• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAH PUSTAKA

A. Hipertensi

mengalami penyakit hipertensi. Hipertensi sendiri merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penyakit yang lain seperti infark miokard, stroke, gagal jantung, gagal ginjal, dan retinopati (Martin, 2008).

Hipertensi merupakan penyakit yang menduduki peringkat sepuluh besar penyakit dominan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penyakit hipertensi menempati urutan kedua setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (Dinkes Yogyakarta, 2012). Hasil Riset kesehatan daerah tahun 2007 (Riskesdas, 2007) menunjukkan bahwa DIY masuk dalam lima besar kasus hipertensi terbanyak. Pada hasil Riskesdas tahun 2010 kasus hipertensi di DIY mencapai 35,8%, di atas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai 31,7% (Dinkes Yogyakarta, 2012).

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berbeda. Efek – efeknya dapat meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya (Syamsudin, 2011).

Berdasarkan pada penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Fitriani (2007), pasien hipertensi mendapatkan peresepan lebih dari satu jenis obat hipertensi

atau obat lain. Interaksi obat dapat terjadi jika dalam peresepan terdapat lebih dari satu macam obat hipertensi atau terdapat obat lain, sehingga terdapat kemungkinan interaksi obat yang dapat meningkatkan toksisitas obat, mengurangi efek obat, terjadi efek yang tidak diinginkan serta keefektifan dari satu atau lebih obat dapat berkurang. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati merupakan RSUD yang terletak di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo Kabupaten Bantul DIY. Pada tahun 2009 penyakit hipertensi menduduki posisi pertama dalam sepuluh besar kunjungan rawat jalan di RSUD Panembahan Senopati pada semua golongan umur di Kabupaten Bantul dengan 10.784 jumlah kasus (Dinkes Bantul, 2010).

Berdasarkan survei awal, RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta mempunyai kebutuhan mengenai adanya evaluasi terkait interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi. Diperkuat dengan data bahwa penyakit hipertensi masuk kategori sepuluh besar penyakit yang paling banyak terjadi di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan digunakan oleh tenaga kesehatan terkait di rumah sakit tersebut untuk memikirkan upaya – upaya pencegahan agar efek interaksi obat yang merugikan tidak dialami oleh pasien.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013”. Hasil penelitian ini akan digunakan oleh apoteker dari pihak rumah sakit untuk melakukan skrining awal interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan.

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka disusun perumusan masalah sebagai berikut.

a. Seperti apa karakteristik pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul pada periode Desember tahun 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin?

b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan obat pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi golongan, jenis, jumlah dan cara pemberian obat?

c. Seperti apa interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik) antara obat hipertensi dan dengan obat lain pada peresepan pasien yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi literatur?

d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yanuar (2001), dengan judul “Pola Penggunaan Obat Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari – Juni Tahun 2000”. Penelitian ini berbeda dengan

penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian yang diteliti, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada interaksi yang terjadi antara obat hipertensi dengan obat hipertensi lain dan interaksi antara obat hipertensi dengan obat lain yang diresepkan. Pada penelitian Yanuar (2001) lebih ditekankan pada pola peresepan obat hipertensi yang diresepkan di RSUD Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari – Juni Tahun 2000.

Penelitian lain pernah dilakukan oleh Hardi (2010), dengan judul “Evaluasi Penggunaan Obat pada Kasus Hipertensi Primer Tingkat II Usia Lanjut di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008”. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, subyek dan kajian yang diteliti, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada interaksi obat antara obat hipertensi dengan obat hipertensi lain dan interaksi antara obat hipertensi dengan obat lain yang diresepkan dengan subyek semua umur. Pada penelitian Hardi (2010) lebih ditekankan pada evaluasi tentang penggunaan obat hipertensi pada pasien hipertensi primer tingkat II usia lanjut di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008.

Penelitian serupa mengenai studi literatur interaksi obat hipertensi juga pernah dilakukan Theodorine (2002), dengan judul “Studi Literatur Tentang Interaksi Obat Hipertensi tanpa Komplikasi Penderita Lanjut Usia pada Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Desember 2001”. Perbedaan utama dari penelitian ini dengan penelitian Theodorine (2002) adalah dalam hal lokasi, waktu, subyek penelitian dan kajian yang diteliti. Pada

penelitian ini mengambil lokasi di RSUD Panembahan Senopati Bantul dan dilakukan pada periode Desember tahun 2013 dan tanpa adanya batasan usia dari pasien yang diteliti. Penelitian ini juga berbeda dalam kajian yang diteliti yaitu pada penelitian ini mengkaji interaksi obat pada pasien hipertensi denga atau tanpa penyakit penyerta dan komplikasi.

Penelitian serupa mengenai evaluasi interaksi obat hipertensi pernah dilakukan sebelumnya oleh Fitriani (2007), dengan judul “Profil Peresepan dan Evaluasi Interaksi Obat Hipertensi pada Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005”. Penelitian ini memiliki perbedaan yaitu pada penelitian Fitriani (2007) dilakukan dengan mengambil data dari catatan pengobatan pasien rawat inap geriatrik, sedangkan penelitian ini menggunakan subyek pasien rawat jalan semua umur. Pada penelitian ini mengambil lokasi di RSUD Panembahan Senopati Bantul dan dilakukan pada periode Desember tahun 2013 dan tanpa adanya batasan usia dari pasien yang diteliti.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013 adalah sebagai berikut.

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan memberikan informasi mengenai interaksi obat (farmakokinetik dan

farmakodinamik) antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain yang dikaji berdasarkan literatur.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran farmasis dalam mengidentifikasi secara lebih dini interaksi obat, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan efek yang membahayakan khususnya pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi obat yang terjadi antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal yang meliputi.

a. Karakteristik pasien hipertensi. Karakteristik pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin.

b. Gambaran pola peresepan obat hipertensi dan obat lain. Gambaran pola peresepan obat hipertensi dan obat lain pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi golongan, jenis, jumlah dan cara pemberian obat.

c. Interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik). Interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik) antara obat hipertensi dan dengan obat lain pada peresepan pasien hipertensi yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi jumlah interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat berdasarkan studi literatur.

d. Kategori signifikansi klinis interaksi obat. Kategori signifikansi klinis interaksi obat yang teridentifikasi pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013 berdasarkan studi literatur.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A.Hipertensi

1. Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah sistolik mencapai 140 atau lebih dan tekanan darah diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih dan tekanan darah tersebut sudah diukur berulang (Martin, 2008). Terdapat beberapa katagori hipertensi menurut The Seventh Report of the Joint National Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7) yaitu prehipertensi (Tekanan darah sistolik 120-139mmHg dan tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg,

stage 1 (tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-100 mm Hg) dan stage 2 (tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 100 mmHg) (Chobanian et al., 2003).

Hipertensi yang terjadi pada individu mungkin merupakan kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik atau hipertensi sistolik terisolasi. Kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik didiagnosis sebagai hipertensi primer atau yang disebut juga dengan hipertensi esensial. Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit penyerta seperti penyakit ginjal. Hipertensi merupakan penyakit seumur hidup yang hanya menimbulkan sedikit gejala sampai stadium lanjut. (Fulcher et al.,

2012).

a. Hipertensi primer. Faktor spesifik yang menyebabkan hipertensi primer belum teridentifikasi, tetapi faktor genetik dan lingkungan berpotensi untuk meningkatkan kejadian hipertensi primer. Faktor risiko terkait dengan hipertensi primer meliputi riwayat penyakit hipertensi keluarga, bertambahnya usia, jenis kelamin (lebih banyak terjadi pada laki-laki pada usia dibawah 55 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia diatas 55 tahun), konsumsi tinggi natrium, intoleransi glukosa (diabetes mellitus), perokok, obesitas, pengonsumsi alkohol berat, serta konsumsi kalsium, kalium, dan magnesium yang rendah (Huether and McCance, 2008).

Hipertensi primer adalah hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang dimediasi oleh efek neurohumoral pada host. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi efek tersebut yaitu sistem saraf simpatik dan sistem renin angiotensin aldosteron. Inflamasi, disfungsi endothelial, dan resistensi insulin juga berpengaruh dalam peningkatan resistensi perifer dan peningkatan volume darah (Porth and Matfin, 2009).

Kemungkinan perkembangan hipertensi primer meningkat seiring usia. Kenaikan resistensi perifer dan hipertensi awal biasanya terjadi dan berkembang pada usia 20-40 tahun. Jika kenaikan tekanan darah tidak terdeteksi dan diobati maka dapat berefek pada jaringan ketika individu berusia 30-50 tahun. Ini menunjukkan komplikasi hipertensi terjadi pada saat individu berusia 40 tahun keatas (Izzo et al., 2008).

b. Hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh kondisi penyakit lain yang dipengaruhi oleh ginjal melaui sistem renin-angiotensin-aldosteron (RRA). Renin merupakan enzim yang diproduksi oleh juktaglomerular dan dilepaskan jika terjadi perubahan tekanan darah di ginjal, berkurangnya kadar natrium, kalium dan klorida. Renin akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I di dalam darah, kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II ini merupakan vasokonstriktor poten yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Selain itu Angiotensin II menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Dipiro et al., 2008).

Selain penyakit ginjal, penyakit penyerta atau pengobatan yang meningkatkan resistensi vaskuler peripheral atau kardiak output juga berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi sekunder. Seperti contoh penyakit vaskuler atau parenkim pada ginjal, tumor adrenokortikal, tumor adenomudular, dan obat seperti kontrasepsi oral, kortikosteroid dan antihistamin. Jika penyebab dari hipertensi sudah teridentifikasi maka penggunaan obat yang berpengaruh harus dihentikan dan penyakit penyerta harus diobati sebelum terjadi perubahan struktural yang permanen dan tekanan darah kembali normal (Kaplan et al., 2010).

c. Hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik

dibawah 90 mm Hg secara terus menerus. Hipertensi sistolik terisolasi biasanya dialami oleh individu yang berusia diatas 65 tahun dan hal tersebut berhubungan erat dengan kejadian kardiovaskular dan serebrovaskular. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya elastisitas aorta karena perubahan serabut elastis dan peningkatan komponen kaku seperti kolagen (Houston, 2009).

d. Hipertensi maligna. Merupakan hipertensi progresif cepat dengan tekanan darah diastolik diatas 140 mm Hg. Hipertensi malignan dapat menyebabkan encephalopathy, dimana terdapat edema serebral yang dapat merusak fungsi serebral dan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Tingginya tekanan arterial menyebabkan penurunan kemampuan arteri dalam regulasi aliran darah ke dalam kapiler serebral (Huether and McCance, 2008).

Tingginya tekanan hidrostatik pada kapiler menyebabkan cairan vaskuler masuk kedalam ruang interstisial. Jika tekanan darah tidak dapat diturunkan maka terjadi peningkatan keparahan edema serebral dan disfungsi serebral sampai terjadi kematian (Huether and McCance, 2008). 2. Patofisiologi hipertensi

Secara fisiologis pada orang normal maupun hipertensi tekanan darah dipertahankan oleh pengaturan curah jantung dan tekanan pembuluh darah tepi yang

dilakukan pada arteriol, venula pascakapiler, jantung dan ginjal. Hipertensi dihasilkan oleh kenaikan resistensi perifer (vasokonstriksi arteri), kenaikan volume darah dalam sirkulasi atau keduanya (Ganong, 2005).

Tekanan darah arteri merupakan hasil dari curah jantung dan resistensi perifer yang bisa ditunjukkan dengan persamaan.

Peningkatan curah jantung atau resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah yang bisa menghasilkan hipertensi. Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi curah jantung yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung, denyut jantung atau aliran balik pembuluh vena (Ganong, 2005).

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatan kecepatan jantung dan vasokonstriksi sistemik mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) memegang peranan penting pada regulasi tekanan darah yaitu mempengaruhi retensi garam dan air oleh ginjal. Angiotensin II membantu remodeling arteriolar, yang mengubah struktur pada dinding pembuluh darah, mengakibatkan kenaikan resistensi perifer yang permanen. Hormon natriuretik memodulasi ekskresi cairan dan natrium renal, disfungsi hormon ini mengakibatkan retensi air dan garam sehingga meningkatkan volume darah yang berefek pada peningkatan tekanan darah (Huether and McCance, 2008).

Inflamasi memegang peranan dalam patogenesis hipertensi, kerusakan endotel dan ischemia jaringan mengakibatkan pelepasan vasoactive inflammatory cytokines. Sitokin mempunyai aksi vasodilator pada inflamasi akut, inflamasi kronik berperan dalam remodeling vaskuler dan kontraksi otot polos. Kerusakan endotel dan disfungsi pada hipertensi primer ditandai dengan penurunan produksi vasodilator seperti Nitrat Oksida dan peningkatan produksi vasokonstriktor seperti endothelin (Izzo et al., 2008).

Obesitas menyebabkan terjadinya hipertensi yang dihubungkan dengan kenaikan aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem RAA. Obesitas dihubungkan dengan disfungsi endothelial (kenaikan vasokonstriktor endogen dan resistensi insulin). Resistensi insulin terjadi pada hipertensi, walaupun pada individu tanpa diabetes. Resistensi insulin dihubungkan dengan berkurangnya pelepasan nitrit oksida dan vasodilator endotel lain. Hal ini juga mempengaruhi fungsi ginjal dan menyebabkan resistensi garam dan air pada ginjal. Resistensi insulin tidak dihubungkan dengan aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) (Izzo et al., 2008).

Ginjal mengontrol tekanan darah dengan mengontrol volume darah, penurunan tekanan perfusi ginjal dan pada arteriol-arteriol ginjal menyebabkan redistribusi aliran darah intrarenal dan peningkatan reabsorpsi garam dan air serta merangsang produksi renin yang meningkatkan angiotensin II. Angiotensin II menstimulasi sintesis aldosteron produk di dalam korteks adrenalis yang

menyebabkan peningkatan absorpsi natrium dan volume darah intravaskuler serta mengakibatkan peningkatan resistensi perifer pembuluh darah (Katzung, 2012). 3. Manifestasi klinis hipertensi

Tahap awal hipertensi tidak mempunyai manifestasi klinis yang spesifik selain kenaikan tekanan darah. Tidak ada tanda dan gejala yang jelas dari hipertensi, sehingga seseorang yang menderita hipertensi tidak mengetahui jika dia mengalami hipertensi oleh sebab itu penyakit hipertensi disebut sebagai silent disease (Beevers et al., 2007).

Sebagian besar manifestasi kilnis yang timbul akibat penyakit hipertensi disebabkan oleh komplikasi yang merusak organ dan jaringan diluar sistem vaskuler. Disamping kenaikan tekanan darah tanda dan gejala lain yang spesifik terhadap organ dan jaringan yang dipengaruhi. Penyakit jantung, penurunan kemampuan ginjal, disfungsi sistem saraf pusat, sumbatan vaskuler atau edema disebabkan oleh hipertensi yang parah(Huether and McCance, 2008).

Pada kasus hipertensi, sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala apapun sehingga sulit mengetahui seseorang mengalami hipertensi atau tidak. Gejala seperti sakit kepala biasa, pening ataupun mimisan bukan merupakan gejala dari penyakit hipertensi. Beberapa gejala dari hipertensi berupa keringat berlebihan, peningkatan frekuensi berkemih dan peningkatan denyut jantung secara cepat dan tidak teratur merupakan gejala yang ditimbulkan akibat terjadinya kerusakan ginjal pada hipertensi yang parah (Porth and Matfin, 2009).

4. Diagnosis hipertensi

Hipertensi dan kelainan tekanan darah didiagnosis dengan pengukuran tekanan darah secara berulang. Pengukuran tekanan darah dilakukan saat pasien dalam keadaan tenang dan tidak merokok atau mengkonsumsi kafein selama 30 menit terakhir (Porth and Matfin, 2009).

Pasien tenang yang dimaksud adalah pasien yang sudah beristirahat selama lima menit atau lebih setelah beraktivitas. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam pengukuran berulang tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mm Hg atau lebih selama 6 bulan pemantauan, atau bila tekanan darah sistolik dan diastolik pasien yang dikukur selama 24 jam adalah 130 mmHg dan 80 mmHg atau lebih (Porth and Matfin, 2009).

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama dari terapi hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan ginjal, dimana fokus utama terapi adalah menurunkan tekanan darah sesuai dengan target tenakan darah menurut umur, penyakit penyerta dan warna kulit pasien (James et al., 2013).

2. Strategi Terapi Non Farmakologis

Terapi untuk menurunkan tekanan darah secara non farmakologi berfokus pada perubahan gaya hidup pasien. Beberapa caranya meliputi berhenti merokok karena rokok merupakan faktor risiko peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi, mengurangi konsumsi alkohol, penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik

Dokumen terkait