• Tidak ada hasil yang ditemukan

Neoliberalisme memainkan pengaruh yang sangat besar dalam perjalanan se-jarah perekonomian dunia. Berbagai skema tata kelola perekonomian dunia, baik dalam bentuk strategi pembangunan domestik, liberalisasi perekonomian di tingkat multilateral, regional dan bilateral, tidak dapat dilepaskan dari neoliberalisme. Se-mentara itu, dalam perjalanannya, implementasi prinsip neoliberalisme ini telah membawa dampak negatif terhadap perekonomian negara-negara berkembang. Hal ini terjadi, sebagai sesuatu yang imperatif dari implementasi prinsip ekonomi yang tidak adil dan dirancang memprioritaskan pemenuhan kepentingan segelintir negara-negara tertentu.

Bagian ini berupaya untuk mengidentifikasi pengaruh neoliberalisme dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan berlandaskan pada sejarah basis teoritis dan empiris fenomena regionalisme di dunia, bagian pertama dari sub-bab ini mengidentifikasi regionalisme Asia Tenggara berjalan melampaui dua gelombang integrasi regional, di mana regionalisme gelombang kedua yang berlandaskan pada neoliberalisme terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dalam bagian kedua, melalui tiga pendekatan, historis, strategis dan teoritis, neoliberalisme teri-dentifikasi memainkan peranan besar dalam langkah dan strategi pembentukan Ma-syarakat Ekonomi ASEAN.

Dengan berlandaskan pada analisis melalui tiga pendekatan tersebut, bagian ini memposisikan agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagai wujud regionalisme yang berlandaskan pada prinsip neoliberalisme. Dengan demikian, posisi bab ini pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari bab sebelumnya, di mana agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dengan sangat jelas teri-dentifikasi sebagai wujud implementasi dari neoliberalisme, juga akan membuka peluang besar bagi terciptanya dampak-dampak negatif yang harus dialami oleh perekonomian negara-negara dengan kondisi fundamen domestik yang tidak siap dan kurang memadai dalam suatu pertarungan dalam ranah neoliberal.

Transformasi Regionalisme Asia Tenggara

Perjalanan integrasi kawasan Asia Tenggara telah melalui masa yang panjang melintasi fenomena dua gelombang regionalisme yang terjadi sepanjang sejarah

dunia. Geliat integrasi di kawasan Asia Tenggara pasca berakhirnya Perang Dingin memiliki ciri yang sangat berbeda dengan periode sebelumnya. Masa regionalisme yang baru ini dikenal dengan istilah gelombang kedua regionalisme, di mana faktor-faktor baru muncul menggantikan pendorong integrasi kawasan pada gelombang yang pertama. Regionalisme gelombang pertama merupakan fenomena integrasi kawasan yang terjadi di berbagai belahan dunia sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua sampai akhir tahun 1980-an.1 Pada masa ini fenomena integrasi kawasan didominasi oleh penjelasan teori integrasi tradisional di bawah pengaruh dialektika paradigma liberalisme dan realisme di dalam hubungan internasional.2

Pengaruh pemikiran liberalisme hubungan internasional memainkan peranan besar dalam proses integrasi regional. Pengaruh liberalisme dalam integrasi regional gelombang pertama dapat ditelusuri dari tiga pendekatan, yaitu federalisme, fung-sionalisme dan neofungfung-sionalisme.3 Ketiganya dikategorikan ke dalam pendekatan supranasional dalam memahami regionalisme gelombang pertama. Dalam pandan-gan pendekatan ini, regionalisme pada masa itu terjadi lebih didorong oleh faktor-faktor efektifitas pemenuhan kebutuhan manusia dan penyelesaian masalah ber-sama secara kolektif. Keberhasilan kerjaber-sama regional dalam bidang teknis dan fungsional diasumsikan oleh para pemikir fungsionalis akan mendorong penyeba-ran (spillover) yang mempengaruhi integrasi dalam bidang yang lebih luas. Hal ini dapat kita pahami, khususnya tercermin dari konsep ramifikasi David Mitrany yang menjelaskan keberhasilan integrasi di bidang spesifik fungsional kawasan Eropa melalui European Coal and Steel Community (ECSC), European Atomic Energy

Community (EURATOM) dan European Economic Community (ECC).4

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengaruh pemikiran liberal, terutama dalam wujud neofungsionalisme, semakin mendominasi teori-teori tentang integrasi di tingkat kawasan.5 Pandangan neofungsionalisme mengenai integrasi kawasan pada dasarnya merupakan pengembangan dari fungsionalisme. Neofungsionalisme men-gakui fenomena spillover sebagaimana yang dijelaskan oleh para pemikir fung-sional. Hanya saja para pemikir neofungsionalisme tidak melihat spillover yang terjadi pada bidang ekonomi semata.6 Efek penyebaran dari kerjasama fungsional di tingkat kawasan, menurut mereka, yang terpenting juga menyentuh ranah poli-tik. Terciptanya integrasi pada level yang lebih tinggi inilah, khususnya integrasi politik, yang merupakan wujud dorongan dari spillover di bidang politik, di mana terjadi proses pengalihan dari suatu pusat otoritas ke pusat yang lain.7 Ernst Haas, salah satu pemikir utama neofungsionalisme, memandang integrasi dari sudut pan-dang yang berbeda dari konsep spillover fungsionalis, di mana efek penyebaran mengarah kepada integrasi ekonomi dan terutama politik dalam suatu basis terito-rial.8 Lebih lanjut, teori neofungsionalis memandang proses integrasi ekonomi dan

1 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order: Europe and

Southeast Asia (Hampshire &Burlington: Ashgate, 2007), 6.

2 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28.

3 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28.

4 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 6-28.

5 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

6 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

7 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

politik tersebut, didorong oleh tindakan dari aktor-aktor rasional, baik dalam ben-tuk institusi supranasional atau kelompok-kelompok produsen.9

Namun demikian, pengaruh dominan dari teori neofungsionalisme yang sering-kali bahkan disebut sebagai teori integrasi ini, mulai mengalami penurunan di ta-hun 1970-an. Penurunan pengaruh ini sejalan dengan kritik deras terhadap asumsi dan prediksi teoritis dari neofungsionalisme yang tidak selaras dengan realitas empiris.10 Bahkan Ernst Haas dan para pemikir neofungsionalis lainnya mengakui persoalan ini. Mereka menyatakan bahwa kekuatan pendorong bagi proses integrasi Eropa di tahun 1950-an, telah mengalami penurunan.11 Fenomena spillover yang mereka asumsikan dari low politics menuju high politics kenyataannya sangat ter-batas secara empiris.12 Beberapa dari pemikir neofungsionalis lebih lanjut melaku-kan modifikasi terhadap konsep spillover, yang memungkinmelaku-kan terjadinya suatu proses kebalikan dari integrasi (spillback).13

Di tengah penurunan pengaruh dari penjelasan pemikiran turunan dari liberal-isme ini, asumsi dan penjelasan dari realliberal-isme/neorealliberal-isme menampakkan kekuatan dalam kesesuaian dengan realitas empiris. Realisme/neoreralisme menekankan per-hatian terutama pada bentuk regionalisme yang terkait dengan persoalan keaman-an.14 Paradigma ini memiliki asumsi bahwa negara-negara dapat bekerjasama dan membangun suatu rezim internasional dan regional dalam rangka untuk menin-gkatkan keamanan relatif mereka.15 Realisme/neorealisme menjelaskan fenomena munculnya aliansi dan berbagai bentuk kerjasama lainnya sebagai sarana yang baik untuk meningkatkan keamanan dan menjamin keberlangsungan hidup.16 Perilaku penyeimbangan sebagai hasilnya, diikatkan dengan distribusi kapabilitas relatif dari setiap partisipan di dalam kerjasama.17 Paradigma ini menegaskan bahwa, kerjasama regional lebih merupakan suatu bentuk institusionalisasi aliansi untuk mengatasi suatu ancaman bersama atau melawan penyebarluasan kepentingan he-gemoni dari sebuah kekuatan besar.18

Akan tetapi, dominasi pemikiran realisme/neorealisme dalam kaitannya dengan regionalisme ini tidaklah tanpa tandingan. Berkembangnya fenomena pluralisasi aktor dalam hubungan internasional semakin meningkat derajat saling ketergantun-gan (interdependensi) di tingkat internasional, telah membangkitkan kembali pen-garuh pemikiran liberalisme/neoliberalisme dalam menjelaskan fenomena integrasi kawasan. Selain itu, realitas empiris pasca berakhirnya Perang Dingin menunjuk-dalam Shaun Breslin, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Regionalisms in the Global Political Economy: Theory and Cases (London & New York: Routledge, CSGR, 2002), 2.

9 Shaun Breslin, Richard Higgott & Ben Rosamond, “Regions in Comparative

Perspec-tive,” 2.

10 Shaun Breslin, Richard Higgott & Ben Rosamond, “Regions in Comparative

Perspec-tive,” 3.

11 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

12 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

13 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 15.

14 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19.

15 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19.

16 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19.

17 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 19.

kan kontradiksi dengan apa yang diasumsikan oleh pemikiran realisme/neoreal-isme. Pertama, Eropa di tahun 1980-an mulai memusatkan perhatian pada upaya peningkatan daya saing ekonominya sendiri dalam hubungan dengan Jepang dan Amerika Serikat.19 Kedua, Perjanjian Maastricht berjalan seiring dengan proses re-unifikasi Jerman, yang semakin menguatkan integrasi Eropa.20 Fenomena ini kemu-dian mendorong penguatan pengaruh pemikiran neoliberal institusionalisme dalam menjelaskan proses integrasi regional, terutama melalui konsep interdependensi ekonomi. Berkembangnya fenomena baru pasca Perang Dingin ini juga menandai munculnya gelombang kedua dalam sejarah regionalisme di dunia.

Sejak berdirinya pada 8 Agustus 1967, ASEAN mengalami suatu proses trans-formasi yang panjang melampaui fenomena gelombang pertama sampai kepada gelombang kedua regionalisme. Pada awalnya, munculnya regionalisme di kawasan Asia Tenggara dalam wujud ASEAN, sangat relevan dijelaskan melalui perspektif realisme. Faktor-faktor yang mendorong terbentuknya suatu organisasi regional di Asia Tenggara ini lebih banyak berada dalam ranah politik keamanan dibandingkan persoalan ekonomi. Dalam sejarah awalnya, peningkatan kerjasama antar negara di kawasan ini lebih didasarkan oleh inisiatif yang berasal dari kekuatan di luar ka-wasan (extra-regional powers) dalam konstelasi politik internasional masa Perang Dingin pasca berakhirnya Perang Dunia Kedua.21 Pada masa ini terdapat dorongan yang kuat dari negara-negara Sekutu agar Amerika Serikat memberikan komitmen yang kuat terhadap kawasan Asia Tenggara. Hal ini menjadi fenomena pertama yang mewarnai proses regionalisme di kawasan Asia Tenggara. Wujud nyata dari upaya kekuatan di luar kawasan untuk meningkatkan dan memfasilitasi kerjasama di Asia Tenggara terletak pada penandatangan Perjanjian Pertahanan Kolektif Asia Tenggara (Southeast Asia Collective Defense Treaty) di Manila, September 1954.22

Kesepakatan ini menjadi landasan bagi terbentuknya Southeast Asian Treaty

Or-ganisation (SEATO) yang terdiri Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru,

Paki-stan, Perancis, Australia, Filipina dan Thailand, sekaligus sebagai respon langsung terhadap kekalahan Perancis di Indochina.23

Fenomena kedua yang menjadi latar dari regionalisme gelombang pertama Asia Tenggara terletak pada beragamnya struktur politik, ekonomi, budaya dan sosial serta kepentingan prioritas dari elit yang berkuasa di negara-negara ini.24 Dalam kondisi ini, regionalisme sangat dipengaruhi oleh orientasi elit yang berkuasa terhadap pengaruh pertarungan ideologis Perang Dingin di kawasan ini. Sebagai hasilnya, tidak mengherankan jika kesepakatan untuk membentuk ASEAN baru tercapai setelah terjadi perubahan rezim pemerintahan di Indonesia dan Filipina. Berdasarkan konteks ini, berdirinya ASEAN di tahun 1967 lebih diorientasikan kepada upaya penciptaan stabilitas keamanan di kawasan yang diwarnai oleh perse-turan ideologis, dengan salah satu tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan.

Kuatnya semangat nasionalisme menjadi fenomena ketiga yang mewarnai

gel-19 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 20.

20 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 20.

21 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78.

22 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78.

23 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 78.

ombang pertama regionalisme di kawasan Asia Tenggara. Berbeda dengan proses yang terjadi di Eropa, di mana semangat nasionalisme justru mengalami pelemahan pasca Perang Dunia Kedua, di kawasan Asia Tenggara, semangat ini justru menjadi alat untuk mencapai kemerdekaan. Regionalisme di kawasan Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dan pergerakan nasionalis.25 Fenomena inilah yang menjelaskan mengapa prinsip kedaulatan negara tertanam dengan san-gat kuat dalam ASEAN.

Ketiga fenomena yang melatarbelakangi gelombang pertama regionalisme di Asia Tenggara ini, dengan demikian menjadikan penjelasan paradigma realisme/neo-realisme lebih relevan dibandingkan dengan pendekatan liberalisme/neoliberalisme. Dengan kuatnya pengaruh kekuatan ekstra-kawasan untuk menangkal ancaman keamanan bersama, dan lestarinya prinsip non-intervensi, penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing negara, integritas territorial, stabilitas nasional dan ka-wasan, menjadikan regionalisme Asia Tenggara dalam wujud ASEAN di gelom-bang yang pertama tidak lebih sebagai suatu institusionalisasi aliansi dengan tujuan kapabilitas keamanan relatif, sebagaimana yang diasumsikan oleh para pemikir realisme. Kecondongan elit penguasa terhadap peta kekuatan konstelasi politik in-ternasional yang menjadi salah satu prekondisi dari berdirinya ASEAN semakin menguatkan asumsi dari realisme dalam menjelaskan gelombang pertama region-alisme di kawasan Asia Tenggara ini. Interdependensi di bidang keamanan lebih memainkan peranan dalam proses regionalisme Asia Tenggara gelombang pertama dibandingkan dengan interdependensi ekonomi.

Praktis, dengan berkecamuknya perang di dalam suasana Perang Dingin di ka-wasan ini pada tahun 1960-an dan 1970-an, wacana untuk integrasi ekonomi di tingkat kawasan tidak menjadi warna yang dominan. Akhir tahun 1970-an, baru kemudian isu-isu ekonomi mendapatkan perhatian besar dalam proses integrasi ka-wasan Asia Tenggara. Jika kita amati perkembangan isu integrasi ekonomi dalam ASEAN, terlihat suatu fenomena yang sejalan dengan pertumbuhan pengaruh neo-liberalisme dalam tata kelola perekonomian dunia. Berjalan seiring dengan mulai munculnya pengaruh neoliberalisme dalam perekonomian internasional, pada tahun 1977, negara-negara ASEAN menandatangani sebuah kesepakatan baru di mana para pemimpin negara-negara di kawasan Asia Tenggara sepakat untuk mengadopsi beragam instrumen liberalisasi perdagangan berdasarkan basis preferensial.26 Sebe-lumnya, pada tahun 1976, negara-negara ASEAN telah menandatangani Bali Con-cord yang merupakan deklarasi mengenai kerjasama di bidang perdagangan untuk memajukan pembangunan dan pertumbuhan produksi dan bidang perdagangan ba-ru.27 Menguatnya isu kerjasama ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini, kemudian diikuti oleh deklarasi di tahun 1987, di mana negara-negara ASEAN berupaya un-tuk memperkuat kerjasama ekonomi intra-ASEAN unun-tuk memaksimalkan realisasi potensi perdagangan dan pembangunan kawasan.28

Namun demikian, berbagai kesepakatan dan deklarasi terkait penguatan ker-jasama ekonomi tersebut tidak diikuti oleh langkah-langkah yang nyata. Baru

25 Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation and International Order, 73.

26 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy: Finance, Trade and

Investment (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2008), 219.

27 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219.

kemudian, setelah berakhirnya Perang Dingin, beragam inisiatif baru muncul, menandai masuknya integrasi kawasan Asia Tenggara ke dalam gelombang kedua regionalisme. Terobosan nyata terjadi pada Januari 1992 di Singapura, di mana enam negara anggota ASEAN menandatangani skema tarif preferensial efektif ber-sama (Common Effective Preferential Tariff/CEPT) dalam agenda pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA).29 Skema CEPT ini ditujukan untuk menurunkan hambatan tarif sampai tidak lebih dari lima persen dan menghapuskan segala bentuk hambatan kuantitatif secara menyeluruh termasuk hambatan non-tarif di dalam AFTA.30

Lahirnya Visi ASEAN 2020 di Kuala Lumpur pada tahun 1997 menjadi titik terang bagi menguatnya pengaruh neoliberalisme dalam arah perkembangan re-gionalisme di Asia Tenggara. Dalam Visi ini ASEAN mengarah kepada integrasi yang mendalam di bidang ekonomi dengan prinsip liberalisasi sebagai landasan-nya. Bahkan krisis finansial yang menghantam perekonomian negara-negara ASEAN di penghujung tahun 1990-an tidak melemahkan pengaruh neoliberalisme dalam gelombang kedua integrasi regional di Asia Tenggara. Meskipun beragam analisis memperlihatkan bahwa akar dari krisis tersebut terletak pada implementasi kebijakan liberalisasi finansial di negara-negara kawasan ini, prinsip neoliberal-isme tetap menjadi landasan bagi integrasi regional Asia Tenggara. Disepakatinya pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) me-lalui penandatangan ASEAN Concord-2 di Bali pada Oktober 2003, merupakan wujud nyata kuatnya pengaruh neoliberalisme dalam menentukan arah integrasi ekonomi ASEAN. Prinsip liberalisasi terlihat dengan sangat jelas sekali menjadi landasan bagi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2020, di mana di dalam Bali Concord dinyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupak-an realisasi dari tujumerupak-an akhir integrasi ekonomi sebagaimmerupak-ana digariskmerupak-an dalam Visi ASEAN 2020, yaitu untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, sejahtera, dan berdaya saing tinggi di mana di dalamnya terdapat pergerakan bebas barang, jasa, investasi dan arus modal, pembangunan ekonomi yang setara dan pen-gurangan ketimpangan sosial dan ekonomi.31

Bahkan, begitu kuatnya komitmen terhadap regionalisme berbasis liberalisasi ini telah mendorong upaya percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, yang disepakati dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Janu-ari 2007. Dalam pertemuan tersebut, neoliberalisme menjadi semakin kuat dalam mempengaruhi arah perkembangan integrasi ASEAN. Para pemimpin ASEAN melalui pertemuan tersebut, sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyara-kat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan di mana barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal dapat bergerak dengan bebas.

Dengan demikian, integrasi kawasan Asia Tenggara dalam gelombang yang kedua ini, semakin memperlihatkan apa yang dinyatakan oleh Paul Bowles, bah-wa regionalisme baru merupakan wujud kombinasi regionalisme dengan adopsi

29 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219.

30 Ramkishen S. Rajan & Sunil Songala, Asia in the Global Economy, 219.

31 ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm, diakses pada

strategi-strategi pembangunan neoliberal.32 Kondisi ini mencerminkan suatu pros-es adopsi strategi pembangunan neoliberal yang marak terjadi di negara-negara berkembang melalui campur tangan IMF dan Bank Dunia yang berjalan seiring dengan perkembangan regionalisme dalam gelombang kedua. Bowles mengama-ti bahwa dalam fenomena regionalisme baru, kesepakatan perdagangan regional mencerminkan strategi liberalisasi bagi negara-negara berkembang pada taha-pan awal dalam rangka menghadapi liberalisasi dalam lingkup yang lebih luas.33

Strategi liberalisasi regional diyakini oleh para pendukungnya dapat menjadi lan-dasan bagi industri untuk menyesuaikan diri dalam bersaing dengan negara-negara tetangga terlebih dahulu sebelum memasuki ranah persaingan di tingkat global.34

Strategi ini secara empiris, di beberapa kawasan, berhasil memobilisasi dukungan kepentingan bisnis berbagai inisiatif liberalisasi regional.35 Kondisi inilah yang menjelaskan kemunculan kembali regionalisme sebagai sebuah pilihan kebijakan bagi negara-negara berkembang dikarenakan regionalisme terbukti bermanfaat dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal.36 Geliat in-tegrasi ekonomi regional ASEAN pada gelombang yang kedua, dengan demikian merupakan bagian dari regionalisme yang dilandasi oleh prinsip-prinsip neoliberal sebagaimana yang digambarkan oleh Bowles.

Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Prinsip Neoliberalisme

Tidak dapat dipungkiri bahwa karakteristik neoliberalisme yang melekat san-gat kuat di dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 menjadikan regionalisme Asia Tenggara sebagai bagian dari regionalisme yang di-landasi oleh implementasi prinsip-prinsip ekonomi neoliberal. Bagian ini berupaya untuk mengidentifikasi dan memberikan eksplanasi kritis terhadap karakteristik neoliberalisme di dalam agenda pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN, se-hingga dapat dinyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan region-alisme yang bernafaskan neoliberregion-alisme. Secara keseluruhan, upaya pembingkaran neoliberalisme di balik agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan historis, strategis dan teoritis.

Secara historis, pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari agenda pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) di tahun 1992. Runtuhnya pengaruh komunisme seiring dengan berakhirnya Perang Dingin semakin menguatkan penyebaran pengaruh implemen-tasi prinsip neoliberalisme dalam berbagai tataran ekonomi di dunia. Disepakatinya pembentukan AFTA oleh negara-negara ASEAN dapat dinyatakan sebagai bagian dari kecenderungan kuat liberalisasi ekonomi dunia pasca berubahnya kontelasi politik internasional tersebut. Selain itu, AFTA juga menjadi bukti dari

perkem-32 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” dalam

Shaun Breslin, Christopher W. Hughes, Nicola Phillips & Ben Rosamond, eds. New Region-alisms in the Global Political Economy: Theory and Cases (London & New York: Rout-ledge, CSGR, 2002), 81.

33 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87.

34 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87.

35 Paul Bowles, “Regionalism and development after(?) the global financial crises,” 87.

bangan regionalisme Asia Tenggara berbasis neoliberalisme pada gelombang yang kedua.

Meskipun kenyataannya AFTA tidak diikuti oleh langkah-langkah nyata lib-eralisasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara, namun melalui fase ini, komitmen integrasi ekonomi kawasan berlandaskan prinsip neoliberalisme terbangun dengan sangat kuat. Tujuan utama dari AFTA adalah untuk meningkatkan posisi ASEAN sebagai sebuah basis produksi yang memiliki daya saing baik di tingkat kawasan ataupun dalam pasar global. Untuk mencapai tujuan ini, melalui AFTA, negara-negara ASEAN berupaya untuk meningkatkan keterkaitan industri dan perda-gangan intra-ASEAN, spesialisasi dan skala ekonomi serta menjadikan kawasan sebagai basis produksi yang berdaya saing dan efisien bagi investasi.37 Prinsip neoliberalisme tercermin dari cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut melalui penerapan liberalisasi perdagangan yang diterjemahkan secara konkrit dalam ben-tuk kebijakan pengurangan tarif dalam perdagangan. Proyek liberalisasi kawasan Asia Tenggara ini dijalankan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang dirancang untuk menurunkan tarif seluruh produk manufaktur produk pertanian olahan menjadi 0-5 persen dalam sebuah bingkai waktu 15 tahun.38