• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Pengelolaan Hutan Kombinas

5.4.1 Sub Model Pengusahaan Sarang Semut

Myrmecodia pendans atau lebih dikenal dengan sebutan sarang semut, merupakan tanaman berkhasiat yang berasal dari tanah Papua. Belakangan tanaman ini marak diperbincangkan karena diyakini memiliki khasiat luar biasa untuk mengobati berbagai macam penyakit berat, antara lain : kanker, tumor, gangguan jantung terutama jantung koroner, stroke ringan maupun berat, ambeien (wasir), benjolan-benjolan dalam payudara, gangguan fungsi ginjal dan prostat, haid dan keputihan, melancarkan peredaran darah, migren, paru-paru, rematik, sakit maag dan sebagainya. Hasil penelitian mendapati bahwa tanaman ini mengandung senyawa aktif penting, antara lain : flavanoid, tokoferol, fenolik dan kaya akan berbagai mineral yang berguna sebagai anti-oksidan dan anti kanker.

Sub model usaha sarang semut dibuat untuk mengetahui pendapatan tambahan yang dihasilkan dari pengusahaan sarang semut ketika moratorium penebangan berlaku dan perusahaan mengalihfungsikan hutan untuk penyerapan karbon. Pada skenario ini, komponen biaya terdiri dari biaya pengolahan selama memproduksi sarang semut, biaya kemasan dan biaya pemasaran. Sedangkan pendapatan diperoleh dari hasil penjualan sarang semut dalam bentuk simplisia. Proses pengolahan sarang semut dimulai dari pengunduhan di lapangan, kemudian sarang semut tersebut diiris tipis dan dikeringkan. Hasil dari sarang semut yang

telah dipotong dan dikeringkan dinamakan simplisia. Harga simplisia saat ini Rp.65.000,-/kg dan dalam setahun diasumsikan sebanyak 360 kg simplisia.

Gambar 15 Sub model pengusahaan sarang semut.

Skenario pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat tambahan secara finansial diperlukan ketika kebijakan moratorium penebangan diberlakukan dengan maksud mempertahankan kelestarian tegakan dan menurunkan emisi secara global. Karena jika pengelolaan hutan hanya difokuskan untuk penyerapan karbon saja tidak mencukupi untuk memperoleh keuntungan yang minimal setara dengan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI. Untuk itu perlu formula khusus melalui beberapa skenario untuk mengetahui hasil hutan buan kayu yang berpotensi menambah pendapatan perusahaan. Kombinasi yang mungkin dilakukan oleh perusahaan diantaranya adalah pemanfaatan sarang semut, pemanfaatan minyak lawang, dan pemanfaatan sagu yang memiliki potensi melimpah di sekitar areal kerja perusahaan.

5.4.2 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon + Sarang Semut

Pada sub model pengelolaan sarang semut, keuntungan tambahan yang akan diperoleh perusahaan disamping dari pembayaran kompensasi penyerapan karbon adalah sebesar Rp. 7.823.608,- /ha. Nominal tersebut sedikitnya bisa menutupi kekurangan pendapatan perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon. Skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, akan

Biay a Pendapatan Olah Kemasan Keuntungan Pemasaran harga simplisia simplisia KgperTh SukuBunga NPV SS BCR SS waktu

memperoleh pendapatan tambahan dari pengolahan sarang semut disamping dari kompensasi penyerapan karbon. Besarnya NPV pada skenario kombinasi ini adalah Rp. 17.834.820,-/ha dengan BCR 1,35 dan IRR 23%. Pendapatan dari kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan sarang semut ternyata dapat melebihi pendapatan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI yang hanya Rp. 17.032.509,-/ha jika dikelola dengan benar.

5.4.3 Sub Model Usaha Minyak Lawang

Potensi minyak lawang di Papua cukup melimpah dan khasiat atau kegunaanya pun makin digemari akhir-akhir ini. Minyak lawang yang dihasilkan dari penyulingan berbahan baku kulit pohon lawang merupakan obat gosok yang digunakan untuk meredakan nyeri yang ditimbulkan oleh rematik, pegel, keseleo dan lainya. Selain itu minyak lawang juga digunakan untuk bumbu masak oleh sebagian masyarakat di Bali. Limbah dari penyulingan minyak lawang yang berupa bubur kayu masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku produk diantaranya adalah param dan lulur.

Gambar 16 Sub model usaha minyak lawang.

Sub model ini di buat untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan kulit pohon lawang dengan pengelolaan yang baik. Pengelolaan dimulai dari pengupasan kulit batang pohon yang telah ditebang pada pohon komersil,

hasil suling

bahan bakar

kupas kulit Sortir

Produksi per ha

peny ulingan Biay a 1Ha

pemasaran miny ak kemas harga per mL pendapatan miny ak NPV Miny ak BCR miny ak Jk waktu SukuBunga cacah upah pekerja

kemudian dilakukan pemilihan (sortir) kulit pohon yang memiliki kualitas baik, setelah itu dilakukan pencacahan pada kulit pohon tesebut hingga berbentuk potongan-potongan kecil atau bahkan serbuk untuk memudahkan dalam proses penyulingan, pencacahan tersebut dilakukan supaya menghasilkan sari pati yang lebih banyak dari serat-serat potongan tesebut. Kemudian dilakukan proses penyulingan hingga berbentuk minyak murni yang telah terpisah dari air, selanjutnya dilakukan pengemasan dan pemasaran.

Sub model ini terdiri dari komponen biaya, pendapatan dan potensi produksi. Biaya dari pembuatan minyak lawang, yaitu : biaya pengupasan kulit, biaya pemilihan bahan baku, biaya pencacahan bahan baku, biaya penyulingan, biaya pembelian bahan bakar, upah pekerja, biaya pengemasan, dan biaya pemasaran. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari harga jual minyak lawang per mili liter dan potensi produksi minyak hasil sulingan. Harga minyak lawang dipasaran saat ini sebesar Rp. 500.000,- untuk tiap satu liter minyak lawang. sedangkan dalam satu hektar kurang lebih akan menghasilkan 15,75 ℓ dengan asumsi terdapat 21 pohon lawang/ha. Hal ini tentu saja bisa menjadi nilai tambah lain bagi perusahaan jika pemanfaatan kulit pohon lawang dikelola dengan baik. Dalam sub model usaha minyak lawang juga terdapat komponen nilai kelayakan usaha menggunakan suku bunga bank 10% untuk melihat nilai kelayakan usaha minyak lawang tersebut.

5.4.4 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Minyak Lawang

Potensi hasil hutan bukan kayu lain yang dapat dikembangkan oleh perusahaan adalah pengelolaan minyak lawang yang memiliki cukup bahan baku untuk dimanfaatkan. Pengelolaan minyak lawang melalui proses penyulingan membutuhkan bahan baku kulit pohon lawang. Dari hasil simulasi model skenario pemanfaatan minyak lawang, diperoleh besarnya pendapatan yang akan diterima perusahaan adalah Rp, 2.818.051,-/ha. Pendapatan tersebut bisa menjadi alternatif pendapatan tambahan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka mengurangi emisi global.

Pada kombinasi skenario pengelolaan hutan karbon dengan usaha minyak lawang, nilai NPV yang dihasilkan sebesar Rp. 12.829.263,-/ha dengan BCR 1,18 dan IRR sebesar 21%. Nilai-nilai tersebut menunjukan bahwa skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang layak untuk dijalankan, akan tetapi dalam segi pendapatan masih lebih menguntungkan skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha sarang semut yang memiliki pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan minyak lawang.

5.4.5 Sub Model Usaha Sagu

Sagu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia. Sagu bisa dikembangkan sebagai bahan pangan, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Selain itu, bahan tepung sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai di alam dan sebagai sumber energi alternatif (bioetanol).

Gambar 17 Sub model usaha sagu.

Potensi sagu dunia hampir 50% berada di Indonesia yang diperkirakan mencapai satu juta hektar dan sebagian besar berada di daerah Papua salah satunya di Kabupaten Mamberamo Raya. Hal ini dibuktikan dengan tanaman sagu yang berada di sekitar lokasi areal kerja perusahaan cukup melimpah. Sub model usaha sagu ini dibuat untuk melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari

has il perbtg

pis ah pati

penghalus an peny aringan

pengeringan Penebangan

c ac ah em pulur

N PV s agu panen per ha

Kem as s ari buah m erah Bagi btg

Pem as aran buah

J angk a wak tu

BC R s agu

Suk uBunga

Biay a perH a Pendapatan s agu

H arga perKg

pengelolaan sagu. Pengelolaan sagu dari batang pohon hingga menjadi tepung memiliki beberapa tahap diantaranya adalah penebangan pohon, pembagian batang yang dibelah secara memanjang, pengambilan empulur atau teras batang sagu, penghalusan empulur, penyaringan, pemisahan pati sagu kemudian pengeringan hingga menjadi tepung sagu.

Sub model usaha sagu terdiri dari beberapa komponen, antara lain : biaya pengelolaan sagu, harga sagu, potensi sagu dan pendapatan dari penjualan sagu. Biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan sagu terdiri dari biaya penebangan pohon sagu, biaya pembagian dan pemotongan batang, biaya pencacahan empulur, biaya penghalusan, biaya penyaringan pati sagu, biaya pengeringan, biaya kemasan dan biaya pemasaran tepung sagu. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari potensi panen per hektar, potensi sagu per batang dan harga jual sagu. Harga tepung sagu sekarang ini mencapai Rp. 3000,- /kg, sedangkan dalam satu batang pohon sagu dihasilkan sekitar 150-300 kg tepung sagu dan potensi pohon sagu dalam setahun bisa memanen 86 pohon/ha (Widjono et al. 2000). Komponen lain dari sub model usaha sagu adalah nilai kelayakan usaha yang menggunakan suku bunga bank sebesar 10% untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha sagu.

5.4.6 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Sagu

Skenario terkahir sebagai alternatif pendapatan tambahan adalah pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sagu. Pohon sagu yang sangat melimpah di sekitar areal kerja perusahaan berpotensi untuk menghasilkan pendapatan lain jika dikelola dengan benar. Harga tepung sagu semakin naik dan dari hasil pengelolaan satu batang pohon sagu bisa menghasilkan 200-300 kg tepung sagu mengingat masyarakat Papua sebagian besar mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok sehingga dalam hal pemasarannya sangat potensial untuk dimanfaatkan. Dari hasil simulasi pengelolaan sagu, diperoleh pendapatan tambahan yang akan diterima perusahaan sebesar Rp. 15.159.376,-/ha. Dengan asumsi satu hektar bisa menebang 86 pohon sagu. Pendapatan tambahan tersebut merupakan pendapatan yang paling menguntungkan dari skenario pemanfaatan hasil hutan bukan kayu lainnya.

Dari hasil simulasi skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-/ha dengan BCR 1,47 dan sebesar IRR 28%. Nilai kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu tersebut merupakan skenario yang paling layak untuk dijalankan, karena menghasilkan pendapatan paling besar yang akan diterima oleh perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka mengurangi emisi global. Selain itu dari hasil pengelolaan hutan berbasis karbon tersebut diperoleh struktur tegakan yang baik dan dapat terjamin kelestariannya.

Dokumen terkait