• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN

Telah jelas keterpurukan ekonomi yang dialami negara-negara berkembang se-bagai imbas dari implementasi neoliberalisme. Kebijakan-kebijakan ekonomi neo-liberal yang diterapkan negara-negara berkembang selama beberapa dekade tera-khir, telah berhasil menegaskan ketidakadilan dan ketimpangan global. Semakin kokoh posisi negara-negara maju yang mengeksploitasi dan menghisap kekayaan ekonomi negara-negara berkembang. Semakin dalam keterpurukan negara-negara berkembang dalam jurang kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Ironisnya, pengalaman buruk yang nyata ini tidak menjadi cermin bagi pemer-intah Indonesia dalam merumuskan langkah-langkah pembangunan ekonomi. Sebaliknya, pemerintah Indonesia justru semakin mengukuhkan komitmen dan langkahnya menuju sebuah agenda neoliberal di tingkat kawasan dalam wujud Ma-syarakat Ekonomi ASEAN. Derita dan jeritan rakyat, yang harus menelan pil pahit kebijakan neoliberal selama ini, seakan semakin tidak terdengar, tertelan semangat gegap gempita pemerintah Indonesia melangkah menuju agenda integrasi ekonomi yang sangat jelas dilandaskan pada prinsip neoliberalisme tersebut.

Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang dicanangkan akan terwujud pada tahun 2015, merupakan suatu ranah permainan yang didasarkan pada neoliberalisme seb-agai aturan mainnya. Kepercayaan diri yang berlebihan dan optimisme akan man-faat besar dari neoliberalisme membutakan mata pemerintah Indonesia akan betapa pentingnya kesiapan ekonomi dalam tataran fundamental dan substantif sebagai syarat imperative untuk dapat bertahan dalam ranah permainan neoliberal tersebut. Sangat menyedihkan ketika pada kenyataannya, perekonomian Indonesia justru be-rada pada keadaan yang tidak siap dan tidak mampu bersaing dalam agenda inte-grasi neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN. Lebih lagi, di balik komitmen dan kepercayaan diri yang sangat kuat dari pemerintah Indonesia dalam menghadapi agenda neoliberal tersebut, justru pada kenyataannya pemerintah Indonesia tidak memiliki langkah-langkah yang berarti untuk membangun secara substantif dan fundamental perekonomian Indonesia selama periode 2003-2008 sebagai landasan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Berlandaskan pada pendekatan Gramscian-Foucauldian, bagian ini berupa-ya untuk membongkar hegemoni dan diskursus neoliberalisme di balik langkah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara lebih men-dalam, dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai pendekatan

Gramscian-Fou-cauldian dalam wujud konsep hegemoni Antonio Gramsci dan konsep diskursus Michel Foucault. Akan diperlihatkan bagaimana telah terjadi hegemoni ideologis neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berlandaskan pada konsep diskursus Michel Fou-cault akan diperlihatkan bagaimana praktik diskursif neoliberalisme memainkan pengaruh terhadap kebijakan ekonomi sebagai langkah Indonesia menuju agenda integrasi regional neoliberal tersebut.

Pada akhirnya, bagian ini berujung pada kesimpulan bahwa telah terjadi he-gemoni neoliberalisme dalam formasi kebijakan ekonomi Indonesia, khususnya dalam langkah integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berbagai praktik diskursif yang berasal dari subyek yang memiliki modalitas enunsiatif menjadi strategi efektif dalam menanamkan optimisme dan wacana kesiapan Indonesia dalam menghadapi agenda tersebut. Alhasil, terciptalah ilusi kesiapan ekonomi Indonesia dan keyakinan akan manfaat besar dari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang melandasi semangat dan komitmen besar dalam langkah yang tidak berarti dalam menciptakan kesiapan substantif dan fundamental perekonomian Indonesia dalam menghadapi agenda neoliberal tersebut.

Pendekatan Gramscian-Foucauldian

Perjalan sejarah intelektual teoritis dalam ekonomi politik memperlihatkan suatu fenomena skeptisisme yang besar terhadap pandangan bahwa kebijakan merupakan produk dari kebenaran ilmiah (scientific truth).1 Berangkat dari kera-guan atas adanya kebijakan ekonomi yang diklaim berasal dari kebenaran ilmiah, Richard Peet, di dalam sebuah karyanya yang berjudul The Unholy Trinity: The

IMF, World Bank and WTO, memandang suatu kebutuhan untuk memunculkan

suatu pendekatan yang berbeda terhadap formasi kebijakan ekonomi, yaitu suatu pendekatan yang lebih menekankan pada konteks, kekuasaan dan kepentingan politik.2 Di dalam suatu pendekatan yang berbeda ini, teori-teori ekonomi dipan-dang lebih merupakan simbolisasi dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik, ketimbang didasarkan pada penemuan-penemuan yang bersifat netral atau bebas nilai dari sebuah ilmu sosial pasti.3 Lebih dari itu, kebijakan ekonomi dipan-dang sebagai pernyataan-pernyataan budaya dan politik yang mengklaim kekua-saan di balik tabir legitimasi ilmu pengetahuan.4 Singkatnya, menurut Peet, anali-sis kebijakan ekonomi lebih merupakan sebuah upaya budaya, politik dan sosial, ketimbang sebagai sebuah studi dari aplikasi kebenaran ilmiah dan terbukti.5

Berlandaskan pada cara pandang terhadap kebijakan ekonomi ini, Richard Peet mengembangkan sebuah pendekatan yang mengkombinasikan pemikiran Antonio Gramsci dan Michel Foucault, yang kemudian ia sebut sebagai

pendeka-1 Richard Peet, Unholy Trinity: The IMF, World Bank and WTO (London: Zed Books,

2003), 22.

2 Richard Peet, Unholy Trinity, 22.

3 Richard Peet, Unholy Trinity, 22.

4 Richard Peet, Unholy Trinity, 22.

tan Gramscian-Foucauldian.6 Pertama, Peet secara spesifik menggunakan konsep masyarakat sipil (civil society) dan hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci. Peet memandang bajwa pemahaman kritis terhadap formasi kebijakan harus dimulai dengan sebuah gagasan dasar bahwa kebijakan selalu mengabdi kepada kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi tertentu.7 Terutama ketika perusahaan-perusahaan besar membayar jutaan dollar kepada partai-partai politik dengan imbalan janji mendapatkan akses kepada presiden, hal ini dilakukan atas dasar harapan bahwa donasi yang mereka berikan akan mempengaruhi kebijakan pemerintah di masa depan.8 Uang dapat membeli pengaruh, terutama pengaruh ter-hadap kebijakan.9 Dalam kondisi ini, Peet lebih menekankan pada paradigma Teori Kritis, dibandingkan dengan memahaminya dalam perspektif Marxisme. Kenyata-annya, pemahaman terhadap relasi antara kepentingan dan kebijakan sangat terkait dengan konsep ‘ideologi’ dalam pandangan Marxsime. Dalam pandangan pemikir Marxisme, kekuasaan sosial dominan, yang dikonseptualisasikan dalam wujud ke-las, menaturalisasikan dan menguniversalisasikan keyakinan dan nilai-nilai yang sehaluan dengan kepentingan mereka.10 Dengan demikian, pernyataan-pernyataan diciptakan oleh kepentingan kekuasaan untuk mendapatkan efek legitimasi politik dari kepentingan-kepentingan yang bertentangan.11 Akan tetapi, menurut Peet, ke-tika gagasan kepentingan ini memasuki sebuah ranah analisis, pandangan yang kru-sial ini tidaklah cukup dan harus diamandemen melalui konsep masyarakat sipil dan hegemoni Antoni Gramsci.12 Konsep masyarakat madani atau civil society menurut Gramsci merupakan sebuah sistem yang terdiri dari institusi-institusi sosial dan budaya (seperti keluarga, Gereja, sekolah dan lain sebagainya), yang berada di luar dan berhubungan secara parallel dengan negara dalam sebuah konsepsi luas menge-nai suprastruktur politik dan sipil.13 Gramsci meyakini bahwa hegemoni ideologis dibangun terutama oleh institusi sipil ketimbang institusi negara.14 Dalam formulasi ini, hegemoni merupakan sebuah konsepsi mengenai realitas, yang disebarluaskan oleh institusi sipil, yang menginformasikan nilai, kebiasaan dan cita-cita spiritual, yang diinduksikan ke dalam semua strata masyarakat, sebagai bentuk persetujuan ‘spontan’ terhadap status quo.15 Hegemoni juga merupakan sebuah pandangan du-nia, yang difusikan sedemikain rupa secara menyeluruh, ketika terinternalisasi, mewujud menjadi ‘common sense’ (akal/pikiran sehat). Gramsci memasukkan apa yang disebut sebagai ‘sense’ di sini, juga meliputi formasi (pembentukan) perilaku ekonomi di dalam masyarakat sipil, di mana di dalam setiap bentuk sosial terdapat makhluk ekonomi (homo economicus).16 Dengan demikian, Gramsci memandang rasionalitas ekonomi menanggapi kebutuhan material dengan cara membangun

se-6 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

7 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

8 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

9 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

10 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

11 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

12 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

13 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

14 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

15 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

buah kompleks keyakinan dan kepercayaan, di mana tujuan-tujuan konkrit diaju-kan ke dalam kesadaran kolektif.17 Berlandaskan pada pemikiran Gramsci inilah kemudian Richard Peet memindahkan level analisis dari level ideologis – produksi sosial-politik dari apa yang dipikirkan manusia – menuju level hegemonik – yaitu produksi sosiokultural mengenai cara manusia berpikir.18

Kedua, Richard Peet melengkapi gagasan mengenai ‘common sense’ yang

ter-kait dengan konsep hegemoni Gramsci dengan gagasan mengenai diskursus (wa-cana) yang dikembangkan oleh Michel Foucault. Hal ini dikarenakan Peet meman-dang persoalan formasi pemahaman ekonomi terkait dengan sebuah ranah produksi budaya dan politik yang di dalamnya terdapat individu-individu yang sangat ter-latih dan berpengalaman, atau yang disebut sebagai ‘ahli’ (experts), dan institusi-institusi yang telah mapan dengan pendanaan yang melimpah, seperti departemen pemerintah, think tanks (lembaga-lembaga atau pusat studi), asosiasi perbankan dan lain sebagainya.19 Atas dasar ini, Peet memandang bahwa keseluruhan proses berpikir sosial yang sangat terinstitusionalisasikan, dan proses budaya dari kegiatan produksi gagasan yang memiliki wawasan luas (namun terbatas), melibatkan suatu jenis tertentu dari representasi simbolis di mana konsep ‘common sense’ Gramsci menjadi tidak cukup untuk memahami proses formasi kebijakan ekonomi.20 Lebih lanjut Peet menyatakan bahwa, sementara kegiatan berpikir dimulai pada level

com-mon sense, dan kembali lagi pada level ini ketika kebijakan dijelaskan oleh ‘juru

bicara’ kepada publik, tahapan menengah teorisasi dan formasi kebijakan terjadi pada tatanan teoritis simbolisasi yang berbeda.21 Karenanya, Peet mencangkokkan gagasan diskursus Michel Foucault ke dalam pemikiran Gramsci untuk memahami proses tersebut.22

Apa yang disebut Foucault sebagai diskursus (wacana), merupakan suatu ben-tuk pernyataan-pernyataan yang rasional, hati-hati dan terorganisir, yang dibuat oleh para ahli (experts).23 Foucault memandang ilmu pengetahuan manusia sebagai sistem diskursus yang otonom dan berlandaskan pada aturan, di mana di dalam diskursus ini ia menemukan sebuah jenis fungsi lingusitik yang tidak diperhatikan sebelumnya, yaitu ‘serious speech act,’ atau pernyataan-pernyataan dengan berb-agai prosedur validasi yang diciptakan di dalam suatu komunitas para ahli. Serious

speech acts ini memperlihatkan suatu keteraturan dalam apa yang disebut Foucault

sebagai ‘formasi diskursif’ (discursive formations). Formasi diskursif ini memiliki sistem aturan-aturan yang menentukan “apa yang telah dikatakan, dan tentang apa.” Diskursus juga memiliki struktur sistematik yang dapat dianalisis secara arkeologis (mengidentifikasi elemen-elemen utamanya dan relasi yang membentuk pernyataan secara keseluruhan) dan secara genealogis (bagaimana diskursus dibentuk oleh in-stitusi-institusi kekuasaan). Berdasarkan pada penjelasan tersebut, Peet menyimpul-kan bahwa diskursus merupamenyimpul-kan sistem pernyataan-pernyataan (statements) yang terorganisir, rasional dan hati-hati, ditopang oleh prosedur validasi yang diakui,

17 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

18 Richard Peet, Unholy Trinity, 23.

19 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

20 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

21 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

22 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

terikat ke dalam formasi oleh komunitas yang terdiri oleh para ahli.24 Lebih dari itu, diskursus juga mengasumsikan suatu bentuk proposisi penting tertentu, bentuk kebijakan ekonomi yang disarankan oleh para ahli ke dalam tubuh pemerintahan.25

Dengan kata lain, menurut Peet, hegemoni di dalam arena kebijakan didukung se-cara teoritis, politik dan ekonomi yang baik yang dihasilkan oleh pemikiran para ahli atau pakar di dalam suatu suatu bentuk wacana atau diskursus simbolik.26

Dengan demikian, menurut Richard Peet, dalam cara berpikir Gramscian-Fou-cauldian ini, kebijakan ekonomi tidaklah datang dari kemampuan ilmu pengeta-huan untuk mencerminkan realitas sosial dalam sebuah struktur pernyataan yang penuh dengan kebenaran atau yang disebut sebagai teori pasti (exact theory).27

Sebaliknya, kebijakan diproduksi secara sosial oleh sebuah komunitas para pakar yang sepakat, lebih melalui persetujuan atau persuasi politik ketimbang berland-askan pada fakta, untuk menjadikan suatu bentuk cara berpikir dan berbicara yang disebut ‘rasional’.28 Singkatnya, berdasarkan pada pemikiran Foucault, menyebut suatu usulan tertentu untuk mengorganisasikan ekonomi yang rasional, efisien, op-timal atau bahkan bijaksana, merupakan sebuah cara untuk menegaskan kekuasaan, dan batasan yang seperti itu menempatkan reputasi ilmu pengetahuan di balik apa yang disebut sebagai cara berpikir yang bias-kelas dan keras kepala, memaksakan pendapat sendiri.29

Berdasarkan pada cara berpikir Gramscian-Foucauldian inilah buku ini beru-paya untuk menjawab permasalahan besar terkait dengan fakta ketidaksiapan eko-nomi Indonesia yang diringi oleh tidak adanya langkah-langkah yang berarti dari pemerintah Indonesia untuk mempersiapakan perekonomian menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Untuk itu, secara lebih mendalam bagian ini akan melaku-kan suatu elaborasi terhadap konsep hegemoni Antonio Gramsci dan diskursus Michel Foucault dalam rangka menghasilkan pisau analisis yang tajam guna men-jawab pertanyaan besar dalam buku ini.

Selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir, konsep hegemoni yang dikembang-kan oleh Antonio Gramsci dipergunadikembang-kan secara luas dalam berbagai analisis untuk memahami politik internasional, dan bahkan telah menjadi sebuah paradigma yang penting dalam disiplin Hubungan Internasional.30 Tidak hanya itu, konsep Gramsci mengenai hegemoni ini juga marak tersebar di dalam berbagai analisis terhadap dampak dari neoliberalisme dan globalisasi di kawasan Asia Pasifik.31 Namun demikian, menurut Lenore Lyons, hanya sedikit dari analisis tersebut yang dilandasi oleh pemahaman mendalam terhadap akar teoritis dari konsep hegemoni Gramsci

24 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

25 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

26 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

27 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

28 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

29 Richard Peet, Unholy Trinity, 24.

30 Owen Worth, “Beyond world order and transnational classes: The (re)application of

Gramsci in global politics,” dalam Mark McNally & John Schwarzmantel (eds.), Gramsci and Global Politics: Hegemony and Resistance (New York & London: Routledge, 2009), 19.

31 Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion

tersebut.32

Secara historis, pada dasarnya, Gramsci bukanlah yang pertama menggunakan konsep hegemoni di dalam memahami relasi yang bersifat asimetris di antara ke-lompok atau kelas-kelas sosial. Berdasarkan rekonstruksi konseptual yang dilaku-kan oleh Derek Boothman, terdapat beberapa inputs terhadap konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, di antara berasal dari pemikiran Karl Marx, para pemikir sosialis Italia, pergerakan komunis internasional awal, Bene-detto Croce, Machiavelli dan studi linguistik yang ia lakukan meliputi persoalan pertanyaan bahasa (language question), dan budaya kelompok atau kelas sosial.33

Boothman juga menemukan sebuah faktor kunci terhadap perkembangan konsep hegemoni dalam bentuk Jacobinism, yang diperluas oleh Gramsci secara metaporis dari pengalaman pergerakan revolusi Perancis dan pengalaman-pengalaman lain-nya.34 Dengan ini, sebuah prestasi besar Gramsci tercapai dalam bentuk pengem-bangan dan perangkaian keseluruhan beragam untaian dari konsep hegemoni ini untuk aplikasi inovatifnya dalam ranah politik, budaya dan ekonomi sipil, sosial, nasional dan internasional.35

Dalam tataran yang lebih luas, secara kontekstual, pemikiran Gramsci meru-pakan produk dari tiga perkembangan fundamendal yang terjadi bersama pada dekade pertama abad kedua puluh.36 Pertama, perdebatan di dalam Marxisme men-genai kondisi yang dibutuhkan dan memadai bagi terjadinya revolusi. Kedua, ke-menangan fasisme dan kekalahan gerakan kiri di Italia dan sebagian wilayah Eropa Timur. Ketiga, revolusi Bolshevik di Rusia.37 Ketiganya memaksa Gramsci untuk memikirkan kembali landasan teoritis dan konseptual pemikiran politik Marxis, terutama mengenai pemahamannya atas kekuasaan dan negara.38 Gramsci sendiri menyatakan bahwa gagasannya mengenai hegemoni bersandar pada tulisan funda-mental Karl Marx, dalam kata pengantar sebuah karya dengan judul A

Contribu-tion to a Critique of Political and Economy.39 Gramsci menekankan perhatiannya

pada pemikiran materialisme historis Marx, khususnya pada persoalan keterkaitan antara suprastruktur dan struktur, di mana Marx menyatakan bahwa seiring den-gan perubahan yang terjadi pada basis ekonomi (materi), suprastruktur besar juga akan mengalami perubahan yang lebih kurang cepat. Dalam mengamati pergo-lakan ini, Marx memisahkan antara bentuk material, yang menggulingkan kondisi

32 Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion,

ix.

33 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

of Hegemony,” dalam Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Con-sensus and Coercion (New York & London: Routledge, 2008), 46.

34 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

of Hegemony,” 46.

35 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

of Hegemony,” 46.

36 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” dalam Richard Howson & kylie

Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (New York & London: Rout-ledge, 2008), 81.

37 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” 81.

38 Bendetto Fontana, “Hegemony and Power in Gramsci,” 81.

39 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

produksi ekonomi, dengan bentuk yuridis, politik, agama, seni atau filosofis, atau dalam kata lain disebut sebagai bentuk ideologis.40 Berbeda dengan Marx, Gramsci lebih menekankan kepada persoalan dalam ranah ideologis, di mana inti gagasan mengenai pertarungan di antara kekuatan-kekuatan dalam ranah ideologis inilah yang dikembangkan dalam karyanya, Notebooks, dan dimasukkan ke dalam konsep hegemoni.41

Dengan demikian konsep hegemoni lebih berada di dalam ranah ideologis ketimbang material. Dalam batasan yang sederhana, konsep hegemoni Gramsci terkait dengan kemampuan dari sebuah kelas dominan untuk membentuk suatu hubungan konsensual dengan kelas bawah (subaltern) melalui jalur-jalur sosial dan budaya dan beragam.42 Berawal dari sebuah dikotomi tradisional antara daya paksa/ kekuatan (force) dan persetujuan (consent), suatu karakteristik dari pemikiran poli-tik Italia dari Machiavelli sampai Pareto, Gramsci menyatakan bahwa supremasi dari sebuah kelompok atau kelas sosial memanifestasikan dirinya ke dalam dua cara yang berbeda, yaitu dominasi (dominio), atau paksaan, dan kepemimpinan moral dan intelektual (direzione intelletuale e morale).43 Manifestasi dalam cara yang kedua inilah (kepemimpinan moral dan intelektual), yang menjadi landasan bagi hegemoni. Dalam konteks ini, hegemoni dengan demikian sangat terkait den-gan kontrol sosial suatu kelas atau kelompok tertentu terhadap kelas yang lain, terutama kelas yang berada pada tataran bawah (subaltern). Kontrol sosial sendiri memiliki dua bentuk dasar, yaitu secara eksternal dalam bentuk pengaruh terhadap perilaku dan pilihan melalui mekanisme imbalan dan hukuman (rewards and

pun-ishments), dan secara internal, melalui pembentukan keyakinan-keyakinan personal

menjadi sebuah replika norma-norma yang berlaku.44 Menurut Joseph V. Femia, kontrol internal semacam inilah yang didasarkan pada hegemoni, yaitu mengacu kepada sebuah tatanan di mana suatu bahasa sosial-moral dominan dibicarakan, di mana satu konsep tentang realitas bersifat dominan, menginformasikan dengan semangatnya seluruh mode pemikiran dan perilaku.45 Dengan demikian, hegemoni merupakan kekuasaan atau keunggulan yang diperoleh melalui persetujuan

(con-sent) ketimbang melalui paksaan dari satu kelas atau kelompok terhadap kelas atau

kelompok lainnya.46 Sementara dominasi direalisasikan secara esensial melalui mesin negara yang memiliki daya paksa (koersif), hegemoni atau kepemimpinan intelektual dan moral, diwujudkan dalam, dan terutama diterapkan melalui ‘ma-syarakat sipil’ (civil society), yaitu serangkaian institusi pendidikan, keagamaan dan asosiasional.47 Hegemoni dicapai melalui cara-cara yang tidak terhitung jumlahnya,

40 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

of Hegemony,” 33.

41 Derek Boothman, “Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept

of Hegemony,” 34.

42 Antonio Gramsci, Selection from the Prison Notebooks, disunting dan diterjemahkan oleh

Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith (London: Lawrence & Wishart, 1971), 55-60, 415-425.

43 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought: Hegemony, Consciousness, and the

Revo-lutionary Process (Oxford: Clarendon Press, 1981), 24.

44 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24.

45 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24.

46 Joseph V. Femia, Gramsci’s Political Thought, 24.

di mana institusi masyarakat sipil dijalankan untuk membentuk, secara langsung atau tidak langsung, struktur kognitif dan afektif di mana manusia mempersepsi dan mengevaluasi realitas sosial problematis.48 Selain itu, superioritas ideologis juga harus memiliki akar ekonomi yang kokoh, hegemoni memiliki fondasi dalam fungsi desisif yang diterapkan oleh kelompok-kelompok utama di dalam aktifitas ekonomi inti yang penting.49

Bagi Gramsci, hegemoni merupakan sebuah bentuk khusus dari relasi kekua-saan sosial di mana kelompok-kelompok yang dominan mengamankan posisi is-timewa mereka sebagian besar (jika tidak secara eksklusif) melalui cara-cara yang bersifat konsensual (terkait dengan persetujuan).50 Consent atau persetujuan terse-but diperoleh oleh kelompok yang dominan dengan cara mengartikulasikan sebuah visi politik, ideologi, yang menyatakan dirinya berbicara atas nama semua, dan digaungkan dengan keyakinan yang secara luas tersebar di dalam budaya politik popular.51 Dalam kondisi ini, kekuatan koersif mengalami penyurutan ke dalam latar belakang kehidupan politik, di mana kekuatan koersif ini tidaklah hilang dan selalu ada sebagai sebuah potensi, akan tetapi tidak tampak secara langsung dalam kehidupan politik sehari-hari.52

Dengan demikian, hegemoni memang lebih banyak terjadi dalam ranah ma-syarakat sipil, di mana konsep ini terkait dengan konflik atas ‘”prestise” kelas’ (class “prestige”).53 Perjuangan atas hegemoni terjadi di seputar upaya membentuk bentuk kesadaran intersubjektif dalam masyarakat sipil.54 Aspek intersubjektivitas (intersubjectivity) dalam perjuangan atas hegemoni ini tergambarkan dalam elab-orasi yang dilakukan oleh Gramsci terhadap ‘relasi kekuatan’ (relations of force) yang berdampak pada situasi konkrit secara historis.55 Di dalam elaborasi tersebut, Gramsci mengulas tiga ‘momen’ (moments) yang ada dalam ‘relasi kekuatan’ (lihat Gambar 5.1).56 Pertama, Gramsci memperlihatkan keutamaan dari relasi produksi yang menyediakan sebuah basis bagi kemunculan dari ‘relasi kekuatan sosial’. Dalam ‘momen’ yang kedua, mengacu kepada ‘relasi kekuatan politik’, di mana beragam kekuatan sosial dapat bersaing atas pengaruh dalam upaya untuk