• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soekarno di Wilayah "Hyperreal" Niniek L Karim

Dalam dokumen Antikolonialisme dan Anti elitisme dalam (1) (Halaman 194-200)

SEINGATKU kurang lebih pukul 20.30 waktu itu (karena keluarga kami baru saja selesai makan malam yang selalu di sekitar pukul 20.00), hari ketiga Bung Karno dinyatakan wafat. Kuangkat telepon yang berdering, suara seorang teman: "Niek, cepet ndeloko bulan, ono gambare Bung Karno ning kono! (Niek, cepat lihatlah bulan, ada gambarnya Bung Karno di sana)". Ayah yang sedang lewat di depanku menggeleng-gelengkan kepalanya ketika kuceritakan kata-kata teman itu, lalu masuk ke kamarnya. Ayahku memang seorang PSI (Partai Sosialis Indonesia), walaupun tidak pernah aktif berpartai. Penasaran aku keluar mencari bulan, namun sampai bosan menunggu, kebetulan waktu itu bulan tetap saja tertutup awan mendung.Esok harinya di sekolah heboh! Saling bertanya dan mencoba meyakinkan satu sama lain tentang munculnya gambar Bung Karno di bulan. Tidak semua mengaku melihatnya memang, tapi hampir seluruh masyarakat Kediri yang

Soekarnois kala itu percaya bahwa itu adalah kebenaran belaka. "Bung Karno tidak mati, tapi moksa suatu waktu nanti akan muncul lagi." Begitulah kepercayaan yang mereka yakini waktu itu, bahkan mungkin sampai sekarang. Oleh karena itu, tak lama setelah

Soekarno secara resmi dinyatakan wafat, berpuluh truk yang semuanya penuh berjejalan manusia setiap harinya menuju Desa Mantingan, Ngawi, untuk bicara atau mendengar pesan-pesan Soekarno melalui bantuan Mbah Suro-dukun yang menabalkan dirinya sebagai mediator bagi orang yang ingin bicara dengan Soekarno-lewat di depan rumah saya, yang memang letaknya di salah satu jalan yang biasa dilewati kendaraan yang akan keluar Kota Kediri.

Seorang teman anak saya, lahir tahun l984, l4 tahun setelah

Soekarno wafat-yang wafatnya dalam kondisi dikucilkan karena tidak populer di mata pemerintahan waktu itu-begitu mengagumi Soekarno sehingga waktu acara pemberian ijasah lulus SMP-nya memakai baju ala Soekarno, juga mengoleksi buku-tulisan tentang dan oleh Soekarno, bercita-cita menjadi seperti Soekarno. Teman anak saya itu bukan suku Jawa, lahir dan besar di Jakarta setelah Soekarno meninggal, saya yakin dia bukan satu-satunya pengagum cilik Soekarno. Di rumah saya jarang sekali membicarakan Soekarno, namun betapa terheran-herannya saya ketika anak laki-laki saya berusia 7 tahun menyatakan dia merasa bangga memiliki telinga yang besar:" ... seperti Bung Karno" katanya. Saya juga yakin bahwa masih banyak lagi pengagum cilik lainnya di negeri ini.

Tulisan ini ingin membahas tentang bagaimana kedudukan Soekarno dalam persepsi pengagumnya di Indonesia. Ingin menelaah bagaimana persepsi publik terhadap Soekarno dengan melihat bagaimana beroperasinya faktor-faktor yang dalam telaahan ilmu sosial mutakhir sekarang sering diistilahkan sebagai

"representasi", "simbol", "simulakra", dan lain-lain. Dari retorika sampai mitos

Pada tahun 60-an, yang masih bisa saya kenang, setiap kali Soekarno berpidato hampir semua jalan jadi sepi. Bahkan, tukang becak di perempatan jalan tempat kami tinggal waktu itu, di Kediri, Jatim, tidak mau narik, memilih bergerombol di rumah orang yang memiliki radio-kala itu radio masih "barang mewah", tidak setiap orang memilikinya, boro-boro televisi di Kediri belum ada yang punya- untuk ikut mendengarkan pidato Bung Karno. Mereka, atas kemauan sendiri, tanpa dipaksa, rela tidak dapat uang karena emoh narik, untuk mendengarkan pidato Soekarno.

"Kemarin aku baca Ramayana, saudara-saudara, Ramayana. Di dalam kitab Ramayana itu disebut satu negeri, namanya Utara Kuru. Utara Kuru, artinya lor-nya negara Kuru. Kuru artinya Kurawa.

Disebutkan di dalam kitab itu bahwa di negeri Utara Kuru tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin yang terlalu, tidak ada manis yang terlalu, nggak ada pahit yang terlalu. Segalanya itu tenang, tenang. Ora ono panas, ora ono adem. Tidak ada gelap, tidak ada terang yang cemerlang. Adem tentrem mbanyu ayu sewindu lawase. Di dalam kitab Ramayana itu sudah dikatakan, hmm negeri yang begini tidak bisa menjadi negeri yang besar. Sebab tidak ada oh up and down up and down. Perjuangan tidak ada"

"tapi orang-orang besar ini satu persatu tidak luput dari salah. Oleh karena sekedar manusia biasa. Saya ulangi, siapa berani berkata bahwa Bismark tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Meurabeu tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Gladstone tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Garibaldi tidak pernah bersalah? Siapa berani berkata bahwa Mao Tse Tung tidak pernah bersalah."

(Pidato Bung Karno pada Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Istana Merdeka, 1964, dikutip dari album kaset karya Bram

Kampungan berjudul Bung Karno Milik Rakyat Indonesia. Album Kelompok Kampungan dari Yogyakarta ini pertama kali dirilis pada tahun l970-an, dirilis ulang tahun l999).

Bung Karno dan pidato-pidatonya selalu memukau publiknya. Sehingga pada tahun l970-an Bram dan kelompoknya yang kemungkinan saat itu berusia 20-an tahun, merasa patut merilis sebuah album kaset yang berlatar reproduksi pidato Soekarno tersebut. Asumsi yang boleh jadi mendasarinya bahwa khalayak (musik pop) juga tertarik terhadapnya. Asumsi itu terbukti signifikan dengan adanya rilis ulang di tahun l999. Rekaman itu diproduksi oleh sebuah perusahaan komersial, Musica, yang tentunya soal untung- rugi menjadi perhitungan konkret.

Seperti pidato yang sebagian dikutip di atas, Soekarno menunjukkan penguasaannya atas retorika yang luar biasa. Bicara dari cerita Ramayana, Utara Kuru, Kurawa, yang memang diakrabi masyarakat di desa-desa, sampai ke pemikir-ideolog-pejuang kemerdekaan- negarawan seperti Otto von Bismarck, Meurabeu, Gladstone, Giuseppe Garibaldi, dan lain-lain. Didengarkan dengan tekun dan terkagum-kagum sampai selesai pidato-pidato yang jarang kurang dari 60 menit lamanya itu oleh publiknya, yang hampir pasti sebagian besar tidak tahu bahkan mungkin tidak peduli apa dan siapa tokoh- tokoh yang disebut itu semua.

Soekarno memang sebuah mitos bagi sebagian masyarakat dalam jumlah yang tidak kecil. Maka, sebagaimana pola suatu mitos yang cenderung diturun-temurunkan ke anak-cucu, bisa kita pahami teman anak saya yang usia 14 tahun itu kagum berat pada Soekarno. Bahkan, mungkin saja bisa tertera suatu jejak ingatan dalam kesadaran kolektif pada masyarakat jauh di masa depan jika proses turun-temurun itu terjadi secara intensif, sesuai teori tentang

arkhetype dari Carl Gustav Jung. Dari "Belief" sampai "Hyperreality"

Pidato-pidatonya ditangkap oleh publiknya bukan lagi melalui akal, melainkan langsung ke area belief, yang dalam The Penguin Dictionary of Psychology diartikan sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan, atau doktrin tertentu. Tidak mengerti pun tidak apa-apa, karena pidato yang disebar-luaskan lewat radio tadi sudah menjadi otonom sebagai "mantra" yang menciptakan suatu hyperreal thing. Soekarno pun menjadi sebuah sosok hyperreal, atau dalam bahasa yang sudah dikenal dari studi- studi sebelumnya tentang Soekarno, bahwa oleh masyarakat Indonesia di desa-desa ia dianggap "setengah manusia setengah dewa", "titisan Wisnu", Ratu Adil dan sebagainya. Ia dianggap quasi- nabi. Dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams (2000), Soekarno bercerita bagaimana masyarakat Bali memandangnya sebagai titisan Wisnu, Dewa Hujan. Ketika Bali dilanda kemarau panjang, masyarakat Bali mengharap sang Presiden tersebut datang ke Bali, karena percaya bahwa kedatangannya akan

menganugerahkan hujan. Kebetulan memang, hujan pun turun saat kedatangannya itu. Maka makin percayalah masyarakat

pengagumnya akan kebesarannya tersebut.

Begitu kuatnya persepsi tentang kekuatan supernatural Soekarno pada masyarakat, sehingga masyarakat Kediri heboh, setiap malam keluar rumah menengadah ke bulan, mencari wajah Soekarno.

Beribu-ribu orang dari pelosok-pelosok Jawa Timur, bahkan ada juga yang dari Jawa Tengah, atau pun pelosok lain di Indonesia,

berbondong-bondong ke Mbah Suro agar bisa "mendengar" pesan- pesan atau apa pun dari Soekarno.

Kemarin, seorang teman SMA saya yang ketika itu adalah seorang ketua GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia) mengatakan

bahwa sebagian besar para Soekarnois ini percaya bahwa suatu hari kelak Soekarno yang moksa itu akan muncul kembali secara "riil", dan disebutkanlah dua daerah yang salah satunya akan jadi tempat kemunculan Soekarno. Menurut dia, hampir semua para Soekarnois ini penuh keyakinan bahwa hal tersebut akan terjadi. Merujuk pada lima tingkatan belief dari Gillian Bennet dalam bukunya The Tradition

of Belief, kategori keyakinan yang sepenuhnya (convinced belief) adalah yang terdalam letaknya.

Diterima langsung pada area belief tanpa perlu pencernaan akal, berkembang menjadi mitos, persepsi kekuatan supranaturalnya itu kemudian masuk ke wilayah kehidupan praktis para pengagumnya. Dalam psikologi, diakui bahwa belief adalah salah satu motor

penggerak perilaku manusia. Saat isi dari belief mendapat

pembuktiannya dalam kenyataan hidup sehari-hari, maka belief itu pun menjadi penggerak utama dari tingkah laku, :"Soekarno tidak bisa mati", dan mereka pun merasa terbuktikan hal tersebut saat Soekarno beberapa kali terluput dari usaha pembunuhan, seperti usaha pelemparan granat di Perguruan Cikini, terhindar dari usaha penembakan ketika Bung Karno shalat Ied, dan tembakan seorang pilot Angkatan Udara RI dari pesawat. Pembuktian isi belief yang kebetulan beberapa kali terjadi itu, menciptakan "kebenaran"-nya sendiri. "Kebenaran" yang secara subyektif dipersepsi sebagai kenyataan, sehingga secara obyektif pun ia menghasilkan efek praktis yang nyata. Jadilah Soekarno sebagai sosok hyperreal". Dari mistifikasi sampai gerakan nasionalisme

Tentu saja, mistifikasi tokoh Soekarno itu berlangsung dalam sebuah momentum sejarah yang memungkinkan semua itu terjadi. Seperti referensi-referensi Barat-termasuk nasionalisme-yang dalam beberapa hal menjadi "mantra". Tahun l940-an dan l950-an merupakan sebuah fase sejarah di mana dunia menyaksikan bangkitnya nasionalisme di berbagai belahan dunia, dari Afrika sampai Asia, dari Mesir, India, sampai Indonesia. Dalam wacana bangkitnya nasionalisme di berbagai negara itu, muncul nama-nama yang pada saat berikutnya menjadi penggerak Konferensi Asia Afrika di Bandung seperti Soekarno sendiri, Nehru, Nasser, dan lainnya. Mereka menjadi lokomotif kemerdekaan.

Pemikir posmodernis Edward Said mengutip Thomas Hodgkin, mengatakan, gerakan nasionalisme itu dikobarkan oleh "para nabi dan pendeta" ("prophet and priest") yang ditulis dalam tanda petik, untuk menunjukkan bagaimana kira-kira posisi para penggerak itu di masyarakatnya), yang di antara mereka adalah penyair dan tukang ramal. Mari kita simak petikan kata-katanya:

"Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali." (Pidato 17 Agustus 1949)

"Berjuanglah, berusahalah, membanting tulang, memeras keringat, mengulur-ngulurkan tenaga, aktif, dinamis, meraung, menggeledek,

mengguntur, dan selalu sungguh-sungguh, tanpa kemunafikan, ichlas berkorban untuk cita-cita yang tinggi." (Pidato 17 Agustus 1964)

"Karena itu hai Bangsa Indonesia, janganlah kita mencari

kepeloporan mental pada orang lain. Carilah kepeloporan mental itu pada diri sendiri. Carilah sendiri konsepsi-konsepsimu sendiri. Freedom to be free! Freedom to be free!" (17 Agustus 1964). Bukankah Soekarno juga sering menggunakan kekuatan-kekuatan ucapan yang puitis seperti kutipan-kutipan di atas, yang kemudian memberi inspirasi bagi bangsa ini tentang "menjadi Indonesia"? Nasionalisme, marhaenisme-sebuah sintesa Soekarno atas

marxisme dengan analisisnya tentang berbagai kondisi Indonesia- Nasakom (akronim "nasional-agama-komunis") yang kelihatannya merupakan sebagian dari "sinkretisme Jawa"-nya, di benak orang kebanyakan, termasuk para tukang becak yang suka mangkal di dekat rumah saya di Kediri dulu, menjadi konsepsi

"agung" (grandeur) yang "keagungan"-nya terbangun seiring media komunikasi yang kala itu terutama adalah radio yang

menyebarluaskannya, sehingga konsepsi-konsepsi tadi terinternalisasi pada masyarakatnya.

Singkatnya semangat yang lebih besar, yakni semangat

"independen", semangat "anti-imperialisme", menjelma sebagai semangat zaman itu.

Bagaimana rincian dari semangat itu harus diterjemahkan dalam kehidupan berbangsa secara lebih rasional, atau setidaknya harus dipahami secara lebih kritis, tidaklah terlalu dihiraukan. Yang jelas, dalam domain yang dihuni Soekarno, di situ ia berperan sebagai pemimpin kharismatik, politikus flamboyan, orator, pemikir,

budayawan, seniman setingkat (kuasi) nabi. Kondisi sosial-politik saat itu, bersinergi dengan faktor kepribadiannya yang begitu kuat, menghasilkan mitos Soekarno sebagai Ratu Adil. Penjajahan lebih dari 300 tahun, kemiskinan yang dirasakan makin meningkat,

ketidakadilan dan kesenjangan sosial antara pribumi dan nonpribumi (baik Belanda maupun Asia Timur Jauh) yang diciptakan oleh

pemerintah kolonial Belanda, feodalisme yang dikuatkan oleh manipulasi kuasa kolonial, bergabung dengan kebutuhan akan kekuatan supranatural yang dipercayai akan membebaskan masyarakat tertindas, menjulangkan Soekarno sebagai "juru selamat" Indonesia.

Tesis mengenai Soekarno yang kemudian menjadi hyperreality itu ditakuti sebagai sebuah "simbol" kekuatan oleh kelompok yang berkuasa pada masa berikutnya, makin terbuktikan. Kita lihat bagaimana pada perkembangannya, tokoh ini berikut gagasan- gagasan beserta kelompok politiknya hendak dibasmi, hendak disingkirkan dari panggung sejarah oleh rezim politik yang

menamakan dirinya Orde Baru, persis pada wilayah yang disebut Jean Baudrillard, seorang pemikir posmodernis lain, sebagai

"simulakra", sejenis simulasi (simulasion): tiruan yang tidak memiliki rujukan, sesuatu yang merujuk pada sesuatu yang tak ada. Meski tak ada rujukannya, tiruan itu memiliki efek praktis yang obyektif terhadap tingkah laku sekelompok manusia tertentu.

Mengikuti gagasan Jean Baudrillard, dalam konteks hyperreality hal yang "nyata" (real) dan "khayalan" (imaginary) bertaut satu sama lain. Hasilnya adalah apa yang disebut orang pada umumnya

sebagai "kenyataan", yang pada dasarnya menurut istilah Baudrillard hanyalah "simulakra". Pada zaman ini, kiranya lebih mudah

menerangkan dari sudut pandang tersebut, di mana sebuah simulasi sering dianggap lebih nyata dari kenyataan itu sendiri, atau mungkin seperti lirik lagu U2, "even better than the real thing".

Kembali ke Soekarno, bagaimana pemerintahan yang berkuasa pada fase berikutnya berusaha menggusur dia dari wacana publik? Dengan menjadikan wilayah simulasi itu sebagai battleground, kancah peperangan terhadap belief tentang Proklamator RI itu. Seperti banyak diasumsikan para peneliti dari ilmu-ilmu politik dan sosial pada masa belakangan ini, tentang bagaimana sistematisnya penguasa era kemudian berusaha menggunakan media massa untuk menghancurkan citra Soekarno dan wacana atau kekuatan yang terbentuk di masanya. Cerita mengenai kisah para jenderal yang disayat-sayat seluruh tubuh oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) mengiringi babak kejatuhan Soekarno, telah menjadi cerita "klasik" yang disebarkan media massa kala itu, yang

belakangan dilawan dengan argumen, bahwa itu semua cuma rekayasa tentara.

Selama bertahun-tahun pada masa sesudahnya, diciptakanlah sebuah "fiksi" sebagai sebuah imaginary, bahwa kita selalu dalam ancaman kekuatan komunis kiri serta berbagai wacana yang

dituduhkan Orde Baru disuburkan oleh Soekarno. Bersama seluruh wacana di sekelilingnya itulah Soekarno hendak dikubur oleh rezim Orde Baru.

Betapapun, dinamika media massa berikut berkembangnya teknologi media ternyata menentukan hukum bahkan perlawanannya sendiri. Represi terhadap Soekarno, ternyata malah memberi inspirasi

Dalam dokumen Antikolonialisme dan Anti elitisme dalam (1) (Halaman 194-200)