• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAH PUSTAKA

D. Kategori Signifikansi Klinis Interaksi Obat

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013 berdasarkan studi literatur.

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A.Hipertensi

1. Definisi hipertensi

Hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan darah sistolik mencapai 140 atau lebih dan tekanan darah diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih dan tekanan darah tersebut sudah diukur berulang (Martin, 2008). Terdapat beberapa katagori hipertensi menurut The Seventh Report of the Joint National Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC7) yaitu prehipertensi (Tekanan darah sistolik 120-139mmHg dan tekanan darah diastolik 80-89 mm Hg,

stage 1 (tekanan darah sistolik 140-159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90-100 mm Hg) dan stage 2 (tekanan darah sistolik > 160 mmHg atau tekanan darah diastolik > 100 mmHg) (Chobanian et al., 2003).

Hipertensi yang terjadi pada individu mungkin merupakan kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik atau hipertensi sistolik terisolasi. Kombinasi antara hipertensi sistolik dan diastolik didiagnosis sebagai hipertensi primer atau yang disebut juga dengan hipertensi esensial. Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit penyerta seperti penyakit ginjal. Hipertensi merupakan penyakit seumur hidup yang hanya menimbulkan sedikit gejala sampai stadium lanjut. (Fulcher et al.,

2012).

a. Hipertensi primer. Faktor spesifik yang menyebabkan hipertensi primer belum teridentifikasi, tetapi faktor genetik dan lingkungan berpotensi untuk meningkatkan kejadian hipertensi primer. Faktor risiko terkait dengan hipertensi primer meliputi riwayat penyakit hipertensi keluarga, bertambahnya usia, jenis kelamin (lebih banyak terjadi pada laki-laki pada usia dibawah 55 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita dengan usia diatas 55 tahun), konsumsi tinggi natrium, intoleransi glukosa (diabetes mellitus), perokok, obesitas, pengonsumsi alkohol berat, serta konsumsi kalsium, kalium, dan magnesium yang rendah (Huether and McCance, 2008).

Hipertensi primer adalah hasil dari pengaruh genetik dan lingkungan yang dimediasi oleh efek neurohumoral pada host. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi efek tersebut yaitu sistem saraf simpatik dan sistem renin angiotensin aldosteron. Inflamasi, disfungsi endothelial, dan resistensi insulin juga berpengaruh dalam peningkatan resistensi perifer dan peningkatan volume darah (Porth and Matfin, 2009).

Kemungkinan perkembangan hipertensi primer meningkat seiring usia. Kenaikan resistensi perifer dan hipertensi awal biasanya terjadi dan berkembang pada usia 20-40 tahun. Jika kenaikan tekanan darah tidak terdeteksi dan diobati maka dapat berefek pada jaringan ketika individu berusia 30-50 tahun. Ini menunjukkan komplikasi hipertensi terjadi pada saat individu berusia 40 tahun keatas (Izzo et al., 2008).

b. Hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh kondisi penyakit lain yang dipengaruhi oleh ginjal melaui sistem renin-angiotensin-aldosteron (RRA). Renin merupakan enzim yang diproduksi oleh juktaglomerular dan dilepaskan jika terjadi perubahan tekanan darah di ginjal, berkurangnya kadar natrium, kalium dan klorida. Renin akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin I di dalam darah, kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II ini merupakan vasokonstriktor poten yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi. Selain itu Angiotensin II menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Dipiro et al., 2008).

Selain penyakit ginjal, penyakit penyerta atau pengobatan yang meningkatkan resistensi vaskuler peripheral atau kardiak output juga berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi sekunder. Seperti contoh penyakit vaskuler atau parenkim pada ginjal, tumor adrenokortikal, tumor adenomudular, dan obat seperti kontrasepsi oral, kortikosteroid dan antihistamin. Jika penyebab dari hipertensi sudah teridentifikasi maka penggunaan obat yang berpengaruh harus dihentikan dan penyakit penyerta harus diobati sebelum terjadi perubahan struktural yang permanen dan tekanan darah kembali normal (Kaplan et al., 2010).

c. Hipertensi sistolik terisolasi. Hipertensi sistolik terisolasi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik

dibawah 90 mm Hg secara terus menerus. Hipertensi sistolik terisolasi biasanya dialami oleh individu yang berusia diatas 65 tahun dan hal tersebut berhubungan erat dengan kejadian kardiovaskular dan serebrovaskular. Hal ini dihubungkan dengan berkurangnya elastisitas aorta karena perubahan serabut elastis dan peningkatan komponen kaku seperti kolagen (Houston, 2009).

d. Hipertensi maligna. Merupakan hipertensi progresif cepat dengan tekanan darah diastolik diatas 140 mm Hg. Hipertensi malignan dapat menyebabkan encephalopathy, dimana terdapat edema serebral yang dapat merusak fungsi serebral dan mengakibatkan kehilangan kesadaran. Tingginya tekanan arterial menyebabkan penurunan kemampuan arteri dalam regulasi aliran darah ke dalam kapiler serebral (Huether and McCance, 2008).

Tingginya tekanan hidrostatik pada kapiler menyebabkan cairan vaskuler masuk kedalam ruang interstisial. Jika tekanan darah tidak dapat diturunkan maka terjadi peningkatan keparahan edema serebral dan disfungsi serebral sampai terjadi kematian (Huether and McCance, 2008). 2. Patofisiologi hipertensi

Secara fisiologis pada orang normal maupun hipertensi tekanan darah dipertahankan oleh pengaturan curah jantung dan tekanan pembuluh darah tepi yang

dilakukan pada arteriol, venula pascakapiler, jantung dan ginjal. Hipertensi dihasilkan oleh kenaikan resistensi perifer (vasokonstriksi arteri), kenaikan volume darah dalam sirkulasi atau keduanya (Ganong, 2005).

Tekanan darah arteri merupakan hasil dari curah jantung dan resistensi perifer yang bisa ditunjukkan dengan persamaan.

Peningkatan curah jantung atau resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah yang bisa menghasilkan hipertensi. Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi curah jantung yaitu peningkatan kontraktilitas otot jantung, denyut jantung atau aliran balik pembuluh vena (Ganong, 2005).

Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik menyebabkan peningkatan kecepatan jantung dan vasokonstriksi sistemik mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) memegang peranan penting pada regulasi tekanan darah yaitu mempengaruhi retensi garam dan air oleh ginjal. Angiotensin II membantu remodeling arteriolar, yang mengubah struktur pada dinding pembuluh darah, mengakibatkan kenaikan resistensi perifer yang permanen. Hormon natriuretik memodulasi ekskresi cairan dan natrium renal, disfungsi hormon ini mengakibatkan retensi air dan garam sehingga meningkatkan volume darah yang berefek pada peningkatan tekanan darah (Huether and McCance, 2008).

Inflamasi memegang peranan dalam patogenesis hipertensi, kerusakan endotel dan ischemia jaringan mengakibatkan pelepasan vasoactive inflammatory cytokines. Sitokin mempunyai aksi vasodilator pada inflamasi akut, inflamasi kronik berperan dalam remodeling vaskuler dan kontraksi otot polos. Kerusakan endotel dan disfungsi pada hipertensi primer ditandai dengan penurunan produksi vasodilator seperti Nitrat Oksida dan peningkatan produksi vasokonstriktor seperti endothelin (Izzo et al., 2008).

Obesitas menyebabkan terjadinya hipertensi yang dihubungkan dengan kenaikan aktivitas sistem saraf simpatik dan sistem RAA. Obesitas dihubungkan dengan disfungsi endothelial (kenaikan vasokonstriktor endogen dan resistensi insulin). Resistensi insulin terjadi pada hipertensi, walaupun pada individu tanpa diabetes. Resistensi insulin dihubungkan dengan berkurangnya pelepasan nitrit oksida dan vasodilator endotel lain. Hal ini juga mempengaruhi fungsi ginjal dan menyebabkan resistensi garam dan air pada ginjal. Resistensi insulin tidak dihubungkan dengan aktivitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) (Izzo et al., 2008).

Ginjal mengontrol tekanan darah dengan mengontrol volume darah, penurunan tekanan perfusi ginjal dan pada arteriol-arteriol ginjal menyebabkan redistribusi aliran darah intrarenal dan peningkatan reabsorpsi garam dan air serta merangsang produksi renin yang meningkatkan angiotensin II. Angiotensin II menstimulasi sintesis aldosteron produk di dalam korteks adrenalis yang

menyebabkan peningkatan absorpsi natrium dan volume darah intravaskuler serta mengakibatkan peningkatan resistensi perifer pembuluh darah (Katzung, 2012). 3. Manifestasi klinis hipertensi

Tahap awal hipertensi tidak mempunyai manifestasi klinis yang spesifik selain kenaikan tekanan darah. Tidak ada tanda dan gejala yang jelas dari hipertensi, sehingga seseorang yang menderita hipertensi tidak mengetahui jika dia mengalami hipertensi oleh sebab itu penyakit hipertensi disebut sebagai silent disease (Beevers et al., 2007).

Sebagian besar manifestasi kilnis yang timbul akibat penyakit hipertensi disebabkan oleh komplikasi yang merusak organ dan jaringan diluar sistem vaskuler. Disamping kenaikan tekanan darah tanda dan gejala lain yang spesifik terhadap organ dan jaringan yang dipengaruhi. Penyakit jantung, penurunan kemampuan ginjal, disfungsi sistem saraf pusat, sumbatan vaskuler atau edema disebabkan oleh hipertensi yang parah(Huether and McCance, 2008).

Pada kasus hipertensi, sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala apapun sehingga sulit mengetahui seseorang mengalami hipertensi atau tidak. Gejala seperti sakit kepala biasa, pening ataupun mimisan bukan merupakan gejala dari penyakit hipertensi. Beberapa gejala dari hipertensi berupa keringat berlebihan, peningkatan frekuensi berkemih dan peningkatan denyut jantung secara cepat dan tidak teratur merupakan gejala yang ditimbulkan akibat terjadinya kerusakan ginjal pada hipertensi yang parah (Porth and Matfin, 2009).

4. Diagnosis hipertensi

Hipertensi dan kelainan tekanan darah didiagnosis dengan pengukuran tekanan darah secara berulang. Pengukuran tekanan darah dilakukan saat pasien dalam keadaan tenang dan tidak merokok atau mengkonsumsi kafein selama 30 menit terakhir (Porth and Matfin, 2009).

Pasien tenang yang dimaksud adalah pasien yang sudah beristirahat selama lima menit atau lebih setelah beraktivitas. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dalam pengukuran berulang tersebut diperoleh nilai rata-rata tekanan darah sistolik 140 mm Hg atau lebih dan tekanan darah diastolik 90 mm Hg atau lebih selama 6 bulan pemantauan, atau bila tekanan darah sistolik dan diastolik pasien yang dikukur selama 24 jam adalah 130 mmHg dan 80 mmHg atau lebih (Porth and Matfin, 2009).

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama dari terapi hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan ginjal, dimana fokus utama terapi adalah menurunkan tekanan darah sesuai dengan target tenakan darah menurut umur, penyakit penyerta dan warna kulit pasien (James et al., 2013).

2. Strategi Terapi Non Farmakologis

Terapi untuk menurunkan tekanan darah secara non farmakologi berfokus pada perubahan gaya hidup pasien. Beberapa caranya meliputi berhenti merokok karena rokok merupakan faktor risiko peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi, mengurangi konsumsi alkohol, penurunan berat badan, melakukan aktivitas fisik

secara rutin dan mengurangi asupan (diet) makanan yang mengandung garam, lemak dan kolesterol tinggi (Kaplan et al., 2010).

a. Membatasi asupan garam. Terdapat hubungan kausal antara konsumsi garam dengan tekanan darah dan peningkatan konsumsi garam yang berkontribusi dalam hipertensi resisten. Mekanisme yang menghubungkan peningkatan konsumsi garam dengan kenaikan tekanan darah adalah peningkatan volume ekstraseluler dan resistensi perifer. konsumsi garam yang umum adalah sebanyak 9 sampai 12 g/hari dan penurunan konsumsi sampai 5g/hari mempunyai efek penurunan tekanan darah 1 – 2 mmHg pada individu tensi normal dan pada individu dengan hipertensi mempunyai efek menurunkan tekanan darah sebesar 4-5 mmHg. Efek lebih besar dari mengurangi asupan garam adalah pada orang tua dan pada individu dengan diabetes, gangguan metabolisme atau CKD dan mungkin mengakibatkan penurunan jumlah dan dosis penggunaan obat hipertensi (Mancia et al., 2013).

b. Mengurangi konsumsi alkohol sampai pada batas menengah. Penggunaan alkohol rutin meningkatkan tekanan darah pada subjek hipertensi yang sudah mendapatkan terapi. Tetapi konsumsi alkohol dalam jumlah yang sedang tidak berbahaya, peningkatan konsumsi alkohol dari jumlah sedang ke jumlah berlebihan berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Berdasarkan studi tentang pencegahan dan pengobatan hipertensi, efek dari pengurangan alkohol terhadap tekanan darah pada kelompok intervensi menghasilkan penurunan tekanan sebanyak 1,2/0.7 mmHg lebih besar daripada kelompok kontrol pada

akhir periode 6 bulan. Pria dengan hipertensi yang mengkonsumsi alkohol harus dianjurkan untuk membatasi konsumsi tidak lebih dari 20-30 g, dan wanita dengan hipertensi tidak lebih dari 10-20 g etanol per hari. Jumlah konsumsi alkohol tidak melebihi 140 g per minggu untuk pria dan 80 g per minggu untuk perempuan (Mancia et al., 2013).

c. Melakukan diet. Pasien hipertensi harus dianjurkan untuk makan sayuran, produk susu rendah lemak, makanan berserat, biji-bijian dan protein dari tanaman, mengurangi lemak jenuh dan kolesterol. Buah-buahan segar juga direkomendasikan, namun perlu hati-hati dalam pemberian pada pasien dengan berat badan berlebih karena kandungan karbohidrat dalm buah mungkin menaikkan berat badan (Kaplan et al., 2010).

Pada pasien dengan peningkatan tekanan darah, dibandingkan dengan melakukan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) saja, kombinasi dari diet DASH dengan olahraga dan penurunan berat badan akan menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar (Mancia et al., 2013). d. Penurunan berat badan. Penurunan berat badan dianjurkan pada pasien

hipertensi dengan berat badan berlebih dan obesitas untuk mengontrol faktor risiko, stabilisasi berat badan menjadi target bagi pasien (Kaplan et al., 2010). Pemeliharaan berat badan yang sehat (BMI sekitar 25 kg / m2) dan lingkar pinggang (<102 cm untuk pria dan <88 cm untuk wanita) dianjurkan untuk individu non hipertensi untuk mencegah hipertensi dan untuk pasien hipertensi untuk mengurangi tekanan darah (Mancia et al., 2013).

e. Melakukan aktivitas fisik yang teratur. Aktivitas fisik berupa aerobik teratur mungkin bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi dan menurunkan risiko kematian dan CV. Penelitian menunjukkan bahwa aerobik mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 3,0/ 2.4 mmHg dan bahkan 6,9/4.9mmHg pada subyek hipertensi. Pasien hipertensi harus dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit dengan intensitas latihan aerobik sedang (berjalan, jogging, bersepeda atau berenang) setidaknya 5-7 hari per minggu (Mancia et al., 2013).

3. Strategi Terapi Farmakologis

Penggunaan monoterapi hipertensi menimbulkan efek samping lebih sedikit. Selain itu kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat juga menjadi lebih baik. Namun demikian sebagian besar pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat yang bekerja dengan mekanisme yang berbeda (Kaplan et al., 2010).

Salah satu alasan terapi dengan menggunakan lebih dari satu jenis obat hipertensi adalah karena terdapat lebih dari satu patofisiologi hipertensi. Selain itu kebanyakan obat memicu mekanisme regulasi kompensatorik dalam menurunkan tekanan darah yang dapat menurunkan efektifitas penggunaanya. Sebagai contoh vasodilator seperti hidralazin dapat menurunkan resistensi vaskular perifer secara signifikan, namun penggunaannya dapat memicu takikardia dan retensi garam dan air yang akan menurunkan bahkan menghilangkan efeknya (Katzung, 2012).

Obat hipertensi digolongkan sesuai dengan tempat kerjanya pada sistem anatomis manusia. Golongan obat hipertensi meliputi diuretik, β-blocker, Angiotensin

Converting Enzyme (ACE) inhibitor , Angiotensin II Receptor Blocker (ARB),

Calcium Channel Blocker (CCB), antagonis α1-adrenoreseptor, agonis α2-adrenergik yang bekerja di sistem saraf pusat, simpatoplegik kerja sentral dan vasodilator langsung (Porth and Matfin, 2009).

a. Golongan obat hipertensi. Pedoman saat ini menegaskan bahwa diuretik (thiazid, chlorthalidone dan indapamide), beta-blocker, Calcium Channel Blocker,

angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin receptor blockers

cocok untuk terapi awal dan pemeliharaan pengobatan antihipertensi, baik sebagai monoterapi atau dalam kombinasi (Mancia et al., 2013).

1) Diuretik. Diuretik merupakam dasar pengobatan antihipertensi sejak Joint National Committee (JNC) pertama melaporkan pada tahun 1977 dan WHO untuk pertama kali pada tahun 1978. Pada tahun 2003, mereka diklasifikasikan sebagai satu-satunya obat pilihan yang digunakan untuk memulai pengobatan, baik di JNC-7 ataupun WHO (International Society of Hypertension Guidelines) (Mancia et al., 2013). Diuretik merupakan obat penurun tekanan darah didasarkan pada mekanisme kerjanya dalam mengeluarkan natrium serta mengurangi volume darah. Natrium berperan dalam resistensi vaskuler dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan reaktivitas saraf (Katzung, 2012).

Terapi diuretik tanpa kombinasi sudah cukup adekuat untuk hipertensi esensial dengan tingkat keparahan ringan sampai sedang. Pada hipertensi berat yang mendapat terapi obat simpatoplegik atau vasodilator, terapi

diuretik diberikan untuk mengurangi kecenderungan terjadinya retensi natrium yang dihasilkan oleh obat tersebut. Penurunan tekanan darah oleh diuretik berkisar antara 10 sampai 15 mm Hg pada sebagian besar pasien (Black and Elliot, 2007). Dalam mengobati hipertensi, efek samping diuretik berupa deplesi kalium sering ditemukan pada penggunaan sebagian besar obat kecuali pada terapi diuretik hemat kalium. Diuretik hemat kalium seperti spironolakton bekerja menurunkan tekanan darah dan menghindari terjadinya deplesi kalium yang berlebihan pada pasien (Katzung, 2012). Akan tetapi penggunaan diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan mereka yang mendapat

ACE inhibitor atau Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) (Mancia et al.,

2013).

2) Obat penghambat adrenoreseptor beta (β-blocker). Sebagian besar penghambat adrenoreseptor beta terbukti efektif untuk menurunkan tekanan darah. Penghambat adrenoreseptor beta merupakan golongan obat yang

bekerja pada reseptor β-adrenergik jantung dan mengakibatkan penurunan denyut jantung dan kardiak output (Porth and Matfin, 2009).

Sifat farmakologik beberapa jenis obat ini berbeda dalam beberapa aspek dan memberi manfaat terapeutik dalam situasi klinis tertentu. Salah satu obat penghambat adrenoreseptor beta yaitu bisoprolol adalah penghambat β1

Karena waktu paruh dari obat ini yang lama maka obat-obat ini dapat diberikan cukup sekali dalam satu hari (Huether and McCance, 2008).

3) Obat penghambat kanal kalsium (Calcium Channel Blocker). Penghambat kanal kalsium bekerja menurunkan dengan inhibisi influx kalsium ke dalam sel otot polos arteri yang akan menurunkan resistensi perifer dan vasokontriksi pembuluh darah. Obat ini bekerja secara langsung menurunkan kardiak output dan detak jantung. Pemilihan jenis obat penghambat kanal kalsium didasarkan pada beberapa perbedaan hemodinamik yang dimiliki jenis obat tertentu (Porth and Matfin, 2009).

Beberapa obat penghambat kanal kalsium seperti nifedipin dan dihidropiridin lebih selektif sebagai vasodilator dan kurang memiliki efek menurunkan kardiak output dibandingkan verapamil dan diltiazem. Dosis obat penghambat kanal kalsium yang digunakan untuk mengobati hipertensi mirip dengan yang digunakan untuk mengobati angina (Huether and McCance, 2008).

4) Inhibitor angiotensin. Sistem renin, angiotensin dan aldosteron berperan penting pada pasien dengan hipertensi esensial. Pengeluaran renin dari korteks ginjal dirangsang oleh menurunnya tekanan arteri ginjal, rangsangan saraf simaptis, dan berkurangnya penyaluran natrium atau meningkatnya konsentrasi natrium di tubulus distal ginjal (Kaplan et al., 2010).

Renin bekerja pada angiotensinogen untuk menghasilkan prekursor inaktif yaitu angiotensin I. Angiotensin I kemudian diubah oleh angiotensin

converting enzyme endotel menjadi angiotensin II yang memilki aktivitas sebagai vasokonstriktor dan retensi natrium (Kaplan et al., 2010).

Angiotensin berperan dalam mempertahankan tingginya resistensi vaskuler pada keadaan hipertensif yang dipengaruhi aktivitas renin plasma yang tinggi, seperti misalnya hipertensi malignan serta pada hipertensi esensial setelah menerima pengobatan dengan diuretik, atau vasodilator. Terdapat tiga kelas obat yang bekerja secara spesifik pada sistem renin-angiotensin yaitu ACE inhibitor, inhibitor kompetitif angiotensin di reseptornya (Angiotensin II Receptor Blocker) dan antagonis non-peptida lainnya (Houston, 2009).

a) ACE inhibitor. Obat-obat yang termasuk kedalam golongan ini bekerja dengan menghambat ACE (Angiotensin Converting Enzyme) yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Obat ini juga bekerja dengan mengaktifkan bradikinin, suatu vasodilator poten yang meransang pengeluaran nitrat oksida dan prostasiklin (Izzo et al., 2008).

Angiotensin converting enzyme inhibitor paling efektif pada kondisi-kondisi yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas renin plasma. Akan tetapi tidak terdapat korelasi baik antara aktivitas renin plasma dengan respon antihipertensif. Oleh karena itu, penentuan profil renin tidak diperlukan dalam konsumsi obat ini. ACE inhibitor berperan penting dalam mengobati pasien dengan penyakit ginjal kronik karena obat ini

dapat mengurangi protenuria dan menstabilkan fungsi ginjal (Black and Elliot, 2007).

Efek menstabilkan fungsi ginjal ini juga berguna pada pasien diabetes, dan obat-obat ini kini direkomendasikan pada diabetes bahkan tanpa hipertensi. Manfaaat ini disebabkan oleh membaiknya hemodinamika intrarenal, disertai penurunan resistensi arteriol eferen glomerulus dan berkurangnya tekanan kapiler intraglomerulus (Izzo et al., 2008). Inhibitor ACE juga terbukti sangat bermanfaat dalam mengobati gagal jantung, infark miokardium, serta terdapat bukti bahwa inhibitor ACE mengurangi risiko diabetes pada pasien dengan risiko kardiovaskular tinggi. Semua inhibitor ACE kecuali fosinopril dan moeksipril dieliminasi terutama oleh ginjal. Dosis obat-obat ini harus dikurangi pada pasien dengan insufisien ginjal (Kaplan et al., 2010).

Pada pasien yang mengalami hipovolemik akibat diuretik, diet garam, atau kehilangan cairan melalui saluran cerna dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian dosis awal inhibitor ACE (Black and Elliot, 2007). Efek samping lain yang umum bagi semua inhibitor ACE adalah hiperkalemia, batuk kering, gagal ginjal akut, dan angiodema. Hiperkalemia lebih besar kemungkinannya terjadi pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau diabetes. Bradikinin mungkin merupakan penyebab batuk dan angiodema yang ditemukan akibat inhibisi ACE oleh

b) Angiotensin II Receptor Blocker. Obat-obat ini juga berpotensi menghambat efek angiotensin secara total dibandingkan dengan inhibitor ACE karena terdapat enzim-enzim diluar ACE yang mampu menghasilkan angiotensin II. Jenis-jenis obat Angiotensin II Receptor Blocker adalah losartan valsartan, candesartan, eprosartan, irbesartan, telmisartan, dan olmesartan. Losartan dan valsartan adalah penghambat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang pertama kali dipasarkan (Huether and McCance, 2008).

Obat-obat ini tidak mempunyai efek pada metabolisme bradikinin, oleh karena itu obat ini menjadi penghambat efek angiotensin yang lebih selektif dibandingkan inhibitor ACE. Penghambat reseptor angiotensin memberikan manfaat yang serupa dengan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan gagal jantung dan penyakit ginjal kronik. Efek-efek samping dari obat penghambat reseptor angiotensin serupa dengan yang ditemukan untuk inhibitor ACE (Huether and McCance, 2008).

Gambar 1. Tempat kerja ACE inhibitor dan Angiotensin II Receptor Blocker Keterangan: 1 tempat penghambatan dari ACE inhibitor, 2 tempat penghambatan dari Angiotensin II Receptor

Blocker, ACE : Angiotensin converting enzyme

(Katzung, 2012).

2

Angiotensin II Metabolit inaktif

Vasokonstriksi Sekresi aldosteron

Peningkatan tekanan vaskuler peirfer

Peningkatan retensi natrium dan air

Peningkatan tekanan darah Vasodilatasi Penurunan tahanan vaskuler perifer Penurunan tekanan darah Angiotensin Angiotensin I Bradikinin ACE kinase II Kininogen Peningkatan sintesis prostaglandin 1 Kalikire n 1 Renin

b. Monoterapi dan terapi kombinasi obat hipertensi. Monoterapi dapat secara efektif mengurangi tekanan darah hanya pada beberapa pasien hipertensi, sebagian besar pasien memerlukan paling sedikit kombinasi dua obat untuk mencapai kontrol tekanan darah. Keuntungan dari memulai pengobatan dengan monoterapi adalah minimalnya efek samping yang ditimbulkan (Mancia et al., 2013) dan (James et al., 2013). Meta-analisis yang dilakukan pada lebih dari 40 studi menunjukkan bahwa menggabungkan dua agen dari dua golongan obat antihipertensi akan meningkatkan pengontrolan tekanan darah daripada meningkatkan dosis satu obat dari salah satu golongan. Memulai pengobatan dengan terapi kombinasi berpotensi menguntungkan pada pasien berisiko tinggi,

Dokumen terkait