, May 2016.Pp 27-35‟

Husana, Y. 2010. Pengaruh Penggunaan Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi.

IRRI. 1996. Standard evaluation system for rice (SES). 4th ed. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines.

Lakitan, B. 2008. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 205 hal.

Murata, Y. And S. Matsushima 1978 “Rice” In Evans. L.T. (Ed.) Crop Physiology. Cambridge: University Press. Cambridge. P. 73-99.

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (2011). Provinsi SumateraSelatan yang dapat mendukung Program Lumbung Pangan Nasional[Online]. Available: http//:www.sumselprov.go.id.

Soemardi. 2000. Sistemmatika dan Morfologi padi . Di akses pada 03 april 2017.

Suryana, A. 2008. Petunjuk Teknis lapang.Pengelolaan Tanaman Terpadu(PTT) Padi Gogo. Badan Penelitiandan Pengembangan Pertanian.Departemen Pertanian. hal. 7.

27

A-03

Korelasi antar Berbagai Karakter Agronomis pada Jagung (Zea mays L.) di Tanah Bekas Tambang Batubara

Correlation among Various Agronomic Characters in Maize Planted on Coal Mine Tailing Soil

Rahma Deni Syafitri1*, Benni Satria2, P.K. Dewi Hayati2

1

Program Studi S2 Agronomi Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Andalas 2

Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang, *e-mail : syafitrirahmadeni@gmail.com

ABSTRACT

The purpose of this study was to see the correlation among agronomic characters on maize varieties planted on coal mine tailing soil. This research was conducted from March 2018-May 2018 at the Research Station and Plant Physiology Laboratory Faculty of Agriculture, Andalas University using factorial two factors 6x4 in a completely randomized design. The first factor was Mycorrhyza with 6 arbuscular mycorrhizal fungal treatments while the second factor was variety with 4 corn varieties. Data were analyzed statistically with the F-test at the 5% significance level significant differences and further tested using Duncan‟s Multiple Range Test also at 5% level, then regression and correlation analysis wereperformed. Results showed that a dose of 25 gram per plant gave the best yield in all varieties. Regression analysis shows that there is an effect ofdose of micorhyza at each variable observed. There are high correlation between the percentage of Arbuskular Mycorrhizal Fungi infection at the vegetative stage with those at the harvest stage. Grain yield was correlated with plant height, ear height and cob length.

Keywords : corn varieties, abuscular mycorrhizal fungi, coal mine tailings ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat korelasi antara berbagai karakter agronomis jagung yang ditanam pada lahan bekas tambang batubara. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2018 sampai bulan Mei 2018 di UPT Kebun Percobaan dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Limau Manis, Padang. Penelitian ini dilakukan secara faktorial dua faktor 6x4 dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor I terdiri atas 6 taraf perlakuan sedangkan faktor ke 2 terdiri atas 4 taraf perlakuan dan 3 ulangan. Data dianalisis secara statistik dengan uji F pada taraf nyata 5% dan F hitung lebih besar dari F tabel 5%, maka dilanjutkan dengan uji Duncan‟s Multiple Range Tes (DMRT) pada taraf 5% dan kemudian dilakukan analisis regresi dan korelasi. Dosis 25 gram FMA merupakan dosis terbaik untuk pertumbuhan pada semua varietas yang diuji. Analisis regresi menunjukkan terdapat pengaruh dosis FMA terhadap masing-masing parameter yang diamati. Hasil analisis korelasimenunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara persentase infeksi akar tanaman jagung oleh FMA pada saat vegetatif dengan persentase infeksi akar saat panen. Karakter bobot biji berkorelasi erat dengan karakter tinggi tanaman dan letak tongkol serta panjang tongkol.

28

PENDAHULUAN

Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman pangan dunia terpenting selain gandum dan padi. Beberapa penduduk di Indonesia juga menggunakan jagung sebagai bahan pangan, pakan untuk ternak dan industri. Kebutuhan akan konsumsi jagung di Indonesia terus mengalami kenaikan, hal ini dapat dilihat dari segi terdapatnya permintaan pasar domestik ataupun internasional yang sangat besar untuk kebutuhan pangan dan pakan.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2017) produksi jagung pada tahun 2016 sebanyak 23,58 juta ton, sedangkan pada tahun 2017 sebanyak 26 juta ton hingga sampai saat ini Indonesia masih melakukan impor. Salah satu kendala rendahnya produksi jagung disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan lahan pertanian akibat adanya alih fungsi lahan yang menyebabkan banyaknya terdapat lahan kritis. Lahan bekas tambang batubara merupakan salah satu lahan kritis yang berpotensi untuk dijadikan sebagai lahan pertanian.

Di Sumatera Barat kota yang memiliki lahan bekas tambang batubara yang sudah tidak dimanfaatkan lagi yaitu Kota Sawahlunto. Total luas lahan penambangan batubara di Kota Sawahlunto mencapai 1.000,03 hektar (Dinas Energi Sumber Daya Mineral, 2013). Ratusan hingga ribuan hektar lahan sisa penambangan batubara telah berubah menjadi lahan tidak produktif (Subowo, 2011; Sari, 2012). Permasalahan pada tanah bekas tambang batubara jika dijadikan sebagai areal pertanian adalah tingkat kesuburannya yang rendah, kerusakan struktur fisik dan terdegradasinya unsur hara (Qomariah, 2003; Subowo 2011; Kumar, 2013)

Ditinjau dari aspek teknis, areal bekas tambang batubara dapat digunakan untuk budidaya pertanian jika telah dilakukan perbaikan kondisi lahan dengan cara melakukan reklamasi pada areal lahan bekas tambang batubara (Subowo, 2011). Simarmata (2004) menyebutkan salah satu strategi dan upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Mikoriza berperan penting dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap unsur logam beracun, ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan cara melepaskan P yang terfiksasi oleh Al dan Fe sehingga P dapat tersedia bagi tanaman (Bolan, 1991; Cho et al., 2006; Subramanian, 2006; Setiadi dan Setiawan, 2011).

Selain penggunaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA), diperlukan penggunaan varietas tanaman jagung yang sesuai untuk dibudidayakan pada tanah bekas tambang batubara agar nantinya mendapatkan hasil yang bagus. Hasil jagung merupakan produk dari proses pertumbuhan yang terjadi dan dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Efisiensi seleksi dapat ditingkatkan melalui penggunaan keriteria seleksi yang didasarkan pada sifat-sifat yang berkaitan erat terhadap hasil. Dalam pemuliaan tanaman keterkaitan antar sifat diukur melalui analisis korelasi, baik secara fenotipik maupun genotipik. Saat ini, hanya varietas bersari bebas Sukmaraga yang tahan terhadap lahan masam (Balitsereal, 2010). Namun belum ada varietas hibrida komersial yang dapat tumbuh baik dalam kondisi lahan masam. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis telah melakukan penelitian dengan judul “korelasi parameter pertumbuhan dengan hasil varietas jagung (Zea mays L.) pada tanah bekas tambang batubara.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari 2018 sampai bulan Mei 2018 yang bertempat di UPT Kebun Percobaan dan laboratorium fisiologi tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Limau Manis, Padang. Seleksi beberapa varietas jagung terhadap dosis mikoriza pada lahan bekas tambang batubara dilakukan dilapangan untuk melihat penampilan agronomis kemudian dilanjutkan dengan metode teknik pewarnaan akar (root staining) (Philip dan Heymen, 1979) di laboratorium. masing-masing dengan dengan pemberian perlakuan berbagai dosis FMA. Penelitian ini dilakukan secara faktorial dua faktor 6x4 dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor I terdiri atas 6 taraf perlakuan (dosis FMA 0 g/polybag, 5 g/polybag, 10 g/polybag, 15 g/polybag, 20 g/polybag, 25 g/polybag), inokulan FMA yang digunakan jenis multispora

29 dengan jenis Glomus sp, Gigaspora sp, dan Cytospora sp yang diperoleh dari koleksi di Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Sedangkan faktor ke 2 terdiri atas 4 taraf perlakuan (varietas Bisi-2, NK-99, P 3.2, Sukmaraga) dan 3 ulangan. Kemudian dilakukan analisis regresi dan korelasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Presentase Akar Terinfeksi FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula)

Hasil analisis secara statistik dengan uji F pada taraf 5% menunjukkan bahwa interaksi dosis FMA dan varietas serta faktor tunggal dosis berpengaruh nyata terhadap persentase akar terinfeksi FMA pada saat pertumbuhan vegetatif (Tabel 1) dan setelah dilakukan pemanenan (Tabel 2).

Tabel 1.. Persentase Akar Terinfeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Saat Pertumbuhan Vegetatif Varietas Jagung

Keterangan: Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama adalah berbedatidak nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 1 dapat dilihat persentase akar terinfeksi FMA pada saat pertumbuhan vegetatif varietas jagung yang dievaluasi. Pada perlakuan FMA 25 gram merupakan dosis terbaik yang didapatkan. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase akar terinfeksi FMA pada perlakuan FMA 25 gram memiliki kriteria sangat tinggi. Varietas NK-99 merupakan varietas yang memiliki persentase infeksi akar tertinggi yaitu sebesar 92,5%. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pada masa vegetatif dan generatif masing-masing varietas tanaman jagung bahwasanya pertumbuhan terbaik terdapat pada perlakuan FMA 25 gram. Berbeda dengan perlakuan FMA 0 gram memiliki kriteria infeksi yang redah.

Presentase infeksi tanaman jagung setelah dilakukan pemanenan dosis perlakuan FMA terbaik juga terdapat pada perlakuan FMA 25 gram. Pada masing-masing varietas memiliki persentase infeksi yang lebih besar dibandingkan dengan presentase akar terinfeksi FMA pada saat pertumbuhan vegetatif . Hal tersebut sejalan dengan nilai korelasi yang sangat kuat antara presentase FMA pada saat pertumbuhan vegetatif tanaman jagung dengan presentase FMA pada saat telah dilakukan pemanenan yaitu sebesar 0,97. Terdapatnya korelasi yang sangat kuat antara dua variabel yang diamati tersebut menunjukan bahwa semakin banyak dan semakin lama mikoriza yang diaplikasikan pada akar tanaman jagung, maka semakin tinggi pula tingkat asosiasi akar dengan mikoriza dan kolonisasi yang terjadi. Tanaman jagung merupakan tanaman semusim dan banyak memiliki akar serabut sehingga mikoriza dapat bersimbiosis baik dengan akar tanaman.

Dosis FMA (g)

Varietas Jagung

Bisi-2 NK-99 P 3.2 Sukmaraga 0 21,3Af ± 4,2 20,5Af ± 1,6 20,5Af ± 1,6 21,6Ae ± 2,8 5 37,33Ae ± 6,5 34,5Abe ± 7,7 36,6Ae ± 2,3 39,33Ad ± 6,5 10 44,5Ad ± 3,5 48,5Ad ± 0,7 44,0Ad ± 2,8 42,5ABd ± 2,1 15 61,8Bc ± 3,5 67,0Ac ± 3,5 60,6BCc ± 3,5 70,6Ac ± 7,0 20 78,8Ab ± 0,7 79,0Ab ± 1,4 80,0Ab ± 1,4 81,16Ab ±1,4 25 89,0Aa ± 3,7 92,5Aa ± 2,5 88,6Aa ± 5,1 88,8Aa ± 2,5 KK = 5,15%

30 Faktor lain yang menyebabkan terdapatnya korelasi yang sangat kuat antara dua variabel tersebut karena terdapatnya infektivitas mikoriza yang diaplikasikan. Invektifitas merupakan kemampuan sebagai daya jamur untuk menginfeksi dan mengkoloni akar tanaman. Mikoriza yang digunakan berasal dari rhizosfer tanaman jagung sehingga terdapat kompetibel antara tanaman jagung yang di evaluasi dengan mikoriza yang diberikan. Infektivitas mikoriza dipengaruhi oleh spesies cendawan, tanaman inang, interaksi mikrobial, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antara cendawan mikoriza yang disebut dengan faktor biotik dan faktor lingkungan tanah yang disebut dengan faktor abiotik (Solaiman dan Hirata 1995).

Tabel 2. Persentase akar terinfeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada saat setelah dilakukan pemanenan jagung

Keterangan: Angka yang diikuti huruf besar yang sama pada baris yang sama dan angka- angka .yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama adalah berbeda tidak .nyata pada uji DMRT pada taraf 5%.

Hasil analisis regresi linear presentase terinfeksi akar oleh FMA pada masa vegetatif menghasilkan persamaan Y= 2,8x + 21,7 sedangkan pada saat telah dilakukan pemanenan menghasilkan persamaan Y= 3,0x+23,2 ini menunjukan nilai regresi yang positif. Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin meningkatnya dosis FMA maka semakin meningkat pula presentase FMA yang terjadi baik pada saat masa pertumbuhan vegetatif maupun pada saat telah dilakukan pemanenan.

Korelasi Parameter Pertumbuhan dengan Hasil Varietas Jagung (Zea mays L.)

Hasil Korelasi parameter pertumbuhan dengan hasil varietas jagung pada lahan bekas tambang batubara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Korelasi Parameter Pertumbuhan dengan Hasil Varietas Jagung pada Lahan Bekas Tambang Batubara

Dosis FMA (g)

Varietas Jagung

Bisi-2 NK-99 P 3.2 Sukmaraga 0 23,3Af ± 4,2 21,6Ae ± 1,6 21,0Ae ± 1,6 19,8ABf ± 2,8 5 38,0BCe ± 6,5 42,0Bd ± 7,7 48,8Ad ± 2,3 46,3Ae ± 6,5 10 46,8Ad ± 3,5 49,0Ac ± 0,7 43,8ABc ± 2,8 43,3Bd ± 2,1 15 72,1Ac ± 3,5 72,0Ab ± 3,5 72,0Ab ± 3,5 67,6Bc ± 4,0 20 89,8Ab ± 0,7 92,3Aa ± 1,4 91,6Aa ± 1,4 87,6Bb ± 1,4 25 96,0Aa ± 3,7 94,6Aa ± 2,5 92,3Ba ± 5,1 92,5Ba ± 2,5 KK = 3,36

Variabel Tinggi letak tongkol

Panjang tongkol

Diameter tongkol

Bobot biji per tongkol Tinggi tanaman 0,79***** 0,30*** -0,13** 0,49*** Tinggi letak tongkol 0,29*** -0,09** 0,41*** Panjang tongkol 0,10** 0,38*** Diameter tongkol 0,04**

31 Keterangan : *=Tanpa Korelasi; **=Korelasi sangat lemah; ***=Korelasi cukup kuat;

****=Korelasi Kuat; *****=Korelasi sangat kuat; ******=Korelasi sempurna. Pada Tabel 3 dapat dilihat koefisien korelasi parameter pertumbuhan dengan hasil varietas jagung pada lahan bekas tambang batubara. Semua sifat berkorelasi positif dengan hasil tanaman jagung. Berdasarkan derajat keeratannya, tinggi tanaman memiliki keeratan dengan hasil paling tinggi (r=0,49), diikuti berturut-turut oleh tinggi letak tongkol (r=0,41) dan panjang tongkol (r=0,38).

Hubungan antara sifat pertumbuhan dengan komponen hasil memiliki arah yang positif dan negatif. Hubungan sangat kuat ditunjukan oleh tinggi tanaman dengan tinggi letak tongkol (r=0,79). Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) tingkat kerebahan tanaman jagung mempunyai hubungan dengan tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol. Tanaman yang tinggi cenderung lebih mudah rebah dibandingkan dengan tanaman yang pendek. Kemudian panjang tongkol dan diameter tongkol memiliki korelasi yang cukup kuat dengan bobot biji per tongkol tanaman jagung.

Panjang tongkol dan diameter tongkol mempengaruhi produksi jagung karena semakin besar panjang tongkol dan diameter tongkol yang dimiliki, maka semakin besar ruang untuk tumbuh dan berkembangnya biji jagung. Peningkatan berat biji diduga berhubungan erat dengan besarnya fotosintat yang dialokasikan ke bagian tongkol. Semakin besar fotosintat yang dialokasikan kebagian tongkol semakin besar pula penimbunan cadangan makanan yang ditranslokasikan kebiji sehingga dapat meningkatkan berat biji, namun sebaliknya semakin menurun fotosintat yang dialokasikan kebagian tongkol maka semakin rendah pula penimbunan cadangan makanan yang ditranslokasikan kebiji sehingga dapat menurunkan berat biji.

KESIMPULAN

Pemberian perlakuan FMA mampu meningkatkan pertumbuhan varietas tanaman jagung yang dievaluasi dengan dosis terbaik terdapat pada perlakuan 25 gram FMA. Hasil analisis korelasi menunjukan varietas tanaman jagung yang bereproduksi tinggi dicirikan dengan variabel tinggi tanaman, panjang tongkol, dan diameter tongkol.

REFERENSI

Bolan, N. S. 1991. A Critical Review On The Role Of Mycorrhizal Fungi In The Uptake Of Phosphorus By Plants. Plant And Soil 134: 189-207p.

Cho, K., H. Toler, J. Lee , B. Ownley, J. C. Stutz, J. L. Moore, R. M. Augé. 2006. Mycorrhizal symbiosis dan response of sorghum plants to combined drought dan salinity stresses. J. Plant Phy. 163: 517-528.

Moedjiono dan M.J. Mejaya. 1994. Variabilitas Genetik Beberapa Karakter Plasma Nutfah Jagung Koleksi Balitan Malang. Jurnal Zuriat 5(2) : 27-32.

Qomariah R. 2003. Dampak Kegiatan Pertambangan Batubara Tanpa Ijin (PETI) terhadap Kualitas Sumberdaya Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. [Tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB.

Sari, R. M. 2012. Produksi dan nilai nutrisi rumput gajah Pennisetum purpureum cv. taiwan yang diberi dosis pupuk N,P,K berbeda dan CMA pada lahan kritis tambang batubara. Ilmu Peternakan. Universitas Andalas. Padang.Andalas. Padang.

Setiadi, Y dan A. Setiawan. 2011. Studi status fungi mikoria arbuskula di areal rehabilitasi pasca penambangan nikel. Jurnal silvikultur. 3 (1): 88-95.

Subowo, G. 2011. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan Dan Upaya Reklamasi Pasca Tambang Untuk Memperbaiki Kualitas SumberdayaLahan Dan Hayati Tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan.Vol. 5 No. 2:83-94.

Subowo, G. 2011.Penambangan system terbuka ramah lingkungan dan upaya reklamasi pasca tambang untuk memperbaiki kualitas sumberdaya lahan dan hayati tanah. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No. 2, Desember 2011. ISSN 1907-0799.

32 Grown Tomato Plants to Arbuscular Mycorrhizal Fungal Colonization Under Varying Intensities of Drouhght Stress. Scientia Horticulturae. 107 (3): 245-253.

33

A-04

Aplikasi Berbagai Tingkat Dosis N dan P Pada Mutu Benih Kedelai di Tanah Ultisol

Application of Various Doses of N and P Fertilizer on The Quality of Soybean Seeds on Ultisol Soil

Agustiansyah1*, Paul B. Timotiwu1, Yayuk Nurmiaty1, Risma Rahmawati2

1Jurusan Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Universitas Lampung; 2Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Jl. Prof.

Soemantri Brodjonegoro, No 1, Bandar Lampung 35145 *e-mail: agustiansyah.1972@fp.unila.ac.id

ABSTRACT

The aims of the research are (1) to determine influencing of N and P doses in Ultisol, (2) to know optimum N and P doses to produce high quality of soybean seed. The research has done on April-August 2017 in Laboratory of Seed and and Plant Breeding Faculty of Agriculture, University of Lampung. Seed of Wilis variety treated with N and P fertilizer is used to be sample. The results of this research are (1) N and P doses until 150 kg/ha increased quality of seeds (viability, index vigor, seed weight), (2) doses 150 kg/ha urea + 150 kg/ha SP-36; urea 150 kg/ha + 100 kg/ha SP-36 and doses of urea 150 kg/ha + 50 kg/ha SP-36 produced viability of 98.7%; 98%, and 98%, respectively. Combination of Nitrogen and Phosphate 150 kg/ha urea and SP 36 120 kg/ha is maximum to produce weight of 100 soybean seeds (12,8 g).

Keywords : Seed weight, viability, vigor, nitrogen, phosphate

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh peningkatan dosis N dan P pada mutu benih kedelai yang diproduksi pada tanah Ultisol (2) mengetahui dosis N dan P optimum untuk menghasilkan mutu benih kedelai yang tinggi. Penelitian dilaksanakan pada April-Agustus 2017 di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Benih yang diuji mutunya merupakan hasil panen kedelai varietas Wilis yang telah diberi perlakuan pemupukan N dan P bertingkat. Perlakuan pemupukan disusun secara faktorial (4x2) dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS) dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis P (0; 50; 100; 150 kg/ha SP-36). Faktor kedua adalah dosis N yaitu 0; 75 dan 150 kg/ha urea. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) Peningkatan dosis N dan P sampai 150 kg/ha akan meningkatkan mutu benih (bobot 100 butir benih, bobot kering kecambah normal,viabilitas dan indeks vigor benih), (2) Pemupukan N dengan dosis urea 150 kg/ha + 150 kg/ha SP-36, urea 150 kg/ha + 100 kg/ha SP-36 dan dosis urea 150 kg/ha + 50 kg/ha SP-36 menghasilkan viabilitas masing-masing sebesar 98,7%; 98%, dan 98%). Pemupukan N dengan dosis 150 kg/ha urea dan 120 kg/ha SP-36 menghasilkan bobot 100 butir maksimum (12,8 g).

34

PENDAHULUAN

Kedelai [Glycine max (L.) Merr] merupakan salah satu komoditas pangan penting di Indonesia. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin beragamnya pemanfaatan kedelai maka permintaan kedelai juga terus meningkat, sehingga perlu didukung dengan peningkatan produksi. Perluasan areal tanam dan peningkatan produktivitas merupakan salah satu usaha yang dapat ditempuh yang didukung oleh penyediaan benih kedelai yang bermutu.

Kendala yang dihadapi dalam perluasan areal tanam adalah ketersediaan benih yang terbatas khususnya di luar pulau Jawa. Di Lampung, kedelai sering ditanam di lahan kering berupa tanah Ultisol. Masalah yang dihadapi pada tanah Ultisol adalah defisiensi hara makro (N, P, K), toksisitas/keracunan hara mikro (Al dan Mn), pH tanah yang rendah (<5,5), populasi mikroorganisme tanah yang menguntungkan sedikit (Mulyani et al., 2006; Utama, 2008). Pemupukan yang berimbang antara nitrogen dan fosfat salah satu cara untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman optimum pada tanah masam disamping pengembangan varietas yang dapat beradaptasi pada tanah masam (Kuswantoro et al., 2014; Adie dan Krisnawati et al., 2016).

Benih bermutu dihasilkan melalui proses produksi yang optimum. Proses produksi yang optimum dapat dicapai melalui penerapan prinsip-prinsip agronomi dan genetika. Salah satu prinsip agronomi yang sangat mempengaruhi mutu kedelai adalah pemupukan terutama di lahan marjinal seperti tanah Ultisol. Pemupukan pada tanaman harus diberikan dengan dosis yang tepat. Pemupukan yang dilakukan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi terutama N dan P bagi tanaman sehingga biji yang dihasilkan dapat dijadikan benih bermutu fisiologis tinggi (daya kecambah, indeks vigor, berat kering kecambah normal) maupun mutu fisik tinggi (bobot 100 butir benih).

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa dosis P yang tepat mampu meningkatkan bobot 100 butir benih jagung (Iqbal & Chauhan, 2003), bobot 100 butir benih kapas diikuti dengan meningkatnya viabilitas dan bobot kering kecambah (Sawan et al., 2007). Pemupukan nitrogen meningkatkan kualitas benih seperti viabilitas, panjang tajuk, dan bobot kering kecambah normal benih gandum (Seadh et al., 2009). Tarakegn & Kibret (2017) melaporkan bahwa terdapat interaksi antara fosfat dan nitrogen dalam meningkatkan tinggi tanaman, bobot 100 butir, dan produksi kedelai per hektar.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini bertujuan (1) mengetahui pengaruh peningkatan dosis N dan P yang diberikan pada mutu benih kedelai, (2) mengetahui apakah terdapat dosis N dan P yang tepat untuk menghasilkan mutu benih kedelai yang maksimum.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada April-Agustus 2017 di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Benih yang diuji mutunya berasal dari tanaman kedelai varietas Wilis hasil panen 12 Juli 2017 yang telah diberi perlakuan pemupukan N dan P bertingkat. Karakteristik tanah yang digunakan adalah pH 4,3; Nitrogen 0,24%, kandungan P 6,88 ppm (Hasil analisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fak. Pertanian Unila). Rancangan perlakuan pemupukan disusun secara faktorial (4x3) dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Faktor pertama adalah dosis fosfat yang terdiri atas 4 taraf, yaitu 0 kg/ha 36, 50 kg/ha 36,100 kg/ha 36, dan 150kg/ha SP-36. Faktor kedua adalah dosis nitrogen yang terdiri atas 3 level, yaitu 0 kg/ha urea, 75 kg/ha, dan150 kg/ha urea . Masing-masing perlakuan diulang tiga kali.