• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HIBAH ATAS HARTA PENINGGALAN YANG DIHIBAHKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 9/PDT.G/2013/PTA-MDN TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HIBAH ATAS HARTA PENINGGALAN YANG DIHIBAHKAN BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 9/PDT.G/2013/PTA-MDN TESIS."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RAKHMAT NAGASATI LUBIS

117011030/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAKHMAT NAGASATI LUBIS

117011030/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 117011030

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA,PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Dedi Harianto , SH, MHum

(5)

Nim : 117011030

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HIBAH ATAS

HARTA PENINGGALAN YANG DIHIBAHKAN

BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 9/PDT.G/2013/PTA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : RAKHMAT NAGASATI LUBIS Nim : 117011030

(6)

i

anak perempuan bisa sama. Dalam hal pemberian hibah haruslah diperhatikan dengan baik tata caranya pemberiannya, karena ditakutkan yang dihibahkan tersebut bukanlah hak dari si pengibah. Seperti kasus putusan pengadilan nomor 09/PDT.G/2013/PTA-MDN, yang berupa gugatan seorang ahli waris terhadap ahli waris lainnya, dikarenakan adanya hibah yang dilakukan oleh orang tua yang hidup terlama (ibu) terhadap harta peninggalan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian yang dilakukan secara pendekatan yuridis

normatif yaitu pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek

hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan dengan pembatalan hibah atas harta peninggalan yang pengibahannya dilakukan oleh suami atau isteri yang hidup terlama (ibu) kepada ahli waris lainnya (anak-anak) pada putusan Pengadilan. Sumber data diperoleh melalui studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara kepada informan dari Pengadilan Agama Medan.

Hak suami atau isteri yang hidup terlama atas harta peninggalan adalah harta bawaan, ½ (setengah) dari harta bersama, bagian sebagai ahli waris. Harta peninggalan yang dihibahkan suami atau isteri (orang tua) yang hidup terlama kepada anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dapat dilaksanakan, sepanjang hibah itu tidak lebih dari sepertiga, merupakan milik pribadi dan bukan dari harta bersama. Penarikan/pembatalan hibah itu dari kasus putusan Pengadilan Agama No. 09/PDT.G/2013/PTA-MDN dapat dilaksanakan karena harta yang dihibahkan oleh suami atau isteri (orang tua) yang hidup terlama kepada anak-anaknya merupakan harta peninggalan yang didalamnya, juga salah satu pertimbangan Hakim untuk memenangkan gugatan Penggugat adalah terdapat harta bersama, pengibahan atas diri sendiri, pengibahan dilakukan tanpa adanya persetujuan dari para ahli waris lainnya (anak-anaknya), dan melebihi sepertiga. Penarikan/pembatalan ini hanya dapat dilakukan apabila harta hibah tersebut masih ada dalam penguasaan si penerima hibah, karena apabila sudah beralih kepada pihak ketiga maka akan timbul derden

verzet (perlawanan), dan apabila ada permohonan sita, maka niet bevinding atau tidak

diketemukan benda objek perkaranya di lapangan.

(7)

ii

grant since it can possibly come from the wrong person. This case occurred in the Court’s Verdict No. 09/PDT.G/2013/PTA-MDN in which the heir filed a complaint against the other heirs because the grant given by the oldest parent (mother) on inherited property.

The research was a descriptive analysis which described the subject and the object of the research by using judicial normative approach by analyzing various legal aspects, studying legal provisions, books, judges’ verdicts, and jurisprudence which were related to the problems of the revocation of a grant on an inherited property. It was bequeathed by the oldest parent (mother) to the other heirs, based on the court’s verdict. The data were gathered by conducting library study, supported by interviews with informants from the Religious Court, Medan.

The right of the oldest husband or wife on inherited property is a dowry brought to a marriage by either side, half of joint property, and a part of the heirs. The inherited property which is granted by the oldest husband or wife, according to the Compilation of the Islamic Law, can be implemented as long as the grant is not more than one third, personal property, and not from joint property. The revocation/cancellation of the grant from the Religious Court’s Verdict No. 09/PDT.G/2013/PTA-MDN can be implemented because the granted property bequeathed by the oldest husband or wife to their children is inherited properties in which one of the judge’s verdicts to win the plaintiff’s claim are joint property, personal grant, agreed by the other heirs (their children), and more than one third. The revocation can only be done when the granted property still belongs to the person who receives the grant because, when it has owned by the third party, there will derden verzet (resistance), and when there is a request for confiscation (niet bevinding) or there is no object of the case in the field.

(8)

iii

Ta’ala yang telah memberikan nikmat kehidupan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul “Analisis Yuridis Pembatalan Hibah Atas Harta Peninggalan Yang Dihibahkan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 9/Pdt.G/2013/PTA-MDN” dengan sebaik-baiknya. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat beriring salam teruntuk Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ajaran Islam sehingga kita keluar dari zaman kebodohan.

Dibalik terselesaikannya tesis ini, ada banyak pihak yang telah membantu, membimbing dan memberikan semangat kepada penulis. Untuk itu, penulis haturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan tesis ini hingga selesai.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku anggota Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan atas waktu dan arahan serta bimbingannya.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing dan Sekretaris Program Studi Magister atas segala waktu, masukan, bimbingan serta sarannya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.

(9)

iv

8. Seluruh Dosen Pengajar serta para staf pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu yang bermanfaat serta segala bantuannya kepada penulis.

9. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Chairul Amri Lubis dan Ibunda Hj. Megawan Siregar, SH, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dari kecil hingga dewasa yang senantiasa memberikan doa dan dukungan hingga saat ini. Mereka memiliki peran yang sangat penting dan tak terhingga, rasanya ucapan terima kasih saja tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan wujud penghargaan penulis.

10. Buat keluarga penulis, Dina Karlina Amri Lubis, SH, Yunita Kemala Sari Lubis, dan Muhammad Fadhli Lubis yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

11. Teman Istimewa penulis, Dr. Nurita Apri Diana Harahap yang telah memberi semangat dan doa kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

12. Semua pihak dan rekan-rekan yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Aamiin Yaa Rabbal’alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Medan, Juli 2014 Penulis

(10)

v

2. Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 17 Februari 1987 3. Jenis Kelamin : Laki-Laki

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Prima Wisata B No. 43, Desa Deli Tua, Kec. Namo Rambe, Kab. Deli Serdang

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Drs. H. Chairul Amri Lubis

2. Nama Ibu : Hj. Megawan Siregar, SH

3. Nama Saudara : Dina Karlina Amri Lubis, SH Yunita Kemala Sari Lubis, Amd Muhammad Fadhli Lubis

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Swasta Harapan I

Tahun 1993-1999

2. SMP : SLTP Swasta Harapan I

Tahun 1999-2002

3. SMA : SMU Swasta Harapan I

Tahun 2002-2005

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Sumatera Utara Tahun 2006-2010

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

(11)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 10 C. Tujuan Penelitian ... 11 D. Manfaat Penelitian ... 12 E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 25

1. Spesifikasi Penelitian ... 26

2. Teknik Pengumpulan Data ... 26

3. Alat Pengumpulan Data ... 27

4. Analisis Data ... 28

BAB II HAK DARI SUAMI ATAU ISTERI YANG HIDUP TERLAMA ATAS HARTA PENINGGALAN ... 29

A. Harta Peninggalan Dalam Hukum Islam ... 29

(12)

vii

A. Hibah Dalam Islam ... 60

B. Korelasi Hibah dengan Harta Peninggalan / Warisan... 66

C. Hibah Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Warisan ... 69

D. Pembatalan Hibah Atas Harta Peninggalan Yang Telah Dihibahkan ... 78

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN PEMBATALAN HIBAH TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN Nomor 09/PDT.G/2013/PTA-MDN ... 88

A. Analisis Putusan Pengadilan No. 92/Pdt.G/2012/PA-Pspk ... 88

B. Analisis Putusan Pengadilan No. 09/Pdt.G/2013/PTA-MDN ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

(13)

viii

Dainul-ibad : hutang sesama manusia

Derden verzet : perlawanan pihak ketiga

Diyah-wajibah : denda wajib

Faraidh : hukum kewarisan

Fiqh : mengetahui atau paham hukum Islam

Fuqaha : ahli fiqh

Ijbari : keharusan, kewajiban

Khiyar : hak memilih

Obscuur : gugatan kabur

Qisas : pembalasan (memberi hukuman yang setimpal)

Syara : dalil yang disepakati para ulama

Syuf’ah : penggabungan

Syari’at : hukum Islam

Taqdiri : menurut dugaan

Tirkah : harta peninggalan

Urf : kebiasaan

Wala’ itqi : pemerdekaan budak

(14)

ix

Q.S : Qur’an Surah

SAW : Shalallahu‘alaihi Wasallam

SWT : Subhanahu wa ta’ala

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di dunia adalah untuk berbakti kepadaNya, salah satu cara berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah melaksanakan semua perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Salah satu dari sekian banyak perintahNya adalah berbuat baik sesama manusia dan saling tolong menolong.

Salah satu bentuk berbuat baik dan saling tolong menolong bisa dilakukan dengan banyak cara yaitu misalnya membantu saudara atau kerabat yang sedang kesusahan, salah satu pertolongan yang sering dilakukan ialah dengan cara pemberian, yaitu pemberian suatu benda baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak kepada orang lain secara cuma-cuma atau disebut Hibah.

Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif.1 Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah sunat berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’, 4: 4 yang artinya :2

“… Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu…”

Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 juga menyatakan :

1 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal. 83 2 Ibid

(16)

“…. Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)…”

Para ulama juga beralasan dengan adanya sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :

“saling memberi hadiahlah kemudian saling mengasihi. (HR al-Bukhari, an-Nasa’I, al-Hakim, dan al-Baihaqi).3

Baik ayat maupun hadist di atas, menurut jumhur ulama, menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai kelebihan harta untuk mengibahkannya kepada orang yang memerlukannya.4

Hibah mempunyai pengertian yaitu “Pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.5Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengertian Hibah adalah “Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”6

Dari keterangan yang didapat mengenai pengertian hibah diatas dapat dikatakan hibah adalah pemberian yang dilakukan seseorang dalam keadaan sehat berupa

3

Ibid, hal. 84

4

Ibid

5Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam 6Pasal 1666 KUHPerdata

(17)

barang pribadinya baik sebagian atau semuanya tanpa ada imbalan dan juga dapat ditarik unsur hibah yaitu7:

1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma – cuma, artinya tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.

2. Dalam hibah selalu diisyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.

3. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang penghibah.

4. Hibah tidak dapat ditarik kembali.

5. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.

6. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Secara logika perbuatan hukum seperti hibah adalah salah satu cara atau bentuk kepedulian terhadap sesama manusia yaitu dengan cara mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa persaudaraan dan kepedulian sosial. Pada era modernisasi ini, banyak cara bagi seseorang untuk memberikan sesuatu dari harta pribadinya dengan cara memberikan secara sukarela dan tidak mengharapkan imbalan apapun dan pemberian tersebut pada umumnya diberikan kepada keluarga, baik keluarga sedarah maupun hanya sebatas kerabat maupun orang lain.

Hibah merupakan suatu perjanjian yang dapat senantiasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan hibah juga suatu pemberian atau hadiah memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga. Hibah juga berfungsi sebagai fungsi sosial baik dalam pembagian harta warisan.8

7Sudarsono, Hukum Waris Dan Hibah, (Bandung: Rineka Cipta, 1990), hal.125 8Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 380

(18)

Hibah juga dapat berfungsi sebagai salah satu solusi untuk mengatasi problem di dalam Hukum Waris Islam, mengingat hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal ras, agama dan golongan, maka hibah dapat dijadikan solusi untuk memecahkan problem hukum waris dewasa ini.9

Hibah juga berfungsi sebagai solusi dalam memecahkan masalah perwarisan dan hibah juga dapat menjadi bencana bagi suatu keluarga apabila hibah tersebut telah melanggar ketetapan yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pelaksanaan hibah dilaksanakan pada saat si pemberi hibah dalam keadaan masih hidup, apabila bila pelaksanaanya pada saat si pemberi hibah sudah meninggal, maka pemberian tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai hibah.10

Hibah dilakukan bukan karena suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk melakukan hibah, tetapi dilakukan untuk meningkatkan atau menguatkan kekerabatan dan kasih sayang diantara sesama manusia, disebutkan bahwa hibah menurut fiqh Islam tidak terbatas jumlahnya, tergantung kepada keinginan dan kehendak si pemberi hibah, bahkan ia boleh menghibahkan seluruh hartanya.11

Disinilah sering terjadi permasalahan, ketika seseorang akan melakukan perbuatan hukum hibah. Seringnya terjadi kasus hibah adalah pemberian harta warisan kepada anak angkat yang melebihi atau melanggar porsi ahli waris lain,

9

Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Medan: Cv. Mandar Maju, 1997), hal. 35

10Chairuman Pasaribu & Syuhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 75

11

(19)

namun kadangkala adanya kecemburuan sosial dari para ahli waris atau keberatan dengan pemberian sang ayah kepada anak angkatnya dan juga kecemburuan sosial yang terjadi diantara para ahli waris.

Suatu pemberian hibah itu bisa dikatakan tidak sah, apabila pemberian yang dilakukan itu masih termasuk ke dalam harta peninggalan, karena harta peninggalan adalah hak bagi para ahli waris yang di dapat akibat adanya kematian. Sebelum harta peninggalan itu akan dihibahkan, haruslah dilihat terlebih dahulu asal muasal objek yang akan diberikan si pemberi hibah tersebut, seperti apakah objek tersebut milik pribadi atau harta bawaan pasangan yang lama terhidup, atau dari harta peninggalan dan mungkin pemberian tersebut telah melanggar bagian dari ahli waris.

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.12 Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara pengoperan atau penyelesaian harta peninggalan kepada keluarga (ahli waris)-nya, yang dikenal dengan nama Hukum Waris.13

Dalam hal hibah ditarik kembali menurut hukum Islam, berdasarkan riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Rasullullah SAW berkata “tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan sesuatu pemberian kemudian dia

12

Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam

13Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media, 1997), hal. 1

(20)

meminta kembali pemberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian dia berikan kepada anaknya”.14

Dalam hukum Perdata, hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan, kecuali sebagaimana yang tersebut dalam pasal 1688 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu:

1. Karena orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebebanan kepada orang yang menerima hibah;

2. Orang yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang memberi hibah, atau sesuatu kejahatan lain bertujuan menghilangkan dan mencelakakan orang yang memberi hibah;

3. Jika orang yang menerima hibah menolak untuk memberikan tunjangan nafkah terhadap diri orang yang memberi hibah karena ia jatuh miskin.

Penarikan kembali atas suatu hibah dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan, dalam penyelesaian kasus pembatalan atau penarikan hibah di Pengadilan, hukum yang akan dipergunakan pada dasarnya adalah hukum waris adat dimana Pengadilan tersebut berada. Hal ini dikarenakan untuk melindungi hak-hak ahli waris sesuai dengan hukum yang berlaku di daerahnya.

Namun bisa juga penyelesaian kasus didasarkan pada hukum yang dianut para pihak yang bersengketa. Misalnya untuk Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.

(21)

Untuk orang-orang pribumi yang beragama non-Islam dapat menggunakan hukum adat dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sedangkan golongan Warga Negara Indonesia keturunan maka akan dipergunakan hukum perdata barat berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Peraturan-peraturan yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan diharapkan dapat memberikan suatu perlindungan hukum dan rasa keadilan kepada para pihak yang bersengketa.

Kasus penarikan atau pembatalan hibah merupakan kasus yang sering terjadi. Hal ini dikarenakan pihak penerima hibah yang tidak memenuhi persyaratan dalam menjalankan hibah yang telah diberikan. Dalam hukum hibah yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali, akan tetapi terdapat beberapa perkecualian hibah dapat ditarik kembali.15

Melihat fenomena itu, pemerintah merasa berkewajiban untuk menata dalam rangka meminimalisir dampak negatif akibat kurang jelasnya status hibah terutama hibah dalam bentuk tanah. Hibah diatur oleh Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan merupakan tindakan persetujuan dari pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan penerima hibah. Undang-undang mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682

15 Eman Suparman, Fungsi Hibah Dalam Perlindungan Bagi Anak, (Semarang: Aditama, 2005), hal. 44

(22)

harus dibuat di muka Notaris. Hibah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab X Buku III tentang Perikatan.16

Disinilah kejelian seorang Notaris dalam membuat Akta Hibah, karena seorang Notaris harus melihat objek hibah dari segala arah dan memperhatikan unsur-unsur pelaksaan pemberian hibah, agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari. Permasalahan yang terjadi adanya pembatalan hibah atau penarikan kembali hibah yang diberikan oleh si pengibah, yang mana kasus penarikan hibah atau pembatalan termasuk gugatan perdata yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

Ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata antara lain dalam hal proses beracara di pengadilan, pembuktian, alat-alat bukti yang digunakan yaitu alat bukti tertulis, ketentuan terhadap gugatan perdata tersebut, sebagai pedoman penelitian ini maka dipergunakan suatu kasus gugatan perdata mengenai pembatalan hibah dengan perkara nomor 09/Pdt.G/2013/PTA-MDN, dimana salah satu ahli waris menggugat ahli waris lainnya dalam gugatan ini, yang berkaitan dengan adanya kepentingan penggugat untuk membatalkan hibah yang dilakukan ibu Penggugat dan Para Tergugat.

Gugatan ini bertujuan untuk membatalkan hibah tanah, maka akan dilakukan kajian yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk Tesis yang berjudul Analisis Yuridis Pembatalan Hibah Atas Harta peninggalan Yang Dihibahkan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 9/Pdt.G/2013/PTA.MDN. Yang mana pada gugatan

(23)

sebelumnya, penggugat menang di Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan, sesuai dengan putusan Nomor 92/Pdt.G/2012/PA.Pspk tanggal 22 Oktober 2012 M yang bertepatan dengan tanggal 06 Dzulqa’dah 1433 H, Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan memutuskan atau memenangkan atas gugatan pembatalan hibah tersebut, sehingga batalnya surat hibah atas harta yang dihibahkan ibu Penggugat dan Para Tergugat tersebut. Namun, Para Tergugat mengajukan banding dan dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama di Medan dan Hakim menguatkan putusan gugatan atas pembatalan hibah tersebut karena Surat Kuasa Khusus yang diajukan oleh Kuasa para Tergugat, secara tegas dan jelas para Tergugat memberikan kuasanya melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi, sedangkan untuk upaya banding ke Pengadilan Tinggi Agama tidak disebutkan secara jelas, sehingga dengan demikian berdasarkan ketentuan pasal 147 ayat (1) Rbg. juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1959 Tentang Surat Kuasa Khusus, maka Kuasa para Tergugat/ Pembanding tidak memiliki kapasitas/ hak untuk mengajukan banding Ke Pengadilan Tinggi Agama,

Permasalahan yang terjadi adalah adanya penolakan salah satu anak terhadap pemberian hibah dari harta peninggalan yang diberikan Ibu Penggugat kepada para anak-anaknya, sedangkan si Ibu juga termasuk salah satu ahli waris. Oleh karena itu si Penggugat ingin pemberian hibah tersebut dibatalkan oleh Pengadilan karena termasuk harta peninggalan, melebihi dari 1/3 bagian, tidak adanya persetujuan ahli waris lainnya, dan adanya pemalsuan tanda tangan Penggugat.

(24)

Dalam Putusan Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan, Nomor 92/Pdt.G/2012/PA-Pspk tersebut, terjadi gugatan pembatalan hibah oleh salah satu ahli waris (Penggugat) atas harta peninggalan yang dihibahkan Ibu / orang tua kepada anak-anaknya (Penggugat dan Para Tergugat), maka pertimbangan hukum untuk membatalkan hibah tersebut karena:

1. Bahwa Ibu dari Penggugat dan Para Tergugat telah mengibahkan lebih dari 1/3 (sepertiga), sesuai dengan ketentuan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2. Bahwa yang menjadi objek terpekara adalah harta peninggalan dari orang tua Penggugat dan Para Tergugat, sehingga tidak sah untuk dihibahkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.

3. Bahwa pengibah juga melakukan hibah terhadap diri sendiri, maka jika dikaitkan dengan unsur-unsur surat hibah sesuai dengan Pasal 17 g dan Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam maka surat hibah tersebut cacat hukum.

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka akan dilakukan penelitian tesis atas putusan Pengadilan Agama dengan judul “Analisis Yuridis Pembatalan Hibah Atas Harta peninggalan Yang Dihibahkan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 9/Pdt.G/2013/PTA.MDN.”

B. Perumusan Masalah

Untuk menyelesaikan suatu permasalahan warisan yang selalu menjadi sengketa maka diperlukan suatu pemecahan masalah menurut hukum yang berlaku di

(25)

Negara Indonesia. Salah satu masalah waris yaitu hibah yang merupakan suatu pemberian cuma-cuma terhadap harta peninggalan yang dapat dibatalkan oleh salah satu ahli waris.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang terjadi dalam permasalahan ini adalah :

1. Apa yang menjadi hak dari suami/istri yang hidup terlama atas harta peninggalan ?

2. Apa yang menyebabkan Harta peninggalan yang telah dihibahkan dapat dibatalkan ?

3. Bagaimana analisis penyelesaian pembatalan hibah terhadap putusan pengadilan No. 9/pdt.g/2013/pta ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pembatalan hibah oleh Penggugat di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan. Adapun secara pragmatis penelitian ini ditujukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa yang menjadi hak dari suami/isteri atas harta peninggalan.

2. Untuk mengetahui apakah penyebab harta peninggalan yang telah dihibahkan dapat dibatalkan.

3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus gugatan pembatalan hibah oleh pemberi hibah tersebut.

(26)

D. Manfaat Penelitian.

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoretis, penelitian dapat menambah ilmu yang bermanfaat serta untuk mengembangkan pengetahuan tentang harta warisan, harta peninggalan dan hibah khususnya ketentuan hukum atas harta peninggalan yang dihibahkan. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan

rujukan bagi rekan-rekan, mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penghibahan menurut ketentuan yang berlaku serta akibat hukum penghibahan tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Analisis Yuridis Pembatalan Hibah Atas Harta peninggalan Yang Dihibahkan Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 9/Pdt.G/2013/PTA Medan belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang harta peninggalan dan hibah yang dilakukan :

1. Lila Triana, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2004 dengan judul “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam

(27)

Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota Medan)”, dengan permasalahan yang dibahas :

a. Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang dapat diakui oleh Islam?

b. Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan Agama Medan ?

c. Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut hukum Islam dan hukum adat ?

2. AGUSTINA DARMAWATI, mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2007 dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak (Studi Kasus putusan Pengadilan Agama Medan NO.691/Pdt.G/2007/PA.MEDAN” dengan permasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak?

b. Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut?

c. Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan dihadapan Notaris?

Jika diperhadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat, semua ini merupakan

(28)

implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.17 “Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.18 Jelaslah kiranya bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul dibahunya. “Bukan karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dimasyarakat melainkan juga karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup mereka” 19 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan empiris.20

17W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996), hal. 2 18J.J.J. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Jilid I, FE-UI, 1996), hal. 126

19

Jujun J. Suryasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 237

(29)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.21 Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan dan teori kemaslahatan.

Teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yang memberikan sejumlah penekanan pada pertimbangan yang dikemukakan oleh prinsip ganti rugi. Ini adalah prinsip yang dibutuhkan ketimpangan untuk mengkompensasi, dan karena ketimpangan kelahiran dan alami tidak berhak, maka ketimpangan-ketimpangan tersebut menggantikannya. Maka prinsip tersebut menyatakan bahwa untuk memperlakukan semua orang secara sama, untuk memberikan kesetaraan kesempatan yang genuine, masyarakat yang harus memberikan perhatian yang lebih besar dalam posisi-posisi sosial yang tidak menguntungkan.22

Kata keadilan juga digunakan dalam pengertian hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Makna harfiahnya berbeda dari pengertian hukum, kata keadilan berarti nilai mutlak.23 Teori keadilan menyajikan gagasan mengenai keadilan sebagai fairness, suatu teori keadilan yang menggeneralisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional ke level abstraksi yang lebih tinggi. Tatanan masyarakat digantikan oleh situasi awal yang melibatkan batasan-batasan prosuderal tertentu pada argumen yang dirancang untuk memunculkan persetujuan awal tentang prinsip keadilan.24

Teori keadilan dalam Islam dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka

21Ibid, hal. 80

22John Rawls, Teori Keadilan, dengan penyunting Kamdani, (Yokyakarta: Cetakan 1, 2006), hal. 120.

23

Hans Kelsen, dengan penyunting Nurainun Mangunsong, Pengantar Teori Hukum,

(Bandung: Nusa Media, Cetakan 3, 2010), hal. 48 24John Rawls, Op.Cit, hal. 3

(30)

bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi keadilan yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Bagi kaum Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis. Sedangkan Asy`ariah menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada ke tetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu yang kekal dan tak berubah. Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendak ilahiah di muka bumi.25

Selanjutnya adalah teori kemaslahatan yang juga sebagai kerangka dasar dari ide pembaruan hukum Islam yang tetap menjadi sorotan dan terus melaju.

Kemaslahatan dalam perspektif hukum Islam adalah sesuatu yang prinsip. Prinsip maslahat sebagai dasar orientasi perkembangan hukum Islam telah disepakati oleh para ahli. Namun, para ulama cukup berpolemik dalam menentukan kriteria kemaslahatan umum tersebut. Di antara gagasan yang mengemuka dan cukup kontroversial dalam teori kemaslahatan dalam visi pembaruan hukum Islam ini dikemukakan oleh Najm al-Din al-Thufi. Dalam pemikiran Najm al-Din al-Thufi, intisari dari keseluruhan ajaran Islam yang termuat dalam nash ialah kemaslahatan bagi manusia secara universal. Al-mashlahah, dalam gagasan al-Thufi, merupakan dalil yang bersifat mandiri dan paling dominan dalam penetapan hukum. Secara terminologis, al-Thufi merumuskan al-mashlahah sebagai suatu ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam bentuk ibadah atau adat kebiasaan.

25 http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA HUKUM ISLAM / TEORI KEADILAN

(31)

Dengan demikian, al-mashlahah dalam arti syara’ dipandang sebagai sesuatu yang dapat membawa kepada tujuan syara’. Pemikiran al-Thufi tentang al-mashlahah membawa nuansa lain terhadap pendapat mayoritas ulama semasanya. Dalam persepsi umum para ulama, kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari syara’, baik melalui nash tertentu maupun cakupan makna dari sejumlah nash. Sementara Al-Ghazali memformulasikan teori kemaslahatan dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak. Suatu kemaslahatan, menurut al-Ghazali, mesti sejalan dengan tujuan syarak, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia. Atas dasar ini, yang menjadi ukuran dari maslahah itu adalah tujuan dan kehendak syarak, bukan diasaskan pada kehendak hawa nafsu manusia. Secara sederhana maslahat (al-mashlahah) diartikan sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang bermanfaat. Secara leksikal, menuntut ilmu itu mengandung suatu kemaslahatan, maka hal ini berarti menuntut ilmu itu merupakan penyebab diperolehnya manfaat secara lahir dan batin. Hukum Islam bersifat elastis. Elastisitas hukum Islam sangat adaptatif dengan dinamika perubahan sosial dan kemajuan zaman. Sifat multidimensional dalam ruang lingkup hukum Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia. Tujuan dari penetapan hukum Islam tersebut adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia.26

Lebih lanjut fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan /petunjuk serta menjelaskan mengenai gejala yang diamati berdasarkan dari pengertian tersebut serta berangkat dari konsep “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syarak, meskipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia” bahwa tujuan dari hibah adalah pemberian secara sukarela untuk menolong orang lain yang membutuhkan dan dilakukan tanpa pamrih atau tanpa imbalan.

Secara etimologi, hibah berarti pemberian atau hadiah. Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan balasan apapun.27 Sedangkan di Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hibah disebut

26

Efrinaldi.multiply.com/journal/item/15.teori kemaslahatan, diakses tanggal 23 Pebruari 2013.

(32)

schenking yang berarti suatu persetujuan dengan si pemberi hibah di waktu hidupnya

dengan cuma-cuma dan dengan tidak ditarik kembali.28Dan dalam hukum adat, hibah adalah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya diantara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup29, dan menurut Kompilasi Hukum Islam Hibah adalah Pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Dari pengertian diatas, bisa dikatakan hibah adalah suatu pemberian kepada seseorang tanpa paksaan pada saat ia masih hidup. Namun banyak kasus hibah yang pada akhirnya menimbulkan kecemburuan, karena adanya rasa tidak adil. Padahal didalam pemberian hibah, haruslah dilandasi keadilan dalam pemberian hibah atau adanya pertimbangan yang matang sebelum melaksanakan pemberian dan adil untuk semuanya.

Dalam beberapa bidang hukum Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Umpanya dalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Makhluf, ahli Fikih Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyari’atkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meningalnya seseorang yang lain.30 Salah satu asas penting di dalam sistem kewarisan dalam hukum Islam adalah asas keadilan

28

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hal. 131

29Ibid.

(33)

berimbang, yang maksudnya adalah seseorang akan memperoleh hak dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya.31

Salah satu bentuk keadilan berimbang ini dapat dilihat dari kasus Aul dan

Radd. Pada kasus Aul, bila harta warisan yang tersedia lebih sedikit dari perolehan

ahli waris yang diperlukan, maka harta akan diambil dari bagian masing-masing ahli waris dengan cara yang berimbang dengan perolehan mereka yang semestinya. Begitu pula pada kasus Radd, bila harta yang tersedia lebih banyak dari keseluruhan perolehan ahli waris, dengan pengertian bahwa semua ahli waris telah mengambil bagiannya, namun harta warisan masih tersisa, maka caranya harta warisan tersebut akan dikembalikan kepada seluruh ahli waris dengan cara yang berimbang dengan perolehan mereka masing-masing.32Oleh karena itu dalam pemberian hibah haruslah adanya keadilan bagi semua, tanpa terkecuali.

Mayoritas para ahli hukum Islam sepakat dengan pendapatnya bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli warisnya, tetapi jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah maka tidak diperbolehkan.33 Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum Islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah satu anaknya dan harus bersikap adil diantara anak-anaknya.34

31Ibid.

32

Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan: SPS Magister Kenotariatan, 2011), hal. 17

33Abdul Manan, Op Cit, hal 137 34Ibid

(34)

Banyak kasus pembatalan hibah yang terjadi di Indonesia dikarenakan kurangnya keadilan dalam pemberian hibah, sehingga banyaknya putusan Pengadilan Agama memutus perkara mengenai pembatalan hibah. Padahal di dalam Hukum Islam adanya larangan terhadap penarikan terhadap hibah yang telah diberikan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya. Yang menjadi dasar para ulama menyatakan larangan terhadap pembatalan hibah adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW, yaitu :

“Orang yang menarik kembali hibahnya sama seperti anjing yang menjilat muntahnya.” (HR Abu Daud dan an Nasa’i).35

Para ahli hukum Islam berpendapat adanya ketentuan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan pemeberian hibah, namun pada umumnya pembatalan hibah itu terjadi karena si pemberi hibah tidak memenuhi syarat-syarat dalam pemberian hibah, yaitu :

1. Bahwa barang yang dihibahkan adalah milik si pengibah sendiri.

2. Orang yang memberi hibah bukan orang yang diabatasi haknya yang disebabkan oleh sesuatu alasan.

3. Orang yang memberi hibah itu itu adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum, berada dalam keadaan sehat dan mampu bertindak hukum.

4. Orang yang memberi hibah itu tidak dipaksa untuk memberi hibah.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, hibah itu hanya dapat diberikan tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) dari harta yang dimiliki, dan hibah orang tua terhadap anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Beda dengan Kitab Undang-undang Hukum perdata yang tidak mengenal batasan dalam pemberian hibah.

(35)

Hibah dalam Islam tidak mensyaratkan adanya akta dalam pemberian hibah, akan tetapi didalam Kitab-kitab Undang-undang Hukum Perdata harus ada akta (jika tidak ada akta maka hibahnya tidak sah) sebagai bukti otentik apabila ada terjadinya suatu sengketa dalam pemberian atau penarikan hibah. Disinilah peran Notaris yang akan mengeluarkan Surat Hibah, Kitab Undang-undang Hukum Perdata mensyaratkan hibah berupa benda-benda bergerak harus dilakukan dengan Akta Notaris36 dan pengibahan atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan suatu Akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah.37

Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 2007), bagi mereka yang tunduk kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, surat hibah wasiat harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris.38 Surat hibah wasiat yang tidak dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan hukum. Mereka yang tunduk pada hukum adat dapat membuatnya di bawah tangan, tetapi proses di kantor Pertanahan harus dibuat dengan akta PPAT.39 Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997, setiap pemberian hibah tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Perolehan

36Pasal 1687 dan lihat juga Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 37

Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

38 Pasal 1005 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1005 KITAB

UNDANG-UNDANG HUKUM Perdata, berbunyi, seorang yang mewariskan diperbolehkan, baik dalm suatu wasiat, maupun dalam suatu akta di bawah tangan seperti yang tersebut dalam Pasal 935, maupun pula dalam suatu akta notaris khusus, mengangkat seorang atau beberapa orang pelaksana wasiat. Ia dapat pula mengangkat berbagai orang, supaya jika yanga satu berhalangan, digantikan oleh yang lainnya.

(36)

tanah secara hibah seyogianya didaftarkan peralihan haknya itu di Kantor Pertanahan setempat sebagai bentuk pengamanan hibah tanah.

Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah ialah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikannya di antara anak-anaknya pada waktu ia masih hidup,40 Pengibahan itu sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri atau ketika hendak menikah dan membentuk keluarga sendiri dengan tujuan menghindarkan percekcokan yang akan terjadi diantara anak-anaknya apabila si pengibah meninggal. Pengibahan itu terjadi kemungkinan juga sebagai akibat karena kekhwatiran si pemberi hibah sebab jika ibu dari anak-anaknya itu adalah ibu sambung atau ibu tiri, atau juga karena di kalangan anak-anaknya itu terdapat anak angkat yang mungkin disangkal keberadaannya sebagai anggota ahli waris.41 Hibah dilakukan dengan maksud karena si pengibah ingin melakukan penyimpangan dari hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat yang memakai garis keibuan atau matrilineal.

Pengaturan hukum waris terlihat jelas dalam yurisprudensi putusan-putusan lembaga peradilan yang telah ada sebelumnya. Hukum waris perdata pelaksaannya didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana pelaksanaan hukum ini didasarkan pada pembagian golongan penduduk pada masa kependudukan pemerintahan Hindia-Belanda, namun pada masa sekarang ini beberapa ketentuan

40

Tamakiran, S, Asas-asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, Abdul Manan, Op. Cit., hal. 132

41

(37)

dalam hukum perdata ini masih berlaku karena belum adanya hukum perdata yang bersifat nasional.

Sedangkan hukum waris Islam didasarkan pada hukum Islam yang dianut oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia yaitu yang didasarkan pada Al-Qur’an, hadits dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Indonesia. Ketiga hukum waris ini semuanya mengatur pula mengenai ketentuan hibah. Diantara ketiganya pada dasarnya dalam pengaturan ketentuan hibah memiliki unsur-unsur kesamaan, meskipun dalam beberapa hal satu sama lain mengandung pula perbedaan. Unsur kesamaan dan perbedaan ini terdapat pula dalam pengaturan pembatalan hibah. Pada dasarnya semua ketentuan hibah dalam ketiga hukum tersebut mengatur bahwa suatu hibah tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali. Namun dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu dalam hukum waris adat dan hukum waris perdata dapat mengadakan penarikan kembali atas suatu hibah.

Oleh karena semua ketentuan hukum waris tersebut mengatur tentang ketentuan penarikan kembali atau pembatalan atas hibah, maka penulis berkeinginan untuk meneliti ketentuan hukum waris mana yang digunakan oleh Pengadilan Agama Medan dalam memutuskan perkara pembatalan hibah sehingga dapat diketahui ketentuan hukum waris mana yang lebih menjamin rasa keadilan dan kesejahteraan bagi penerima hibah dimana hibah yang telah diterima tersebut dibatalkan oleh pemberi hibah.

(38)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.42 Konsep itu sendiri didefinisikan sebagai generalisasi dari sebuah fenomena yang ada. Konsep ini ada sebagai penjelasan atas fenomena-fenomena tertentu yang saat itu sedang ada.43 onsep menjadi penting karena pada dasarnya konsep itu sendiri adalah sebuah ide yang bersifat abstrak yang mampu digunakan untuk mengklasifikasikan dan menggolongkan sesuatu lewat suatu istilah atau rangkaian kata.44

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus diperjelas beberapa konsep dasar, agar hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.45

b. Pembatalan Hibah adalah Penarikan atau penghapusan suatu barang yang telah diberikan oleh si pemberi karena adanya alasan tertentu dengan suatu putusan pengadilan.

42Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para

Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.10

43

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hal. 73. 44Ibid, hal. 75

(39)

c. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.46

d. Harta peninggalan adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta peninggalan, kecuali harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dari harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian pra nikah.47

e. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.48

f. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.49

G. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian tesis ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

46

Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam. 47

Pasal 35 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 48Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam.

(40)

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.50 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya adalah bahwa peneliti dalam menganalisis berkeinginan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukannya.51 Di sini peneliti ingin menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas penuntutan pengembalian harta hibah atas harta peninggalan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif dimana dilakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan, buku-buku, putusan hakim, yurisprudensi yang berkaitan dengan permasalahan.

2. Teknik pengumpulan Data

Penelitian dilakukan dengan melakukan penelaahan terhadap bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, Cetakan 3, 1986), hal. 43. 51

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan I, 2010), hal. 183.

(41)

a. Bahan Hukum Primer

yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Hukum Sekunder

yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku dan karya ilmiah”.52

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, artikel, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data sangat penting menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang optimal dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.

a. Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

52 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 141.

(42)

b. Wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini dipergunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara mendalam (indept interview) secara langsung yaitu kepada: Hakim Pengadilan Negeri Agama Medan. Hasil wawancara yang dilakukan ini digunakan untuk mendukung data sekunder.

4. Analisis Data

Analisis data dapat diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengolahan, analisis dan pemanfaatan data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia”.53

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, yaitu dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Pernarikan kesimpulan menggunakan logika berfikir dedukatif-induktif.

(43)

BAB II

HAK DARI SUAMI ATAU ISTERI YANG HIDUP TERLAMA ATAS HARTA PENINGGALAN

A. Harta Peninggalan Dalam Hukum Islam 1. Pengertian Harta Peninggalan

Uang, harta kekayaan dan pendapatan merupakan rezeki yang Allah kurniakan kepada hamba-hambaNya. Masyarakat Islam diperintah agar mencari dan mengumpulkan harta dari sumber yang halal dalam dunia ini. Firman Allah dalam Surat Al-Qashah ayat 77 yang mempunyai arti :

“Dan jadikanlah sebahagian kekayaan dan kurnia yang Allah berikan kepadamu di jalan Allah dan amalan untuk kehidupan akhirat.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Harta dapat berarti barang-barang (uang) dan sebagai yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai”.54

Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.55 Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan

54

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 342

55Pasal 171 Huruf d Kompilasi Hukum Islam

(44)

dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).56

Setiap terjadi perwarisan pasti terdapat tiga unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu :57

a. Orang yang mewariskan / pewaris atau muwarits b. Orang yang mewarisi / ahli waris atau warits c. Sesuatu yang diwariskan / warisan atau mauruts

Mauruts atau biasa disebut Tirkah (Harta Peninggalan) adalah segala apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang dibenarkan oleh syari’at untuk diwarisi oleh ahli warisnya.58

Pengertian umum harta peninggalan yang ditinggalkan tersebut mempunyai pengertian secara luas, tercakup didalamnya, yaitu :59

a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati yang menjadi tanggungan orang lain, diyah-wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya oleh si pembunuh yang melakukan pembunuhan karena khilaf, uang pengganti qisas lantaran tindakan pembunuhan yang diampuni atau lantaran yang melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri dan lain sebagainya.

b. Hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi pertanian dan perkebunan, dan lain sebagainya.

56Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 5

57

Ahmad Rifa’I Arief, Taisir al-Ma’sur fil’Ilmi al-Faraidh, (Tanggerang: Ponpes Daar El-Qolam), hal. 3

58Ibid.

(45)

c. Hak-hak yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar, hak syuf’ah yakni hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau tetangganya, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan lain sebagainya.

d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda-benda yang sedang digadaikan si mati, barang-barang yang telah dibeli oleh si mati sewaktu hidup yang harganya sudah dibayar tapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan mas kawin isterinya yang belum diserahkan ampai mati dan lain sebagainya.

Secara khusus pengertian Harta peninggalan berbeda-beda menurut para ahli

fiqh, dalam kalangan ahli fiqh bermadzhab Hanafi terdapat tiga pendapat :60

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa harta peninggalan adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si pewaris yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Jadi harta peninggalan hanya mencakup pengertian nomor a dan b di atas. Harta peninggalan ini nantinya harus digunakan untuk memenuhi biaya pengurusan jenazah si pewaris sejak meninggalnya sampai dikuburkan, pelunasan utang, penunaian wasiat, dan hak ahli waris. b. Pendapat kedua, harta peninggalan adalah sisa harta setelah diambil biaya

pengurusan jenazah dan pelunasan utang. Jadi harta peninggalan di sini adalah harta yang harus dibayarkan untuk melaksanakan wasiat dan yang harus diberikan kepada para ahli waris.

c. Pendapat yang ketiga mengartikan harta peninggalan secara mutlak, yaitu setiap harta benda yang ditinggalkan oleh si mayat, dengan demikian harta peninggalan mencakup benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang, pelaksanaan wasiat, dan

pembagian warisan kepada para ahli waris

Ibnu Hazm sependapat dengan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang dapat diwariskan adalah yang berupa harta benda melulu, sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwariskan, kecuali jika hak-hak itu

(46)

mengikuti kepada bendanya, misalnya hak mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah.61

Menurut madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali, harta peninggalan mencakup semua yang ditinggalkan si mayat, baik berupa harta benda maupun hak-hak. Hak-hak ini bisa Hak-hak-Hak-hak kebendaan maupun bukan kebendaan, hanya Imam Malik yang memasukkan hak-hak yang tidak dapat dibagi, misalnya hak menjadi wali nikah, ke dalam keumuman arti hak-hak.

2. Hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan

Hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan orang yang meninggal adalah62:

a. Hak yang berkaitan dengan zat harta peninggalan.

Hak yang berkaitan dengan keutuhan harta peninggalan orang yang sudah meninggal dunia. Sebab dari harta peninggalan tersebut, kadang kala ada yang harus dikeluarkan pemilikannya, seperti zakat, gadai, kredit dan lain sebagainya. Sehingga harta peninggalan tersebut belum merupakan hak milik mutlak dari orang yang meninggal dunia tersebut selama masih ada hak-hak orag lain pada benda (harta) peninggalan itu.

61

Ibid

62 Ali Parman, Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: Raja Grafindo, 1995), hal. 32

(47)

b. Biaya perawatan jenazah.

Biaya perawatan jenazah ini mencakup biaya-biaya untuk memandikan, mengafani, mengusung, dan menguburkannya. Biaya tersebut harus diambil dari harta peninggalannya secara wajar, yaitu tidak berlebih-lebihan karena akan merugikan para ahli waris yang ia tinggalkan, dan tidak asal-asalan karena akan merugikan si pewaris tersebut. Apabila berlebih-lebihan, akan mengurangi hak para ahli waris dalam penerimaan harta peninggalan, apabila asal-asalan, akan mengurangi hak pewaris untuk dimandikan, dikafani, dan dikuburkan secara layak.

c. Pelunasan hutang

Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi seseorang sebagai imbalan atas prestasi yang diterimanya dari orang lain, disebut dainul-ibad (hutang kepada sesama manusia), dan sebagai pemenuhan kewajiban terhadap Allah yang dituntut sewaktu ia masih hidup dan belum ditunaikannya, disebut dainullah (hutang kepada Allah). Pelunasan hutang-hutang si mati tersebut hendaklah diambil dari harta peninggalannya serta pengeluaran biaya perawatannya dan pelunasan hutang itu merupakan kewajiban yang utama sebagai pembebasan pertanggung jawabannya di akhirat.

(48)

d. Pemberian wasiat

Wasiat adalah pertanyaan kehendak seseorang mengenai apa yang dilakukan terhadap hartanya sesudah dia meninggal dunia.63

e. Perwarisan

Perwarisan adalah pemindahan harta dari orang yang mewariskan (pewaris) kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris) karena adanya ikatan kekerabatan atau lainnya.64

Pembagian harta peninggalan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya dilakukan setelah hak-hak yang disebutkan terdahulu telah dilaksanakan. Hal ini dapat dipahami dari isyarat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Nisa ayat (11-14) yang menyatakan bagian bagi para ahli waris baru diberikan kepadanya apabila hutang dan wasiat pewaris telah dipenuhi dengan tujuan agar pewaris dan ahli waris selamat dari siksa neraka.

B. Pembagian Harta Peninggalan Menurut Hukum Islam

Bagi umat Islam yang mentatati dan melaksanakan ketentuan pembagian harta peninggalan atau warisan (waris) sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT, niscaya mereka akan dimasukkan oleh Allah SWT kedalam surga untuk selama-lamanya. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mengindahkannya akan dimasukkan kedalam api neraka untuk selama-lamanya.

63 Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Ind Hill Co., 1994), hal. 132 64 Ahmad Rifa’I Arief, Op. Cit., hal. 2

(49)

Mengenai pembagian warisan ini, Rasulullah saw, memerintahkan secara tegas kepada umatnya untuk melaksanakan pembagian warisan sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud bahwa Rasulullah saw, bersabda:65

“Bagikanlah harta waris diantara para ahli waris menurut Kitabullah”

1. Pengertian Waris.

Waris berasal dari Bahasa Arab, yang artinya mewariskan, pusaka-pusaka dan warisan.66 Sedangkan menurut istilah para Ulama Fiqh, kata waris atau ilmu waris diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang ketentuan orang-orang yang diwarisi, orang-orang yang tidak mewarisi besar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya.67

Istilah waris sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia, sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia mengartikan Ilmu Waris sebagai suatu perpindahan hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.68

65 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Op. Cit., hal. 16 66

Ahmad Warson munawir Al-Munawir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “ Al-Munawir”, 1984), hal. 1655

67 Hasbi Ash Shiddiqy, Fiqhul Al-Mawarisi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 18 68Muslim Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1989), hal. 28

(50)

2. Prinsip Waris

Setelah mengetahui definisi tentang Waris, untuk lebih mendalaminya perlu mempelajari prinsip-prinsipnya. Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :

a. Prinsip Ijbari.

Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.69Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.70

b. Prinsip Individual.

Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsip Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di

69

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hal. 27

(51)

beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari nenek-moyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh.71 Misalnya adalah Harta Pusaka di Minangkabau dan Tanah Dati di Hitu Ambon. Tiap-tiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai barang-barang keluarga (harta pusaka) itu.72 Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili itu dipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta Pusaka.

c. Prinsip Bilateral.

Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku.73

d. Prinsip Kewarisan hanya berlaku karena kematian.

Hukum Kewarisan Islam menetapkan, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian

71

Utsman Nasan, Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1981), hal. 121 72

Ibid, hal. 122

73Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal.5

(52)

warisan sepanjang pewaris masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut Hukum Kewarisan Islam.

3. Rukun Waris

Menurut Hukum Kewarisan Islam, Rukun Kewarisan ada 3 (tiga), yaitu :

a. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.74

b. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.75

c. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.76

4. Sebab-sebab Kewarisan

Adapun seseorang yang berhak mendapatkan harta harus berdasarkan salah satu sebab sebagai berikut, yaitu:77

74Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam 75Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam 76Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam

77Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal. 39

(53)

a. Kekerabatan

Kekerabatan adalah hubungan nasib dengan orang yang mewariskan (muwaris) dengan orang yang akan menerima warisan karena adanya pertalian darah, waris karena hubungan nasab ini mencakup:

1. Anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu). 2. Ayah, kakek, ibu, nenek (usul).

3. Saudara laki-laki atau perempuan, paman dan anak laki-laki paman, bibi (hawasy).

b. Perkawinan

Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan isteri, apabila diantara keduanya ada yang meninggal, maka isterinya atau jandanya mewarisi harta suaminya. Demikian juga, jika seorang isteri meninggal dunia, maka suaminya mewarisi harta isterinya.

c. Wala

Wala yaitu hubungan hukmiah, suatu hubungan yang ditetapkan oleh Hukum

Islam, karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Tegasnya, jika seorang tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang disebut wala’ itqi. Jadi, pengertian wala disini adalah hubungan kewarisan akibat memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong.

Referensi

Dokumen terkait

Dua pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan analisa substansi masalah terhadap perundang- undangan yang ada baik pada tingkat nasional maupun internasional yang berupa

As a teaching media, the teacher has to be able to select an appropriate picture and make the teaching learning speaking more effectivee. Thus, using picture series as

8 Yunia Wukirsari, “Pembatalan Hibah Kepada Anak Angkat Terhadap Harta Peninggalan Yang Belum Dibagi Waris (Studi Kasus Putusan PN Nomor

Juga sudah kita ketahui apa saja yang dilakukan Jassin untuk kesusastraan Indonesia dan bagaimana dia melakukan hal itu sampai mendapat begitu banyak julukan. Kita sudah

Dengan menggunakan model diharapkan analisis kinerja membran, berdasarkan fluks permeat dan rejeksi dapat dilakukan lebih komprehensif.Penelitian ini dilakukan dengan

• Rasa nyeri tumpul yang konstan, atau perasaan menekan yang tidak enak pada leher, pelipis, dahi, atau di sekitar kepala, leher terasa kaku. • Umumnya terjadi secara

Perbincangan sorotan karya ini diteruskan mengenai kajian yang pernah dilakukan dengan memberi tumpuan terhadap orang Rohingya dari segi faktor-faktor yang menyebabkan

Oleh karena itu dalam penelitian ini mengambil rumusan masalah “Bagaimana pola CMC yang dilakukan remaja melalui media sosial Instagram mendekontruksi komunikasi verbal