Di Seberang Jembatan Emas
3. Massa aksi dan partai pelopor
Mari kita sekarang melihat pandangan Bung Karno tentang
perjuangan demi Indonesia Merdeka. Yang sangat mencolok dalam tulisan yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka adalah bahwa hal merdeka- yang tentu saja tidak pernah hilang dari fokus Bung Karno: "syarat yang pertama ialah: kita harus merdeka" (41)-seakan- akan terdesak oleh sebuah keprihatinan lebih jauh, yaitu penolakan terhadap kapitalisme dan imperialisme. Bung Karno sangat khawatir
jangan sampai sesudah Indonesia merdeka, Indonesia jatuh ke tangan "kaum ningrat dan kaum kapitalis". Kemerdekaan bukan tujuan atau nilai pada dirinya sendiri, melainkan "jembatan". "Kita harus merdeka agar supaya kita bisa leluasa bercancut tali wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme" (41). Tujuan perjuangan kaum marhaen adalah "suatu masyarakat yang adil dan sempurna," jadi "yang tidak ada tindasan dan hisapan," dan oleh karena itu "tidak ada kapitalisme dan imperialisme"(41). Seperti telah saya sebutkan di atas, penolakan kapitalisme dan imperialisme bukan khas Bung Karno, melainkan menjadi pandangan seluruh tokoh nasionalis waktu itu, namun menunjukkan pengaruh perspektif Leninis.
Karena itu, kaum Marhaen tidak cukup asal berjuang. Mereka harus berjuang dengan kesadaran yang tepat. Mengikuti bahasa Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa yang perlu adalah kesadaran yang radikal. Radikal bagi Bung Karno berarti sadar akan adanya dua golongan dalam masyarakat yang berlawanan. Bung Karno tidak memakai bahasa "pertentangan kelas", tentu karena faham
"Marhaen" justru mau menegaskan bahwa analisa kelas marxis tidak cocok dengan kenyataan sosial di Indonesia. Namun, ia
menegaskan bahwa kaum Marhaen harus selalu sadar bahwa ada yang "sana" dan yang "sini", ada "golongan 'atas'" dan "golongan 'bawah'" dan bahwa antara dua-duanya hanya bisa ada
pertentangan. "Sana dan sini tidak bisa diakurkan, sana dan sini tidak bisa dipungkiri atau ditipiskan antitesenya, sana dan sini akan selamanya bertabrak-tabrakan satu sama lain" (47) karena "inilah yang oleh kaum marxis disebutkan dialektiknya sesuatu
keadaan" (ib.).
Seperti Lenin menolak kemungkinan untuk mencapai sosialisme secara damai, begitupun Bung Karno menuntut sikap nonkooperasi. Nonkooperasi bukan hanya dengan pemerintahan kolonial, tetapi juga dalam arti "tidak mau duduk di dalam dewan-dewan kaum pertuanan" (49). Oleh karena itu, seperti Lenin membedakan antara kesadaran "serikat buruh" dan "kesadaran sosialis revolusioner", Bung Karno membedakan "massa aksi" yang radikal dari massale actie yang hanya kelihatan radikal (62). Dalam yang terakhir "kaum lunak" sekadar membatasi diri pada "rapat-rapat umum". Begitu misalnya Sarekat Islam "dulu tidak bisa membangkitkan massa aksi karena ia tidak berdiri di atas pendirian yang radikal". Artinya, ia tidak mempunyai perspektif "sana-sini", perspektif Marhaen lawan kaum ningrat dan kaum kapitalis (63). "Massa aksi" harus "100 persen radikal: perlawanan sonder damai, kemarhaenan, melenyapkan cara susunan masyarakat sekarang, mencapai cara susunan masyarakat baru" (ib.).
Namun, lagi-lagi mengikuti Lenin, Bung Karno menegaskan bahwa "kesadaran kemarhaenan" akan terlalu lama kalau ditunggu
berkembang dengan sendirinya. Harus ada satu partai Marhaen yang berjalan di depan. Seperti perjuangan proletariat harus dipimpin oleh partai pelopor, begitu perjuangan kaum Marhaen harus dipimpin oleh sebuah "partai pelopor". "Partai yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan
terang" (37). Partai itu "memimpin massa", "memegang komando", "harus memberi ke-bewust-an pada pergerakan massa", "memberi keradikalan". Adalah tugas partai untuk "menjelmakan massa yang tadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, yakni massa aksi yang insaf akan jalan dan maksud-maksudnya" (37). "Partai yang dengan gagah berani pandai memimpin dan membangkitkan bewuste massa aksi" "kemenangan sudah bisa datang" (38). Maka, partai harus "memberi pendidikan dan keinsafan pada massa buat apa ia berjuang, dan bagaimana ia harus berjuang" (67). Partai harus menjaga dan menyalakan "radikalisme" yang tidak melupakan tujuan akhir dalam massa.
Namun, justru karena itu perlu ada partai yang terus-menerus mengingatkan tujuan perjuangan yang sebenarnya. Partai perlu menjaga agar rakyat jangan sampai karena "tertarik oleh manisnya hasil-hasil kecil itu lantas lupa akan maksud besar", yaitu mencapai "puncak gunung Indonesia Merdeka" (69). Secara lebih konkret, yang harus dilakukan oleh partai pelopor itu adalah mengadakan "propaganda di mana-mana, kursus di mana-mana, perlawanan di mana-mana, anak-anak organsiasi, vakbond-vakbond, sarekat- sarekat tani, majalah-majalah dan pamflet-pamflet" (72).
Partai sendiri, mengikuti Lenin, harus waswas terhadap dua macam lawan, yaitu reformisme dan "anarcho-syndicalisme" (65). "Tiap-tiap anggota partai yang nyeleweng ke arah reformisme harus ditendang dari kalangan partai zonder pardon dan zonder ampun" (64;
ungkapan "tanpa maaf dan tanpa ampun" hampir di setiap halaman
The State and Revolution diulangi Lenin).
Kalau pada Lenin kaum reformasi adalah kaum sosial demokrat Internasionale II yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan secara demokratis, maka bagi Bung Karno kaum reformis adalah kaum "kooperasi", mereka yang mau mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Mengharapkan kemerdekaan dari kerja sama dengan kaum kolonialis adalah percuma. Mereka hanya akan melepaskan kekuasaan kalau dipaksa. Bung Karno mengutip Karl Marx: "Tak pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya
dengan ridanya kemauan sendiri" (55). Maka, tak mungkin ada kemerdekaan yang tidak diperjuangkan oleh rakyat dalam "massa aksi".
Faham "anarcho-syndikalisme" langsung diambil alih dari Lenin. Lenin menolak tuntutan mereka agar sesudah revolusi sosialis negara dengan segala aparatnya dihapus. Sesudah revolusi kekuatan negara perlu dipegang oleh proletariat untuk
menghancurkan para musuh proletariat. Yang dimaksud Bung Karno dengan anarcho-syndikalisme adalah "penyelewengan ke arah amuk- amukan zonder pikiran, penyelewengan ke arah perbuatan-
perbuatan atau pikiran-pikiran cap mata gelap" (65). Melawan penyelewengan itu partai pelopor harus menegakkan "disiplin": "Disiplin, disiplin yang kerasnya sebagai baja, disiplin yang zonder
ampun dan zonder pardon menghukum tiap-tiap anggota yang berani melanggarnya, adalah salah satu nyawa dari partai pelopor itu!" Di dalam partai pelopor Marhaen tidak boleh ada demokrasi.
Sebagai prinsip kepemimpinan dalam partai Bung Karno mengambil "democratisch centralisme"-nya Lenin. "Partai di dalam kalbu sendiri tidak boleh berdemokrasi dalam makna segala 'isme' boleh
leluasa" (64). Dan ia mengutip "seorang pemimpin besar": "Di dalam partai tak boleh ada kemerdekaan pikiran yang semau-maunya saja; kokohnya persatuan partai itu adalah terletak di dalam persatuan keyakinan" (65).
Lalu apa yang harus dilakukan menurut Bung Karno, apabila Kemerdekaan sudah tercapai? Bung Karno menegaskan bahwa perjuangan dengan perolehan kemerdekaan belum selesai. Harus dipastikan bahwa kaum Marhaen dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis yang memegang kekuasaan. Kemerdekaan harus dilihat sebagai "hanyalah sebuah jembatan, sekalipun suatu jembatan emas!" (76). Harus disadari bahwa "di seberang jembatan itu jalan pecah jadi dua: satu ke dunia keselamatan Marhaen, satu ke dunia Kesengsaraan Marhaen; satu ke dunia Sama Rata Sama Rasa, satu ke dunia sama Ratap sama Tangis" (ib.). "Kereta Kemenangan" di atas jembatan itu jangan "dikusiri oleh lain orang selainnya
Marhaen" (ib.). Jadi, harus dipastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan kaum ningrat dan kaum kapitalis mengambil alih kekuasaan. Oleh karena itu, Bung Karno menolak demokrasi politik sebagai tujuan revolusi. Untuk memastikan bahwa kaum Marhaen, dan bukan pihak lain, "menggenggam kekuasaan pemerintahan" (46) demokrasi tidak memadai. Mengikuti kritik Lenin terhadap
demokrasi, Bung Karno menunjuk pada Revolusi Perancis di mana rakyat jelata "akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor 'demokrasi'" (77). Karena kekayaan dan penguasaan media komunikasi, kaum borjuasi akan menjadi
penguasa yang sebenarnya. Menurut Bung Karno "negeri-negeri sopan", Amerika Serikat, Belgia, Denmark, Swedia, Swiss, dan Jerman dikuasai oleh kapitalisme, dan karena itu di semua negara itu "rakyat jelata tidak selamat, bahkan sengsara kelewat
sengsara" (79). Dan ia mengutip seorang Caillaux bahwa "kini Eropa dan Amerika ada di bawah kekuasaan feodalisme baru" (81). Maka, yang harus tercapai bukanlah demokrasi, melainkan "kekuasaan 100 persen pada rakyat", bukan hanya kekuasaan politik, melainkan kekuasaan ekonomis (bdk 82).
Istilah untuk apa yang diidam-idamkan Bung Karno adalah "sosio- demokrasi" dan "sosio-nasionalisme" (83). Ia tidak menguraikan secara konkret operasional apa yang dimaksud dengan dua istilah itu. Memang, "tidak boleh ada satu perusahaan lagi yang secara kapitalistis menggemukkan kantong seseorang borjuis ataupun menggemukkan kantong burgerlijke staat" (82). Tetapi, kata
"sosialisme" atau "sosialisasi hak milik produktif" tidak kita temukan. Selain bahwa "penyakit individualisme" harus disembuhkan dengan "benih 'gotong royong'" sehingga terwujud "'manusia baru' yang merasa dirinya 'manusia masyarakat' yang selamanya
mementingkan keselamatan umum" serta petunjuk pada "koperasi- koperasi yang radikal, vakbond-vakbond dan srikat-srikat tani radikal" tidak ada petunjuk lagi.