• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

I Putu Yuda Pratama NIM : 118114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

I Putu Yuda Pratama NIM : 118114077

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

(3)
(4)
(5)

“ Bukan banyaknya keinginan yang akan menghebatkan anda tapi

besarnya kesungguhan di dalam satu keinginan yang jelas“

Mario Teguh

Kupersembahkan untuk : Ida Sang Hyang Widhi penerang dan penolong jalanku Bapak dan ibu beserta keluarga yang selalu ada disampingku disaatku senang maupun susah Teman-teman tercinta dan Almamaterku

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana farmasi di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Proses penyusunan skripsi ini banyak menda[at bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan memberi arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana yang telah memberikan izin dalam pengambilan data penelitian kepada penulis 3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang telah

membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi 4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang

telah yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi

5. Ibu Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi

(9)

6. Kedua orang tua I Nyoman Widana dan Ni Kadek Ayu Mahayuni yang yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi 7. Pande Made Desy Ratna Sari yang selalu mendampingi, memberi semangat dan

dukungan dari awal penyususnan skripsi hingga akhir

8. Adikku tersayang Ni Kadek Ayu Divia Pridayanthi yang selalu mendampingi, memberi semangat dan dukungan dari awal penyususnan skripsi hingga akhir 9. Pande Putu Adhyka Sri Dharma Sakti, Pande Putu Indah Purnamayanti, Dimas

Praditya, I Gede Wiwid Santika yang selalu mendampingi, memberi semangat dan dukungan dari awal penyususnan skripsi hingga akhir

10.Sahabat terbaikku Bangkit Yudha Sena, I Gusti Ngurah Teguh Pramana, Niedia Happy, I Gusti Kade Ratih Permata Sari, Leonardo Susanto Utomo, Aprianto Gomes, Cokde Perdana Wiguna, Prasetyo Handy Kurniawan, I Made Mudiarcana yang selalu memberi semangat dan dukungan dari awal penyususnan skripsi hingga akhir

11.Teman-Teman skripsi (Desy, Mochi, Chelsy) yang selalu mendukung dalam penyusunan skripsi

12.Teman-teman FSM B dan FKK A 2011 yang selalu memberi semangat dan dukungan dari awal penyususnan skripsi hingga akhir

(10)
(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian... 5

B. Tujuan Penelitian... 6

(12)

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

BAB II PENELAAH PUSTAKA ... 8

A. Hipertensi ... 8

1. Definisi hipertensi ... 8

a. Hipertensi primer ... 9

b. Hipertensi sekunder ... 10

c. Hipertensi sistolik terisolasi ... 11

d. Hipertensi maligna ... 11

2. Patofisiologi hipertensi ... 11

3. Manifestasi klinis hipertensi ... 14

4. Diagnosis hipertensi ... 15

B.Manajemen terapi hipertensi ... 15

1. Tujuan terapi ... 15

2. Strategi Terapi Non Farmakologis ... 15

a. Membatasi asupan garam ... 16

b. Mengurangi konsumsi alkohol ... 16

c. Melakukan diet ... 17

d. Penurunan berat badan ... 17

e. Melakukan aktivitas fisik teratur ... 18

3. Strategi Terapi Farmakologis ... 18

a. Golongan obat hipertensi ... 19

(13)

1) Diuretik ... 19

2) -blocker ... 20

3) Calcium channel blocker ... 21

4) Inhibitor angiotensin ... 21

a) ACE inhibitor ... 22

b) Angiotensin II receptor blocker ... 24

b. Monoterapi dan terapi kombinasi obat hipertensi ... 26

4. Algoritma terapi ... 28

C.Interaksi Obat ... 29

1. Tipe interaksi obat ... 29

a. Interaksi farmakokinetik ... 29

1) Interaksi pada proses absorpsi ... 29

2) Interaksi pada tahap distribusi ... 30

3) Interaksi obat pada tahap metabolisme ... 31

4) Interaksi pada proses ekskresi ... 33

b. Interaksi farmakodinamik ... 34

1) Efek obat sinergis ... 34

2) Efek obat aditif ... 35

3) Efek obat antagonis ... 35

c. Interaksi farmasetik ... 36

D.Kategori Signifikansi Klinis Interaksi Obat ... 36

(14)

E.Keterangan Empiris ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 42

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 43

C. Subyek dan Bahan Penelitian ... 45

D. Alat atau Instrumen Penelitian ... 46

E. Tata Cara Penelitian ... 46

1. Tahap orientasi ... 46

2. Tahap penentuan subyek penelitian ... 47

3. Tahap pengambilan data ... 47

F. Tata Cara Analisis Data ... 48

G. Penyajian Hasil ... 50

H. Keterbatasan Penelitian ... 51

BAB IV HASIL dan PEMBAHASAN ... 52

A. Karakteristik pasien hipertensi ... 52

1. Umur pasien hipertensi ... 52

2. Jenis kelamin pasien hipertensi ... 53

B. Gambaran pola peresepan pada pasien hipertensi ... 55

1. Gambaran umum pola peresepan pada pasien hipertensi ... 55

a. Proporsi penggunaan obat hipertensi dan obat lain ... 55

b. Cara pemberian obat hipertensi dan obat lain ... 57

c. Jumlah obat hipertensi dan obat lain tiap lembar rekam medik ... 58

(15)

2. Gambaran pola peresepan obat hipertensi ... 59

a. Golongan obat hipertensi yang diresepkan ... 59

b. Jenis obat hipertensi yang diresepkan ... 60

c. Jumlah obat hipertensi tiap lembar rekam medik ... 62

d. Jumlah kombinasi golongan obat hipertensi tiap lembar rekam medik ... 63

e. Cara pemberian obat hipertensi ... 65

C. Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi ... 65

1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain ... 66

2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 ... 67

3. Proporsi interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien hipertensi ... 68

4. Persentase jenis interaksi obat yang terjadi antara obat hipertensi dengan obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain. ... 70

5. Jumlah signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 ... 72

(16)

6. Jenis interaksi, efek yang ditimbulkan, signifikansi klinis, mekanisme, jumlah dan persentase interaksi obat antar obat hipertensi pada peresepan

pasien hipertensi berdasarkan studi literatur ... 74

C. Rangkuman Pembahasan ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

BIOGRAFI PENULIS ... 124

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) ... 39

Tabel II. Pembagian jumlah obat hipertensi dan obat lain menurut rute pemberian .... 57

Tabel III. Distribusi jumlah obat tiap lembar rekam medik ... 58

Table IV. Distribusi golongan obat hipertensi... 59

Tabel V. Distribusi jenis obat hipertensi ... 61

Tabel VI. Distribusi jumlah obat hipertensi yang diresepkan ... 62

Tabel VII. Distribusi jumlah kombinasi golongan obat hipertensi tiap lembar rekam medik ... 64

Tabel VIII. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain ... 72

Tabel IX. Jenis, kategori signifikansi klinis dan efek interaksi obat antara obat hipertensi dengan obat hipertensi berdasarkan studi literatur ... 75

Tabel X. Jenis, kategori signifikansi klinis dan efek interaksi obat antara obat hipertensi dengan obat lain berdasarkan studi literatur... 84

Tabel XI. Ringkasan kajian literatur interaksi obat dan efek yang ditimbulkan ... 112

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tempat kerja ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker ... 25

Gambar 2. Algoritma terapi hipertensi ... 28

Gambar 3. Diagram distribusi umur pasien hipertensi ... 53

Gambar 4. Diagram distribusi jenis kelamin pasien ... 54

Gambar 5. Diagram proporsi obat hipertensi dan obat lain ... 56

Gambar 6. Distribusi persentase jumlah peresepan dengan interaksi obat dan tanpa interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain... 67

Gambar 7.Persentase peresepan dengan interaksi obat pada pasien hipertensi terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati periode Desember tahun 2013 ... 68

Gambar 8. Proporsi persentase jumlah interaksi obat yang terjadi antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain ... 69

Gambar 9. Distribusi jenis interaksi obat yang terjadi antara obat hipertensi dan dengan obat lain ... 71

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta ... 120 Lampiran 2: Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta dari BAPPEDA Bantul ... 121 Lampiran 3: Alat atau instrumen pengambilan data penelitian peresepan obat pada

pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 ... 122

(20)

INTISARI

Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling banyak terjadi di dunia. Pasien hipertensi dengan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta menerima lebih dari satu jenis obat, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Jenis penelitian ini adalah non eksperimental deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Data diambil dari rekam medik pasien dan dikaji secara teoritis berdasarkan literatur.

Pada penelitian ini terdapat 114 pasien hipertensi dengan atau tanpa komplikasi yang digunakan sebagai subyek penelitian. Kasus terbanyak terdapat pada kelompok umur adult (54,4%) dan jenis kelamin perempuan (64%). Golongan obat hipertensi yang paling banyak diresepkan adalah Calcium Channel Blocker (43%) dengan jenis obat amlodipin (41,3%) dan cara pemberian obat hipertensi keseluruhan adalah peroral. Terdapat 76 interaksi obat dan yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik 65,4%. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah signifikan (47 kasus).

Kata kunci : Hipertensi, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat

(21)

ABSTRACT

Hypertension is one of the most common disease in the world. Hypertensive patient with complication disease or underlying disease receive more than one type of drug, so there is the possibility of unwanted drug interactions. This study aims to know the patient characteristic, prescribing patterns description, the number and categories of the clinical significance of drug interactions in hypertensive patients in Outpatient Unit Panembahan Senopati Bantul Hospital Yogyakarta December 2013. Design of this research is non-experimental descriptive evaluative with a retrospective data. Data retrieved from medical record of patients and studied theoretically based on the literature.

There were 114 hypertensive patients with or without complications were used as research subjects in this study. Most cases are in the adult age group (54.4%) and female gender (64%). Hypertensive drug classes most commonly used is the Calcium Channel Blocker (43%) while the type is amlodipine (41,3%) and all of hypertensive treatment administered orally. There were 76 drug interactions and most of the interaction is pharmacodynamic interaction (65,4%). The most clinical significance of drug interactions is significant (47 cases).

Key Word: Hypertension, drug interactions, clinical significance of drug interaction

(22)

BAB I PENGANTAR A.Latar Belakang

Sebanyak kurang lebih satu miliar orang diseluruh dunia menderita hipertensi. Di Amerika setidaknya satu dari tiga orang dewasa atau sekitar 73 juta orang mengalami penyakit hipertensi. Hipertensi sendiri merupakan faktor yang berkontribusi terhadap penyakit yang lain seperti infark miokard, stroke, gagal jantung, gagal ginjal, dan retinopati (Martin, 2008).

Hipertensi merupakan penyakit yang menduduki peringkat sepuluh besar penyakit dominan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Penyakit hipertensi menempati urutan kedua setelah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) (Dinkes Yogyakarta, 2012). Hasil Riset kesehatan daerah tahun 2007 (Riskesdas, 2007) menunjukkan bahwa DIY masuk dalam lima besar kasus hipertensi terbanyak. Pada hasil Riskesdas tahun 2010 kasus hipertensi di DIY mencapai 35,8%, di atas rata-rata seluruh Indonesia yang mencapai 31,7% (Dinkes Yogyakarta, 2012).

Interaksi obat adalah modifikasi efek suatu obat akibat obat lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas satu obat atau lebih berbeda. Efek – efeknya dapat meningkatkan atau mengurangi aktivitas atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya (Syamsudin, 2011).

Berdasarkan pada penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Fitriani (2007), pasien hipertensi mendapatkan peresepan lebih dari satu jenis obat hipertensi

(23)

atau obat lain. Interaksi obat dapat terjadi jika dalam peresepan terdapat lebih dari satu macam obat hipertensi atau terdapat obat lain, sehingga terdapat kemungkinan interaksi obat yang dapat meningkatkan toksisitas obat, mengurangi efek obat, terjadi efek yang tidak diinginkan serta keefektifan dari satu atau lebih obat dapat berkurang. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Panembahan Senopati merupakan RSUD yang terletak di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo Kabupaten Bantul DIY. Pada tahun 2009 penyakit hipertensi menduduki posisi pertama dalam sepuluh besar kunjungan rawat jalan di RSUD Panembahan Senopati pada semua golongan umur di Kabupaten Bantul dengan 10.784 jumlah kasus (Dinkes Bantul, 2010).

Berdasarkan survei awal, RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta mempunyai kebutuhan mengenai adanya evaluasi terkait interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi. Diperkuat dengan data bahwa penyakit hipertensi masuk kategori sepuluh besar penyakit yang paling banyak terjadi di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Hasil evaluasi tersebut nantinya akan digunakan oleh tenaga kesehatan terkait di rumah sakit tersebut untuk memikirkan upaya – upaya pencegahan agar efek interaksi obat yang merugikan tidak dialami oleh pasien.

(24)

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka disusun perumusan masalah sebagai berikut.

a. Seperti apa karakteristik pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul pada periode Desember tahun 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin?

b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan obat pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi golongan, jenis, jumlah dan cara pemberian obat?

c. Seperti apa interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik) antara obat hipertensi dan dengan obat lain pada peresepan pasien yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi literatur?

d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013?

2. Keaslian Penelitian

(25)

penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, dan kajian yang diteliti, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada interaksi yang terjadi antara obat hipertensi dengan obat hipertensi lain dan interaksi antara obat hipertensi dengan obat lain yang diresepkan. Pada penelitian Yanuar (2001) lebih ditekankan pada pola peresepan obat hipertensi yang diresepkan di RSUD Panti Nugroho Yogyakarta Periode Januari – Juni Tahun 2000.

Penelitian lain pernah dilakukan oleh Hardi (2010), dengan judul “Evaluasi Penggunaan Obat pada Kasus Hipertensi Primer Tingkat II Usia Lanjut di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008”. Penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut dalam hal waktu, lokasi, subyek dan kajian yang diteliti, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada interaksi obat antara obat hipertensi dengan obat hipertensi lain dan interaksi antara obat hipertensi dengan obat lain yang diresepkan dengan subyek semua umur. Pada penelitian Hardi (2010) lebih ditekankan pada evaluasi tentang penggunaan obat hipertensi pada pasien hipertensi primer tingkat II usia lanjut di Instalasi Rawat Inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta Tahun 2008.

(26)

penelitian ini mengambil lokasi di RSUD Panembahan Senopati Bantul dan dilakukan pada periode Desember tahun 2013 dan tanpa adanya batasan usia dari pasien yang diteliti. Penelitian ini juga berbeda dalam kajian yang diteliti yaitu pada penelitian ini mengkaji interaksi obat pada pasien hipertensi denga atau tanpa penyakit penyerta dan komplikasi.

Penelitian serupa mengenai evaluasi interaksi obat hipertensi pernah dilakukan sebelumnya oleh Fitriani (2007), dengan judul “Profil Peresepan dan Evaluasi Interaksi Obat Hipertensi pada Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005”. Penelitian ini memiliki perbedaan yaitu pada penelitian Fitriani (2007) dilakukan dengan mengambil data dari catatan pengobatan pasien rawat inap geriatrik, sedangkan penelitian ini menggunakan subyek pasien rawat jalan semua umur. Pada penelitian ini mengambil lokasi di RSUD Panembahan Senopati Bantul dan dilakukan pada periode Desember tahun 2013 dan tanpa adanya batasan usia dari pasien yang diteliti.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Hipertensi Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013 adalah sebagai berikut.

(27)

farmakodinamik) antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain yang dikaji berdasarkan literatur.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran farmasis dalam mengidentifikasi secara lebih dini interaksi obat, sehingga dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan efek yang membahayakan khususnya pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi obat yang terjadi antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa hal yang meliputi.

(28)

b. Gambaran pola peresepan obat hipertensi dan obat lain. Gambaran pola peresepan obat hipertensi dan obat lain pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi golongan, jenis, jumlah dan cara pemberian obat.

c. Interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik). Interaksi obat (farmakokinetik dan farmakodinamik) antara obat hipertensi dan dengan obat lain pada peresepan pasien hipertensi yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi jumlah interaksi obat antar obat hipertensi dan antara obat hipertensi dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat berdasarkan studi literatur.

(29)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A.Hipertensi

1. Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah sistolik mencapai 140 atau lebih dan tekanan darah diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih dan tekanan darah tersebut sudah diukur berulang (Martin, 2008). Terdapat beberapa katagori hipertensi menurut The Seventh Report of the Joint National Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7) yaitu prehipertensi (Tekanan darah sistolik 120-139mmHg dan tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg,

stage 1 (tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-100 mm Hg) dan stage 2 (tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 100 mmHg) (Chobanian et al., 2003).

Hipertensi yang terjadi pada individu mungkin merupakan kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik atau hipertensi sistolik terisolasi. Kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik didiagnosis sebagai hipertensi primer atau yang disebut juga dengan hipertensi esensial. Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit penyerta seperti penyakit ginjal. Hipertensi merupakan penyakit seumur hidup yang hanya menimbulkan sedikit gejala sampai stadium lanjut. (Fulcher et al.,

2012).

(30)

a. Hipertensi primer. Faktor spesifik yang menyebabkan hipertensi primer belum teridentifikasi, tetapi faktor genetik dan lingkungan berpotensi untuk meningkatkan kejadian hipertensi primer. Faktor risiko terkait dengan hipertensi primer meliputi riwayat penyakit hipertensi keluarga, bertambahnya usia, jenis kelamin (lebih banyak terjadi pada laki-laki pada usia dibawah 55 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia diatas 55 tahun), konsumsi tinggi natrium, intoleransi glukosa (diabetes mellitus), perokok, obesitas, pengonsumsi alkohol berat, serta konsumsi kalsium, kalium, dan magnesium yang rendah (Huether and McCance, 2008).

Hipertensi primer adalah hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang dimediasi oleh efek neurohumoral pada host. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi efek tersebut yaitu sistem saraf simpatik dan sistem renin angiotensin aldosteron. Inflamasi, disfungsi endothelial, dan resistensi insulin juga berpengaruh dalam peningkatan resistensi perifer dan peningkatan volume darah (Porth and Matfin, 2009).

(31)

b. Hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh kondisi penyakit lain yang dipengaruhi oleh ginjal melaui sistem renin-angiotensin-aldosteron (RRA). Renin merupakan enzim yang diproduksi oleh juktaglomerular dan dilepaskan jika terjadi perubahan tekanan darah di ginjal, berkurangnya kadar natrium, kalium dan klorida. Renin akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I di dalam darah, kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II ini merupakan vasokonstriktor poten yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Selain itu Angiotensin II menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Dipiro et al., 2008).

(32)

c. Hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik dibawah 90 mm Hg secara terus menerus. Hipertensi sistolik terisolasi biasanya dialami oleh individu yang berusia diatas 65 tahun dan hal tersebut berhubungan erat dengan kejadian kardiovaskular dan serebrovaskular. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya elastisitas aorta karena perubahan serabut elastis dan peningkatan komponen kaku seperti kolagen (Houston, 2009).

d. Hipertensi maligna. Merupakan hipertensi progresif cepat dengan tekanan darah diastolik diatas 140 mm Hg. Hipertensi malignan dapat menyebabkan encephalopathy, dimana terdapat edema serebral yang dapat merusak fungsi serebral dan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Tingginya tekanan arterial menyebabkan penurunan kemampuan arteri dalam regulasi aliran darah ke dalam kapiler serebral (Huether and McCance, 2008).

Tingginya tekanan hidrostatik pada kapiler menyebabkan cairan vaskuler masuk kedalam ruang interstisial. Jika tekanan darah tidak dapat diturunkan maka terjadi peningkatan keparahan edema serebral dan disfungsi serebral sampai terjadi kematian (Huether and McCance, 2008). 2. Patofisiologi hipertensi

(33)

dilakukan pada arteriol, venula pascakapiler, jantung dan ginjal. Hipertensi dihasilkan oleh kenaikan resistensi perifer (vasokonstriksi arteri), kenaikan volume darah dalam sirkulasi atau keduanya (Ganong, 2005).

Tekanan darah arteri merupakan hasil dari curah jantung dan resistensi perifer yang bisa ditunjukkan dengan persamaan.

Peningkatan curah jantung atau resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah yang bisa menghasilkan hipertensi. Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi curah jantung yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung, denyut jantung atau aliran balik pembuluh vena (Ganong, 2005).

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatan kecepatan jantung dan vasokonstriksi sistemik mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) memegang peranan penting pada regulasi tekanan darah yaitu mempengaruhi retensi garam dan air oleh ginjal. Angiotensin II membantu remodeling arteriolar, yang mengubah struktur pada dinding pembuluh darah, mengakibatkan kenaikan resistensi perifer yang permanen. Hormon natriuretik memodulasi ekskresi cairan dan natrium renal, disfungsi hormon ini mengakibatkan retensi air dan garam sehingga meningkatkan volume darah yang berefek pada peningkatan tekanan darah (Huether and McCance, 2008).

(34)

Inflamasi memegang peranan dalam patogenesis hipertensi, kerusakan endotel dan ischemia jaringan mengakibatkan pelepasan vasoactive inflammatory cytokines. Sitokin mempunyai aksi vasodilator pada inflamasi akut, inflamasi kronik berperan dalam remodeling vaskuler dan kontraksi otot polos. Kerusakan endotel dan disfungsi pada hipertensi primer ditandai dengan penurunan produksi vasodilator seperti Nitrat Oksida dan peningkatan produksi vasokonstriktor seperti endothelin (Izzo et al., 2008).

Obesitas menyebabkan terjadinya hipertensi yang dihubungkan dengan kenaikan aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem RAA. Obesitas dihubungkan dengan disfungsi endothelial (kenaikan vasokonstriktor endogen dan resistensi insulin). Resistensi insulin terjadi pada hipertensi, walaupun pada individu tanpa diabetes. Resistensi insulin dihubungkan dengan berkurangnya pelepasan nitrit oksida dan vasodilator endotel lain. Hal ini juga mempengaruhi fungsi ginjal dan menyebabkan resistensi garam dan air pada ginjal. Resistensi insulin tidak dihubungkan dengan aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) (Izzo et al., 2008).

(35)

menyebabkan peningkatan absorpsi natrium dan volume darah intravaskuler serta mengakibatkan peningkatan resistensi perifer pembuluh darah (Katzung, 2012). 3. Manifestasi klinis hipertensi

Tahap awal hipertensi tidak mempunyai manifestasi klinis yang spesifik selain kenaikan tekanan darah. Tidak ada tanda dan gejala yang jelas dari hipertensi, sehingga seseorang yang menderita hipertensi tidak mengetahui jika dia mengalami hipertensi oleh sebab itu penyakit hipertensi disebut sebagai silent disease (Beevers et al., 2007).

Sebagian besar manifestasi kilnis yang timbul akibat penyakit hipertensi disebabkan oleh komplikasi yang merusak organ dan jaringan diluar sistem vaskuler. Disamping kenaikan tekanan darah tanda dan gejala lain yang spesifik terhadap organ dan jaringan yang dipengaruhi. Penyakit jantung, penurunan kemampuan ginjal, disfungsi sistem saraf pusat, sumbatan vaskuler atau edema disebabkan oleh hipertensi yang parah(Huether and McCance, 2008).

(36)

4. Diagnosis hipertensi

Hipertensi dan kelainan tekanan darah didiagnosis dengan pengukuran tekanan darah secara berulang. Pengukuran tekanan darah dilakukan saat pasien dalam keadaan tenang dan tidak merokok atau mengkonsumsi kafein selama 30 menit terakhir (Porth and Matfin, 2009).

Pasien tenang yang dimaksud adalah pasien yang sudah beristirahat selama lima menit atau lebih setelah beraktivitas. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam pengukuran berulang tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mm Hg atau lebih selama 6 bulan pemantauan, atau bila tekanan darah sistolik dan diastolik pasien yang dikukur selama 24 jam adalah 130 mmHg dan 80 mmHg atau lebih (Porth and Matfin, 2009).

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama dari terapi hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan ginjal, dimana fokus utama terapi adalah menurunkan tekanan darah sesuai dengan target tenakan darah menurut umur, penyakit penyerta dan warna kulit pasien (James et al., 2013).

2. Strategi Terapi Non Farmakologis

Terapi untuk menurunkan tekanan darah secara non farmakologi berfokus pada perubahan gaya hidup pasien. Beberapa caranya meliputi berhenti merokok karena rokok merupakan faktor risiko peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi, mengurangi konsumsi alkohol, penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik

(37)

secara rutin dan mengurangi asupan (diet) makanan yang mengandung garam, lemak dan kolesterol tinggi (Kaplan et al., 2010).

a. Membatasi asupan garam. Terdapat hubungan kausal antara konsumsi garam dengan tekanan darah dan peningkatan konsumsi garam yang berkontribusi dalam hipertensi resisten. Mekanisme yang menghubungkan peningkatan konsumsi garam dengan kenaikan tekanan darah adalah peningkatan volume ekstraseluler dan resistensi perifer. konsumsi garam yang umum adalah sebanyak 9 sampai 12 g/hari dan penurunan konsumsi sampai 5g/hari mempunyai efek penurunan tekanan darah 1 – 2 mmHg pada individu tensi normal dan pada individu dengan hipertensi mempunyai efek menurunkan tekanan darah sebesar 4-5 mmHg. Efek lebih besar dari mengurangi asupan garam adalah pada orang tua dan pada individu dengan diabetes, gangguan metabolisme atau CKD dan mungkin mengakibatkan penurunan jumlah dan dosis penggunaan obat hipertensi (Mancia et al., 2013).

(38)

akhir periode 6 bulan. Pria dengan hipertensi yang mengkonsumsi alkohol harus dianjurkan untuk membatasi konsumsi tidak lebih dari 20-30 g, dan wanita dengan hipertensi tidak lebih dari 10-20 g etanol per hari. Jumlah konsumsi alkohol tidak melebihi 140 g per minggu untuk pria dan 80 g per minggu untuk perempuan (Mancia et al., 2013).

c. Melakukan diet. Pasien hipertensi harus dianjurkan untuk makan sayuran, produk susu rendah lemak, makanan berserat, biji-bijian dan protein dari tanaman, mengurangi lemak jenuh dan kolesterol. Buah-buahan segar juga direkomendasikan, namun perlu hati-hati dalam pemberian pada pasien dengan berat badan berlebih karena kandungan karbohidrat dalm buah mungkin menaikkan berat badan (Kaplan et al., 2010).

Pada pasien dengan peningkatan tekanan darah, dibandingkan dengan melakukan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) saja, kombinasi dari diet DASH dengan olahraga dan penurunan berat badan akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar (Mancia et al., 2013). d. Penurunan berat badan. Penurunan berat badan dianjurkan pada pasien

(39)

e. Melakukan aktivitas fisik yang teratur. Aktivitas fisik berupa aerobik teratur mungkin bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi dan menurunkan risiko kematian dan CV. Penelitian menunjukkan bahwa aerobik mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 3,0/ 2.4 mmHg dan bahkan 6,9/4.9mmHg pada subyek hipertensi. Pasien hipertensi harus dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit dengan intensitas latihan aerobik sedang (berjalan, jogging, bersepeda atau berenang) setidaknya 5-7 hari per minggu (Mancia et al., 2013).

3. Strategi Terapi Farmakologis

Penggunaan monoterapi hipertensi menimbulkan efek samping lebih sedikit. Selain itu kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat juga menjadi lebih baik. Namun demikian sebagian besar pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat yang bekerja dengan mekanisme yang berbeda (Kaplan et al., 2010).

Salah satu alasan terapi dengan menggunakan lebih dari satu jenis obat hipertensi adalah karena terdapat lebih dari satu patofisiologi hipertensi. Selain itu kebanyakan obat memicu mekanisme regulasi kompensatorik dalam menurunkan tekanan darah yang dapat menurunkan efektifitas penggunaanya. Sebagai contoh vasodilator seperti hidralazin dapat menurunkan resistensi vaskular perifer secara signifikan, namun penggunaannya dapat memicu takikardia dan retensi garam dan air yang akan menurunkan bahkan menghilangkan efeknya (Katzung, 2012).

(40)

Converting Enzyme (ACE) inhibitor , Angiotensin II Receptor Blocker (ARB),

Calcium Channel Blocker (CCB), antagonis α1-adrenoreseptor, agonis α2-adrenergik yang bekerja di sistem saraf pusat, simpatoplegik kerja sentral dan vasodilator langsung (Porth and Matfin, 2009).

a. Golongan obat hipertensi. Pedoman saat ini menegaskan bahwa diuretik (thiazid, chlorthalidone dan indapamide), beta-blocker, Calcium Channel Blocker,

angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin receptor blockers

cocok untuk terapi awal dan pemeliharaan pengobatan antihipertensi, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi (Mancia et al., 2013).

1) Diuretik. Diuretik merupakam dasar pengobatan antihipertensi sejak Joint National Committee (JNC) pertama melaporkan pada tahun 1977 dan WHO untuk pertama kali pada tahun 1978. Pada tahun 2003, mereka diklasifikasikan sebagai satu-satunya obat pilihan yang digunakan untuk memulai pengobatan, baik di JNC-7 ataupun WHO (International Society of Hypertension Guidelines) (Mancia et al., 2013). Diuretik merupakan obat penurun tekanan darah didasarkan pada mekanisme kerjanya dalam mengeluarkan natrium serta mengurangi volume darah. Natrium berperan dalam resistensi vaskuler dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf (Katzung, 2012).

(41)

diuretik diberikan untuk mengurangi kecenderungan terjadinya retensi natrium yang dihasilkan oleh obat tersebut. Penurunan tekanan darah oleh diuretik berkisar antara 10 sampai 15 mm Hg pada sebagian besar pasien (Black and Elliot, 2007). Dalam mengobati hipertensi, efek samping diuretik berupa deplesi kalium sering ditemukan pada penggunaan sebagian besar obat kecuali pada terapi diuretik hemat kalium. Diuretik hemat kalium seperti spironolakton bekerja menurunkan tekanan darah dan menghindari terjadinya deplesi kalium yang berlebihan pada pasien (Katzung, 2012). Akan tetapi penggunaan diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan mereka yang mendapat

ACE inhibitor atau Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) (Mancia et al.,

2013).

2) Obat penghambat adrenoreseptor beta (β-blocker). Sebagian besar penghambat adrenoreseptor beta terbukti efektif untuk menurunkan tekanan darah. Penghambat adrenoreseptor beta merupakan golongan obat yang

bekerja pada reseptor β-adrenergik jantung dan mengakibatkan penurunan denyut jantung dan kardiak output (Porth and Matfin, 2009).

(42)

Karena waktu paruh dari obat ini yang lama maka obat-obat ini dapat diberikan cukup sekali dalam satu hari (Huether and McCance, 2008).

3) Obat penghambat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker). Penghambat kanal kalsium bekerja menurunkan dengan inhibisi influx kalsium ke dalam sel otot polos arteri yang akan menurunkan resistensi perifer dan vasokontriksi pembuluh darah. Obat ini bekerja secara langsung menurunkan kardiak output dan detak jantung. Pemilihan jenis obat penghambat kanal kalsium didasarkan pada beberapa perbedaan hemodinamik yang dimiliki jenis obat tertentu (Porth and Matfin, 2009).

Beberapa obat penghambat kanal kalsium seperti nifedipin dan dihidropiridin lebih selektif sebagai vasodilator dan kurang memiliki efek menurunkan kardiak output dibandingkan verapamil dan diltiazem. Dosis obat penghambat kanal kalsium yang digunakan untuk mengobati hipertensi mirip dengan yang digunakan untuk mengobati angina (Huether and McCance, 2008).

4) Inhibitor angiotensin. Sistem renin, angiotensin dan aldosteron berperan penting pada pasien dengan hipertensi esensial. Pengeluaran renin dari korteks ginjal dirangsang oleh menurunnya tekanan arteri ginjal, rangsangan saraf simaptis, dan berkurangnya penyaluran natrium atau meningkatnya konsentrasi natrium di tubulus distal ginjal (Kaplan et al., 2010).

(43)

converting enzyme endotel menjadi angiotensin II yang memilki aktivitas sebagai vasokonstriktor dan retensi natrium (Kaplan et al., 2010).

Angiotensin berperan dalam mempertahankan tingginya resistensi vaskuler pada keadaan hipertensif yang dipengaruhi aktivitas renin plasma yang tinggi, seperti misalnya hipertensi malignan serta pada hipertensi esensial setelah menerima pengobatan dengan diuretik, atau vasodilator. Terdapat tiga kelas obat yang bekerja secara spesifik pada sistem renin-angiotensin yaitu ACE inhibitor, inhibitor kompetitif angiotensin di reseptornya (Angiotensin II Receptor Blocker) dan antagonis non-peptida lainnya (Houston, 2009).

a) ACE inhibitor. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ini bekerja dengan menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Obat ini juga bekerja dengan mengaktifkan bradikinin, suatu vasodilator poten yang meransang pengeluaran nitrat oksida dan prostasiklin (Izzo et al., 2008).

(44)

dapat mengurangi protenuria dan menstabilkan fungsi ginjal (Black and Elliot, 2007).

Efek menstabilkan fungsi ginjal ini juga berguna pada pasien diabetes, dan obat-obat ini kini direkomendasikan pada diabetes bahkan tanpa hipertensi. Manfaaat ini disebabkan oleh membaiknya hemodinamika intrarenal, disertai penurunan resistensi arteriol eferen glomerulus dan berkurangnya tekanan kapiler intraglomerulus (Izzo et al., 2008). Inhibitor ACE juga terbukti sangat bermanfaat dalam mengobati gagal jantung, infark miokardium, serta terdapat bukti bahwa inhibitor ACE mengurangi risiko diabetes pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi. Semua inhibitor ACE kecuali fosinopril dan moeksipril dieliminasi terutama oleh ginjal. Dosis obat-obat ini harus dikurangi pada pasien dengan insufisien ginjal (Kaplan et al., 2010).

Pada pasien yang mengalami hipovolemik akibat diuretik, diet garam, atau kehilangan cairan melalui saluran cerna dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian dosis awal inhibitor ACE (Black and Elliot, 2007). Efek samping lain yang umum bagi semua inhibitor ACE adalah hiperkalemia, batuk kering, gagal ginjal akut, dan angiodema. Hiperkalemia lebih besar kemungkinannya terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau diabetes. Bradikinin mungkin merupakan penyebab batuk dan angiodema yang ditemukan akibat inhibisi ACE oleh

(45)

b) Angiotensin II Receptor Blocker. Obat-obat ini juga berpotensi menghambat efek angiotensin secara total dibandingkan dengan inhibitor ACE karena terdapat enzim-enzim diluar ACE yang mampu menghasilkan angiotensin II. Jenis-jenis obat Angiotensin II Receptor Blocker adalah losartan valsartan, candesartan, eprosartan, irbesartan, telmisartan, dan olmesartan. Losartan dan valsartan adalah penghambat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang pertama kali dipasarkan (Huether and McCance, 2008).

(46)

Gambar 1. Tempat kerja ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker

Keterangan: 1 tempat penghambatan dari ACE inhibitor, 2 tempat penghambatan dari Angiotensin II Receptor Blocker, ACE : Angiotensin converting enzyme

(47)

b. Monoterapi dan terapi kombinasi obat hipertensi. Monoterapi dapat secara efektif mengurangi tekanan darah hanya pada beberapa pasien hipertensi, sebagian besar pasien memerlukan paling sedikit kombinasi dua obat untuk mencapai kontrol tekanan darah. Keuntungan dari memulai pengobatan dengan monoterapi adalah minimalnya efek samping yang ditimbulkan (Mancia et al., 2013) dan (James et al., 2013). Meta-analisis yang dilakukan pada lebih dari 40 studi menunjukkan bahwa menggabungkan dua agen dari dua golongan obat antihipertensi akan meningkatkan pengontrolan tekanan darah daripada meningkatkan dosis satu obat dari salah satu golongan. Memulai pengobatan dengan terapi kombinasi berpotensi menguntungkan pada pasien berisiko tinggi, probabilitas yang lebih besar untuk mencapai target tekanan darah pada pasien dengan nilai tekanan darah yang tinggi, dan mengurangi kemungkinan penurunan kepatuhan pasien (Mancia et al., 2013).

(48)

penuh, dilakukan peralihan ke kombinasi dua obat lain atau dapat juga dilakukan penambahan obat ketiga (Mancia et al., 2013).

Terdapat beberapa kriteria kombinasi golongan obat antihipertensi berdasarkan efektifitas dan keamanan obat yaitu.

1) Kombinasi pilihan yaitu kombinasi dengan efektifitas bagus dan aman : kombinasi obat antara golongan diuretic thiazid, angiotensin receptor blockers, Calcium Antagonis, dan ACE inhibitors

(pengecualian antara golongan obat ACE inhibitors dengan

angiotensin receptor blockers) (Mancia et al., 2013).

2) Kombinasi yang efektif namun memiliki beberapa keterbatasan: Kombinasi antara obat dari golongan Diuretik Thiazid dan Beta-blockers (Mancia et al., 2013).

3) Kombinasi obat yang mungkin diberikan namun terdapat keterbatasan data mengenai kombinasi: Kombinasi antara obat golongan angiotensin receptor blockers dengan Beta-blockers, Calcium Antagonis dengan Beta-blockers, dan antara ACE inhibitors

dengan Beta-blockers (Mancia et al., 2013).

(49)

A. Penambahan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

B. Tambahkan dan titrasi diuretic thiazid atau ACEI atau ARB atau CCB (gunakan golongan obat tidak berkelanjutan dan hindari kombinasi ACEI dan ARB)

Tidak

Ya Tekanan darah sesuai dengan tujuan? Pemilihan terapi obat dengan titrasi

A. Maksimalkan pengobatan pertama sebelum menambah dengan yang kedua atau

B. Tambahkan pengobatan kedua sebelum mencapai dosis maksimal dari pengobatan pertama atau C. Mulai dengan 2 golongan pengobatan dengan atau tanpa fix dose combination

Ya Tekanan darah sesuai dengan tujuan? A. Penambahan pengobatan dan pengubahan gaya hidup

B. Untuk strategi A dan B, tambah dan titrasi diuretic thiazid atau ACEI atau ARB atau CCB (gunakan golongan obat tidak berkelanjutan dan hindari kombinasi ACEI dan ARB). Untuk strategi C titrasi dosis dari dosis awal ke dosis maksimum

Tidak A. Penambahan pengobatan dan modifikasi gaya hidup

B. Penambahan golongan obat tambahan (beta blocker, aldosteron antagonis atau yang lain) Tekanan darah sesuai dengan tujuan?

Pengaturan tekanan darah yang diharapkan dan memulai pengobatan penurunan tekanan darah berdasarkan umur, diabetes dan penyakit ginjal kronis

(50)

C.Interaksi obat

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai fenomena perubahan efek atau farmakokinetik dari suatu obat yang disebabkan oleh obat lain bila diberikan secara bersamaan. Interaksi obat yang terjadi bisa membahayakan atau dapat mengurangi khasiat dari suatu obat. Namun terdapat beberapa interaksi obat yang bersifat menguntungkan (Becker, 2011).

1. Tipe interaksi obat

Tipe interaksi obat dapat dibedakan menjadi 3 yaitu interaksi obat secara farmakokinetik, farmakodinamik dan farmasetik.

a. Interaksi obat secara farmakokinetik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi antar obat yang menyebabkan terjadinya perubahan absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dari salah satu obat atau lebih (Syamsudin, 2011). Terjadinya interaksi secara farmakokinetik dapat menyebabkan perubahan khasiat obat yang menyebabkan kegagalan pengobatan dan perkembangan resistensi obat dimana terjadi perubahan pada nilai AUC suatu obat (Tatro, 2007) dan (Huang et al., 2013).

(51)

Laju absorpsi dari suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain ketika seseorang mengkonsumsi dua obat atau lebih secara bersamaan. Dimana salah satu obat dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorpsi obat yang lain. Hal tersebut dapat terjadi melalui tiga jalan yaitu memperpanjang atau memperpendek waktu pengosongan lambung, dengan mengubah pH lambung atau dengan membentuk kompleks obat. induksi atau inhibisi dari protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks lainnya (Tatro, 2007).

Obat-obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan lambung, seperti laksatif, meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi obat. Obat – obat narkotik dan antikolinergik memperpendek waktu pengosongan lambung dan menurunkan motilitas gastrointestinal (GI), sehingga laju absorpsi meningkat. Semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi pada usus halus, semakin banyak jumlah yang memasuki sirkulasi sistemik (Syamsudin, 2011).

(52)

jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat masuk ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007).

Terjadi interaksi pada fase distribusi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang bersikulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011). Interaksi pada proses distribusi dapat mempengaruhi dua hal yaitu perubahan pada ikatan protein obat dan induksi atau inhibisi dari protein transporter obat (Triplitt, 2006).

(53)

Didalam proses metabolisme, sitokrom P450 (CYP450) dan keluarganya merupakan enzim-enzim yang berperan penting dalam proses metabolisme fase I. Isoenzim yang paling penting dalam proses metabolisme adalah CYP450, CYP2D6, CYP2C9 dan CYP2C19. Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme obat lain dengan cara menginduksi atau menginhibisi enzim-enzim CYP450 dan isoenzimnya. Inhibitor enzim merupakan obat yang dapat menurunkan metabolisme obat lain dengan cara menginhibisi enzim-enzim di hati (Becker, 2011) dan (Bibi, 2008).

Jika suatu obat dikombinasikan dengan inhibitor enzim pemetabolisme obat tersebut maka proses metabolisme obat akan menurun dan memperlambat proses eliminasi obat serta meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma. Proses metabolisme obat yang meningkat akan mempercepat proses eliminasi obat serta menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma, yang berakibat menurunkan efek obat (Syamsudin, 2011).

(54)

pemetabolisme simvastatin, dengan dihambatnya enzim tersebut maka akan terjadi peningkatkan kadar simvastatin di dalam plasma dan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping simvastatin yaitu rhabdomiolysis (Rowan et al., 2009).

4) Interaksi pada proses ekskresi. Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan juga melalui empedu. Interaksi pada proses ekskresi dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin, perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010).

a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Banyak obat yang memiliki mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal yang dapat mengakibatkan penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan. (Syamsudin, 2011).

(55)

tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).

Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011).

b. Interaksi obat secara farmakodinamik. Interaksi obat secara farmakodinamik adalah interaksi antar obat yang menyebabkan terjadinya perubahan respon pasien terhadap satu obat atau lebih yang diberikan secara bersamaan tanpa mempengaruhi parameter farmakokinetik obat tersebut. Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan (Tatro,2007) dan (Pang et al., 2010). 1) Efek obat sinergis. Interaksi obat sinergis terjadi apabila dua obat atau

(56)

diinginkan dan berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007).

Seperti contoh pemberian obat hipertensi dari golongan ACE inhibitor yaitu captopril dengan metformin akan menyebabkan peningkatan efek hipoglikemik yang dihasilkan oleh metformin dengan mekanisme retensi kalium oleh captopril (Rodriguez and Calvert, 2006). 2) Efek obat aditif. Interaksi yang terjadi pada dua atau lebih obat yang

memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan. Contoh interaksi aditif yang diinginkan adalah barbiturat yang diberikan bersamaan dengan obat penenang sebelum operasi pembedahan dapat meningkatkan efek relaksasi dari pasien (Syamsudin, 2011).

(57)

interaksi yang mengakibatkan berkurangnya efek antihipertensi dari captopril karena mekanisme penghambatan prostaglandin oleh NSAID yaitu aspirin (Guan, et al., 2007).

c. Interaksi Obat secara farmasetik. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh sebelum obat diberikan. interaksi farmasetik adalah interaksi yang terjadi karena pencampuran obat secara langsung baik interaksi secara fisik atau kimiawi. Hasil dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan warna yang mungkin tidak terlihat. Interaksi farmasetik tersebut dapat mengakibatkan pengobatan yang tidak maksimal saat obat tersebut diberikan pada pasien (Aschenbrenner and Venable, 2009).

D.Kategori signifikansi klinis interaksi obat

Interaksi obat menimbulkan suatu dampak klinis yang berpengaruh (signifikansi klinis). Menurut Hansten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis dibagi berdasarkan adanya potensi yang dapat membahayakan pasien dan ada tingkat dokumentasi interaksi obat. Tiga kategori signifikansi klinis menurut Hansten and Horn (2002), adalah kategori pertama adalah kombinasi obat yang harus dihindari karena interaksi obat lebih banyak menimbulkan risiko daripada manfaat dan keuntungannya pada pasien.

(58)

memiliki risiko yang lebih rendah. Harus dilakukan monitoring terhadap pasien yang mengalami interaksi tersebut (Hansten and Horn, 2002).

Kategori signifikansi klinis ketiga adalah kombinasi obat memberikan risiko yang kecil, dan memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko tersebut. Diperlukan adanya modifikasi dosis dan waktu pemberian obat bila ingin dikombinasikan serta dilakukan monitoring terhadap pasien yang mengalami interaksi tersebut (Hansten and Horn, 2002).

Menurut Tatro (2007), kategori signifikansi klinis dapat dibedakan menjadi 5 berdasarkan atas onset, dokumentasi dan tingkat keparahan interaksi. Onset merupakan waktu yang dibutuhkan untuk munculnya efek klinis dari interaksi obat yang menyebabkan suatu tingkat keparahan, sehingga diperlukan tindakan pencegahan untuk menghindari efek dari interaksi tersebut. Terdapat 2 tingkat onset yang terdiri dari onset cepat dan onset lambat. Onset yang bersifat cepat ditandai dengan munculnya efek dari interaksi obat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat. Onset bersifat lambat ditandai dengan munculnya efek dari interaksi obat dalam waktu lebih dari 24 jam.

(59)

Tingkat keparahan interaksi obat dibedakan oleh Tatro (2007) menjadi tiga yaitu major, moderat dan minor. Tingkat keparahan major berpotensi dalam menyebabkan kerusakan permanen serta mengancam nyawa pasien. Tingkat keparahan moderat berpotensi menyebabkan penurunan status klinis pasien sehingga terapi tambahan perlu diberikan pada pasien untuk menangani interkasi obat yang terjadi sedangkan tingkat keparahan minor dapat menghasilkan efek ringan dan pengobatan tambahan biasanya tidak diperlukan.

Dokumentasi merupakan tingkat kepercayaan mengenai interaksi obat yang menyebabkan perubahan pada respon klinis pasien. Tingkat dokumentasi adalah evaluasi kualitas dan relevansi klinis berdasarkan literatur yang mendukung terjadinya interaksi. Ada lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu meliputi established, probable, suspected, possible, unlikely (Tatro, 2007).

Dokumentasi established merupakan interaksi obat sangat mungkin terjadi, terbukti terjadi secara klinis berdasarkan penelitian-penelitian. Dokumentasi probable merupakan interaksi obat yang dapat terjadi, namun tidak terbukti secara klinis. Dokumentasi suspected merupakan interaksi obat yang diduga dapat terjadi serta terdapat beberapa data penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut yang bertujuan untuk memastikan interaksi obat yang terjadi. Dokumentasi possible merupakan interaksi obat yang belum pasti terjadi, dan tidak ada cukup data penelitian yang mendukung. Dokumentasi interaksi obat

(60)

Lima kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) yang mencakup tingkat keparahan dan dokumentasinya dapat dilhat pada Tabel I berikut.

Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) Kategori

signifikansi klinis

Tingkat keparahan Dokumentasi

1 Major Established, probable atau

suspected

2 Moderat Established, probable atau

suspected

3 Minor Established, probable atau

suspected

4 Major atau moderat Possible

5 Minor Possible

Sebagian besar Unlikely

Dari Tabel di atas dapat dilihat 5 kategori signifikansi klinis menurut Tatro (2007), keterangan dari kelima kategori signifikansi klinis dari interaksi obat tersebut yaitu.

a. Kategori signifikansi klinis 1 memiliki tingkat keparahan major dengan risiko yang ditimbulkan berpotensi dalam mengancam jiwa individu atau dapat mengakibatkan kerusakan yang permanen, sehingga kombinasi obat harus dihindari. Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected.

(61)

Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected.

c. Kategori signifikansi klinis 3 memiliki tingkat keparahan minor, efek yang dihasilkan akibat interaksi obat ringan dan secara signifikan tidak mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan. Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected.

d. Kategori signifikansi klinis 4 memiliki tingkat keparahan major atau moderat, efek yang dihasilkan dapat berbahaya karena dapat dapat mengubah respon farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan. Dokumentasi mengenai interaksi yaitu possible.

e. Kategori signifikansi klinis 5 memiliki tingkat keparahan minor, efek yang dihasilkan ringan, respon klinik pasien dapat mengalami perubahan atau tidak dan dokumentasi mengenai interaksi yaitu possible.

(62)

E. Keterangan Empiris Yang Diharapkan

(63)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “Studi Literatur Interaksi Obat Hipertensi Pada Peresepan Pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” ini termasuk jenis penelitian observasional deskriptif yang bersifat retrospektif dengan rancangan penelitian survei

cross-sectional. Disebut penelitian observasional karena dilakukan observasi terhadap sejumlah variabel subyek menurut keadaan apa adanya tanpa intervensi dan manipulasi dari peneliti (Munif and Imron, 2010).

Jenis penelitian deskriptif merupakan penelitian dengan tujuan untuk mendeskripsikan variabel-variabel utama subyek penelitian untuk mengetahui prevalensi fenomena tertentu (Nugrahaeni, 2010). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data penelitian ini didapat dari lembar rekam medis pasien yang mendapat perawatan pada periode lampau yang ditentukan (Swarjana, 2012). Studi potong lintang merupakan suatu desain penelitian yang pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik waktu tertentu atau hanya satu kali pada suatu periode tertentu pada populasi atau sampel yang merupakan bagian dari populasi (Swarjana, 2012).

(64)

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Pasien hipertensi adalah pasien yang didiagnosis menderita penyakit hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013.

2. Karakteristik pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 meliputi umur dan jenis kelamin. Umur dapat dibagi menjadi tiga kelompok usia yaitu pediatri, adult dan geriatri. Pediatri memiliki rentang umur kurang dari sama dengan 21 tahun. Dewasa memiliki rentang umur lebih besar dari 21 tahun hingga kurang dari atau sama dengan 59 tahun. Geriatri memiliki rentang umur lebih besar atau sama dengan 60 tahun. Jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki.

3. Gambaran umum pola peresepan obat hipertensi dan obat lain meliputi jenis obat dan golongan obat yang digunakan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013.

4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih obat secara bersamaan yang dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan efek dari salah satu atau kedua obat yang dikaji secara teoritis dengan mengacu pada Chelmow et al., (2014); Baxter (2010); Hansten and Horn (2002) dan Tatro (2007).

(65)

signifikansi klinis 1, 2, 3, 4 dan 5. Kategori signifikansi klinis 1 adalah signifikansi klinis dengan tingkat keparahan major dan dokumentasi Established, probable atau suspecte. Kategori signifikansi klinis 2 adalah signifikansi klinis dengan tingkat keparahan moderat dan dokumentasi Established, probable atau suspected. Kategori signifikansi klinis 3 adalah signifikansi klinis dengan tingkat keparahan minor dan dokumentasi Established, probable atau suspected.

Kategori signifikansi klinis 4 adalah signifikansi klinis dengan tingkat keparahan major atau moderat dan dokumentasi possible. Serta kategori signifikansi klinis 5 adalah signifikansi klinis dengan tingkat keparahan minor dan dokumentasi

possible atau unlikely.

Menurut Hansten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis dibagi menjadi tiga yaitu kategori signifikansi klinis pertama, kedua dan ketiga. Kategori pertama interaksi menimbulkan risiko lebih tinggi daripada manfaatnya pada pasien sehingga harus dihindari. Kategori signifikansi klinis kedua adalah pemberian dua obat atau lebih yang sebaiknya dihindari apabila resiko lebih besar dari manfaat namun jika sebaliknya, kombinasi obat dapat diberikan dengan monitoring kondisi klinis pasien. Kategori signifikansi klinis ketiga adalah pemberian dua obat atau lebih yang memberikan risiko yang kecil dan memiliki manfaat yang lebih besar serta diperlukan monitoring terhadap kondisi klinis pasien.

(66)

obat yang serius, pemberian obat harus dihindari karena membahayakan kondisi pasien dan dibutuhkan alternatif untuk memilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien. Pada kategori klinis interaksi obat signifikan dan minor kombinasi dapat dilakukan namun diperlukan adanya penyesuaian dosis antara kedua obat atau lebih, modifikasi jalur dan waktu pemberian obat serta monitoring kondisi klinis pasien.

C. Subyek dan Bahan Penelitian

1. Subyek penelitian meliputi seluruh pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan di RSUD Panembahan Senopati periode Desember tahun 2013. Kriteria inklusi subyek adalah pasien dengan penyakit hipertensi yang dirawat di RSUD Panembahan Senopati yang menerima peresepan obat hipertensi dengan atau tanpa obat lain periode Desember 2013. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan rekam medis yang tidak terbaca dan rekam medis yang tidak lengkap.

(67)

D.Alat atau Instrumen

Alat atau instrumen penelitian berupa lembar kerja yang bertujuan untuk mempermudah dalam pengambilan data terhadap penggunaan obat oleh pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Lembar kerja ini memuat data yang diambil dari rekam medis pasien yaitu tanggal pengobatan, nomor RM, umur, jenis kelamin, diagnosis, tekanan darah, jenis dan regimen dosis obat hipertensi, jenis dan regimen dosis obat lain, jumlah obat hipertensi dan obat lain, serta data klinik atau laboratorium.

E. Tata Cara Penelitian

Penelitian mengenai studi literatur interaksi obat hipertensi yang diresepkan kepada pasien di Instalasi Rawat Jalan di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember tahun 2013 meliputi beberapa tahap sebagai berikut ini.

1. Tahap orientasi

(68)

2. Tahap penentuan subyek

Peneliti mencari informasi terkait dengan jumlah pasien untuk menentukan pengambilan data memakai data populasi atau dengan memakai metode sampling. Setelah melakukan penggalian informasi dari petugas rekam medis didapatkan total jumlah peresepan obat hipertensi pada periode Desember tahun 2013 adalah sebanyak 1.927 resep. Dari data tersebut kemudian dilakukan pengambilan sampel. Perhitungan jumlah sampel yang diambil menggunakan rumus Taro Yamane sebagai berikut:

=

Dari hasil perhitungan didapatkan jumlah sampel yang diambil dengan tingkat presisi 10 % adalah sebanyak 114 rekam medik yang terdiri dari 114 pasien. Penentuan sampel yang diambil dilakukan dengan teknik Simple Random Sampling yang dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel. 3. Tahap pengambilan data

Pada tahap ini akan dilakukan pengambilan data dari rekam medis pasien hipertensi secara retrospektif selama periode Desember tahun 2013 di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Data yang diambil meliputi tanggal pengobatan, nomor RM, umur, jenis kelamin, diagnosis, tekanan darah, jenis dan regimen dosis obat

n = jumlah sampel N = jumlah populasi

d2 = presisi yang diharapkan

(69)

hipertensi, jenis dan regimen dosis obat lain, jumlah obat hipertensi dan obat lain, serta data klinik atau laboratorium.

F. Tata Cara Analisis Data

Analisis interaksi obat yang terjadi antara obat hipertensi dengan obat hipertensi lain dan dengan obat lain dilakukan dengan cara studi literatur. Pengkajian dilakukan dengan mengacu pada Tatro (2007); Baxter (2010); Hansten and Horn (2002) dan Chelmow et al., (2014).

Data penelitian yang diperoleh diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung persentasenya.

1. Persentase karakteristik pasien meliputi umur dan jenis kelamin, dihitung dengan cara jumlah subyek pada kelompok umur tertentu atau jenis kelamin tertentu dibagi dengan keseluruhan subyek dikalikan 100%.

Gambar

Gambar 3. Diagram distribusi umur pasien hipertensi ....................................................
Gambar 1. Tempat kerja ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker
Gambar 2. Algoritma terapi hipertensi
Tabel I.  Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gelembung-gelembung itu pecah dari segala sisi, tetapi bila ia jatuh menghantam bagian dari metal seperti impeller atau volute ia tidak bisa pecah dari sisi tersebut, maka cairan

[r]

SISTEM PENGENDALIAN INTERN AKUNTANSI PENGELUARAN KAS PADA DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT. Bidang

463 Penyusun Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Dalam Negeri Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 7 4 464 Penyusun Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan

Lampiran : Surat Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Konstruksi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah TA3. Asli

Pada hari ini Selasa, tanggal sembilan bulan Oktober tahun dua ribu dua belas, kami selaku Pokja Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk Belanja Modal dan Belanja Barang ULP

Perhitungan pada metode tenaga kerja berubah di atas kemudian akan digunakan untuk perhitungan ongkos produksi metode tenaga kerja berubah, dimana pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luas lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak