• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dodi Mantra-Hegemoni Dan Diskursus Neoliberalisme_ Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015-MantraPress (2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dodi Mantra-Hegemoni Dan Diskursus Neoliberalisme_ Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015-MantraPress (2011)"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Menelusuri Langkah Indonesia Menuju

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

Hegemoni dan Diskursus

(3)
(4)

Hegemoni dan Diskursus

Neoliberalisme

Menelusuri Langkah Indonesia Menuju

Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

(5)

1. Hegemoni 2. Diskursus 3. Neoliberalisme 4. ASEAN 5. Ekonomi-Politik I. Judul

Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme— Dodi Mantra, Bekasi: MantraPress, Oktober 2011

254 halaman, i -xiv, 16 x 23 cm ISBN: 978-602-19076-0-3

Cetakan Pertama, Oktober 2011 Diterbitkan oleh:

MantraPress

Jl. Gemak B. 153 RT03/09 Jaka Setia Bekasi Selatan

Jawa Barat - 17147 085880909505

(6)

Daftar Isi

Kata Pengantar xiii

Pendahuluan 1

Daftar Isi v

Daftar Tabel vii

Daftar Gambar xi

Bab 1

Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN:

Komitmen dan Semangat Tanpa Langkah Berarti 3

Bab 2

Liberalisasi dan Keterpurukan Ekonomi Negara-Negara

Berkembang 21

Ketidaksiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 8 Teori Kritis dan Pendekatan Gramscian-Foucaldian 16

Sistem Bretton Woods, Jejak Awal Liberalisasi Ekonomi

Internasional 22

Washington Consensus, Liberalisasi Mendalam dan Sistematis

Negara-Negara Berkembang 32

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),

World Trade Organization (WTO) dan Liberalisasi Perdagangan 38

Kesepakatan Perdagangan Bebas (Free Trade Agreements/FTAs) dan Gelombang Kedua Regionalisme sebagai Wujud Transformasi

Strategi Liberalisasi 45

Akhir dari Bretton Woods, Liberalisasi dalam sebuah Kondisi

Tanpa Sistem 28

Keterpurukan Ekonomi, Buah Liberalisasi Perekonomian

(7)

vi

Bab 3

Masyarakat Ekonomi ASEAN:

Neoliberalisme dan Gelombang Kedua Regionalisme 77

Bab 4

Potret Ketidaksiapan Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi

Masyarakat Ekonomi ASEAN 97

Bab 5

Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme dalam Kebijakan

Ekonomi Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 161

Transformasi Regionalisme Asia Tenggara 77

Daya Saing dan Kinerja Industri Manufaktur Indonesia 98

Pendekatan Gramscian-Foucauldian 162

Kaburnya Paradigma dan Arah Kebijakan Pembangunan Nasional 230 Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Prinsip Neoliberalisme 83

Daya Saing Industri Pariwisata Indonesia 118 Potret Komparatif Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia 121

Iklim Investasi Indonesia Menuju Liberalisasi Arus Investasi

Masyarakat Ekonomi ASEAN 149

Praktik Diskursif Neoliberalisme dan Kebijakan Ekonomi Indonesia

Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 203

Kedalaman Hegemoni dalam Formasi Diskursif: Praktikalitas, Inevitabilitas dan Optimalitas dalam Menghadapi Agenda Neoliberal

Masyarakat Ekonomi ASEAN 226

Perjuangan Hegemoni dan Praktik Diskursif melalui Tiga Pusat

Kekuatan (Power Centers) dan Blok Historis Neoliberalisme 227 Permasalahan Kualitas Tenaga Kerja dan Pengangguran

di Indonesia 142

Hegemoni Ideologis Neoliberalisme dalam Formasi Kebijakan

Ekonomi Indonesia Menuju Terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 181

Kesimpulan 234

Daftar Pustaka 240

(8)

Daftar Tabel

Tabel 2.1

Delapan Putaran Negosiasi Perdagangan di bawah GATT 41

Tabel 2.4

Kesepakatan Perdagangan Kawasan sampai dengan tahun 2005 55

Tabel 2.6

Skenario Liberalisasi Perdagangan di Negara-Negara SAPRI/CASA 64

Tabel 3.1

Paket CEPT bagi Negara ASEAN-9 sampai tahun 1998 85

Tabel 3.2

Empat Model Relasi Globalisasi-Regionalisme 95

Tabel 4.2

Spesialisasi Sektor Manufaktur Negara-Negara Berkembang 104

Tabel 4.3

Nilai Ekspor Kelompok Barang Manufaktur 106

Tabel 4.4

Indikator Sektor Industri Pengolahan Indonesia 1996-2002 108

Tabel 2.5

Kesepakatan IMF-Negara-Negara Anggota, Jumlah Kesepakatan dan Dana yang Dialokasikan, Negara-negara Berkembang

dan Transisi Periode 1988/1989 – 1992/1993 60

Tabel 2.3

Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Serikat

(sampai dengan Maret 2009) 53

Tabel 2.7

Ringkasan Dampak Implementasi Program Penyesuaian Struktural

di Negara-Negara Berkembang SAPRI/CASA 68

Tabel 4.1

Perubahan Struktur Perdagangan berdasarkan Kelompok Negara

tahun 1990 dan 2005 100

Tabel 2.2

Jumlah Regional Trade Agreements yang telah berjalan berdasarkan

(9)

Tabel 4.5

Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (Sektoral) 109

Tabel 4.8

Perkembangan Kunjungan Wisatawan Tahun 2004-2008 120

Tabel 4.9

Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara ASEAN 121

Tabel 4.10

Indeks Pembangunan Manusia Negara-Negara ASEAN 2007 126

Tabel 4.6

Peringkat Negara-Negara Kawasan Asia Timur dan Pasifik berdasarkan Indeks Competitiveness Industrial Performance (CIP)

tahun 2000 dan 2005 112

Tabel 4.11

Human Development Report 2009:

Human development index 2007 and its components ASEAN Countries 127

Tabel 4.12

Human Development Report 2007/2008,

Human and Income Poverty: ASEAN Countries 128

Tabel 4.13

Human Development Report 2007/2008, Commitment to health:

resources, access and services (ASEAN Countries) 132

Tabel 4.14

Human Development Report 2007/2008,

Water, sanitation and nutritional status (ASEAN Countries) 133

Tabel 4.15

Human Development Report 2007/2008, Commitment to Education:

public spending (ASEAN Countries) 134

Tabel 4.16

Human Development Report 2007/2008, Literacy and enrolment

(ASEAN Countries) 135

Tabel 4.17

Human Development Report 2007/2008,

Technology: diffusion and creation (ASEAN Countries) 139

Tabel 4.18

Indeks Daya Saing Negara-Negara ASEAN 2008-2009 dan 2009-2010 141

Tabel 4.7

Enam Indikator Kinerja Industri, Negara-Negara ASEAN

(10)

Tabel 4.19

Persentase Penduduk yang Bekerja

Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008-2010 144

Tabel 4.20

Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan Tertinggi

yang Ditamatkan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 147

Tabel 4.22

Korelasi antara Pertumbuhan PDB dan FDI

dalam tahun sebelum, selama dan sesudah, 1981-2005 153

Tabel 4.21

Tingkat Pengangguran Negara-Negara ASEAN 148

Tabel 4.23

Peringkat Indeks Kinerja dan Potensi FDI ke dalam, 1990-2007 156

Tabel 4.24

Arus Investasi Asing Langsung (FDI) ke ASEAN 2008-2009 157

Tabel 5.1

(11)
(12)

Daftar Gambar

Gambar 2.1

Krisis Utang Internasional 1982-1985 34

Gambar 2.2

Sumber Ekspor Dunia 1953-2006 45

Gambar 2.3

Area Perdagangan Bebas di Dunia 48

Gambar 2.4

Kesepakatan Perdagangan Bebas dan 50 Peringkat Atas Pasar Ekspor Dunia 50

Gambar 2.5

Kemitraan FTA Negara Maju dan Berkembang 51

Gambar 2.6

Difusi FTA 1948-2008 51

Gambar 4.1

Struktur Perdagangan Dunia 2005 102

Gambar 4.3

Pertumbuhan Ekspor Nonmigas 107

Gambar 4.4

Indikator Sektor Industri Pengolahan Indonesia 1996-2009 108

Gambar 4.5

Jumlah Paten yang Didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI 137

Gambar 5.1

Relasi Kekuatan, Antonio Gramsci 169

Gambar 5.2

Relasi Politik dari Hegemoni, Antonio Gramsci 169

Gambar 2.7

Persentase Output Ekonomi dan Populasi Dunia berdasarkan

GDP per Kapita Negara tahun 2004 56

Gambar 2.8

Sejarah Pinjaman IMF – Dana Pinjaman IMF dalam Proporsi

Eskpor Dunia 1948-2006 59

Gambar 4.2

Struktur Sektoral Perdagangan Dunia berdasarkan Kawasan

(13)

Gambar 5.3

Model Analisis Gramscian-Foucauldian 180

Gambar 5.4

Fase dan Mekanisme Perjuangan Hegemoni IMF terhadap

(14)

Kata Pengantar

Terlihat sesuatu yang berbeda ketika menyusuri jalan protokol ibukota Jakarta di paruh pertama tahun 2011 ini. Hampir di setiap kantor instansi pemerintah terpam-pang spanduk yang berisikan tulisan “Selamat atas Keketuaan ASEAN – Indonesia 2011, Ciptakan Masyarakat ASEAN yang Saling Peduli dan Berbagi,” “Indonesia Mampu Pimpin ASEAN 2011.”

Semangat dan komitmen pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyara-kat ASEAN memang terasa semakin kuat seiring dengan jabatan Ketua ASEAN yang diemban pemerintah di tahun 2011 ini. Kontradiksi dengan antusiasme pemer-intah, rasa khawatir dan kegelisahan justru semakin memuncak di dalam dada lis menyaksikan fenomena semangat tanpa dasar ini. Laporan hasil penelitian penu-lis mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2010 lalu, akhirnya dengan segera dikemas menjadi sebuah buku yang saat ini ada di tangan pembaca.

Kegelisahan penulis berangkat dari suatu pemahaman atas realitas dan jejak historis percobaan neoliberalisme di berbagai negara yang selalu berujung pada keterpurukan ekonomi. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, bahkan kematian industri adalah persoalan yang melekat seiring dengan implementasi neo-liberalisme. Terlepas dari nyata dan parahnya derita yang harus ditanggung rakyat sebagai imbas dari neoliberalisme, pemerintah Indonesia justru memperlihatkan langkah-langkah yang semakin nyata mengikatkan diri ke dalam bentuk kesepaka-tan perdagangan bebas, terutama Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Neoliberalisme jelas menjadi dasar dari integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Aliran bebas dalam lima elemen yang menjadi pilar integrasi ekonomi ASEAN menjadi bukti nyata betapa kekuatan pasar menjadi pendorong utamanya. Lebih dari itu, agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN memiliki kekuatan mengikat secara hukum (legally binding), seiring dengan ditandatangi dan telah diratifikasin-ya Piagam ASEAN.

Ironis memang, jika kita mengamati semangat gegap gempita pemerintah In-donesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN dibandingkan dengan tidak berartinya langkah-langkah persiapan yang substantif dan riil. Langkah-lang-kah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN selama ini lebih besar difokuskan pada persoalan teknis implementasi langkah-langkah yang terkan-dung dalam Cetak Biru perwujudan agenda ini. Sementara itu, dari sisi langkah per-siapan yang bersifat substantif dan riil bagi perekonomian Indonesia, fakta empiris

(15)

justru memperlihatkan betapa sektor-sektor penting dalam perekonomian negeri ini berada dalam posisi yang jauh tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Buku ini berupaya untuk mengulas persoalan tidak berartinya langkah substantif dan riil pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekono-mian menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Tentu saja, buku ini hanyalah satu bagian kecil dari pemaknaan terhadap re-alitas agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Masih banyak kekurangan dan per-soalan yang terkandung dalam buku ini. Setidaknya, buku ini dapat memberikan pemahaman terhadap agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan membawa dampak nyata bagi kehidupan rakyat Indonesia, yang jika kita mau jujur, sebagian besar tidak mengetahui atau bahkan mengerti tentang agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada se-luruh pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga dapat menjadi bagian dalam upaya untuk membebaskan rakyat, membangun umat dan bangsa menuju kemajuan yang sejati.

Bekasi, Mei 2011

(16)

Pendahuluan

Berangkat pada sebuah posisi pemikiran bahwa percobaan neoliberalisme akan selalu berujung pada keterpurukan ekonomi, buku ini berupaya untuk membong-kar faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya langkah-langkah atau upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mempersiapkan perekonomian secara substantif dan riil guna menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Fakta historis mengungkapkan bahwa implementasi pilar-pilar neo-liberalisme telah berhasil membuahkan persoalan-persoalan mendasar bagi per-ekonomian negara-negara di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, pengangguran, kesenjangan dan deindustrialisasi, menjadi warna dominan yang melekat dalam implementasi neoliberalisme. Bahkan episode krisis menjadi bagian yang tidak dapat terlepaskan dari perekonomian global yang berjalan atas dasar aturan main neoliberal.

Sementara itu, langkah dan komitmen negara-negara Asia Tenggara semakin kuat menuju terwujudnya sebuah agenda neoliberal Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015. Prinsip-prinsip dasar neoliberalisme dalam wujud liberalisasi, priva-tisasi dan deregulasi, menjadi roh dari terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Langkah-langkah implementasi strategis dengan tahapan yang spesifik dalam Ce-tak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, mencerminkan betapa neoliberalisme men-jadi landasan dari integrasi ekonomi regional Asia Tenggara ini.

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen dan semangat besar dalam mewu-judnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Semangat gegap gempita menuju pertarun-gan dalam arena neoliberal ini seharusnya berjalan seiring denpertarun-gan langkah-langkah substantif dan riil untuk mempersiapkan perekonomian. Ironisnya, pemerintah In-donesia justru terfokus pada langkah-langkah persiapan teknis neoliberal sejalan dengan implementasi cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Dengan menggunakan pendekatan Gramscian-Foucauldian–sebuah pendekatan analisis yang mengkombinasikan konsep hegemoni Antonio Gramsci dan diskur-sus Michel Foucault– yang dikembangkan oleh Richard Peet, analisis dalam buku berupaya untuk membongkar fenomena minimnya langkah persiapan substantif dan riil dari pemerintah Indonesia tersebut. Analisis yang terkandung dalam sub-stansi buku ini memperlihatkan bahwa neoliberalisme telah berada dalam posisi hegemoni dalam perekonomian Indonesia. Dengan kata lain, neoliberalisme telah menjadi konsensus tidak tertulis sebagai landasan paradigmatis bagi pembangunan

(17)

ekonomi Indonesia yang kebenaran dan manfaatnya diyakini oleh para pengam-bil kebijakan ekonomi di negeri ini. Analisis dalam buku ini juga mengungkapkan bahwa tercapainya posisi hegemoni neoliberal tersebut tidak terlepas dari keber-hasilan perjuangan hegemoni yang dilakukan oleh komunitas epistemis liberal In-donesia yang tersebar di berbagai ranah, baik itu ranah intelektual atau bahkan ra-nah pengambil kebijakan. Langkah-langkah persiapan teknis yang kontras dengan langkah substantif dan riil menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN ber-jalan seiring dengan diskursus keyakinan dan optimisme akan manfaat dari agenda neoliberal ini. Praktik diskursif yang dijalankan oleh aktor-aktor sosial dengan mo-dalitas enunsiatif (para ahli/pakar ekonomi dengan spesialisasi dan reputasi yang diakui) dalam apa yang disebut Foucault sebagai formasi diskursif (disiplin ilmu pengetahuan) ekonomi, diyakini sebagai kunci keberhasilan bagi naturalisasi mak-na positif dari agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN. Alhasil, kedalaman hegemoni dalam formasi diskursif ekonomi di Indonesia, telah melahirkan fenomena prakti-kalitas, inevitabilitas dan optimalitas dalam memaknai formasi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Praktikalitas mewu-jud dalam batasan-batasan makna positif saja yang boleh dibicarakan terkait Ma-syarakat Ekonomi ASEAN. Inevitabilitas mewujud dalam sikap yang memandang bahwa agenda liberalisasi dan integrasi ekonomi regional ini merupakan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan. Sementara itu, optimalitas mewujud dalam keya-kinan mendalam akan manfaat dari perwujuan agenda integrasi ekonomi regional berbasis neoliberal. Posisi hegemoni neoliberalisme dengan topangan praktik dis-kursif yang massif, menyebabkan kaburnya paradigma dan arah kebijakan pem-bangunan nasional. Negara mengalami pelemahan kapasitas dalam menjalankan fungsinya sementara kebijakan-kebijakan pemerintah berjalan secara parsial dan tumpang tindih dalam berbagai dimensi.

Ketika neoliberalisme telah berada dalam posisi hegemoni, praktik diskursif pun berada dalam demarkasi makna yang positif atas neoliberalisme, maka tidak mengherankan jika langkah-langkah pemerintah Indonesia yang substantif dan riil untuk memajukan perekonomian menjadi sangat minim dalam menghadapi ter-wujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal ini terjadi tidak terlepas dari komit-men kuat dan keyakinan komit-mendalam pemerintah Indonesia akan manfaat besar dari perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang lahir dari proses panjang keber-hasilan perjuangan hegemoni dan praktik diskursif neoliberalisme dalam formasi diskursif perekonomian Indonesia.

Hegemoni dan diskursus neoliberalisme berada di balik langkah pemerintah Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Secara sistematis, analisis yang membongkar kekuatan hegemoni dan diskursus neoliberal akan ditu-angkan pada bab lima. Bab kedua dari buku ini mengulas secara historis jejak liber-alisasi perekonomian negara-negara berkembang beserta dampak-dampak negatif yang dihasilkannya. Pada bab ketiga diuraikan secara kritis dan spesifik prinsip-prinsip neoliberal yang menjadi roh dalam agenda pembentukan Masyarakat Eko-nomi ASEAN. Realitas ketidaksiapan dan minimnya langkah pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia secara sunstantif dan fundamental diungkapkan pada bab keempat dari buku ini.

(18)

Bab 1

Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi

ASEAN: Komitmen dan Semangat Tanpa

Langkah Berarti

Disepakatinya Visi ASEAN 2020 pada bulan Desember 1997 di Kuala Lum-pur menandai sebuah babak baru dalam sejarah integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Dalam deklarasi tersebut, pemimpin negara-negara ASEAN sepakat un-tuk mentransformasikan kawasan Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan yang sta-bil, sejahtera dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang, pengurangan angka kemiskinan dan kesenjangan sosio-ekonomi di antara negara-negara anggotanya.1 Komitmen untuk menciptakan suatu Masyarakat ASEAN

(ASEAN Community) sebagaimana dideklarasikan dalam visi tersebut, kemudian semakin dikukuhkan melalui ASEAN Concord II pada Pertemuan Puncak di Bali Oktober 2003, atau yang lebih dikenal sebagai Bali Concord II, di mana para pe-mimpin ASEAN mendeklarasikan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) sebagai tujuan dari integrasi ekonomi kawasan pada 2020.2

Dalam Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Economic Ministers

Meeting – AEM) yang diselenggarakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur,

komitmen yang kuat menuju terbentuknya integrasi ekonomi kawasan ini diejawa-ntahkan ke dalam gagasan pengembangan sebuah cetak biru menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN yang kemudian secara terperinci disahkan dan diadopsi oleh se-luruh negara anggota ASEAN pada November 2007. Bahkan, sebelumnya dalam Pertemuan Puncak ASEAN ke-12 pada Januari 2007, komitmen yang kuat para pemimpin negara-negara ASEAN terhadap pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini, semakin tercermin dari disepakatinya upaya percepatan terwujudnya komunitas tersebut pada tahun 2015. Pada pertemuan tersebut, para pemimpin ASEAN sepakat untuk mempercepat pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan ASEAN menjadi sebuah kawasan di mana barang, jasa, investasi, pekerja terampil, dan arus modal dapat bergerak den-gan bebas.

1 ASEAN Vision 2020, http://www.aseansec.org/1814.htm, diakses pada tanggal 2

Maret 2009, pukul 11:33 wib.

2 ASEAN Concord II/Bali Concord II, http://www.aseansec.org/15159.htm,

(19)

Dengan demikian, Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan suatu tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang ingin dicapai masyarakat ASEAN sebagaimana tercan-tum dalam Visi ASEAN 2020, di mana di dalamnya terdapat konvergensi kepent-ingan dari negara-negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi. Sebuah perekonomian yang terbuka, berorientasi keluar, inklu-sif dan bertumpu pada kekuatan pasar merupakan prinsip dasar dalam upaya pem-bentukan komunitas ini. Berdasarkan cetak biru yang telah diadopsi oleh seluruh negara anggota ASEAN, kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan Masyara-kat Ekonomi ASEAN akan ditransformasikan menjadi sebuah pasar tunggal dan basis produksi; sebuah kawasan yang sangat kompetitif; sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata; dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.3

Sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, terdapat lima elemen inti yang mendasari Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu (1) pergerakan bebas barang; (2) pergerakan bebas jasa; (3) pergerakan bebas investasi; (4) pergerakan bebas modal; dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Kelima elemen inti dalam Ma-syarakat Ekonomi ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi ini dilengkapi lagi dengan dua komponen penting lainnya, yaitu sektor integrasi prioritas yang ter-diri dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotif; e-ASEAN; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, pertanian dan kehutanan.4

Dalam konteks penciptaan perekonomian kawasan yang kompetitif, beragam langkah strategis telah ditetapkan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN, seperti pengembangan kebijakan persaingan, perlindungan konsumen, kerjasama regional dalam Hak Kekayaan Intelektual, dan langkah-langkah lainnya seperti kerjasama regional dalam pembangunan infrastruktur. Begitu juga halnya dalam upaya transformasi ASEAN menuju sebuah kawasan dengan pembangunan eko-nomi yang merata, kesepakatan negara-negara di kawasan ini mengupayakan percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah serta perluasan Inisiatif In-tegrasi ASEAN (Initiative for ASEAN Integration) dalam rangka menjembatani jurang kesenjangan pembangunan di antara negara-negara anggotanya. Sementara itu, langkah-langkah menuju integrasi ekonomi Asia Tenggara ke dalam pereko-nomian global ditempuh melalui penerimaan suatu pendekatan yang koheren ter-hadap hubungan ekonomi eksternal, termasuk negosiasi dalam pembentukan ka-wasan perdagangan bebas dan kemitraan ekonomi strategis. Cetak biru inilah yang melandasi pembangunan Masyarakat Ekonomi ASEAN melalui langkah-langkah spesifik dengan periode waktu yang terperinci, di mana terciptanya suatu pereko-nomian kawasan yang terintegrasi atas dasar prinsip perekopereko-nomian pasar bebas dan terbuka menjadi cita-cita besar yang ingin dicapai.

Tercermin dari beragam langkah-langkah strategis yang dicanangkan dalam cetak biru dan hakikat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu sendiri, neoliberal-isme sebagai metamorfosa paradigma liberal merupakan ruh yang mendasari

ger-3 ASEAN Economic Community Blueprint, , http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses

pada 15 Maret 2009, pukul 20:47 wib.

4 ASEAN Economic Community Blueprint, http://www.aseansec.org/21083.pdf, diakses

(20)

ak semangat dari terbentuknya komunitas ekonomi kawasan ini. Sebagai sebuah paradigma pembangunan ekonomi, neoliberalisme berasumsi bahwa entitas pasar merupakan aktor yang paling relevan dan efektif dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi di dalam suatu negara. sebaliknya, mereka memandang bahwa intervensi negara dalam hal ini pemerintah terhadap perekonomian, melalui subsidi misalnya, merupakan hambatan yang mendistorsi berjalannya mekanisme pasar.

Neoliberalisme mencuat sebagai sebuah paradigma pembangunan yang domi-nan pada tahun 1980-an dan 1990-an menggantikan paradigma Keynesian dalam pembangunan ekonomi yang dianut oleh sebagian besar negara-negara berkem-bang. Neoliberalisme atau yang sering disebut juga sebagai “Washington Consen-sus”, dirancang sebagai respon terhadap persoalan ekonomi negara-negara Ameri-ka Latin yang menerapAmeri-kan paradigma Keynesian. BerdasarAmeri-kan asumsi Keynesian, pembangunan di negara-negara ini diselenggarakan atas dasar peranan negara atau pemerintah yang sangat besar dalam bidang ekonomi, di mana kebijakan ekonomi pemerintah tersebut diarahkan kepada penyerapan tenaga kerja dan pengurangan tingkat pengangguran serta pemerataan distribusi pendapatan. Namun pada tahun 1980-an, negara-negara di kawasan Amerika Latin mengalami defisit neraca pem-bayaran yang sangat besar. Krisis ekonomi ini diyakini oleh padangan neoliberal sebagai dampak dari kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan pemerintah yang tidak efisien dan langkah-langkah proteksionis yang diberlakukan pemerintah sehingga perusahaan swasta yang tidak efisien memaksa konsumen untuk mem-bayar dengan harga mahal serta kebijakan moneter yang sangat longgar yang me-nyebabkan laju inflasi tidak terkendali.5

Kegagalan dari paradigma Keynesian ini kemudian memuculkan paradigma neoliberal untuk menggantikan posisinya sebagai paradigma dominan. Neoliber-alisme memandang keynesian gagal karena paradigma ini tidak efektif dalam me-nyelesaikan persoalan ekonomi pada tahun 1980-an dan karena intervensi negara dalam perekonomian tidak cukup mendisiplinkan sistem moneter dan perdagangan internasional.

Terdapat tiga pilar utama paradigma neoliberal, yaitu disiplin fiskal (fiscal

aus-terity), privatisasi dan liberalisasi pasar bebas. Kebijakan-kebijakan

pembangu-nan dari paradigma ini didasarkan pada sebuah model sederhana ekonomi pasar, model ekuilibrium kompetitif, yang berakar pada prinsip “invinsible hand” Adam Smith yang diasumsikan bekerja dengan sempurna. Adapun asumsi-asumsi dasar dari paradigma ini antara lain adalah meletakkan pasar sebagai aktor atau pelaku utama dalam ekonomi; liberalisasi pasar dalam bentuk kebebasan pergerakan ba-rang, jasa, investasi dan modal tanpa adanya intervensi negara; menghilangkan semua pengeluaran negara untuk pemenuhan kebutuhan publik (public goods) atau meminimalisirnya secara bertahap; deregulasi semua kebijakan negara yang mem-batasi mekanisme pasar; privatisasi dengan menjual aset-aset negara kepada pasar. Neoliberalisme juga menjadi paradigma yang dianut oleh trinitas rezim ekonomi internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF, Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO).

Washington Consensus atau neoliberalisme menekankan pada penciptaan

(21)

tumbuhan ekonomi sebagai imperatif dalam menyelesaikan persoalan ekonomi dan kemiskinan. Dalam pencapaian pertumbuhan tersebut, paradigma ini meletakkan prioritas pada pertambahan input kapital dan tenaga kerja semata-mata, di mana faktor kemajuan teknologi dipandang sebagai faktor eksogen dan mengabaikan faktor-faktor di luar ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan.6 Melalui

pertumbuhan ekonomi ini diyakini akan terjadi apa yang disebut sebagai trickle

down effect, yakni efek penetesan ke bawah, di mana pertumbuhan ekonomi akan

meneteskan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat miskin juga akan memperoleh manfaat dari pertumbuhan ini.7

Nafas neoliberalisme terasa sangat kental sekali dalam proses integrasi eko-nomi di kawasan Asia Tenggara, di mana entitas pasar diagung-agungkan sebagai landasan gerak perekonomian. Beragam hambatan yang membatasi pergerakan pasar perlahan-lahan dihilangkan dalam upaya menuju terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Kebebasan bergerak dari beragam faktor ekonomi menjadi inti dari integrasi ekonomi ASEAN. Peranan pemerintah dalam perekonomian melalui proteksi yang menjelma dalam berbagai bentuk hambatan perdagangan, subsidi dan intervensi secara bertahap dihilangkan dalam proses integrasi ekonomi di ka-wasan Asia Tenggara ini.

Namun demikian, fakta membuktikan bahwa entitas pasar tidak selamanya dapat bekerja dengan sempurna tanpa celah. Krisis secara periodik yang tanpa henti melanda dunia memperlihatkan dengan sangat jelas adanya kecacatan inheren yang melekat di dalam tubuh entitas pasar. Hakikat dari pasar adalah peranan utama dari keberadaan harga relatif dalam keputusan alokatif. Pada dasarnya, pasar memiliki empat kegagalan mendasar yang menjadi landasan mengapa pada kenyataannya entitas ini tidak dapat berperan sebagai cara yang paling efektif dalam mengelola perekonomian. Pertama, adanya “spillover” dari aktifitas ekonomi, di mana aktifi-tas salah satu aktor ekonomi dapat membawa dampak negatif bagi aktor lain, teru-tama misalnya dalam hal dampak lingkungan. Kedua, kecenderungan monopoli yang sangat besar dengan adanya peningkatan keuntungan dan biaya marginal dari salah satu pelaku ekonomi. Ketiga, kekakuan pasar dan kurangnya informasi yang dimiliki oleh informasi. Keempat, pasar tidak dapat menjamin adanya distribusi kesejahteraan yang merata.8

Krisis yang menghantam negara-negara Asia di penghujung tahun 1990-an lalu, merupakan wujud nyata dari gagalnya pasar sebagai entitas yang diagung-agung-kan oleh pendukung liberalisme. Bahdiagung-agung-kan krisis keuangan global yang melanda du-nia selama dua tahun terakhir merupakan imbas dari eksistensi sistem keuangan global yang sangat liar dan rapuh yang lahir sebagai hasil dari proses liberalisasi keuangan global tanpa henti selama lebih dari tiga dekade. Melalui kondisionalitas yang diberlakukan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund - IMF), komponen-komponen kunci liberalisasi keuangan (deregulasi suku bunga; penghapusan kontrol kredit; swastanisasi bank dan institusi keuangan milik negara; liberalisasi hambatan masuknya sektor swasta dan bank-bank serta institusi keuan-gan asing ke pasar keuankeuan-gan dalam negeri; pemberlakuan instrumen-instrumen

6 Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic

Order (New Jersey: Princeton University Press, 2001), 112-116.

7 Robert Gilpin, Global Political Economy, 78.

(22)

kontrol moneter berbasis pasar; liberalisasi lalu lintas devisa) dapat dengan mudah menemui realisasinya di negara-negara yang berada dalam krisis likuiditas. Liber-alisasi keuangan selalu menjadi komponen yang termaktub dalam kondisionalitas IMF dalam berbagai program yang diberikan di banyak negara. Implementasi dari kondisionalitas tersebut menjadi prasyarat bagi kucuran dana bertahap yang dibu-tuhkan negara-negara pengutang dari IMF. Krisis global yang tengah melanda du-nia dewasa ini merupakan dampak dari liar dan rapuhnya sistem keuangan global yang berlandaskan pada liberalisme.

Kasus liberalisasi pertanian pasca Agreement on Agriculture (AoA) Organisa-si Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) merupakan satu dari sekian banyak bukti nyata kegagalan kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Bertepatan dengan berdirinya WTO di tahun 1995, Indonesia menyepakati

Agree-ment on Agriculture, di mana Indonesia harus meliberalisasi sektor pertanian

do-mestik. Beragam implementasi kebijakan neoliberal diimplementasikan terhadap sektor pertanian Indonesia, seperti pengurangan subsidi pupuk, dibukanya keran impor beras, dibebaskannya investasi asing untuk memasuki pasar domestik, bah-kan pencabutan status BULOG sebagai perusahaan negara, sehingga kehilangan kekuatan untuk memproteksi stabilitas harga produk petani Indonesia. Dampak-nya, produksi dan distribusi pupuk domestik dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa seperti Monsanto dan Syngenta. Sementara itu, ketergantungan Indonesia terhadap produk pertanian asing menjadi semakin kuat, bahkan pada periode 1990-1999 Indonesia mengimpor rata-rata 1,5 juta ton beras per tahun.9 Terlebih lagi

dampak negatif liberalisasi yang dirasakan petani yang secara langsung kalah ber-saing dengan produk-produk asing membanjiri pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1999, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan yang notabene adalah petani meningkat dua kali lipat dari 17,8 juta di tahun 1990 menjadi 32,3 juta. Meningkatnya angka kemiskinan di daerah pedesaan selama periode tersebut merupakan bukti nyata bagaimana implementasi kebijakan liberalisasi telah gagal dalam menciptakan kesejahteraan di Indonesia.

Terlebih dari itu, pengalaman integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak sepenuhnya melahirkan kisah sukses di mana setiap negara dapat menjadi pemenang di dalamnya. Beberapa kasus integrasi ekonomi regional justru menunjukkan hasil yang sebaliknya. Pembentukan Kesepakatan Perdagangan Be-bas di Kawasan Amerika Utara (North American Free Trade Agreement – NAFTA) pada tahun 1994 mencerminkan pengalaman bagaimana integrasi ekonomi regional membawa dampak negatif bagi perekonomian salah satu negara yang terlibat di dalamnya. Kesepakatan perdagangan bebas yang membukakan pintu perekono-mian negara terkaya di dunia Amerika Serikat kepada Meksiko ini merupakan ka-wasan perdagangan bebas terbesar di dunia pada saat itu, penduduk sebesar 376 juta dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$9 triliun.10 Janji-janji

kesejahteraan yang ditawarkan liberalisasi perdagangan dalam integrasi di kawasan ini tidak menemui realisasinya. Salah satu argumen penciptaan perdagangan bebas

9 Identifikasi: Periode Liberalisasi Perdagangan dalam Kasus Beras Indonesia, http://

www.fspi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=161&Itemid=38, diakses pada tanggal 17 Maret 2006, pukul 20:44 wib.

10 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work: the Next Step to Global Justice (London:

(23)

di kawasan Amerika Utara adalah untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan terutama antara Amerika Serikat dan Meksiko serta untuk menekan laju imigrasi ilegal.11 Akan tetapi, alih-alih terjadi perbaikan ekonomi, kesenjangan pendapatan

di antara kedua negara selama satu dekade pertama NAFTA justru meningkat lebih dari 10 persen.12 Selama dekade pertama NAFTA, pertumbuhan ekonomi

Mek-siko sangatlah suram, hanya sebesar 1,8 persen pada basis per kapita riil. Memang pada kenyataannya, lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian negara-negara Amerika Latin lainnya, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai Meksiko selama periode 1948-1973, angka pertumbuhan sebesar 1,8 persen sangatlah buruk, di mana pada periode tersebut angka pertumbuhan rata-rata mencapai 3,2 persen.13 Faktanya, NAFTA justru menjadikan Meksiko

sema-kin tergantung kepada Amerika Serikat. Dengan kata lain, jika performa ekonomi Amerika Serikat memburuk, begitu juga halnya dengan yang akan dialami oleh Meksiko.14

Ketidaksiapan Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN Fakta gagalnya pasar dan tidak berhasilnya neoliberalisme melandasi integra-si ekonomi di tingkat regional menyiratkan suatu pesan yang sangat kuat bahwa upaya penciptaan perekonomian berbasiskan peranan entitas pasar dan neoliber-alisme tidak dapat membawa hasil yang positif jika tidak dilandasi oleh kesiapan ekonomi internal negara yang ada di dalamnya. Kesiapan fundamental ekonomi, eksistensi institusi dan regulasi yang kuat, adalah syarat mutlak yang harus dimil-iki suatu negara secara matang sebelum menerapkan prinsip ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, implementasi kebijakan neoliberalisme dalam berbagai bentuk seperti liberalisasi, privatisasi dan deregulasi tidak dapat diterapkan secara prema-tur. Dibutuhkan suatu upaya kesiapan yang matang dari suatu negara untuk meng-hindari dampak negatif dari implementasi neoliberalisme. Dampak negatif tidak hanya pada dimensi ekonomi tetapi juga sosial dan politik, sebagaimana yang di-alami Indonesia di bawah program terapi kejut neoliberalisme IMF, menjadi bukti yang sangat nyata bahwa kesiapan sebelum menuju liberalisasi adalah suatu hal yang mutlak.

Pada dasarnya arah perkembangan perekonomian dunia ke arah prinsip pasar bebas neoliberalisme bukanlah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan (inevitable). Kegagalan mekanisme pasar yang berujung pada kehancuran ekonomi dan kemiskinan seharusnya menjadi landasan bagi lahirnya pilihan-pilihan kebi-jakan ekonomi baru yang lepas dari peranan pasar bebas. Terdapat banyak alternatif sistem ekonomi yang dapat dipilih dan diterapkan oleh suatu negara. Pasar bebas bukanlah satu-satunya pilihan yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi komitmen kuat pemerintah Indonesia akan neoliberalisme yang menjelma ke dalam agenda integrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara tampaknya memperlihatkan suatu wujud pandangan mengenai “ketidakterhindaran” dari neoliberalisme. Sayangnya,

seman-11 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64.

12 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64.

13 Joseph Stiglitz, Making Globalization Work, 64.

(24)

gat dan komitmen kuat terhadap neoliberalisme ini dilakukan secara membabi-buta tanpa diiringi oleh pertimbangan yang menyeluruh dan matang terhadap kesiapan ekonomi dan antisipasi dampak negatif nyata dari perekonomian pasar bebas.

Dengan demikian, dalam menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, di mana neoliberalisme dan kekuatan pasar bebas menjadi penggerak utamanya, kesiapan perekonomian internal yang matang dari negara-negara Asia Tenggara adalah bersifat imperatif. Terutama bagi Indonesia sebagai penggagas yang me-miliki komitmen kuat terhadap integrasi ekonomi kawasan tersebut, seharusnya fundamen ekonomi negeri dengan wilayah terluas di kawasan ini telah benar-benar siap menuju integrasi. Terlebih lagi sebagai negara dengan populasi terbesar, dam-pak negatif dari integrasi yang berlandaskan pada liberalisasi prematur akan secara langsung dirasakan oleh rakyat yang jumlahnya lebih dari 220 juta jiwa.

Ironisnya, di balik optimisme dan komitmen yang kuat terhadap integrasi eko-nomi kawasan, kondisi perekoeko-nomian Indonesia masih jauh dari kata siap secara faktual dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Opti-misme pemerintah Indonesia yang terlihat dalam pernyataan Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu kepada media massa pada saat KTT ASEAN di Jakarta tahun 2007 lalu,15 tampaknya tidak berpijak

pada kondisi faktual kesiapan perekonomian Indonesia untuk menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jika kita cermati secara mendalam, terlihat bahwa pemerintah Indonesia pada kenyataannya tidak memiliki suatu peta jalan yang jelas dalam meningkatkan kesiapan perekonomian Indonesia menghadapi integrasi re-gional Asia Tenggara. Lebih-lebih jika kita bandingkan dengan performa perekono-mian negara-negara ASEAN lainnya, terutama Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam, optimisme yang diindikasikan oleh pemerintah Indonesia benar-benar harus dipertanyakan kembali dasar pijakannya.

Secara lebih terperinci akan kita telaah bagaimana realitas kesiapan dan upaya persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia menuju integrasi ekonomi ASEAN. Telaah kritis atas kondisi riil kesiapan ekonomi dan persiapan pemerintah Indonesia ini difokuskan pada lima karakteristik dasar Masyarakat Ekonomi ASEAN ber-dasarkan cetak biru yang disepakati, yaitu ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi, sebuah kawasan dengan daya saing tinggi, sebuah kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan sebuah kawasan yang terintegrasi penuh dengan perekonomian global.

Telaah kritis pertama dilakukan mengenai kesiapan ekonomi dan strategi pemerintah Indonesia dalam menghadapi pembentukan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi. Terdapat lima elemen inti dalam upaya pen-ciptaan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi (pergerakan bebas arus barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil), ditambah dengan inte-grasi 12 sektor prioritas (produk berbasis pertanian; transportasi udara; otomotif; e-ASEAN; elektronik; perikanan; pelayanan kesehatan; logistik; produk berbasis logam; tekstil; pariwisata; dan produk berbasis kayu) dan sektor pangan, perta-nian serta kehutanan. Pembentukan kawasan Asia Tenggara sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi ini bermakna dihapuskannya segala bentuk hambatan

15 Boediono: Indonesia Siap Jadi Bagian AEC, http://www.antara.co.id/arc/2007/11/5/

(25)

bagi pergerakan barang dan jasa serta faktor produksi dalam melintasi batas-batas negara-bangsa di Asia Tenggara. Bebasnya pergerakan aktifitas ekonomi dalam integrasi sebuah kawasan, membutuhkan daya saing ekonomi yang tinggi untuk menghindari dampak negatif menurunnya performa ekonomi dalam negeri karena serbuan produk-produk dari negara lain yang berdaya saing lebih tinggi.

Namun demikian, pada kenyataannya produk barang Indonesia justru memi-liki daya saing yang lemah, baik dari sisi kualitas ataupun harga. Khususnya di bidang manufaktur, garmen dan tekstil, peringkat daya saing produk Indonesia di dunia semakin lemah. Beragam kebijakan ekonomi pemerintah di bawah paradig-ma neoliberalisme dalam bentuk pencabutan subsidi dan liberalisasi perdagangan, semakin melemahkan kekuatan produk Indonesia dalam bersaing dengan produk-produk asing. Dalam sektor tekstil misalnya, meningkatnya harga bahan bakar dan tarif dasar listrik sebagai imbas dari kebijakan penghapusan subsidi menyebab-kan industri tekstil dan produk tekstil Indonesia terbebani dengan mahalnya biaya produksi di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah. Diperparah lagi dengan serbuan produk tekstil dari Cina sebagai hasil dari dibukanya keran impor, sema-kin menekan kondisi pengusaha tekstil dalam negeri. Belum lagi ditambah dengan masuknya produk tekstil selundupan dari Cina, Korea dan Taiwan, menjadikan tek-stil sebagai “sunset industry” yang kontribusinya terhadap PDB semakin menurun. Bahkan produk batik yang merupakan produk andalan Indonesia, justru telah dapat diproduksi oleh Cina dalam skala massal dan telah membanjiri pasar dalam neg-eri.16 Tidak heran jika banyak dari industri tekstil Indonesia akhirnya gulung tikar,

dalam arti sama sekali menghentikan kegiatan produksinya.

Di sektor perdagangan jasa, laporan World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2008-2009 yang mengelompokkan perekonomian Indonesia dalam fase pertama, menunjukkan bagaimana sektor jasa Indonesia ka-lah bersaing dengan Malaysia dan Thailand yang teka-lah mengukuhkan diri dalam fase kedua pembangunan.17 Terdapat tiga kelompok negara berdasarkan fase

pem-bangunan yang dilaporkan oleh WEF. Fase pertama, yaitu fase awal pempem-bangunan, di mana proses ekonomi sepenuhnya tergantung pada faktor-faktor keunggulan komparatif yang ada atau didorong oleh faktor-faktor alam, seperti kekayaan sum-ber daya alam, jumlah tenaga kerja dalam jumlah banyak dan murah (didominasi oleh tenaga kerja tidak terdidik), iklim yang baik, lokasi yang strategis, dan faktor alami lainnya.18 Pada fase kedua, pembangunan ekonomi didorong oleh efisiensi

dan produktifitas dalam pemakaian semua faktor-faktor alam tersebut. Dengan kata lain, pada fase ini, teknologi dan pendidikan mulai berperan, karena untuk mening-katkan efisiensi atau produktifitas diperlukan teknologi dan pekerja dengan pendi-dikan atau keahlian tinggi. Fase terakhir, proses dan daya saing ekonomi

sepenuh-16 Polemik Globalisasi (2) Kuncinya Peningkatan Daya Saing, http://news.okezone.com/

index.php/ReadStory/2008/10/06/217/151293/kuncinya-peningkatan-daya-saing, diakses pada tanggal 19 Maret 2009, pukul 15:38 WIB.

17 Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum

(WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB.

18 Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum

(WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB.

(26)

nya didorong oleh inovasi. Faktor-faktor keunggulan kompetitif, seperti teknologi, sumber daya manusia berkualitas tinggi, ketersediaan infrastruktur yang baik, iklim usaha yang kondusif, dan faktor inovatif lainnya, jauh lebih penting daripada faktor-faktor keunggulan komparatif.19 Posisi Indonesia yang dikelompokkan pada

fase pembangunan pertama menunjukkan bagaimana sektor jasa di negeri ini belum memainkan peranan yang penting, karena perekonomian masih didominasi oleh faktor-faktor alami, di mana keberadaan tenaga kerja di sektor jasa yang terdidik dan terampil masih sangat terbatas. Bahkan dalam peringkat berdasarkan ukuran neoliberal ini sekalipun (WEF dan Global Competitiveness Report), sektor jasa perekonomian Indonesia berada dalam keadaan yang tertinggal.

Salah satu elemen inti lainnya dalam penciptaan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi adalah kebebasan investasi. Bebasnya ruang gerak di kawasan ini, diasumsikan dalam pandangan neoliberal, akan menyebabkan investasi berger-ak ke tempat-tempat yang dinilai menjanjikan keuntungan. Dengan kata lain, in-vestasi akan mengalir deras ke wilayah-wilayah dengan iklim inin-vestasi yang dinilai baik. Ironisnya, di balik komitmen yang kuat menuju integrasi ekonomi ASEAN, iklim investasi Indonesia justru masih berada di bawah peringkat negara-negara lainnya di Asia Tenggara, terutama Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Laporan Bank Dunia dalam Doing Business 2009, peringkat kemudahan berinvestasi Indonesia berada pada posisi 129, jauh berada di bawah Singapura (peringkat 1), Thailand (13), Malaysia (20), Brunei (88) dan Vietnam (92).20 Upaya

perbaikan iklim investasi yang dilakukan pemerintah Indonesia selama beberapa tahun terakhir, untuk dapat bersaing dalam wilayah neoliberal ini juga tidak menun-jukkan keseriusan yang optimal, sehingga perubahan peringkat kemudahan berin-vestasi di Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti. Peringkat kemuda-han berinvestasi dalam Doing Business 2009 mencerminkan kondisi iklim investasi Indonesia per Juni 2008 yang menurun enam peringkat dari tahun 2007, di mana Indonesia berada pada posisi 123 dari 178 negara. Pencapaian tahun 2007, yang berhasil mendongkrak peringkat Indonesia dari 135 di tahun 2006 dan posisi 131 tahun 2005 tidak dapat dipertahankan Indonesia pada tahun 2008.21 Dalam kondisi

seperti ini, dapat kita bayangkan pada saat pasar tunggal ASEAN telah terwujud di tahun 2015 nanti, jika iklim investasi Indonesia tidak juga mengalami perbaikan dan masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara lainnya, tidak menutup kemungkinan jika nanti investor domestik sekalipun justru akan memilih berinvestasi di negara-negara seperti Singapura, Thailand, Malay-sia, Brunei, Filipina, bahkan Vietnam dan Kamboja. Dalam sebuah kawasan yang terintegrasi di mana gerak investasi diberi kebebasan luas, kekhawatiran ini sangat mungkin akan terealisasi.

19 Tulus Tambunan, Daya Saing Global Indonesia 2008-2009 versi World Economic Forum

(WEF), http://www.kadin-indonesia.or.idenmimagesdokumenKADIN-98-2737-14042008. pdf, diakses pada 15 Maret 2009, pukul 23:08 WIB.

20 The World Bank, Doing Business 2009 (Washington: The World Bank, 2008), 85-146.

21 Doing Business 2008: Indonesia is number two reformer in East Asia but still lags behind

major regional economies, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/ EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAEXTN/0,,contentMDK:21486695~pagePK:14976 18~piPK:217854~theSitePK:226309,00.html, diakses pada tanggal 26 Maret 2006, pukul 22:25 WIB.

(27)

Kondisi yang serupa juga terjadi dalam menghadapi salah satu elemen inti pen-ciptaan pasar tunggal ASEAN yaitu liberalisasi tenaga kerja terampil. Keberadaan tenaga kerja terampil yang berkualitas dan dalam jumlah besar merupakan faktor kunci yang menentukan daya saing sumber daya manusia suatu negara. Sementara itu, terciptanya angkatan kerja yang terampil tidak terlepas dari kualitas pendidikan yang diperoleh masyarakatnya. Ironisnya, berdasarkan data United Nations Devel-opment Program (UNDP) mengenai peringkat negara-negara di dunia berdasarkan daya saing kualitas sumber daya manusia atau dikenal dengan istilah Human

De-velopment Index (HDI) di tahun 2008, Indonesia berada di peringkat 109 dari 179

negara.22 Lagi-lagi daya saing sumber daya manusia Indonesia masih jauh berada di

bawah negara-negara ASEAN lainnya, bahkan peringkat di tahun 2008 ini mengal-ami penurunan dari tahun sebelumnya di mana Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 negara. Berdasarkan laporan HDI tahun 2008 tersebut, Brunei berada pada posisi 27, disusul Singapura di peringkat 28, Malaysia 63 dan Thailand 88.23

Di-karenakan kondisi daya saing SDM Indonesia yang rendah ini, tidak mengherankan jika tenaga kerja asing yang terampil dan terdidik, merajai bursa kerja di sektor jasa dan industri negeri ini.24 Selama lima bulan pertama tahun 2008 jumlah tenaga kerja

asing yang bekerja di Indonesia tercatat sebesar 21.267 orang.25 Sementara di tahun

2007 lalu, terdapat sebanyak 40.204 tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia, sehingga diasumsikan terdapat 3.350 pekerja asing setiap bulannya.26 Pekerjaan di

sektor jasa yang paling diminati oleh tenaga kerja asing ini, terutama jasa konstruk-si, pendidikan swasta, jasa hiburan dan jasa penunjang pertambangan.27 Memang

di satu sisi Indonesia mengirimkan juga tenaga kerja dalam jumlah besar ke luar negeri, terutama di Asia Tenggara. Namun, tenaga kerja yang berasal dari Indone-sia mayoritas adalah tenaga kerja tidak terampil yang memiliki daya saing rendah. Sebaliknya, di sisi lain, lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja terampil di Indonesia justru didominasi oleh tenaga kerja asing yang berkualitas dan berdaya saing tinggi. Yang lebih menyedihkan lagi, penyerapan tenaga kerja asing yang cukup besar di Indonesia justru terjadi seiring dengan semakin tingginya angka pengangguran di dalam negeri. Pada tahun 2006, angka pengangguran di Indonesia tercatat yang pal-ing tpal-inggi di Asia Tenggara, yaitu sebesar 10.5 persen.28

Ketidaksiapan ekonomi dan minimnya persiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN juga terlihat dari sektor

22 Human Development Indices: A statistical update 2008 - HDI rankings, http://hdr.undp.

org/en/statistics/, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 17:57 WIB.

23 Human Development Indices: A statistical update 2008 - HDI rankings, http://hdr.undp.

org/en/statistics/, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 17:57 WIB.

24 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat,

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-har-ian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB.

25 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat,

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-har-ian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB.

26 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat,

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-har-ian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB.

27 Tenaga Kerja Asing di Indonesia Meningkat,

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-har-ian/jasa-transportasi/1id63281.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 23:03 WIB.

28 ASEAN Finance and Macro-economic Surveillance Unit Database dan ASEAN

(28)

industri. Sektor industri hilir kelapa sawit misalnya, belum terlihat jelas adanya strategi atau program nyata dari pemerintah untuk mengembangkan industri strat-egis dalam perekonomian Indonesia ini. Suatu hal yang sangat disayangkan me-mang, di satu sisi Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), namun di sisi lain, minyak sawit yang kita ekspor tersebut diimpor kembali dalam bentuk produk-produk turunannya. Hal ini terjadi dikarenakan tidak berkembangnya industri pengolahan minyak sawit dalam negeri untuk dapat menghasilkan produk derivatif CPO yang merupakan bahan mentah bagi banyak produk lainnya. Pengusaha menilai bahwa iklim usaha industri hilir sawit belum mendukung mereka untuk melakukan pengolahan minyak sawit men-tah.29 Keluhan dari pengusaha ini sayangnya tidak mendapat tanggapan yang berarti

dari pemerintah. Sampai saat ini, belum terlihat adanya langkah serius dari pemer-intah, khususnya Kementerian Perindustrian, untuk mendorong pengembangan industri pengolahan minyak sawit. Kondisi yang berbeda terjadi di Malaysia, neg-eri tetangga ini telah mengolah produk turunan minyak sawit hingga 90 persen.30

Jangankan memiliki jaringan pasar produk turunan minyak sawit, pengembangan industri ini pun masih sangat rendah.31 Terlebih lagi dalam menghadapi integrasi

ekonomi ASEAN di tahun 2015 nanti, jika tidak ingin tergantung pada produk tu-runan minyak sawit dari Malaysia di tengah arus liberalisasi yang sangat deras, pemerintah seharusnya telah menyusun suatu rencana strategis dan komprehensif untuk mengembangkan industri pengolahan produk turunan minyak sawit nasional.

Lemahnya posisi Indonesia sektor pariwisata sekali lagi menunjukkan bagaima-na ketidaksiapan dan kurangnya persiapan dari pemerintah menuju integrasi eko-nomi kawasan. Dilihat dari indikator jumlah wisatawan yang berkunjung, harus diakui Indonesia kalah jauh bersaing dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Selama periode 2004-2007, jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia sebesar 19,3 juta masih jauh berada di bawah Malaysia, yang mencapai 69 juta wisatawan, Thailand 47,5 juta, dan Singapura sebanyak 37,3 juta wisatawan.32 Bahkan

jum-lah wisatawan yang datang selama tiga tahun tersebut secara konsisten mengalami penurunan, dari 5,3 juta di tahun 2004 menjadi 5 juta di tahun 2005, 4,9 juta tahun 2006 dan 4,1 juta wisatawan di tahun 2007.33 Kondisi ini mencerminkan

renda-hnya komitmen dan upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan daya saing sektor pariwisata Indonesia. Minimnya anggaran untuk alokasi promosi pariwisata semakin memperlihatkan kalahnya persiapan yang dilakukan pemerintah Indonesia dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand. Untuk mempromosikan pariwi-satanya, Thailand mengalokasikan sedikitnya 200 juta dolar AS, Malaysia tidak

29 Iklim Usaha Tak Dukung Industri Hilir: Perluasan Lahan Sawit Ditunda, http://cetak.

kompas.com/read/xml/2008/11/26/02133769/iklim.usaha.tak.dukung.industri.hilir, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:40 WIB.

30 Potensi Industri Hilir Sawit Terabaikan: Dininabobokan Ekspor CPO, http://cetak.

kompas.com/read/xml/2008/11/25/00365371/potensi.industri.hilir.sawit.terabaikan, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:44 WIB

31 Potensi Industri Hilir Sawit Terabaikan: Dininabobokan Ekspor CPO, http://cetak.

kompas.com/read/xml/2008/11/25/00365371/potensi.industri.hilir.sawit.terabaikan, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:44 WIB..

32 ASEAN Tourism Database

(29)

kurang dari 150 juta dolar AS, Singapura 60 juta dolar AS, sedangkan Indonesia hanya sebesar 3 juta dolar AS.34 Belum lagi di tingkat kebijakan, banyak kebijakan

yang tumpang tindih sehingga membawa dampak negatif bagi pariwisata.35

Indo-nesia memang lebih unggul dalam persoalan potensi, seperti luas wilayah, jumlah penduduk dan keanekaragaman sosial budaya, namun negeri yang indah ini ma-sih jauh tertinggal dari aspek inovasi produk.36 Produk yang ditawarkan Indonesia

sebatas sumber daya alam dan etnis serta budaya. Indonesia juga hanya mengan-dalkan paket perjalanan alam dan wisata yang konvensional, sementara di negara-negara pesaing telah mengembangkan unit-unit bisnis seperti makanan, minuman, olahraga, hiburan, belanja, bahkan kesehatan dan gaya hidup.37

Kedua, melalui integrasi, ASEAN diproyeksikan akan menjadi sebuah kawasan

ekonomi dengan daya saing yang tinggi. Salah satu upaya yang dinyatakan dalam cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah melalui kerjasama di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sekali lagi, yang menjadi persoalan di sini adalah In-donesia juga belum siap dalam mengelola HKI sebagai daya saing yang potensial. Berdasarkan data paten Direktorat Jendral HKI Indonesia, selama 13 tahun (1993-2006) permohonan paten lokal yang disetujui hanya sekitar 1,15% (212 paten) dibandingkan dengan permohonan paten luar negeri yang mencapai 18.331 paten. Jika dibandingkan dengan Thailand, Singapura dan Malaysia, dari aspek permo-honan paten dalam negeri, Indonesia masih berada di posisi terakhir. Pada tahun 2000, Thailand terdapat sebanyak 615 paten dan desain lokal, Singapura 624, Ma-laysia 322 dan Indonesia 228 paten dan desain lokal.38

Ketiga, salah satu aspek penting dalam perwujudan Masyarakat Ekonomi

ASEAN adalah penciptaan kawasan dengan pembangunan yang merata. Pemer-ataan yang dimaksud dalam integrasi ekonomi Asia Tenggara ini lebih mengarah kepada upaya untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan antar negara anggota dalam wujud PDB dan pertumbuhan ekonomi yang setara. Sementara strategi pem-erataan kesejahteraan rakyat dikembalikan kepada masing-masing negara anggota. Sebuah langkah yang ditempuh untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang merata ini adalah melalui percepatan pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM). Namun demikian, secara kritis dapat kita amati bahwa UKM di Indonesia pada kenyataannya masih sulit bersaing dalam integrasi ekonomi ASEAN. Deputi

34 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan

Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB

35 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan

Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB

36 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan

Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB

37 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan

Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB.

38 Menuju Penguatan Kawasan ASEAN-Pariwisata Indonesia Harus Mampu Manfaatkan

Momentum, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/4/27/pa1.htm, diakses pada 19 Maret 2009, pukul 20:57 WIB.

(30)

Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Negara Koperasi dan usaha Kecil Menengah Indonesia mengakui bahwa khususnya UKM di sektor makanan paling mengkhawatirkan mampu bersaing dengan negara ASEAN lainnya, teruta-ma dengan Malaysia karena negeri jiran itu lebih siap untuk memproduksi teruta-makanan dengan sertifikasi halal.39 Selain itu, teknologi yang dimiliki UKM sektor makanan

di Indonesia relatif masih tertinggal dengan negara lain, terutama Malaysia.40

Se-mentara itu, 40 persen UKM di Indonesia didominasi oleh unit-unit usaha yang bergerak di bidang makanan. Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah un-tuk meningkatkan daya saing UKM juga masih jauh dari yang diharapkan. Langkah yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian UKM adalah dengan memberikan bantuan dana ataupun alat kepada pengusaha kecil dan menengah sektor makanan yang tergabung dalam koperasi yang memenuhi kategori pemerintah. Dan sejauh ini baru ada 10 koperasi yang mendapatkan bantuan hanya sebesar masing-masing Rp. 50 juta.41 Ditambah lagi dengan banyak hambatan lainnya dalam

pengemban-gan UKM. Seperti halnya otonomi daerah juga dapat menghambat pengembanpengemban-gan UKM, dikarenakan berbagai fasilitas yang diserahkan pusat ke daerah justru tidak diberdayakan secaya optimal oleh pemerintah daerah.42

Keempat, dalam proses menuju terintegrasinya ASEAN ke dalam perekonomian

global, langkah-langkah diambil untuk meningkatkan partisipasi ASEAN dalam ja-ringan pasokan global. Jika kita melihat karakteristik ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh produk-produk keunggulan komparatif yang bersifat alamiah, tam-paknya negeri ini masih belum dapat memainkan peranan penting dalam pereko-nomian global. Perekopereko-nomian Indonesia yang masih berada dalam kelompok fase pembangunan pertama akan sangat sulit bersaing dalam sebuah kawasan ekonomi yang terintegrasi secara mendalam dengan ekonomi global. Terlebih lagi, daya sa-ing produk Indonesia yang masih lemah, akan menjadi hambatan tersendiri untuk berperan aktif dalam jaringan pasokan global, di mana standar-standar produksi dan distrbusi internasional mensyaratkan kualifikasi yang sangat tinggi.

Demikianlah wujud ketidaksiapan perekonomian dan kurangnya persiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seharusnya, pemerintah Indonesia melakukan percepatan kesiapan eko-nomi menuju integrasi ekoeko-nomi regional berlandaskan neoliberalisme dan prinsip pasar bebas, yang justru dapat mendatangkan petaka ekonomi yang sangat buruk jika dilakukan secara prematur dan cepat. Akan tetapi, pada kenyataannya pemer-intah masih terdapat banyak sekali persoalan yang melanda perekonomian Indo-nesia sehingga melemahkan daya saing dan menyimbolkan ketidaksiapan menuju integrasi regional. Ditambah lagi dengan minimnya langkah-langkah dari pemer-intah untuk dapat dengan segera meningkatkan kesiapan ekonomi negeri ini dalam rangka menghindari dampak-dampak negatif yang melekat di dalam tubuh sistem

39 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/

berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB.

40 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/

berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB.

41 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/

berita/0609/02/eko08.html, diakses pada 26 Maret 2009, pukul 13:03 WIB.

42 UKM Makanan Sulit Bersaing di Pasar Tunggal ASEAN, http://www.sinarharapan.co.id/

(31)

pasar bebas.

Karenanya, upaya-upaya untuk mencari faktor-faktor yang melatarbelakangi minimnya persiapan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam menghadapi in-tegrasi ekonomi kawasan Asia Tenggara menjadi sangat penting untuk dilakukan. Langkah-langkah untuk menyelami akar persoalan di balik lemahnya persiapan ini dapat membantu menyingkapkan celah-celah kelemahan yang mendasari sebagai landasan untuk perbaikan di masa datang. Dengan mengidentifikasi penyebab keti-daksiapan tersebut, waktu yang tersisa menjelang 2015 diharapkan dapat benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan percepatan peningkatan kesiapan ekonomi demi menyelamatkan bangsa ini dari kegagalan pasar yang menjadi landasan pem-bentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Gagasan utama yang melandasi penulisan buku ini adalah adanya perbenturan antara idealitas dan realitas yang terkait dengan kesiapan perekonomian Indonesia menuju integrasi ekonomi kawasan dalam bentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada tataran idealitas, fakta empiris kegagalan integrasi ekonomi di kawasan lain yang berdasarkan pada paradigma neoliberalisme dan prinsip pasar bebas memberi-kan peringatan kepada kita bahwa dibutuhmemberi-kan kesiapan ekonomi yang benar-benar matang untuk dapat berhasil di dalamnya. Namun sebaliknya, pada tataran realitas, secara faktual, perekonomian Indonesia justru tidak menunjukkan adanya kesia-pan yang matang dalam menghadapi integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya langkah-langkah atau bahkan program yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk lebih mempersiapkan pereko-nomian negeri menuju terciptanya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Sebagai hasil-nya, lahirlah sebuah pertanyaan besar yang kemudian menjadi permasalahan yang diulas dalam buku ini. Mengapa pemerintah Indonesia selama periode 2003-2008 tidak memiliki langkah-langkah yang berarti untuk mempersiapkan perekonomian Indonesia menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, se-mentara fakta membuktikan bahwa kesiapan ekonomi adalah mutlak diperlukan dalam proses integrasi ekonomi kawasan yang berlandaskan pada neoliberalisme dan prinsip pasar bebas?

Teori Kritis dan Pendekatan Gramscian-Foucauldian

Upaya analisis untuk membongkar faktor-faktor di balik ketidaksiapan dan minimnya langkah pemerintah Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam buku ini dilandaskan pada Teori Kritis (Critical Theory), sebagau salah satu paradigma penting dalam Ilmu Hubungan Internasional. Teori kritis mulai berpengaruh dalam Hubungan Internasional terutama sejak pertengahan 1980-an. Pendekatan ini membuat kita untuk secara mendalam memikirkan praktik kehidu-pan sehari-hari dan hubungan di antara ‘teori’ dengan cara kita bertindak.43

Pan-dangan utama teori kritis, mungkin secara ringkas dapat disarikan dalam sebuah perkataan Karl Marx yang terkenal mengenai tugas seorang filsuf tidak hanya untuk menggambarkan dunia, tetapi yang penting adalah bagaimana

merubahn-43 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations: Perspectives and Themes

(32)

ya.44 Dalam pandangan teori kritis, kaum intelektual terlibat dalam kegiatan

mem-produksi pengetahuan atau kebenaran mengenai dunia, baik untuk mendukung hubungan sosial yang dominan atau untuk menantang, bahkan menggantikannya. Termasuk di dalamnya institusi sosial dan praktik-praktik yang menciptakan serta melestarikan ketidakadilan. Dalam konteks ini, pengetahuan adalah secara inheren bersifat sosial dan politik.45

Hubungan erat antara teori atau gagasan dengan praktik sosial yang aktual merupakan persoalan penting dalam pandangan teori kritis. Hal ini terjadi karena adanya sebuah kontradiksi antara gagasan dominan mengenai sifat dasar sistem sosial dan ekonomi dengan kondisi aktual atau material kehidupan manusia. Dalam sudut pandang kelas kapitalis, liberalisme benar-benar dapat menggambarkan re-alitas kehidupan mereka.46 Namun demikian, bagi kelas pekerja yang termiskinkan,

realitas kehidupan sehari-hari mereka sangat berbeda, di mana mereka lebih suka menggunakan istilah opresif, atau eksploitatif dan melihat diri mereka hanya memi-liki sedikit pilihan dan kesempatan untuk mengendalikan kehidupan mereka send-iri.47 Dengan demikian, liberalisme tidak memberikan gambaran mengenai sebuah

kebenaran akan sifat dasar manusia dan masyarakat, gagasan ini hanya merefleksi-kan sudut pandang dari kelas yang dominan.48

Ciri utama dari perspektif teori kritis dalam disiplin hubungan internasional dapat disederhanakan ke dalam enam asumsi. Pertama, dunia seharusnya dipahami terutama dalam konteks kekuatan sosial dan ekonomi utama yang dihasilkan oleh kapitalisme, yang saat ini memiliki ruang lingkup internasional, bahkan global.

Kedua, negara dan institusi juga harus dipahami dalam konteks fungsi yang

dimain-kannya dalam mendukung kapitalisme global. Ketiga, sementara dunia “nyata” itu ada, pemahaman kita tentang dunia selalu dimediasi melalui gagasan, konsep dan teori yang merupakan produk dari pemikiran dan refleksi kritis. Keempat, semua pengetahuan bersifat ideologis, yaitu merupakan sebuah refleksi nilai-nilai, gaga-san, dan terutama kepentungan dari kelompok sosial tertentu. Kelima, budaya dan ideologi merupakan suatu kekuatan yang penting yang bekerja untuk mendukung atau menentang tatanan ekonomi dan sosial yang berlaku. Keenam, hubungan inter-nasional atau politik interinter-nasional, terdiri dari suatu pertentang di antara beragam kelompok dan pergerakan sosial, atau kekuatan sosial, yang di satu sisi memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo, sementara di sisi lain berupaya melakukan perlawanan untuk mengubahnya.49

Dengan demikian, pendekatan teori kritis memandang bahwa gagasan menge-nai integrasi ekonomi kawasan berlandaskan pada liberalisme tidak terlepas dari kepentingan kelompok-kelompok sosial dan ekonomi tertentu, terutama kelas pemilik modal. Sementara peranan pemerintah memainkan fungsi tertentu untuk mendukung keberadaan sistem kapitalis di tingkat kawasan. Beragam upaya lib-eralisasi ekonomi yang digalang pemerintah Indonesia di tingkat ASEAN dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk melestarikan eksistensi kapitalisme regional.

44 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 101.

45 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 101.

46 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102.

47 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102.

48 Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations, 102.

Gambar

Gambar 2.1 Krisis Utang Internasional 1982-1985 Sumber: Corbridge, Debt and Development (Oxford: Blackwell, 1993), dikutip dalam David Harvey, A Brief History of  Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2007).
Gambar 2.3 Area Perdagangan Bebas Dunia Sumber: Masahisa Fujita, Satoru Kumagai & Koji Nishikimi, eds., Economic Integration in East Asia: Perspectives from Spa- tial and Neoclassical Economics (Massachusetts: Edward Elgar Publishing, Inc., 2008), 2.
Gambar 2.4 Kesepakatan Perdagangan Bebas dan 50 Peringkat Atas Pasar Ekspor Dunia Sumber: Corbridge, Debt and Development (Oxford: Blackwell, 1993), dikutip dalam David Harvey, A Brief History of Neolib- eralism (Oxford: Oxford University Press, 2007).
Tabel 2.5 Kesepakatan IMF - Negara-Negara Anggota, Jumlah Kesepakatan dan Dana yang Dialokasikan, Negara-Negara  Berkembang dan Transisi Periode 1988/1989 - 1992/1993
+7

Referensi

Dokumen terkait

Insentif yang dikeluarkan dalam pengelolaan sampah domestik di Kabupaten Bantul berupa: tong sampah, komposter, mesin jahit, gerobak sampah, mesin pencacah sampah organik, mesin

Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi ekstrak tepung daun sirih hutan 0 g/l air memiliki rerata kecepatan tumbuh 15,00 mm/hari dan berbeda nyata dengan

Alasan utama bagi suatu perusahaan untuk menerapkan diversifikasi adalah penciptaan nilai melalui lingkup ekonomis, finansial atau kekuatan pasar, tindakan karena

Apituley dan Josepus Makita (2009) telah melakukan penelitian tentang otonomi daerah dengan judul analisis kontibusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap

Galeri; Gedung Pertunjukan; Gedung bersejarah (Gedung Sate, Bale Pakuan, Balai Kota, Pendopo, Bumi Siliwangi (Isola), Gedung KAA, Gedung Bank Indonesia. Wisata

Untuk pembebanan pada model input beban yang digunakan adalah perbedaan gaya angkat dan gaya berat (superposisi) dengan kondisi batas sesuai dengan penjelasan sebelumnya, maka

Contohnya di Bagian Hukum Humas dan Pemasaran sub unit Koordinator PKRS yang diduduki oleh tenaga SKM peminatan gizi dengan kompetensi menganalisis segala sesuatu

Dari data hasil training ERNN dan hasil validasi parameter ERNN didapatkan bahwa ERNN dapat melakukan aproksimasi kembali gaya total dan posisi manipulator yang