ANDAI Soekarno dan Hatta tidak berpisah sebagai Dwitunggal, barangkali jalan sejarah Indonesia akan berbeda. Boleh saja kita berandai-andai seperti itu, tetapi yang terjadi pada sejarah adalah bahwa pada waktu itu, 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden, dan dengan demikian Dwitunggal bercerai. Pengunduran diri Hatta dalam situasi bangsa yang masih belum menentu pasca-Pemilihan Umum 1955 ini mengundang banyak pertanyaan. Sebab, dalam situasi seperti itu justru dibutuhkan seorang Hatta yang dikenal sangat jernih, tegas, dan tanpa
kompromi dalam mengurus pemerintahan. Apa yang membuat Hatta tidak pernah datang kembali dengan Soekarno sebagai Dwitunggal? Hatta sepertinya meninggalkan tanggung jawab untuk ikut
memikirkan bangsa dan negara yang sedang kacau. Hatta justru seakan memilih tidak berbuat apa-apa di luar arena. Dan memang selepas perceraian Dwitunggal itu, Hatta seakan menghilang dari hiruk-pikuk politik. Suaranya hampir-hampir bahkan tidak terdengar; juga pada saat peristiwa besar terjadi pada 1965 yang melibatkan sejumlah tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Benarkah Hatta meninggalkan tanggung jawab? Padahal, semua tahu bahwa dalam rentang waktu yang panjang sejak tahun 1920-an, dalam kegusaran dan kegelisahan akan situasi bangsa dan negerinya, seperti halnya Soekarno, Hatta dengan gigih ingin memberikan jalan keluar bagi bangsa dan negerinya. Kondisi konkret rakyat Indonesia yang sengsara di bawah penjajahan menjadi tatapan mata Soekarno dan Hatta.
Keduanya berpikiran, pada rakyat yang terbelenggu itu harus dibuka kedok-kedok yang menutup kesadaran bahwa mereka sengsara karena ditindas dan dijajah. Maka, tidak mengherankan kalau keduanya berbuat sesuatu agar kepada rakyat disuntikkan
kesadaran untuk bisa melihat sejelas-jelasnya siapa dirinya sendiri, di mana posisinya sekarang ini, dan ke mana langkah mesti diayun. Bahkan, demi rakyat, mereka berdua tidak memperhitungkan lagi
konsekuensi-konsekuensi fisik dari kampanye-kampanye
penyadaran yang dijalankan. Penjara dan tanah pengasingan tidak berarti apa-apa dibanding mutiara yang bersinar dalam hati dan budi rakyat yang sadar akan kemerdekaan hidup yang mesti direbut. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa dalam diri Soekarno dan Hatta bangkit perasaan mendalam akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Perasaan ini akan terusik terus-menerus kalau di dalam lapangan kehidupan selalu dijumpai segala bentuk ketimpangan. Ketimpangan-ketimpangan itu pada dasarnya mengisyaratkan adanya gerak dunia yang lupa akan tanggung jawab, lupa akan kehidupan yang semestinyalah dipelihara baik-baik. Disadari bahwa dibutuhkan usaha terus-menerus untuk mengembalikan gerak dunia agar ingat akan tanggung jawab terhadap kehidupan. Dan,
sepertinya Hatta memilih mundur dan berpisah dari Dwitunggal untuk tujuan itu. Hatta mengambil posisi untuk memberi ingat kepada
Soekarno yang dipandangnya sudah berjalan dalam gerak lupa akan tanggung jawab. Hatta memberi ingat, dan selalu memberi ingat meskipun lebih sering tidak didengarkan. Hatta kemudian memang hanya tampak seperti orang yang berseru-seru di padang gurun. Ketika bersepakat menjadi Dwitunggal
Perpisahan Dwitunggal itu belum terbayang saat Soekarno dan Hatta rujuk ketika Jepang menguasai Indonesia, sekalipun orang tahu bahwa antara mereka berdua ada perbedaan prinsip dan pilihan tindakan. Dengan disaksikan Sjahrir, Soekarno dan Hatta bersepakat mengakhiri pertentangan panjang pada tahun 1930-an mengenai jalan yang harus dilakukan dalam rangka mencapai Indonesia merdeka. Sebagaimana diketahui, Soekarno memilih jalan aksi massa, di mana ia sendiri datang ke tengah-tengah massa, dan membangkitkan kesadaran di sana. Sebab, bagi Soekarno politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending-pembentukan
kekuatan dan pemakaian kekuatan dari massa rakyat yang bersatu. Sedangkan Hatta mengambil jalan kaderisasi. Sebab, katanya, janganlah rakyat terlalu tergantung pada satu pemimpin.
Ketergantungan ini hanya menyebabkan pergerakan pupus di tengah jalan sewaktu si pemimpin ditangkap. Menurut dia,
"Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi pergerakan kita harus menjadi 'pergerakan pahlawan-pahlawan yang tak punya nama', artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin."
Kecuali itu di antara keduanya juga berkembang perselisihan
mempunyai latar belakang pendidikan di Bandung, berpandangan bahwa sikap nonkooperasi ditunjukkan dengan menolak segala sesuatu yang berbau penjajah, termasuk Tweede Kamer. Sedangkan Hatta yang mengenyam pendidikan di Belanda
berpendapat bahwa sikap nonkooperasi harus ditunjukkan dalam sikap perlawanan terus-menerus kepada penjajah sungguh pun duduk di Tweede Kamer.
Namun, ketika Jepang menduduki Indonesia, dirasakan oleh Soekarno dan Hatta bahwa suatu tugas yang jauh lebih besar berada di depan mata, dan itu tidak dapat dilakukan seorang perseorangan. Sembari keduanya berjabat tangan erat, Soekarno waktu itu berkata kepada Hatta, "Inilah janji kita sebagai Dwitunggal. Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri ini mencapai kemerdekaan sepenuhnya." Karena keduanya dikenal publik, maka perjuangan secara publik yang mereka tempuh, sedangkan Sjahrir yang menyaksikan jabat tangan itu mengambil jalan perjuangan bawah tanah. Menurut Soekarno, pembicaraan antara mereka bertiga waktu itu amatlah singkat. Namun, sering kali di kemudian hari, konsepsi mengenai Dwitunggal kelihatan seperti sudah dipersiapkan dan dikerjakan dengan perhitungan yang saksama.
Berbeda dengan Sjahrir yang berjuang di bawah tanah, strategi perjuangan secara publik dari Soekarno dan Hatta jelas sekali langsung menggambarkan keduanya sebagai kolaborator Jepang. Tentu saja keduanya menyangkal sangkaan itu. Hatta misalnya menjelaskan bahwa keterlibatannya sebagai penasihat pemerintah militer Jepang justru untuk melindungi rakyat. Demikian pula dengan keberadaan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bersama Soekarno. Rakyat tetap menjadi tatapan mata akan strategi perjuangan yang dijalankan. Sedapat mungkin rakyat dilindungi dan mendapat
keuntungan dalam situasi saat itu. Bahkan, Soekarno pernah berujar kepada Hatta bahwa dalam kondisi semacam itu, dengan biaya Pemerintah Jepang, rakyat akan dididik dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pada dasarnya, mereka sama sekali tidak sudi tunduk di bawah penjajahan. Hatta dalam rapat umum di Lapangan Ikada, 8 Desember 1942, bahkan pernah berpidato, "Bagi pemuda Indonesia, ia lebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Soekarno dan Hatta pada gilirannya memang dikenal sebagai
pemimpin rakyat Indonesia. Dapat dikatakan, di mana Soekarno ada di situ pun Hatta. Strategi perjuangan publik di bawah pendudukan Jepang mengantarkan keduanya untuk kemudian juga berperan penuh dalam masa-masa ketika Jepang dipukul mundur oleh Sekutu pada pertengahan 1945. Keduanya seperti sudah melupakan sama
sekali pertentangan faham yang terjadi pada tahun 1930-an, dan seia-sekata dalam pikiran dan tindakan. Kalau sebelumnya mereka dapat dikatakan saling mencela, pada saat-saat itu keduanya saling membela. Sebagai Dwitunggal, keduanya sangat menonjol dalam detik-detik Proklamasi kemerdekaan. Hatta menulis dalam Memoir- nya bahwa Dwitunggal itulah yang kemudian dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI untuk pertama kalinya. Dikatakan oleh
Soekardjo Wirjopranoto bahwa konstruksi Dwitunggal untuk presiden dan wakil presiden itu unik dalam sejarah, dan merupakan suatu keharusan bagi Indonesia di masa itu.
Perjalanan Dwitunggal dalam pemerintahan sejak Proklamasi Kemerdekaan memang telah melewati sejumlah kondisi yang
berbeda, yang berkaitan dengan strategi politik. Awalnya, Soekarno dan Hatta menjadi presiden dan wakil presiden dalam sebuah kabinet presidensial. Namun, ternyata di mata internasional Soekarno dianggap sebagai kolaborator Jepang yang tentu saja menyulitkan perundingan-perundingan diplomasi yang dijalankan. Terhadap ini, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengusulkan agar untuk sementara waktu dibentuk kabinet parlementer untuk menangkis serangan-serangan dari luar negeri terhadap Soekarno atas nama rakyat. Seperti sudah diketahui, anggota-anggota KNIP diangkat oleh Soekarno dan Hatta untuk menggantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang mempunyai cap "Tokyo". Soekarno dan Hatta menyetujui usul Badan Pekerja itu. Dan, kemudian Soekarno mengangkat Sjahrir sebagai perdana menteri dengan alasan bahwa presiden mendelegasikan kekuasaan kepada perdana menteri untuk mengatasi kesulitan sementara waktu. Setelah berubah konfigurasinya sebanyak tiga kali, kabinet Sjahrir jatuh, dan Soekarno mengambil alih. Formasi kabinet selanjutnya di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin yang kemudian digantikan pula oleh Kabinet Hatta.
Sementara itu, perjuangan secara publik Dwitunggal di masa
pendudukan Jepang yang mengesankan tindakan kolaborasi sering digunakan rival politik Soekarno dan Hatta; setidaknya, itu pernah dilakukan oleh Muso yang menyebut keduanya sebagai pedagang romusha. Bahkan, Sjahrir menurut Soekarno, juga sering
menggunakan keterlibatan dengan Jepang untuk mencelanya sebagai pengecut. Tuduhan sebagai pengecut kembali mereka terima ketika keduanya ditangkap di Yogyakarta karena waktu itu mereka tetap tinggal di kota dan tidak terjun bergerilya bersama rakyat dan tentara. Namun, sebenarnya dengan penangkapan itu, justru sosok Dwitunggal sebagai pemimpin nasional semakin bersinar daripada muncul sebagai pemberontak yang lari ke hutan. Pada saat dipercaya menjadi perdana menteri (1948-1950), yaitu
pasca-Kabinet Amir Sjarifuddin yang memberikan kepada pemerintahannya hasil-hasil Perjanjian Renville, Hatta sungguh menunjukkan kepiawaiannya dalam mengurus pemerintahan. Selain keberhasilan dalam perjuangan memperoleh kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar, sejumlah hal dijalankan termasuk
penghematan, rasionalisasi dalam tentara dan pegawai negeri, serta juga penanganan atas membeludaknya pengangguran. Hingga kemudian dapat dibuktikan bahwa pemerintahan Hatta, meskipun dalam situasi darurat, berhasil memperluas sawah menjadi 75.000 hektar, membentuk sejumlah koperasi pertanian, mengendalikan harga-harga, dan mencegah penimbunan. Bahkan, mulai dipikirkan secara serius Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang
berdasarkan otonomi yang luas. Sering dikatakan bahwa Dwitunggal Soekarno-Hatta dengan Soekarno sebagai presiden dan Hatta
sebagai wakil presiden sekaligus perdana menteri ini merupakan kombinasi kepemimpinan yang sangat cocok dalam situasi Indonesia yang sulit di masa-masa awal kemerdekaan.
Namun, bagaimanapun kombinasi kepemimpinan seperti itu ada dalam suasana darurat. Seperti dikatakan Hatta dalam pidatonya di depan Badan Pekerja KNIP pada tanggal 16 Februari 1948,
"Presiden dan saya berpendapat bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi krisis politik yang merugikan negara ialah mengadakan sementara waktu pemerintahan yang bersifat kabinet presidensiil, menunggu terbentuknya kabinet parlementer yang kuat."
Namun, harus diakui bahwa konfigurasi kepemimpinan nasional sejak Dwitunggal ini sepertinya tidak pernah secara tuntas
diselesaikan baik dalam rangka demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, maupun sesudahnya. Bahkan, dengan kembalinya pada tahun 1959 UUD 1945 yang sejak awal dikonstruksi untuk keadaan darurat, sebenarnya dilanggengkan juga konfigurasi kepemimpinan nasional yang darurat.
Peran Soekarno dan Hatta dalam pemerintahan
Sejak diberlakukannya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, sebagai presiden, Soekarno tidak dapat mengambil tindakan sendiri, dan kekuasaannya dikurangi sedikit demi sedikit. Perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Bahkan, sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, keputusan presiden harus
ditandatangani juga oleh Menteri Pertahanan. Satu-satunya hak prerogatif presiden adalah menunjuk seorang atau sejumlah orang untuk membentuk kabinet. Menurut Bernard Dahm, kondisi seperti itu terjadi ada kaitan dengan munculnya Sjahrir dalam pemerintahan. Munculnya Sjahrir memang seperti sudah menjadi tuntutan zaman.
Ia yang tidak tampil dalam kerja sama dengan Jepang, logis untuk menjadi pihak perunding dengan Belanda. Dan, berbeda dengan Soekarno, Sjahrir sering dikatakan tidak mempunyai prasangka terhadap orang-orang Belanda. Pendidikan di Barat
mengonstruksikan dalam dirinya bentuk demokrasi yang semestinya dijalankan, yang tentu saja berbeda dengan konstruksi demokrasi Soekarno.
Mengenai kekuasaan presiden itu, Hatta mengungkapkan bahwa sejak keluarnya Maklumat Wakil Presiden No X pada pertengahan Oktober 1945, KNIP mempunyai hak legislatif. Sebelumnya, menurut UUD 1945 pada aturan peralihan, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Hatta
menambahkan bahwa mulai saat itu, "secara berangsur-angsur kekuasaan yang lain akan diberikan kepada badan yang berhak berdasarkan trias politika."
Pertentangan pandangan akan peran Hatta dalam pemerintahan pun sejak pertengahan 1950 muncul secara menonjol. Waktu itu, RIS bubar menjadi negara kesatuan RI. Dari satu pihak ada yang
mengharapkan, terutama dari golongan Masyumi, Hatta merangkap jabatan wakil presiden dan perdana menteri, sedangkan dari pihak lain, yaitu PNI dan PSI, mengharapkan Hatta menjabat salah satu saja. Dalam waktu-waktu kemudian, mengenai ini, Hatta pernah berujar bahwa Sjafruddin Prawiranegara, salah seorang pemimpin Masyumi, mengusulkan agar Hatta menjabat sebagai wakil presiden saja. Hanya saja, kalau kondisi bangsa sulit, Hatta kembali
merangkap sebagai perdana menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Usulan Sjafruddin ini terkenal dengan sebutan
escape clause. Usulan ini tidak disetujui kubu PNI dan PSI, dan perdebatan terus berlangsung. Akhirnya, Hatta menyerahkan kepada mereka putusan apa saja yang akan diterimanya dengan lapang dada. Kemudian, Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, menunjuk Mohamad Natsir sebagai formatur kabinet. Presiden dan wakil presiden dalam pemerintahan Kabinet Natsir dan sesudahnya tampak hanya berperan sebagai penasihat saja.
Dwitunggal Soekarno-Hatta sepertinya kemudian tinggal menjadi simbol pemimpin bangsa yang tidak mempunyai gigi dalam pemerintahan. Soekarno memang masih duduk sebagai kepala negara, namun Hatta? Menyaksikan situasi politik sekacau apa pun, Hatta tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan sesuatu tindakan secara konstitusional, kecuali membantu tugas-tugas Soekarno. Dalam situasi seperti itu apa yang harus dibuat? Sebuah artikel dalam harian Fikiran Rakjat tertanggal 9 Oktober 1954
memuat komentar seperti ini, "Sejauh yang kita lihat dan dengar, Hatta bisa mengendalikan dirinya dan tetap berada di dalam batas-
batas konstitusional; dengan kata lain, ia tidak mencampuri urusan eksekutif. Tetapi sejauh yang kita ketahui, merupakan siksaan bagi Soekarno untuk tetap berada di dalam batas-batas konstitusional dan tidak campur tangan dalam eksekutif".
Hubungan Dwitunggal semakin renggang
Masa-masa Dwitunggal sebagai simbol itu sering dilukiskan Hatta sebagai masa di mana dirinya dan Soekarno mulai berselisih faham. Kondisi ini ada kaitannya dengan kedekatan baru Soekarno dengan PKI yang sangat memusuhi Hatta. Dikatakan oleh Hatta di kemudian hari bahwa "sejak kita meninggalkan UUD 1945 berganti dengan UUD 1950, arti dan kedudukan Dwitunggal mulai berubah dan makin berkurang. Hal itu digunakan sebaik-baiknya oleh PKI dalam taktik dan perjuangan politiknya, sehingga proses merosotnya daya ikat dan kegunaan Dwitunggal itu makin cepat dan bahkan antara kami berdua sering timbul berbagai salah pengertian. Akibatnya tercermin pula dalam berbagai urusan kenegaraan yang kalau dulu diatasi dengan kewibawaan dan kenegarawanan yang terletak dalam lembaga Dwitunggal itu, lama-lama menjadi masalah-masalah yang tidak teratasi, atau diatasi dengan cara-cara yang menimbulkan keretakan-keretakan baru yang makin berlarut-larut."
Perselisihan faham antara Soekarno dan Hatta sebenarnya mulai bersemi sejak 1949 di mana di bawah Konstitusi RIS Hatta sebagai perdana menteri mempunyai kedudukan kepemimpinan yang lebih kuat dibandingkan Soekarno. Namun demikian, seperti dipaparkan oleh Mavis Rose, Soekarno memang mempunyai pesona terutama di kalangan orang-orang Jawa sehingga memungkinkan dirinya untuk menyarankan kembali adanya negara kesatuan. Sebab, negara Indonesia Serikat dengan federalismenya dalam pandangan Soekarno mengundang regionalisme yang dapat memecah
persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, meskipun secara publik Dwitunggal kelihatan sebagai kombinasi kepemimpinan yang sangat sesuai dan melengkapi satu dengan yang lain, sebenarnya terjadi tarik-menarik gagasan mengenai bagaimana mengatur bangsa dan negara. Pada titik ini, keduanya seperti ingin sungguh mewujudkan tanggung jawabnya kepada rakyat. Hingga, rakyat harus sampai pada perasaan bahwa mereka memerintah diri sendiri sebagai bangsa yang merdeka dalam negara yang dibentuknya sendiri. Mengenai bentuk negara kesatuan itu, Hatta sebaliknya
mengungkapkan bahwa gagasan negara kesatuan tidak selalu berarti mencegah separatisme. Sebab, justru "suatu sistem federal dalam kenyataan sesuai dengan kepulauan yang terpencar-pencar dan bisa diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan". Dalam pikiran Hatta, semakin terdesentralisasi suatu sistem pemerintahan
semakin rakyat dapat mengusahakan menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa harus tergantung elite penguasa. Di sini Hatta seperti mengingatkan kembali akan pentingnya kaderisasi dan pendidikan yang menghasilkan suatu organisasi yang tidak tergantung pada satu pemimpin. Mengenai federalisme, sebenarnya Hatta sudah menjadi penganjur paling depan mengenai Indonesia sebagai negara federal sebelum Perhimpunan Indonesia mulai
membicarakan bentuk negara yang merdeka.
Lalu, apa sebenarnya konsepsi "persatuan" dari keduanya? Dengan memperhatikan gagasan Soekarno mengenai politik machtsvorming
dan machtsaanwending, orang mempersepsikan persatuan seperti ada kaitannya dengan massa yang bergerak. Bahkan, Soekarno pernah mengatakan bahwa "massa bukanlah cuma rakyat jelata yang berjuta-juta saja, massa adalah rakyat jelata yang sudah terluluh mempunyai semangat satu, kemauan satu, roh dan nyawa satu. Massa adalah berarti deeg, jeladren, luluhan. Ia dus bukan gundukan rakyat jelata saja yang berlain-lainan semangat dan kemauan".
Kecuali itu, pada diri Soekarno juga selalu melekat gagasan persatuan nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) di mana ketiganya menurut Dahm saling bertentangan. Ketiganya menjadi satu ketika mendapatkan musuh bersama kolonialisme dan imperialisme Barat. Pendekatan yang dipakai Soekarno ini sangat khas bersifat sinkretisme Jawa. Bahkan, menurut catatan
Onghokham, dalam merumuskan Pancasila pun, Soekarno memeras kelima sila menjadi tiga, yang kemudian menjadi satu sila saja, yaitu "gotong royong". Soekarno sungguh menekankan abstraksi dalam melihat persatuan. Bagaimanapun abstraksi mengandung potensi untuk meniadakan keunikan, dan hak-hak individu rakyat dapat dikesampingkan.
Adapun menurut Hatta, persatuan harus dimengerti sebagai "satu bangsa Indonesia yang tidak dapat dibagi-dibagi. Di dalam pangkuan bangsa yang satu itu boleh terdapat pelbagai paham politik. Dan tiap- tiap aliran paham haruslah mendapat kesempatan bergerak, untuk membuat propaganda bagi asas sendiri, dan tidak mesti dicekek dengan kata wasiat 'persatuan'". Sebab, bagi Hatta, "kepahaman rakyat dan kepahaman borjuis atau ningrat tidak dapat disatukan. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing". Hatta di sini menekankan pluralitas.
Sementara hubungan antara Soekarno dan Hatta semakin
renggang, terjadi konflik mendalam di antara partai-partai. Bahkan, mereka cakar-cakaran. Krisis dalam pemerintahan tidak dapat dihindarkan. Hasil Pemilu 1955 diharapkan dapat mengatasi krisis.
Namun, ternyata tidak ada pemenang mutlak. Situasi krisis tidak menunjukkan perubahan. Dalam situasi seperti itu, Soekarno menunjukkan akan membangun suatu penyelesaian dengan
menggalang kekuatan dari rakyat Jawa, PNI, PKI, NU, Partai Murba, dan juga dengan menggandeng kepala staf Angkatan Darat yang berpengaruh, Nasution. Soekarno pada Oktober 1956 bahkan pernah berpidato mengajak untuk mengubur semua partai. Dan, kemudian memperkenalkan satu sistem demokrasi baru, yaitu Demokrasi Terpimpin. Dalam diri Soekarno seperti ada kegusaran terus mengenai konsepsi persatuan yang diidam-idamkannya sejak awal. Sepertinya, pada Demokrasi Terpimpin, Soekarno melihat celah yang mengarah ke terjadinya konsepsi persatuan nasionalnya. Hatta, dalam situasi seperti itu menurut UUDS semestinya bertugas membantu Soekarno. Namun, hati Hatta tidak kuasa menahan kecewa. Sebab, dengan mendukung Soekarno berarti mengebiri demokrasi multipartai dan parlementer yang merupakan unsur pokok dari kedaulatan rakyat yang sudah sejak awal diperjuangkannya. Demokrasi parlementer memang sedang terganggu, tetapi untuk menegakkan demokrasi bukan dengan mematikannya. Menjelang mundur dari Dwitunggal, yaitu saat berpidato di Universitas Gadjah Mada, Hatta menyerukan bahwa sejak 1950 pemerintahan
dijalankan dalam demokrasi parlementer yang tanpa demokrasi dan tanpa parlemen sehingga yang terjadi anarki politik. Kekuasaan sesungguhnya tidak berada di dalam pemerintahan, tetapi dalam dewan partai yang tidak bertanggung jawab.
Hatta mundur
Hatta mundur dari Dwitunggal pada 1 Desember 1956. Dikatakannya bahwa meskipun ia meninggalkan jabatan wakil presiden, tetapi rakyat sekali-kali tidak pernah ditinggalkannya. Hatta sepertinya yakin bahwa posisi "oposisi" akan lebih membantu dalam rangka memperbaiki kondisi carut-marut negerinya daripada mandul sebagai wakil presiden. Hatta melihat bahwa perselisihan didalam pemerintahan telah melupakan wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh kering dari rakyat Indonesia yang miskin dan kekurangan pangan. Ia memberi ingat akan tujuan semula kemerdekaan yang harus segera diwujudkan, yaitu perbaikan kondisi kesejahteraan rakyat. Kecuali itu, dilihatnya bahwa kebijakan perekonomian pusat tidak
menguntungkan daerah-daerah luar Jawa. Dalam mata Hatta, pemberontakan regional dapat muncul sebagai suatu "letusan kekecewaan" dan suatu "konflik kejiwaan antara pusat dan daerah". Setelah berpisah, hubungannya dengan Soekarno tetap dijalin dengan surat-menyurat. Dalam surat-suratnya itu, Hatta kerap
dari mewujudkan kedaulatan rakyat. Namun, peringatan-peringatan Hatta sering kurang diperhatikan Soekarno. Ia terus menggulirkan konsepsi Demokrasi Terpimpin dengan didukung orang-orang di sekelilingnya. Kecuali itu Hatta juga bersuara di surat kabar. Namun, begitu surat kabar yang memuat tulisan Hatta diberangus, kemudian tidak ada yang berani memuat gagasan-gagasan Hatta. Hatta