• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN

D. Hubungan Antara Dimensi Religius Pendidikan

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan hubungan antara dimensi religius pendidikan terhadap minat belajar, khususnya mata pelajaran PAK. Dilihat dari segi psikologi, dimensi religius pendidikan dapat menjadi stimulus yang mempengaruhi minat belajar. Sedangkan dari konteks organisatoris (sekolah), dimensi religius pendidikan adalah kultur sekolah.

1. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Stimulus

Dimensi religius pendidikan (katolisitas) berfungsi sebagai faktor ekstern yang dialami dan dirasakan peserta didik. Faktor ekstern ini menjadi stimulus yang memberi pengaruh pada individu melalui pengalaman. Meski pun demikian, manusia tidak secara langsung bereaksi terhadap stimulus dan tidak membabi buta atau berlaku secara trial and error dalam menghadapi stimulus sebab manusia adalah pribadi yang utuh. Hal ini dikatakan oleh pengembang teori psikologi Gestalt.

Sardiman (2008: 32-33) menjelaskan beberapa prinsip teori psikologi Gestalt. Pertama, manusia bereaksi dengan lingkungannya secara keseluruhan dan tidak hanya secara intelektual. Kedua, belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Berdasarkan penjelasan ini, siswa tidak langsung bereaksi terhadap lingkungan yang memiliki dimensi religius pendidikan namun terlebih dahulu mengolahnya. Kemudian siswa akan belajar untuk menyesuaikan diri dengan dimensi religius pendidikan itu.

Sehubungan dengan pernyataan di atas maka kegiatan belajar tidak hanya dilakukan di kelas. Kegiatan di kelas hanya salah satu bentuk pendidikan, selebihnya masih ada hidden curriculum yang dilaksanakan melalui interaksi sehari-hari, pengalaman-pengalaman, dan tindakan tertentu. Pengalaman akan membuat individu memiliki insight. Insight disebut juga dengan pemahaman.

Baharuddin (2021: 89) berpendapat bahwa “keterlibatan seseorang secara langsung dalam situasi belajar akan menghasilkan pemahaman yang dapat membantu individu tersebut memecahkan masalah.” Keterlibatan siswa dalam dinamika sekolah merupakan pengalaman yang membawa siswa pada kemampuan untuk bertindak atas suatu hal. Dimensi religius pendidikan sekolah akan menjadi pengalaman yang mendukung perkembangan pribadi siswa.

Istilah insight diartikan oleh Ngalim Purwanto (1998: 101) sebagai “sesuatu yang diperoleh kalau seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu.” Dimensi religius pendidikan dalam hal ini berisi muatan nilai-nilai Kristiani yang juga ditemui dalam mata pelajaran PAK. Karena adanya keterkaitan antara dimensi religius pendidikan dan mata pelajaran PAK maka siswa akan mudah menemukan insight. Apa yang dipelajari dalam mata pelajaran PAK akan ditemukan pula dalam kenyataan dalam dinamika sekolah, maka siswa akan mudah memperoleh insight.

“Pembentukan insight dalam diri individu terjadi karena persepsi terhadap lingkungan atau medan dan mestrukturnya sehingga membentuk

menjadi suatu susunan yang bermakna” (Baharuddin, 2012: 92). Persepsi siswa terhadap lingkungan sekolah dipengaruhi oleh apa yang dialaminya sehari-hari di sekolah. Persepsi siswa terhadap lingkungan sekolah ini dihubungkan oleh siswa dengan materi yang terdapat dalam mata pelajaran PAK. Jika apa yang dipelajari siswa di kelas sesuai dengan persepsinya terhadap lingkungan dan kenyataan lingkungan sesuai dengan apa yang dipelajari, maka siswa akan menerima hal ini sebagai insight dan memungkinkan siswa untuk berminat belajar mata pelajaran PAK.

Mengenai bagaimana siswa bereaksi terhadap dimensi religius pendidikan, Ngalim Purwanto (1996: 100) berpendapat “reaksi manusia terhadap dunia luar tergantung kepada bagaimana ia menerima stimulus dan motif-motif apa yang ada padanya.” Berdasarkan pernyataan ini, minat belajar diberlakukan sebagai reaksi sedangkan dimensi religius pendidikan sebagai stimulus; maka reaksi siswa terhadap mata pelajaran PAK, tergantung pada bagaimana dia mengalami dimensi religius pendidikan dan pada motif-motif lain yang ada pada diri siswa. Akhirnya dapat disimpulkan, dimensi religius pendidikan bisa jadi menimbulkan minat belajar PAK dan sebaliknya, tergantung dari ada atau tidaknya motif-motif lain.

2. Dimensi Religius Pendidikan sebagai Kultur

Kultur berhubungan dengan lingkungan di mana individu hidup. Individu hidup dalam sebuah lingkungan. Wasty (1990: 87) menjelaskan bahwa “lingkungan mencakup segala material dan stimuli di dalam dan di luar individu.” Berdasarkan penjelasan tersebut maka lingkungan dapat diartikan

secara fisiologis, psikologis, dan sosio-kultural. Secara fisiologis, lingkungan mencakup segala kondisi material jasmaniah di dalam tubuh, misalnya: gizi, vitamin, air, dan kesehatan jasmani. Secara psikologis, lingkungan meliputi segala gejala kejiwaan yang diterima individu sejak pembuahan, kelahiran, hingga mati. Secara sosio-kultural, lingkungan mencakup segala interaksi dan kondisi eksternal dalam hubungannya dengan perlakuan atau karya orang lain.

Supriyati (2013: 27) mengatakan bahwa “lingkungan terdiri dari rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.” Sekolah disebut lingkungan pendidikan yang tidak terlepas dari situasi lembaga tersebut. Situasi sekolah Katolik dipenuhi dengan katolisitas sebagai ciri khasnya. Dengan demikian, dimensi religius pendidikan termasuk dalam lingkungan psikologis dan sosio-kultural karena berhubungan dengan gejala kejiwaan (psikologis) dan mencakup segala interaksi dan kondisi eksternal yang berhubungan dengan perlakuan orang lain (sosio-kultural).

Sebagai lingkungan sosio-kultural, dimensi religius pendidikan menjadi sebuah kualitas kehidupan yang mewujud dalam aturan-aturan atau norma, tata kerja, kebiasaan kerja, dan gaya kepemimpinan. Horney (dalam Wolman, 1977: 456) menjelaskan “culture as the totality of society transmitted behavior patterns characteristics of a group, is the result of complex social process.” Dimensi religius pendidikan sebagai kultur adalah hasil dari keseluruhan proses sosial di sekolah yang kompleks. Dimensi religius kehidupan juga menjadi pola karakter dari sekolah Katolik yang dipengaruhi oleh visi-misi

lembaga dan nilai-nilai yang dianutnya, sehingga menjadi habitus bagi warga sekolah.

Dimensi religius pendidikan sebagai kultur mencerminkan kualitas kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai atau spirit yang dianut sekolah itu (Dapiyanta, 2008: 49). Bagi sekolah Katolik, kultur sekolah mencerminkan sejauh mana katolisitas dihayati sekolah tersebut. Sekolah Katolik yang menghayati katolisitas dengan baik akan menghadirkan wajah Gereja di sekolah itu.

Dimensi religius pendidikan yang menjadi ciri khas sekolah Katolik jika dihayati dengan baik maka akan menjadi jiwa (spirit) sekolah. Dapiyanta (2008: 49) berpendapat,

“spirit akan mewarnai pembuatan struktur organisasi sekolah, penyusunan deskripsi tugas, mengatur hubungan horizontal maupun vertikal antar warga, yang secara keseluruhan kooperatif dan secara perlahan atau cepat akan membentuk perilaku baik sistem maupun perilaku perorangan warga sekolah.”

Sebagai sebuah kultur, dimensi religius pendidikan bukanlah sebuah pelajaran khusus dan tidak secara langsung diajarkan kepada siswa namun dapat dipelajari dari interaksi dan kebiasaan yang ada dalam dinamika sekolah sehingga membentuk perilaku warga sekolah, misalnya siswa dalam belajar. Kultur positif yang dibawa oleh dimensi religius pendidikan akan memungkinkan siswa untuk menjalankan tugasnya, yaitu belajar.