• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DARI SUAMI ATAU ISTERI YANG HIDUP

C. Hibah Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Warisan

Hubungan antara hibah sebagai solusi pemecahan masalah waris adalah sebagai bentuk rekayasa hokum dalam kewarisan Islam, tidak terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi di kondisi sosial yang terdapat di Indonesia pasti berbeda dengan apa yang terjadi di negara muslim lainnya dan apabila dipaksakan hukum Kewarisan Islam tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam kitab fiqh klasik, maka yang akan

119http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Hibah.pdf diakses pada tanggal 15 November 2013.

terjadi adalah ketidakseimbangan dalam proses pemecahan masalah yang berkaitan dengan Hukum Kewarisan Islam.

Permasalahan yang sering muncul adalah masalah hubungan anak angkat dan orang tua angkat yang tidak dapat saling mewarisi karena tidak memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan darah. Contoh yang lain, adanya keinginan para orang tua di Indonesia untuk memberikan bagian yang sama terhadap pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan.120

Berdasarkan Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 4 dan 5, Anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi, karena anak angkat dan orang tua angkat tidak memiliki hubungan nasab, sehingga tidak memiliki hubungan kekerabatan, konsekuensinya anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi. Tetapi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan anak angkat dan orang tua angkat tak ubahnya seperti anak kandung yang memiliki hubungan batin yang amat kuat, sehingga anak angkat disunatkan, disekolahkan bahkan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebaliknya anak angkat rela merawat dan mengurus orang tua angkat di masa tuanya tak ubahnya sebagai bagian dari sebuah keluarga.121

Hal ini menjadi permasalahan tersendiri karena adanya ikatan emosional yang sedemikian kuat antara orang tua angkat dengan anak angkat, ketika orang tua angkat tersebut meninggal maka anak angkat tersebut tidak mendapatkan apa apa. Oleh karena itu sebagai solusinya hendaknya orang tua angkat sewaktu hidupnya

120M Sanusi, Membagi Harta Waris, (Jakarta: Diva Press, 2012), hal. 45 121Ibid., hal. 55

memberikan hibah kepada anak angkat tersebut, apabila sudah terlanjur meninggal dunia dapat ditempuh dengan pemberian wasiat wajibah untuk mendapatkan harta warisan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.

Contoh Kedua, Persoalan antara pembagian persentase harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 2:1, seperti apa yang telah termuat dalam Al-Qur’an surat Al Nisa ayat 11, sehubungan dengan itu Munawir Syadjali di era tahun 80-an dalam rangka aktualisasi hukum Islam, pernah mengungkapkan bahwa banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan sehingga yang menjadi harta warisan hanya sebagian kecil saja. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk “menghindari (kelah)” dari sistem bagi waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian warisan 1 : 1.122

Contoh-contoh tersebut diatas dapat memberikan kesimpulan bahwa ada satu istilah yang muncul yaitu penggunaan hibah sebagai rekayasa untuk menolak hukum kewarisan Islam, khususnya dengan permasalahan yang bebenturan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang disebut oleh Munawir Syadzali sebagai Hiyal

Al Syar’iyah.123

Kata al-hiyal adalah bentuk plural dari kata al-hilah yang berarti suatu tipu daya, kecerdikan, muslihat, atau alasan yang dicari-cari untuk melepaskan diri dari

122

Satriyo Wicaksono, Cara Mudah & Tepat Membagi Warisan, (Jakarta: Visimedia, 2012), hal. 32

123Mukhtar Zamzam, Hiyal Asy-syar`iyah, dalam praktik hibah dan wasiat, (Jakarta: Makalah Rakernas MARI, 2011) hal. 2

suatu beban atau tanggung jawab.124 Atau dalam bahasa lain dapat disebut dengan istilah kilah. Hiyal asy-syar`iyah terjadi dalam pratik hibah, salah satunya ialah adanya keinginan pemberi hibah (wahib) untuk memberikan hartanya kepada penerima hibah dalam jumlah yang diinginkannya guna menghindari ketentuan hukum lain yang membatasi jumlah harta yang boleh diterima oleh penerima hibah.

Muhammad Said al-Asmawi mengungkapkan hal ini, dan praktik hilah seperti ini ketika sampai di Pengadilan akan menimbulkan banyak kesulitan. Muhammad Amin al-Asmawi memberi saran bagi orang tua yang ingin memberikan hak secara merata bagi anak-anaknya menggunakan institusi wakaf ahli (wakaf keluarga). Melalui wakaf harta asal tidak boleh dialihkan kepemilikannya, tetapi hasilnya dinikmati secara merata oleh seluruh para ahli waris.125

Dalam tulisannya yang lain, Munawir berpendapat perbuatan hibah seperti ini merupakan penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Qur`ani. Memang betul melakukan hibah juga merupakan ajaran agama, tetapi melakukan hibah dengan semangat demikian (agar anak laki-laki dan anak perempuan mendapat porsi yang sama) itu apakah sudah benar menurut jiwa agama. Atau legalkah perbuatan tersebut di mata ajaran agama.126

Majid Khadduri ketika menguraikan perbedaan antara keadilan substantif dan keadilan prosedural, menilai pebuatan hilah dalam bentuk hibah karena ingin

124Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka. 2005), hal. 567

125

Muhammad Said al-Asmawi, Problematika & Penerapan Syariat Islam Dalam

Undang-Undang, Penerjemah : Saiful Ibad, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2005), hal. 85

memberikan harta dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah yang dibolehkan dalam hukum kewarisan (faraidh) bukanlah perbuatan ilegal. Hilah seperti ini adalah legal fiction atau fiksi hukum yang bijak yang sebenarnya merupakan subordinasi keadilan substantif. Atas dasar pemikiran seperti inilah menurut Khadduri para ulama dalam mazhab Hanafi membolehkan pemakaian hilah dalam kerangka fiksi hukum yang bijak (wisdom legal fiction), bukan hilah dalam menghindari kewajiban-kewajiban agama yang absolut keadilannya.127

Selanjutnya dalam Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan, apabila hibah yang diberikan kepada salah satu ahli waris dan ternyata menyebabkan kekurangan bagian terhadap ahli waris lain maka hibah yang diberikan tersebut tidak sah. Hibah tersebut dapat dibatalkan dan diambil untuk dibagikan kepada ahli warisnya yang kekurangan bagian.128

Jika dicontohkan seorang meninggal dan meninggalkan ahli waris, yaitu seorang isteri, 2 (dua) anak laki-laki dan 1 (satu) anak perempuan dengan meninggalkan harta warisan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan isteri sebagai orang tua yang lama terhidup mengibahkan kepada anak perempuannya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Maka bagian masing-masing ahli waris adalah :

127

Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Penerjemah : MochtarZoerni dan Joko S. Kahhar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999). hal. 124.

Isteri mendapat 1/2 bagian (harta bersama) + 1/8 bagian (karena mewaris peninggalan far’ul waris).129= 1/2 + 1/8 = 4/8 + 1/8 = 5/8 dan anak laki-laki dan anak perempuan mendapat sisanya yaitu : 1/2 - 1/8 = 4/8 - 1/8 = 3/8 bagian. Dikarenakan bagian laki-laki 2 bagian dari bagian perempuan maka :

a. Anak laki-laki 2 bagian x 2 orang anak = 4 bagian b. Anak perempuan 1 bagian x 1 orang anak = 1 bagian c. Total bagian adalah menjadi 5 (lima) bagian.

Sisa harta adalah 3/8 dibagi 5 bagian = 3/40 bagian dan pembagiannya adalah

Isteri 5/8 atau 25/40

Anak laki-laki 4 x 3/40 = 12/40 Anak perempuan 1 x 3/40 = 3/40 + Totalnya adalah 40/40 bagian = 1 bagian Contoh pembagian dengan tidak adanya hibah adalah :

a. Isteri 25/40 x Rp. 200.000.000,- = Rp. 125.000.000,-b. Anak laki-laki 2 x 3/40 = 6/40 x Rp. 200.000.000,- = Rp. 30.000.000,-c. Anak laki-laki 2 x 3/40 = 6/40 x Rp. 200.000.000,- = Rp. 30.000.000,-d. Anak perempuan 1 x 3/40 = 3/40 x Rp. 200.000.000,- = Rp.

15.000.000,-Total warisan = Rp.

200.000.000,-Contoh Pembagian dengan adanya hibah adalah :

Total warisan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan akan dipotong Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) yang dihibahkan kepada anak perempuannya. Jadi sisa harta yang akan dibagi adalah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), sehingga pembagiannya

a. Anak perempuan 1 x 3/40 =

3/40 x Rp. 100.000.000,- = Rp.

b. Isteri 25/40 x Rp. 100.000.000,- = Rp. 62.500.000,-c. Anak laki-laki 2 x 3/40 = 6/40 x Rp. 100.000.000,- = Rp. 15.000.000,-d. Anak laki-laki 2 x 3/40 = 6/40 x Rp. 100.000.000,- = Rp.

15.000.000,-Total = Rp.

100.000.000,-Sisa Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) jadi milik anak perempuan dari hibah, jadi total warisan adalah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Dengan adanya hibah tersebut terjadilah kekurangan bagian bagi para ahli waris lain, yaitu kurangnya bagian isteri dan 2 (dua) anak laki-lakinya. Sehingga pemberian hibah tersebut dapat ditarik menadi warisan dan dapat berakibat hibah menjadi batal karena melanggar legitime portie ahli waris lain dan hibah tersebut telah melebihi 1/3 bagian dari ketentuan yang ada. Jika anak perempuan tersebut telah mendapat persetujuan dari para ahli waris yang lain, maka tidak menjadi masalah, tetapi bila ahli waris ada yang tidak setuju maka hibah tersebut bisa batal.

Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa di dalam Kompilasi Hukum Islam menganut prinsip bahwa hibah hanya boleh dilakukan 1/3 dari harta yang dimilikinya, hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris. Apabila hibah akan dilaksanakan menyimpang dari ketentuan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi pemecahan di antara keluarga.

Prinsip yang dianut oleh hukum Islam adalah sesuai dengan kultur bangsa Indonesia dan sesuai pula dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnul Hasan bahwa orang yang menghilangkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu dan tidak layak bertindak hukum.

Oleh karena orang yang menghibahkan harta dianggap tidak cakap bertindak hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal, sebab ia tidak memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan. Apabila perbuatan orang tersebut dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan ahli warisnya, sungguh tidak dibenarkan sebab di dalam syari’at Islam diperintahkan agar setiap pribadi untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka.

Dengan demikian harta peninggalan yang telah dihibahkan oleh orang tua kepada anaknya akan menjadi harta dari anak yang menerima hibah tersebut, namun dengan demikian dalam memberikan menghibahkan harta peninggalan tersebut juga harus diperhatikan dengan baik hak-hak dari anak-anaknya yang lain jika ada.

Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan di Indonesia, telah memberikan pengaturan-pengaturan mengenai tata cara pembagian harta peninggalan dan Islam menganjurkan agar orang tua yang hidup terlama dalam memberikan pembagian harta peninggalan kepada anak-anaknya untuk berlaku adil karena harta peninggalan tersebut memanglah menjadi hak anak-anak mereka ketika orang tuanya sudah meninggal dunia.

Orang tua yang hidup terlama dapat memberikan harta peninggalan kepada anak perempuan dan anak laki-lakinya secara rata, yaitu dengan cara pengibahan. Hibah dilaksanakan dan diberikan terlebih dahulu kepada anak perempuannya, kemudian barulah dilaksanakanlah pembagian harta peninggalan tersebut dan sedikit banyaknya maka akan samalah harta yang akan diterima oleh anak-anaknya tersebut.

Suami atau isteri (orang tua) yang hidup terlama pada umumnya melakukan hibah atas harta peninggalan, dikarenakan adanya keinginan untuk membagi harta peninggalan secara adil kepada anak-anaknya, agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan dikemudian hari. Pada awalnya para anak-anaknya (ahli waris) menerima pembagian yang dilakukan oleh orang tua yang hidup terlama, karena adanya rasa patuh dan hormat kepada orang tua yang hidup terlama. Apabila semua ahli waris menerima pembagian waris dengan hibah tidak masalah, namun pada kenyataannya konflik terjadi setelah orang tua yang hidup terlama meninggal, dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan dalam pembagian warisan, sehingga saling menuntutlah para ahli waris tersebut.130

Lebih lanjut orang tua yang hidup terlama yang akan mengibahkan harta peninggalan, sebaiknya dilakukan dengan membagikan terlebih dahulu apa yang menjadi hak para ahli waris yaitu ½ (setengah) bagian dari harta bersama untuk orang tua yang hidup terlama dan ½ (setengah) bagian lainnya untuk orang tua yang hidup terlama dan anak-anaknya. Setelah dilakukan pembagian, kalaupun ada keinginan untuk tetap mengibahkan harta peninggalan adalah bagian orang tua yang hidup terlama saja.131

130

Wawancara dengan Abdul Halim Ibrahim, selaku Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 21 Januari 2013 di Medan.

131Wawancara dengan Abdul Halim Ibrahim, selaku Hakim Pengadilan Agama Medan, tanggal 21 Januari 2013 di Medan.

Dokumen terkait