• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan

Skenario pengelolaan hutan dibuat untuk mengetahui manfaat terbaik yang diperoleh dari alternatif skenario pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Berikut adalah beberapa skenario yang akan disimulasikan dalam penelitian.

2.5.1 Pengelolaan Hutan untuk Penyerapan Karbon

Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap tahunnya. Hal ini tidak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3. Maraknya pembalakan liar mengakibatkan ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin merusak hutan. Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Smithet al.2002).

Perlu adanya tindakan pengurangan penebangan atau bahkan penghentian sementara (moratorium) eksploitasi kayu agar kelestarian tegakan bisa terjaga. Moratorium penebangan adalah penundaan dan atau pengurangan produksi kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian tegakan dan carbon sinkdari hutan serta serapan karbon di atmosfer. Tujuan dari pemberlakuan moratorium adalah mempertahankan stok tegakan dan hutan yang diharapakan mampu mengurangi emisi global (IFCA 2007).

Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium, maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu nasional sehingga dapat mengurangi pendapatan negara dari sektor kehutanan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH dan 77 perusahaan HTI. Lebih lanjut menjelaskan bahwa perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu seluas 1,84 juta hektar dengan potensi sebesar 79,69 juta m3 hingga 2018 (Departemen Kehutanan 2009).

2.5.2 Kombinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat serta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi global sebesar 26%, maka diperlukan suatu tindakan pola adapatasi lingkungan dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah satunya dengan mengkombinasikan pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu dengan penyerapan karbon agar keseimbangan iklim dan pemenuhan kebutuhan kayu terpenuhi. Untuk itu, dibutuhkan suatu formula yang tepat agar kelestarian tegakan dan pendapatan negara dari sektor kehutanan tidak terlalu menurun. Dengan skenario tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian stok tegakan dan mengurangi laju deforestasi di Indonesia, selain itu juga dapat mengurangi pemanasan global dengan cara mempertahankan fungsi tegakan sebagai penyerap emisi. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah bagi pendapatan negara dari sektor kehutanan yang dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan karbon.

2.5.3 Sarang Semut

Skenario pengusahaan yang dapat dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon adalah usaha hasil hutan non kayu melalui pengelolaan sarang semut yang memiliki potensi besar di Papua dan banyak diminati konsumen belakangan ini. Skenario tersebut dilakukan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku di Indonesia dan pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari jasa penyerapan karbon tidak dapat memenuhi besarnya pengeluaran perusahaan.

Sarang semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry.) merupakan tumbuhan dari family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit menempel pada tumbuhan lain. Ukuran sarang semut juga beragam. Biasanya bagian umbi sarang semut mengalami proses menggelembung sejalan dengan pertambahan usia tanaman. Daunnya juga beragam, ada yang bulat lonjong, memanjang, namun rata-rata umbinya melonjong dengan tebaran duri bersusun pada pola tertentu di bagian luarnya. Di dalam umbi itu terdapat labirin yang dihuni oleh semut dan cendawan. Daging umbi tanaman itulah yang diiris tipis-tipis, kemudian dijemur dan dijadikan obat herbal (Subroto 2007).

Gambar 1 Tumbuhan sarang semutMyrmecodia pendansMerr. & Perry. Menurut Subroto dan Hendro (2006), klasifikasi dari tumbuhan sarang semut adalah sebagai berikut :

Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliospida Subkelas : Lamiidae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Myrmecodia

Spesies :Myrmecodia pendansMerr. & Perry

Genus sarang semut tersebut dibagi menjadi beberapa spesies berdasarkan struktur umbinya. Hydnophytum terdiri dari 45 spesies dan Myrmecodia 26 spesies. Tumbuhan sarang semut telah terbukti dapat menyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, antara lain : kanker, tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Sarang semut mengandung flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan, dan bisa mencegah sekaligus mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja Flavonoid dalam mengatasi kanker dengan cara menonaktifkan karsinogen (Subroto & Hendro 2006).

Disamping itu, sarang semut juga mengandung tokoferol serupa dengan vitamin E yang berefek antioksidan efektif. Tekoferol berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas bebas dan sebagai antikanker. Dilihat dari kandungannya, maka sarang semut hampir bisa mengatasi berbagai jenis kanker. selain itu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan kebocoran jantung. Senyawa flavonoid dalam serbuk maupun ekstrak air sarang semut berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Bustanussalam 2010).

2.5.4 Minyak Lawang

Pohon lawang (Cinnamomum culilawanBL) dikelompokkan sebagai salah satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest product) yang masuk dalam kelompok jenis yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Berbeda dengan produk minyak atsiri lainnya, minyak lawang lebih khas, panas, dengan banyak multi fungsi. Persediaan minyak lawang di pasaran, masih sangat terbatas, sementara permintaan terus meningkat. Kondisi ini terjadi dikarenakan daerah yang menghasilkan minyak ini hanya berasal dari Indonesia bagian Timur. Persebaran pohon penghasil minyak lawang banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur, terutama di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua. Pohon yang mempunyai genus sama dengan species ini adalah pohon kayu manis, kulit pohon ini di Pulau Jawa banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional (Anonim 2011).

Rekayasa teknologi diperlukan untuk mengolah bahan kulit pohon lawang menjadi produk yang siap dipasarkan dengan nilai jual tinggi guna mendapatkan nilai tambah (value added). Klasifikasi dari pohon lawang adalah sebagai berikut.

Familia : Lauraceae Genus : Cinnamomum

Species :Cinnamomum culilawanBL.

Tahapan proses pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil minyak lawang berkualitas, yaitu : pemilihan bahan baku, sortir bahan baku, penghalusan bahan baku, proses penyulingan dan pemisahan minyak lawang dengan air. Alat distilasi minyak lawang, dilengkapi dengan suhu dan tekanan. Dengan menggunakan alat distilasi tersebut diatas mampu menghasilkan minyak lawang dengan kualitas prima, dengan rendemen cukup tinggi sebesar 4,2% dengan waktu penyulingan yang sangat cepat, hanya 2 jam 15 menit, sehingga dapat menghemat bahan bakar cukup banyak. Limbah hasil penyulingan minyak lawang, biasanya hanya dibuang begitu saja, walaupun masih mempunyai kandungan minyak lawang, yang tentu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk. Limbah minyak lawang yang berupa bubur kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk param dan lulur (Anonim 2010).

2.5.5 Sagu

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili Calamoideae dari familiPalmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin Metroxylonspp, berasal dari 2 (tiga) kata yaituMetrayang berarti empulur,Xylon yang berarti Xylem dan sagu menunjukkan kepada pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu dianggap penting karena menghasilkan pati yang merupakan sumber karbohidrat. (Flach 1983)

Sagu memiliki potensi yang baik, yaitu : produksinya tinggi, dapat tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis. Tanaman sagu sendiri mulai bisa dipanen setelah berumur 5-10 tahun. Setiap tahun akan tumbuh tunas dan anakan baru dengan tingkat produksi yang juga tinggi. Pemanenan sagu saat ini dilakukan dengan cara tradisional dengan teknologi sederhana yaitu dengan penebangan kemudian diambil empulurnya, dihaluskan dan disaring pati dari sagu tersebut lalu dikeringkan.

Pada umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Habitat sagu adalah rawa, di sekitar daerah sumber air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah (pH) antara 3,7 sampai 6,5 dan suhu diatas 25⁰C. (Yumte 2008)

Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Djoefrie (1999), daerah utama kawasan sagu di nusantara adalah Papua, Maluku, Sulawesi terutama Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan terutama Kalimantan Barat, serta Sumatera terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai ke Banten. Luas Hutan sagu sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Luas hutan sagu di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta hektar yang tersebar di Papua 800.000 ha, Maluku 50.000 ha, Sulawesi 40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 32.000 ha dan sisanya di Jawa.

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. (Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2007). Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha, jauh melebihi pati beras dan jagung yang hanya 6 ton per ha dan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha. (Yuniarsih 2009)

Dokumen terkait