• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

4. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara

5. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif sedangkan distribusi pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara

6. Derajat pro poor growth Pertumbuhan ekonomi memiliki tingkat yang berbeda di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.

PERTUMBUHAN EKONOMI (X1)

DISTRIBUSI PENDAPATAN (X2)

TINGKAT KEMISKINAN (Y)

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Metode penelitian kuantitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Sugiyono (2011:8) yaitu: “Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”.

3.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dengan populasi sebanyak 33 kabupaten/kota, yang masing-masing terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota.

3.3 Jenis Variabel Penelitian

Variabel Tingkat Kemiskinan sebagai variabel dependen (Y), Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) sebagai variabel independen (X1), dan distribusi pendapatan sebagai variabel independen (X2).

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penulis mendokumentasikan data yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik, buku referensi, jurnal, situs, penelitian terdahulu, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian.

3.5 Definisi Operasional

Variabel penelitian adalah variabel yang segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh tentang informasi tersebut, kemudian ditarik / diberi kesimpulannya (Sugiyono, 2011).

1. Pertumbuhan Ekonomi adalah angka pertumbuhan ekonomi dari PDRB harga konstan yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik menurut kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2016 (dalam satuan persen).

2. Distribusi pendapatan adalah angka yang diperoleh dari gini ratio yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (dalam satuan angka).

3. Kemiskinan adalah angka yang diperoleh dari persentase penduduk miskin yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (dalam satuan persen).

3.6 Metode Analisis Data

Untuk menjawab permasalahan dan hipotesis satu digunakan alat analisis sebagai berikut:

3.6.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan dihitung dengan model yang dikembangkan oleh Wodon (1999) sebagai berikut:

log Git  i  i log Yit  it

Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan dapat dilihat dari nilai elasitisitas ketimpangan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Model yang digunakan adalah model double log, sehingga parameter β yang di dapat melambangkan elastisitas ketimpangan pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi. Jika nilai β bertanda positif, artinya peningkatan PDRB konstan sebesar 1 persen akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar β persen. Jika nilai β bertanda negatif, artinya peningkatan PDRB konstan sebesar 1 persen akan menurunkan ketimpangan pendapatan sebesar β persen.

Untuk menjawab permasalahan dan hipotesis kedua digunakan alat analisis sebagai berikut:

3.6.2 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan terhadap Kemiskinan

Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan terhadap kemiskinan dihitung dengan model yang dikembangkan oleh Wodon (1999):

log Pit  i  i log Yit  log Git it

Model yang digunakan adalah model double log, sehingga parameter γ yang didapat melambangkan elastisitas kemiskinan bruto terhadap pertumbuhan ekonomi (gross elasticity of poverty to growth). Sedangkan δ yang di dapat melambangkan elastisitas kemiskinan bruto terhadap ketimpangan pendapatan (gross elasticity of poverty to inequality). Jika nilai γ dan δ bertanda positif, artinya peningkatan PDRB konstan dan indeks Gini sebesar 1 persen akan meningkatkan kemiskinan sebesar γ dan δ persen.

Untuk menjawab permasalahan dan hipotesis ketiga digunakan alat analisis sebagai berikut:

3.6.3 Pro-Poor Growth Index (PPGI)

Konsep pro poor growth pertama kali diperkenalkan pada era 1950an dan kemudian dipertegas oleh Chenery (1974). Poor Growth Index adalah suatu ukuran untuk melihat sejauh mana pertumbuhan ekonomi bisa disebut pro poor.

Metode ini tidak hanya menjelaskan besarnya pertumbuhan ekonomi itu sendiri, tetapi juga derajat manfaat yang diperoleh penduduk miskin dari pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai. Pendekatan PPGI secara eksplisit sudah memasukkan unsur garis kemiskinan, sehingga memiliki keunggulan dapat mendekomposisi perubahan kemiskinan sebagai pengaruh dari pertumbuhan dan perubahan distribusi pendapatan.

Metode ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain:

1. Data yang diperlukan tidak terlalu sulit, sehingga mudah dihitung.

2. Indeks ini dapat digunakan untuk memformulasikan kebijakan-kebijakan pro poor pada tingkat makro dan mikro.

3. Indeks ini bisa dihitung menurut sektor ekonomi ataupun wilayah

Indeks ini menunjukkan rasio elastisitas penurunan kemiskinan total dan penurunan kemiskinan pada kasus pertumbuhan yang terdistribusi netral.

Pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dihitung dengan model yang dikembangkan oleh Wodon (1999):

       

γ = Elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi ketika distribusi pendapatan tidak berubah.

δ = Elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan pendapatan

λ =Elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi Pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan secara bersama-sama terhadap kemiskinan ditentukan oleh nilai elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (λ). Nilai ini diperoleh dengan memperhitungkan pengaruh langsung dan tidak langsung variabel pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.

Rumus Indeks pro poor growth (PPGI) (Kakwani dan Pernia, 2000):

 

Pertumbuhan dikatakan pro-poor jika PPGI > 1. Gross impacts pertumbuhan terhadap kemiskinan (γ) selalu bernilai negatif. Artinya, jika pertumbuhan meningkat maka kemiskinan akan berkurang. Namun, perubahan kemiskinan yang disebabkan oleh perubahan ketimpangan pendapatan akibat adanya pertumbuhan ekonomi (βδ) dapat bernilai negatif atau positif tergantung pada apakah ketimpangan pendapatan yang menyertai pertumbuhan ekonomi menurunkan atau meningkatkan kemiskinan. Dengan demikian, pro-poor growth (PPGI > 1) akan terjadi bila βδ < 0, artinya pertumbuhan ekonomi menyebabkan redistribusi pendapatan pada penduduk miskin. Kakwani dan Pernia (2000) mengajukan kategori dari PPGI sebagai berikut:

  ≤ 0 : Pertumbuhan anti poor

 0 ˂  ≤ 0.33 : Pertumbuhan pro-poor lemah

 0.33 ˂  ≤ 0.66 : Pertumbuhan pro-poor moderat

 0.66 ˂  ≤1.0 : Pertumbuhan pro-poor

 1.0 ˂  : Pertumbuhan sangat pro-poor

a. Kondisi Geografis

Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100°

Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 72.981,23 km². Pusat pemerintahan Sumatera Utara terletak di kota Medan. Dan terdapat 419 pulau di provinsi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka). Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 33 Kabupaten/Kota (18 Kabupaten dan 7 Kota) yaitu:

Tabel 4.1

Kondisi Geografis Utara Menurut Kabupaten dan Kotamadya

Kabupaten / Kota Luas (km2)

8. Kabupaten Labuhanbatu Selatan 9. Kabupaten Labuhanbatu Utara 10. Kabupaten Langkat

11. Kabupaten Mandailing Natal 12. Kabupaten Nias

13. Kabupaten Nias Barat 14. Kabupaten Nias Selatan 15. Kabupaten Nias Utara 16. Kabupaten Padang Lawas 17. Kabupaten Padang Lawas Utara 18. Kabupaten Pakpak Bharat

24. Kabupaten Tapanuli Utara Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

b. Kondisi Demografis

Berdasarkan data BPS Sumatera Utara, jumlah penduduk Sumatera Utara telah mencapai 14.102.911 jiwa pada tahun 2016 dan menempatkan Sumatera Utara pada posisi keempat dalam hal jumlah penduduk terbanyak dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Dari data BPS tersebut, baik secara absolut maupun relatif (yang dilihat dari laju pertumbuhan penduduk) terlihat bahwa jumlah terus bertambah selama kurun waktu 2010-2016. Tahun 2010, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 12.982.204 jiwa dan meningkat secara absolut menjadi 14.102.911 jiwa pada tahun 2016 atau mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 1,33 persen.

Gambar 4.1

Jumlah Penduduk Sumatera Utara Tahun 2010-2016 (Jiwa)

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Jumlah 12982204 13103596 13215401 13326307 13766851 13937797 14102911 12000000

Jumlah Penduduk Sumatera Utara (Jiwa)

4.2. Pertumbuhan Ekonomi

Nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi di tingkat kabupaten/kota di Sumatera Utara mengalami fluktuasi selama tahun 2010 hingga 2016. Standar deviasi pertumbuhan ekonomi di tingkat kabupaten/kota Sumatera Utara meningkat dari tahun 2010 hingga 2013, yang kemudian menurun di tahun-tahun berikutnya (Gambar 4.2). Hal ini menunjukkan sebaran pertumbuhan ekonomi yang semakin beragam antar kabupaten/kota atau bisa dikatakan semakin timpang.

Fenomena kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang menurun dengan ketimpangan yang semakin besar antar kabupaten/kota, tentunya berpengaruh terhadap dampaknya dalam permasalahan kemiskinan. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi maupun standar deviasinya secara drastis terjadi pada tahun 2013. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi terendah terjadi pada tahun 2014 dimana nilai rata-rata maupun standar deviasinya lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Dari tahun 2010 hingga 2016 umumnya nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dan standar deviasinya naik dan turun seirama (Gambar 4.2).

Gambar 4.2

Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Standar Deviasinya Tahun 2010-2016 Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

0,847532 0,787839 0,807294

2,190033

0,710419 0,44778 0,515255 5,751212 5,851818 6,023636 6,134545

5,478485 5,245455 5,247576

0 2 4 6 8

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Standar Deviasi Mean

Berdasarkan urutan laju pertumbuhan, maka kota Medan, Pematangsiantar, dan kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Deli Serdang selama tahun 2010 hingga 2016 termasuk sebagai daerah dengan laju pertumbuhan tertinggi. Berkebalikan dengan kabupaten Batu Bara, Tapanuli Utara, Dairi, Nias Selatan yang masuk sebagai daerah dengan laju pertumbuhan terendah selama tahun 2010 hingga 2016. Perkembangan laju pertumbuhan di setiap kabupaten/kota selama periode tahun 2010-2016 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan nilai selisih pertumbuhannya, maka kabupaten Simalungun, Padang Lawas, Dairi, kota Medan, Padang Sidempuan termasuk ke dalam sepuluh kabupaten/kota dengan selisih pertumbuhan terbesar selama tahun 2010-2016.

Kabupaten Nias Utara, Labuhanbatu Utara, Labuhan Batu dan kota Tebing Tinggi yang pada periode 2010-2011 masuk sebagai sepuluh provinsi dengan selisih pertumbuhan terbesar, selanjutnya justru masuk sebagai sepuluh kabupaten/kota dengan selisih pertumbuhan terendah. Berkebalikan dengan kabupaten Humbang Hasundutan, Samosir, Nias Selatan, dan Toba Samosir yang justru berpindah sebagai sepuluh kabupaten/kota dengan selisih pertumbuhan tertinggi pada periode 2010-2011 dan 2011-2012. Perkembangan selisih pertumbuhan selama tahun 2010-2016 dapat dilihat pada Lampiran 2. Perbandingan laju pertumbuhan tahun 2016 terhadap tahun 2010 di setiap kabupaten/kota, memberikan gambaran bahwa 11 kabupaten/kota memiliki selisih pertumbuhan positif dan 22 kabupaten/kota lainnya memiliki selisih pertumbuhan negatif (Gambar 4.3).

Sedangkan kabupaten Samosir, Nias, Langkat, Humbang Hasundutan dan kota

Pematangsiantar merupakan lima kabupaten/kota dengan selisih pertumbuhan terendah selama tahun 2010-2016.

Gambar 4.3.

Selisih Laju Pertumbuhan Tahun 2010 dan 2016 Menurut Kabupaten/Kota Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

4.3. Distribusi Pendapatan

Nilai rata-rata Indeks gini di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2010-2016 menunjukkan ketidakmerataan rendah dengan kecenderungan untuk meningkat selama periode tersebut. Standar deviasi Indeks gini menunjukkan adanya penurunan selama tahun 2010-2016. Nilai rata-rata dan standar deviasi ini mengindikasikan bahwa ketidakmerataan tingkat kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara semakin tinggi (Tabel 4.2).

Ketimpangan pendapatan di tingkat kabupaten/kota Provinsi Sumatera Utara sangat beragam, meskipun nilai maksimum menunjukkan ketidakmerataan yang sedang. Pada tahun 2013, nilai rata-rata Indeks gini meningkat dibanding tahun sebelumnya dan termasuk dalam ketidakmerataan sedang, serta standar deviasi yang meningkat menunjukkan sebaran Indeks gini yang semakin beragam antar kabupaten/kota. Tahun 2011-2012 nilai rata-rata Indeks gini meningkat dengan

standar deviasi yang semakin kecil, mengindikasikan ketimpangan di tingkat kabupaten/kota yang semakin tinggi. Tahun 2014 dan tahun 2016 mengalami sedikit perbaikan dibanding sebelumnya, dengan penurunan nilai rata-rata indeks gini yang disertai dengan penurunan standar deviasi, yang menunjukkan bahwa ketimpangan di tingkat kabupaten/kota sedikit berkurang. Akan tetapi kondisi ini kembali memburuk di tahun 2015 dengan peningkatan nilai rata-rata Indeks gini dan standar deviasinya.

Tabel 4.2

Ukuran Statistik Deskriptif Indeks Gini di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Rata-rata 0,2797 0,2962 0,2998 0,2847 0,2774 0,3032 0,2951 Standar

Deviasi

0,0433 0,0400 0,0398 0,0432 0,0377 0,0441 0,0364 Minimum 0,2152 0,2213 0,2259 0,2069 0,2109 0,2349 0,2136 Maksimum 0,4268 0,3705 0,3940 0,3959 0,3557 0,3982 0,3726 Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

Berdasarkan urutan nilai Indeks gini, kabupaten Tapanuli Selatan, Batu Bara, Padang Lawas Utara, Labuhanbatu Utara dan Serdang Bedagai masuk sebagai sepuluh kabupaten/kota dengan Indeks gini terendah selama tahun 2010-2016. Sedangkan kabupaten Samosir, Toba Samosir, kota Gunungsitoli dan Medan sebagai kabupaten/kota yang selalu berada di lima provinsi dengan Indeks gini terbesar, memiliki ketimpangan paling tinggi dibandingkan lainnya.

Kabupaten Labuhan Batu dan Langkat memiliki ketimpangan yang memburuk, yang pada tahun 2010 termasuk sebagai sepuluh kabupaten/kota dengan nilai indeks gini terendah, dan pada periode berikutnya menurun dan masuk sebagai kabupaten/kota dengan nilai Indeks gini tertinggi. Berkebalikan dengan kabupaten Nias justru berpindah dari posisi keempat kabupaten/kota

dengan indeks gini tertinggi, dan pada periode berikutnya masuk sebagai kabupaten/kota dengan nilai indeks gini terendah yang berarti terjadi perbaikan ketidakmerataan. Perkembangan indeks gini di setiap kabupaten/kota selama periode tahun 2010-2016 dapat dilihat pada Lampiran 3.

Perubahan distribusi pendapatan dapat dilihat dari perubahan nilai indeks gini, dengan nilai yang positif maupun negatif. Perubahan positif berarti terjadi peningkatan ketidakmerataan atau distribusi yang semakin timpang, perubahan negatif sebaliknya terjadi penurunan ketidakmerataan. Berdasarkan selisih nilai indeks gininya, kabupaten Deli Serdang, Samosir, Labuhanbatu Utara, Simalungun, Padang Lawas, Tapanuli Utara dan kota Sibolga mempunyai selisih yang semakin besar. Provinsi-provinsi tersebut pada tahun 2010-2011 memiliki selisih Indeks gini negatif, tetapi pada periode berikutnya memiliki selisih Indeks gini positif. Berkebalikan dengan kabupaten Nias Selatan, Tapanuli Tengah, Nias Barat, Karo, Batu Bara, kota Tebing Tinggi dan Gunungsitoli pada tahun 2010-2011 memiliki selisih Indeks gini positif. Pada tahun 2010-2011-2012 memiliki selisih Indeks gini negatif yang berarti terjadi perbaikan pada distribusi pendapatan, bahkan masuk sebagai sepuluh kabupaten/kota dengan selisih terkecil. Demikian juga dengan kabupaten Humbang Hasundutan, Labuhanbatu Utara, Labuhan Batu, Langkat, Dairi, Tapanuli Selatan dan kota Sibolga yang pada tahun 2011-2012 memiliki selisih Indeks gini positif, pada tahun 2013-2014 memiliki selisih negatif. Perkembangan Selisih Indeks gini di setiap provinsi selama tahun 2011-2016 dapat dilihat pada Lampiran 4.

Nilai Indeks gini tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2010, maka secara rata-rata mengalami peningkatan dari 0,279 (2010) menjadi 0,295 (2016).

Tiga belas kabupaten/kota memiliki selisih nilai Indeks gini negatif yang berarti pada tahun 2016 mengalami perbaikan distribusi pendapatan dibandingkan tahun 2010. Kabupaten/kota tersebut yaitu Nias Selatan, Nias Selatan, Samosir, Nias, Pakpak Bharat, Medan, Humbang Hasundutan, Nias Utara, Simalungun, Labuhanbatu Selatan, Toba Samosir, Nias Barat dan Mandailing Natal (berdasarkan urutan selisih Indeks gini terkecil). Sedangkan kabupaten/kota Tanjungbalai, Labuhan Batu, Padang Lawas, Karo dan Pematangsiantar merupakan lima kabupaten/kota dengan selisih Indeks gini terbesar, yang berarti mengalami peningkatan ketidakmerataan (Gambar 4.4).

Gambar 4.4

Selisih Indeks Gini Tahun 2010 dan 2016 Menurut Kabupaten/Kota Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

4.4. Kemiskinan

Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata persentase penduduk miskin (P0) memiliki kecenderungan untuk menurun selama

menunjukkan kecenderungan yang sama sejak tahun 2010 hingga tahun 2016, yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2013, secara rata-rata P0 menurun dibanding sebelumnya, peningkatan standar deviasi menunjukkan kemiskinan yang semakin timpang di tingkat kabupaten/kota (Tabel 4.3). Pada tahun 2013 dan 2015 terjadi peningkatan rata-rata jumlah penduduk miskin dibanding sebelumnya, demikian juga standar deviasinya yang mengindikasikan jumlah penduduk miskin di tingkat kabupaten/kota yang semakin timpang. Naiknya inflasi, turunnya nilai tukar petani dan tingginya tingkat penganguran terbuka merupakan penyebab utama peningkatan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang menurun pada tahun 2013 dan 2015 setidaknya turut berpengaruh terhadap upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Hingga tahun 2016 nilai ini menurun, yang menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin di tingkat kabupaten/kota.

Sehingga, walaupun berdasarkan nilai P0 pada tahun 2016 menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan yang semakin beragam antar kabupaten/kota dibandingkan tahun sebelumnya, secara jumlah menunjukkan penurunan di keseluruhan kabupaten/kota (Tabel 4.3)

Tabel 4.3

Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2016

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

P0 (Persentase Penduduk Miskin)

Rata-rata 14,191 13,505 13,005 12,860 12,137 12,952 12,606 Standar

Deviasi 6,586 6,255 6,069 6,304 5,809 6,018 5,5957 Jumlah Penduduk Miskin

Rata-rata 44,760 43,073 42,437 42,920 41,230 44,353 44,119 Standar

Deviasi 38,457 36,983 36,433 38,324 36,874 38,919 39,152

Sumber: www.bps.go.id, diolah tahun 2019

Berdasarkan perubahan persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan selisih nilai P0, kota Gunungsitoli yang secara rata-rata jumlahnya selalu mengalami penurunan jumlah penduduk miskin selama tahun 2010-2016 juga mengalami penurunan P0 yang mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan di kota tersebut. Kabupaten/kota Nias, Mandailing Natal, Labuhan Batu, Dairi, Karo, Pakpak Bharat, Samosir, Padang Lawas, Labuhanbatu Selatan, Sibolga, Tebing Tinggi dan Padang Sidempuan mengalami perbaikan selama tahun 2010-2014 baik dari segi jumlah penduduk miskin maupun persentasenya mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan, meskipun di tahun berikutnya terjadi peningkatan. Perkembangan perubahan persentase penduduk miskin (P0) tahun 2010-2016 dapat dilihat pada Lampiran 5.

4.5. Hasil Penelitian

4.5.1 Analisis Pro-poor Growth Index (PPGI) Provinsi Sumatera Utara

Tabel 4.4

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.225797 0.234576 -5.225587 0.0034

LOG(PDRB) 0.058705 0.132744 0.442244 0.6768

R-squared 0.037643

Adjusted R-squared -0.154828 S.E. of regression 0.037892

F-statistic 0.195580

Prob (F-statistic) 0.676787

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGGINI= -1.225797+0.058705LOGPDRB+ε

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai β yang didapat sebesar 0.058705 Artinya peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.058705 persen (Tabel 4.4).

Tabel 4.5

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan terhadap Kemiskinan

Adjusted R-squared 0.025180 S.E. of regression 0.043424

F-statistic 1.077490

Prob (F-statistic) 0.422344

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGPMISKIN = 1.895504+ 0.225881LOGPDRB-0.053117LOGGINI +ε

Dari hasil pengolahan didapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kemiskinan dengan nilai elastisitas 0.225881. Dan peningkatan ketimpangan pendapatan berhubungan negatif dengan kemiskinan, artinya setiap penurunan tingkat ketimpangan sebesar 1 persen maka kemiskinan akan meningkat sebesar 0.053117 persen.

Tabel 4.6

Dekomposisi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Netto terhadap Kemiskinan

0.225881 -3,118233 -2,892352

Berdasarkan data pada Tabel 4.6, nilai elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (λ) sebesar -2.892352. Kemiskinan turun sebesar

0.225881 persen jika ada pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, namun karena adanya efek ketimpangan pendapatan, maka kemiskinan turun menjadi sebesar 2,892352 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa efek penurunan ketimpangan pendapatan yang terjadi bukan hanya menaikan keefektifan dari pengaruh pertumbuhan ekonomi, namun malah menurunkan angka kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada periode tersebut meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun peningkatan ketimpangan pendapatan tersebut justru menurunkan kemiskinan.

Pro Poor Growth Index

Hasil penghitungan pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa λ bernilai -2.892352 sedangkan γ bernilai 0.225881 sehingga:

  = -12.804760

Berdasarkan kriteria Kakwani dan Pernia (2000), hasil  sebesar

-12.804760 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Sumatera Utara anti poor (anti poor growth). Jadi meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai mampu menurunkan ketimpangan pendapatan namun tidak pro kepada pengentasan kemiskinan

1. Kabupaten Nias

Tabel 4.7

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.341866 0.727615 -1.844197 0.1245

LOG(PDRB) 0.000771 0.405279 0.001903 0.9986

R-squared 0.000001

Adjusted R-squared -0.199999 S.E. of regression 0.122377

F-statistic 3.62E-06

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGGINI = -1.341866+0.000771LOGPDRB+ε

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai β yang didapat sebesar 0.000771 Artinya peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.000771 persen (Tabel 4.7).

Tabel 4.8

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan terhadap Kemiskinan

Adjusted R-squared 0.173791 S.E. of regression 0.060213

F-statistic 1.631044

Prob (F-statistic) 0.303387

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGPMISKIN = 2.342954+ 0.355716LOGPDRB+ 0.061881LOGGINI +ε

Dari hasil pengolahan didapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kemiskinan dengan nilai elastisitas 0.355716. Dan peningkatan ketimpangan pendapatan berhubungan positif dengan kemiskinan, artinya setiap penurunan tingkat ketimpangan sebesar 1 persen maka kemiskinan akan menurun sebesar 0.061881 persen.

Tabel 4.9

Dekomposisi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Netto terhadap Kemiskinan

Berdasarkan data pada Tabel 4.9, nilai elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (λ) sebesar 5,126741.Kemiskinan turun sebesar 0.355716 persen jika ada pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, namun karena adanya efek ketimpangan pendapatan, maka kemiskinan naik menjadi sebesar 5,126741 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa efek peningkatan ketimpangan pendapatan yang terjadi bukan hanya menaikan keefektifan dari pengaruh pertumbuhan ekonomi, namun malah menaikan angka kemiskinan.Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada periode tersebut meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun peningkatan ketimpangan pendapatan tersebut justru meningkatkan kemiskinan.

Pro Poor Growth Index

Hasil penghitungan pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa λ bernilai 5,126741 sedangkan γ bernilai 0.355716 sehingga:

  = 14,412455

Berdasarkan kriteria Kakwani dan  Pernia (2000), hasil sebesar

14,412455 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Kabupaten Nias sangat pro-poor.

2. Kabupaten Mandailing Natal

Tabel 4.10.

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.747861 1.428496 -1.223567 0.2756

LOG(PDRB) 0.268513 0.781441 0.343613 0.7451

R-squared 0.023069

Adjusted R-squared -0.172317 S.E. of regression 0.061628

F-statistic 0.118070

Prob (F-statistic) 0.745115

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGGINI = -1.747861+ 0.268513LOGPDRB+ε

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai β yang didapat sebesar 0.268513 Artinya peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.268513 persen (Tabel 4.10).

Tabel 4.11

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan terhadap Kemiskinan

Adjusted R-squared 0.954310 S.E. of regression 0.023949

F-statistic 63.65974

Prob (F-statistic) 0.000928

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGPMISKIN = 9.490403-3.369804LOGPDRB+ 0.744839LOGGINI +ε

Dari hasil pengolahan didapat bahwa pertumbuhan ekonomi akan menurunkan kemiskinan dengan nilai elastisitas -3.369804. Dan peningkatan ketimpangan pendapatan berhubungan positif dengan kemiskinan, artinya setiap penurunan tingkat ketimpangan sebesar 1 persen maka kemiskinan akan menurun sebesar 0.744839 persen.

Tabel 4.12

Dekomposisi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Netto terhadap Kemiskinan

-3.369804 0,199998 -3,169806

Berdasarkan data pada Tabel 4.12, nilai elastisitas netto kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (λ) sebesar -3.169806. Kemiskinan seharusnya turun sebesar 3.369804 persen jika ada pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, namun karena adanya efek ketimpangan pendapatan, maka kemiskinan turun menjadi sebesar 3,169806 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa efek peningkatan ketimpangan pendapatan yang terjadi bukan hanya mengurangi keefektifan dari pengaruh pertumbuhan ekonomi, namun malah menurunkan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada periode tersebut mengurangi ketimpangan pendapatan, namun pengurangan ketimpangan pendapatan tersebut justru menurunkan kemiskinan.

Pro Poor Growth Index

Hasil penghitungan pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa λ bernilai -3,169806 sedangkan γ bernilai -3.369804 sehingga:

  = 0,940649

Berdasarkan kriteria Kakwani dan  Pernia (2000), hasil sebesar 0,940649 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal pro-poor growth.

3. Kabupaten Tapanuli Selatan

Tabel 4.13

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Ketimpangan Pendapatan

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -1.341866 0.727615 -1.844197 0.1245

LOG(PDRB) 0.000771 0.405279 0.001903 0.9986

R-squared 0.000001

Adjusted R-squared -0.199999 S.E. of regression 0.122377

F-statistic 3.62E-06 Prob (F-statistic) 0.998555

Sumber: data diolah Eviews 9

LOGGINI = -1.341866+0.000771LOGPDRB+ε

Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai β yang didapat sebesar 0.000771 Artinya peningkatan PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan ketimpangan pendapatan sebesar 0.000771 persen (Tabel 4.13).

Tabel 4.14

Tabel 4.14

Dokumen terkait