• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

3. Hubungan Antar Sub Model

Sub model dinamika struktur tegakan menjelaskan dinamika jumlah pohon per hektar dan besarnya jumlah tebangan. Sub model Pendapatan menjelaskan besarnya jumlah pendapatan dari penebangan kayu berdasarkan biaya-biaya yang dikeluarkan. Sub model pendugaan stok karbon menjelaskan dinamika besarnya stok karbon. Sub model pendapatan menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang akan didapatkan dari besarnya stok karbon menggunakanplan vivo standart.

Sub model usaha sarang semut menggambarkan potensi pendapatan tambahan dari pengusahaan sarang semut. Sub model minyak lawang mensimulasikan pendapatan dari pengusahaaan minyak lawang. sedangkan sub model usaha sagu merupakan simulasi tentang pendapatan yang dihasilkan dari pengusahaan sagu. Alternatif usaha hasil hutan bukan kayu tersebut dilakukan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan berbasis karbon tidak bisa menutupi besarnya biaya tetap yang harus dikeluarkan.

Gambar 2 Hubungan antar sub model.

4. Spesifikasi Model

Data yang digunakan untuk menduga parameter-parameter model dinamika struktur tegakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Data jumlah pohon per hektar (n/ha).

2. Persamaan Ingrowth pada penelitian ini menggunakan persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS. Untuk persamaan Upgrowth Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2, dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha adalah jumlah pohon per hektar, LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha) dan Dbh adalah diameter setinggi dada (cm).

3. PersamaanMortality

Nilai mortality rate pada KD<60cm diasumsikan sebesar 8 % dan untuk KD>60cm sebesar 5%. (Eliaset al.2006).

4. Penerimaan kayu = n/ha 40up x Vol kayu x harga kayu (diasumsikan harga kayu Rp. 2.000.000/m3). Pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan, biaya pemanenan dan pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai total penerimaan dikurangi total pengeluaran.

5. Persamaan Penduga Biomassa Pohon

Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan persamaan alometrik Brown (1997) dengan r²=0,97. Persamaan ini diterapkan pada zona iklim lembab dengan curah hujan sebesar 1500-4000 mm/th dimana curah hujan di lokasi penelitian yaitu 3493 mm/th.

B = exp [-2,134 + 2,530 x ln(d)] Dimana : B = biomassa per pohon (kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm). 6. Besarnya Kandungan karbon Tersimpan

Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50% dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan biomassa dapat dirubah kedalam bentuk karbon (tonC/ha).

Karbon (C) = B x 0,5

Dimana : C= Jumlah karbon (tonC/ha).

7. Biaya perdagangan karbon dengan skema plan vivo standartterdiri dari biaya validasi sebesar US$ 12500 per waktu validasi (5 th), biaya verifikasi sebesar US$ 30000 per waktu verifikasi (5 th) dan upah sertifikat CO2 sebesar US$ 0,30 per karbon yang terjual. (Kementerian Kehutanan 2009b).

8. Pendapatan Karbon diperoleh dari perkalian stok karbon dengan harga karbon yang berlaku, dengan asumsi harga karbon US$5/tonC, dan 1US$ = Rp. 8.500. 9. Pendapatan sarang semut diperoleh dari selisih antara cost dan income yang

dihasilkan dari pemanfaatan sarang semut.

10. Pendapatan minyak lawang diperoleh dari hasil penjualan dengan harga pasaran Rp. 500.000,-/L dan biaya pengolahan minyak terlampir padaprintout persamaan model Lampiran 3.

11. Pendapatan sagu diperoleh dari penjualan tepung sagu dengan harga Rp. 3000,-/Kg dan biaya pengolahan sagu terlampir pada printout persamaan model Lampiran 3.

12. Kelayakan finansial

a. Net Present Value(NPV)

NPV= t n t i Ct Bt ) 1 ( 1  

b. Benefit Cost Ratio(BCR)

BCR=

    n t t t n t t t i C i B 1 1 ) 1 ( ) 1 (

Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t

t = umur proyek (tahun)

i =discount rateyang berlaku (%) c. Internal Rate of Return(IRR)

Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan. Inti analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu kegiatan atau usaha adalahfeasibleapabila pendapatan > dari pengeluaran.

IRR= (2 1) 2 1 1 1 x i i NPV NPV NPV i   

Dimana : i1 =discount rateyang menghasilkan NPV positif i2 =discount rateyang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV yang bernilai positif, NPV2 = NPV yang bernilai negatif

5. Evaluasi Model

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui kelogisan yang dibuat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh diantaranya dengan cara membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

6. Penggunaan Model

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami perilaku model, serta mengetahui kecenderungan di masa mendatang.

3.4 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan untuk mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut memungkinkan memenuhi kebutuhan hidup manusia akan produksi hasil hutan maupun jasa secara berkelanjutan dan jangka panjang. Suatu skenario disusun untuk keperluan pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang diperoleh. Beberapa skenario yang akan dijalankan adalah sebagai berikut :

1. Skenario 1, pengelolaan hutan murni 100% untuk usaha kayu menggunakan sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan.

2. Skenario 2, pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon ketika moratorium penebangan berlaku. Pada pengelolaan hutan ini 100% kawasan digunakan sebagai penyerapan karbon.

3. Skenario 3, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sarang semut.

4. Skenario 4, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sarang minyak lawang.

5. Skenario 5, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha sagu.

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang tergabung dalam KODECO GROUP. Ijin Pemanfaatan Hutan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No. 1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November 1992, seluas 691.700 ha yang kemudian diperbaharui berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas 677.310 hektar. Dalam kegiatan pengelolaan hutan, PT. Mamberamo Alasmandiri membagi areal kerjanya menjadi 2 unit kelestarian, yaitu : Unit Aja dan Unit Gesa dimana keduanya melakukan kegiatan operasional secara terpisah (PT. MAM 2009).

4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk ke dalam kelompok hutan Sungai Mamberamo-Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua (PT.MAM 2009).

4.3 Topografi dan Kelerengan

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari datar sampai bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 100- 648 m dpl. Kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%) (PT. MAM 2009).

4.4 Tanah dan Geologi

Jenis tanah di IUPHHK ini terdiri dari tanah aluvial, latosol, regosol, podzolik dan litosol. Struktur geologi khususnya di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan.

Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antiklin dan siklin. Antiklin penting dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran S. Gesa yang mengalir ke utara (PT. MAM 2009).

4.5 Iklim dan Intensitas Hujan

Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Aja tahun 2010 diperoleh curah hujan rata-rata adalah sebesar 3.493,33 mm/tahun dan tingkat minimum hujan yang terjadi pada bulan September (156,51 mm/bulan) dan maksimum terjadi pada bulan Mei (591,40 mm/bulan). Berdasarkan data curah hujan pada tahun 2010, kawasan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk dalam klasifikasi iklim lembab. Data curah hujan bulanan pada tahun 2010 dapat dilihat pada gambar berikut. (PT. MAM 2009).

Gambar 3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010.

4.6 Keadaan Hutan

Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US band 542, Mozaik Path 102 Row 62, liputan tanggal 19 November 2005 dan Path 103 Row 62 Liputan tanggal 8 Juli 2006 disajikan pada tabel berikut (PT. MAM 2009)

Tabel 3 Penutupan vegetasi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

Penutupan Lahan Fungsi Hutan (Ha) BZ Jumlah Persen

HPT HP HPK

1. Hutan Primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55,00% 2. Hutan Bekas Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,40%

3. Non Hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,80%

4. Hutan Rawa Primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,90%

5. Hutan Rawa Bekas Tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,30%

6. Non Hutan Rawa - 71 1.111 - 1.182 0,20%

7. Tubuh Air / Danau - 636 - 12 648 0,10%

8. Tertutup Awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,30%

Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100,00%

Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007 (PT.MAM 2009).

4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Penduduk asli di sekitar kelompok hutan S.Mamberamo-S.Gesa adalah suku Baudi Bira, Kerema, Obagui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan suku Haya. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri meliputi mencari ikan, bercocok tanam dengan berladang berpindah, dan “meramu” (mencari sagu, umbi dan berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian (PT. MAM 2009).

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan

Petak yang diukur dalam penelitian ini adalah petak ukur permanen (PUP) dengan luas 100 m x 100 m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak mengalami pemeliharaan, yaitu : pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009 petak 4, petak 5 dan petak 6. Data pertumbuhan tegakan tahun 2009 dan 2010 diperoleh dari data sekunder perusahaan. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa pada hutan bekas tebangan memiliki kondisi tempat tumbuh sama dan karakteristik tegakan yang homogen. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari langsung masuk kemudian diterima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis. Sinar matahari tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon. Struktur tegakan pada masing-masing kelas diameter dapat dilihat seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan. Hasil dari pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (n/ha) pada hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-19 cm hingga pohon- pohon berdiameter >60 cm (KD 60up) seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Rekapitulasi data komposisi tegakan

Jenis 1019 2029 3039 4049 5059 60up Jumlah

Komersil 128 42 15 7 3 3 209

Non komersil 11 9 3 5 3 24 59

Rimba campuran 87 17 5 7 1 2 129

Total 226 68 23 19 7 29 397

Sumber : hasil rekapitulasi data

Pada hutan bekas tebangan untuk pohon inti didominasi oleh jenis-jenis komersil dan rimba campuran karena telah dilakukan pemanenan pada kelas diameter 40cm up dan hanya menyisakan permudaan pohon yang dihasilkan dari regenerasi pohon induk melalui penyebaran biji yang jatuh kemudian tumbuh. Sedangkan pada pohon layak tebang lebih didominasi oleh jenis non komersil karena pada saat kegiatan penebangan, jenis non komersil tidak diproduksi.

Data komposisi tegakan tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan model simulasi dinamika struktur tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI dimana parameter-parameternya merupakan fungsi dari kerapatam tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri atas fungsi ingrowth, upgrowth,danmortality.

5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI

Sistem TPTI merupakan sistem tebang pilih tegakan tidak seumur berdasarkan limit diameter tebangan yang dilakukan untuk meningkatkan riap dan mempertahankan keanekaragaman hayati dengan terbentuknya struktur hutan dalam rangka memperoleh panen yang lestari (Kementerian Kehutanan 2009c). Siklus tebang yang digunakan dalam sistem TPTI adalah 35 tahun yang diharapkan pada jangka waktu tersebut bisa memperoleh tegakan dengan diameter layak tebang minimal 25 pohon per hektar. Untuk menduga potensi tersebut perlu upaya simulasi yang dapat memproyeksikan potensi tegakan pada siklus tebang berikutnya. Selain itu, dilakukan pula simulasi terhadap penurunan jangka waktu siklus tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Dalam membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, serta penggunaan model.

5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009 menyebabkan besarnya volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan tegakan yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu simulasi yang bertujuan untuk menduga potensi tegakan dan proyeksi pendapatan yang dihasilkan dari simulasi skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI pada siklus tebang berikutnya.Batasan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.

2. Struktur tegakan adalah banyaknya pohon per satuan luas (per hektar) pada setiap kelas diameter.

3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter (KD) terkecil selama periode waktu tertentu.

4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya selama periode waktu tertentu.

5. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.

6. Hasil tebangan diperoleh dari pemanenan pohon berdiameter 40 cm up. 7. Penerimaan diperoleh dari penjualan kayu hasil produksi.

8. Pengeluaran terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu.

5.2.2 Konseptualisasi Model

Model konseptual yang dikembangkan dapat dideskripsikan melalui stok dan aliran. Sub model akan saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang dibuat, terdiri dari : sub model dinamika struktur tegakan dan sub model pendapatan kayu.

Sub model dinamika tegakan mensimulasikan proyeksi tegakan masing- masing kelas diameter yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, luas bidang dasar tegakan, pertumbuhan, dan kematian. Sub model dinamika tegakan merupakan sub model yang paling penting karena dapat mempengaruhi sub model lainya. Sub model pendapatan kayu menggambarkan potensi pendapatan yang akan diperoleh dalam suatu waktu melalui produksi kayu layak tebang setelah dikurangi dengan biaya produksi kayu. Sub model pendapatan kayu dipengaruhi oleh sub model dinamika tegakan karena pendapatan kayu dihasilkan dari panen pohon layak tebang pada kelas diameter 40cm up.

5.2.3 Spesifikasi Model

5.2.3.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan

Pembentukan model dinamika struktur tegakan bertujuan untuk mensimulasikan potensi tegakan per hektar pada hutan bekas tebangan setiap tahunnya sehingga dapat diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada waktu tertentu. Model ini merupakan model inti yang sangat berpengaruh terhadap sub model yang lainnya. Parameter yang menjadi acuan dalam sub model yang lainnya diantaranya adalah jumlah pohon masak tebang masing- masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar.

Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas bidang dasar tegakan. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari yang masuk langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon.

Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh luas bidang dasar tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam pengukuranya, karena pengukuran diameter memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari pada volume tegakan yang menggunakan parameter tinggi pohon, dimana pengukuran tinggi pohon di ukur dengan menggunakan taksiran bukan pengukuran langsung sebenarnya sehingga tingkat ketelitian pada pendugaan volume sangat kecil.

Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.

Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi. Aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran materi KD yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada selang waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan pohon dalam KD disebabkan oleh faktoringrowth, upgrowth,danmortality.

Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan jumlah pohon per hektar. Ingrowth dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon dari hasil pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil (KD1019) selama periode satu tahun. Persamaaningrowthyang digunakan di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha merupakan jumlah pohon per hektar, dan LBDS adalah luas bidang dasar (m2/ha).

KD1019 Ingrowth Teb 60up Upg1 KD3039 KD2029 KD4049 TingkatKematianLogging1 NHA D1 D2 KD5059 KD60up Teb 60up

Upg2 Upg3 Upr4 Upg5

TingkatKematianLogging2 D3 D4 D5 D6 LBDSTot Daur TingkatKematianLogging3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging5 TingkatKematianlogging6 LBDSTot NHA Panen Teb 4049 PendugaanVolume 60up

Vol teb 60up

LBDSTot Pendugaan vol 5059 Teb 5059 Vol Teb 5059 Teb 4049 Vol Teb 4049 Pendugaan Vol 4049 Teb 5059

Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Upgrowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon. Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur tegakan ini di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh–0,00012 Dbh2.

Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan. Nilai mortality rate pada diameter <60 cm diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan untuk kelas diameter >60 cm sebesar 5%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian Elias et al. (2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau seluruh kelas diameter.

Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah pohon yang ditebang, sistem silvikultur, dan penerapan metode penebangan yang digunakan. Padastate variable KD4049, KD5059, dan KD60up terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu penebangan. Kegiatan penebangan ini tidak dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus tebang. Besarnya penebangan ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan jumlah pohon pada masing-masing KD.

Jumlah pohon layak tebang yang diperoleh dari KD4049, KD5059, dan KD60up kemudian dikonversi ke dalam volume (m³) menggunakan rumus umum pendugaan volume, yakni V = 0,25*3,14*(d^2)*t dimana d adalah diameter (cm) dan t adalah tinggi pohon (taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen, data tersebut akan digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai pendapatan bersih dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar pada skema pengelolaan hutan.

5.2.3.2 Sub Model Pendapatan Kayu

Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan yang berasal dari pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan diperoleh dari penjualan kayu layak tebang, sedangkan pada pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan, biaya produksi dan biaya manajemen sebagai biaya tetap. Pendapatan dari penebangan diperoleh dari hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up (dalam volume) yang kemudian di konversi ke harga kayu yang diasumsikan sebesar Rp. 2.000.000,-/m³, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan hutan diacu dari laporan tahunan perusahaan. Hal utama yang mempengaruhi sub model pendapatan ini adalah jumlah pohon layak tebang yang dipengaruhi oleh tingkat kematian dan jumlah pohon yang berasal dari KD3039. Pada sub model ini menggunakan suku bunga 10% untuk menghitung nilai kelakayan usaha dari masing-masing skenario pengelolaan hutan. Suku bunga tersebut merupakan suku bunga yang berlaku saat penelitian berlangsung.

Gambar 6 Sub model pendapatan.

5.2.4 Evaluasi Model

Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sistem nyata. Evaluasi model dilakukan terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian

Penyusunan RKT Penerimaan Pengeluaran PenebanganCL Teb 60up SukuBunga Daur NPV Conv Teb 5059 Pelatihan HargaKayuB Daur Pengamanan Hutan PWH PemeliharaanAlatBangunan PemeliharaaanJalan PerlindunganHutan Penjarangan PenanamanPengayaan Gaji&Tunjangan Rehabilitasi lahan

Operasional & adm camp PersemaianPembibitan

PAK

BinaDesa

ITT

PBB

Pemeliharaan tata batas Penyiapan lahan MuatBongkar Pengupasan kulit Pengangkutan Pengapalan DR&IHH BiayaBinHut Biaya Tetap InspeksiBlok Biaya Pemanenan PerencanaanOperasionalPemanenan ITSP PenandaanJalanSarad KontruksiJalanSarad Penyaradan Penebangan Vol teb 60up

Pemeliharaan Tanaman Pembagian batang Biaya Pemanenan BCR Vol Teb 5059 Vol Teb 4049 Teb 4049 Sub model Pendapatan

tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan dengan membandingkan struktur tegakan hasil simulasi dan data aktual pada tahun ke-2 dan ke-3.

Dokumen terkait