• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN

A. Dimensi Religius Pendidikan

2. Pengertian Dimensi Religius Pendidikan

a. Pengertian Umum

Hingga saat ini masih belum ada pandangan resmi mengenai pengertian dimensi religius pendidikan, baik dari kalangan ilmuwan yang bergerak di bidang pendidikan maupun dari kalangan Gereja. Pengertian dimensi religius pendidikan yang dijelaskan di sini berupa pengertian secara etimologi. Etimologi adalah “cabang ilmu bahasa yang meneliti asal-usul dan perubahan bentuk kata-kata suatu bahasa atau kelompok bahasa” (Shadily, 1980: 973). Dimensi religius pendidikan akan dibahas berdasarkan asal-usul katanya dan berdasarkan kata-kata yang menyusunnya.

Dimensi, menurut Shadily (1980: 283) berasal dari bahasa Inggris "dimension" yang berarti ukuran. Pengertian kata ini tergantung dari pilihan susunan deskriptif kata yang bersangkutan, misalnya dimensi sosial yang berarti ukuran sosial. Kata dimensi juga menyatakan jumlah ukuran, misalnya sebuah gambar yang disebut tiga dimensi maksudnya gambar tersebut dapat dilihat dari tiga segi yang berbeda.

Kata religius, menurut Groome (2010: 32) berasal dari kata religious (bahasa Inggris) yang berarti bersifat keagamaan. Kata religius menunjukkan adanya keterkaitan hal-hal tertentu dengan sebuah agama. Eliade (1987: 283) menggunakan istilah religion sebagai identitas khusus yang menunjukkan keterikatan dalam sebuah kelompok yang dapat membedakan kelompok tersebut dari kelompok lain dalam hal pemujaan; “a bound of scruple uniting those who shared it closely to each other. Hence religion suggests both separation and separative fellowship.” Schleirmacher (dalam Eliade, 1987: 283) mengatakan hal yang berbeda, “religion as a feeling of absolute dependence – absolute as contrasted to other, relative feelings of dependence.” Hal ini berarti agama sebagai ungkapan kebebasan manusia dalam menanggapi perwahyuan ilahi. Pada intinya, religius berarti hal yang berhubungan dengan kebebasan manusia dalam menjawab wahyu ilahi dan menunjukkan ciri keagamaan tertentu.

Kata pendidikan, menurut Shadily (1984: 2627) berasal dari kata educare (bahasa Latin) yang berarti membimbing ke luar. Pendidikan merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan kebodohan menuju

kecerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal maupun informal meliputi segala usaha memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia di mana mereka hidup. Shadily mengklasifikasikan pendidikan menjadi tiga bentuk. Pertama, pendidikan yang berupa paksaan, disebut presur. Kedua, pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan dan dilakukan secara sadar oleh anak didik, disebut latihan. Ketiga, pendidikan yang dimaksud untuk membentuk kata hati, di mana anak didik diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, menentukan kelakuan menurut tanggung jawab sendiri pula.

Cremin (dalam Groome, 2010: 29) memberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai pendidikan. Cremin menerangkan pendidikan sebagai usaha yang sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian- keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu. Pendapat Cremin ini memberikan gambaran mengenai unsur-unsur dalam sebuah pendidikan yang secara riil dapat dilihat di sekolah. Unsur kesengajaan dalam pendidikan diwujudkan melalui perencanaan pengajaran, unsur sistematika dapat dilihat dari adanya kurikulum, unsur tindakan yang berkesinambungan dilihat dari adanya penjenjangan tingkat pendidikan dari SD hingga SMA.

Akhirnya, secara etimologi, dimensi religius pendidikan dapat diartikan sebagai berikut: sebuah ukuran yang bersifat keagamaan tertentu dalam konteks usaha mendewasakan manusia. Dimensi dinyatakan melalui aspek- aspek tertentu yang dapat diukur. Religius dinyatakan melalui ciri khas agama

tertentu yang mewarnai lingkungan dan iklim. Pendidikan dinyatakan melalui usaha-usaha yang membimbing siswa menuju kepenuhan kedewasaan sebagai pribadi.

b. Katolisitas sebagai Esensi Dimensi Religius Pendidikan

Go (1992: 25) mengatakan bahwa, “dimensi religius pendidikan atau aspek religius sekolah Katolik adalah iman Katolik.” Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa iman Katolik diejawantahkan dalam dinamika kehidupan sekolah. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan makna kata Katolik itu sendiri agar setelah mengetahui makna kata tersebut, perwujudannya akan semakin mudah ditengarai.

Katolik berasal dari dua kata Yunani, yaitu kata dan holos. Kata berarti setiap, berdasarkan, termasuk, dan seperti. Holos berarti keseluruhan atau setiap orang. Dengan demikian secara etimologi, Katolik berarti adanya sesuatu yang bersifat menyeluruh dan berlaku bagi semua orang. Karena berlaku untuk semua orang, maka Katolik juga berarti welcoming everyone seperti yang diungkapkan oleh Groome (1998: 397), “Catholic is the one closest to its etimology –welcoming everyone-“ Hal ini menyiratkan adanya unsur penerimaan dan keterbukaan atas setiap pribadi. Unsur ini menjadi salah satu tanda yang mencirikan sifat Katolik.

Keterbukaan dan penerimaan, yang oleh Groome disebut welcoming everyone sebenarnya sudah menjadi ajaran yang terdapat dalam Kitab Suci. Pertama, iman Kristiani mengajarkan agar kita mengasihi sesama (Groome, 1998: 396). Ajaran ini diberi contoh dalam Yes 58:7, di mana disebutkan

bahwa orang beriman yang sejati tidak pernah memalingkan punggung terhadap sesamanya. Orang beriman didorong untuk bersikap terbuka pada siapa pun, merangkul siapa pun meski berbeda dan mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, orang beriman telah mengasihi Tuhan (1 Yoh 4:12). Welcoming everyone di sini berarti tindakan kasih yang tidak membeda- bedakan.

Kedua, tindakan welcoming everyone bersumber dari Amanat Agung Yesus (Mat 28:19), yaitu amanat bagi para Rasul untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Sesudah kebangkitan Yesus, para rasul memberitakan Kabar Gembira tidak hanya kepada orang Yahudi, namun kepada bangsa di luar Yahudi pula. Peristiwa Pentakosta (Kis 2:1-11) menunjukkan bagaimana semua bangsa diterima dan diberi karunia Roh Kudus. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya Gereja. Dengan demikian, Gereja sejak awal berdiri sudah bersifat terbuka dan menerima semua bangsa.

Penggunaan kata Katolik melekat dengan kata Gereja. St. Sirilus dari Yerusalem (dalam Groome, 1998: 398) mengatakan, “Church is Catholic because its confined to no one place or nation, welcomes every people of every class, forgives every kind of sin, and promotes every kind of virtue.” Pendapat ini memberikan beberapa tanda bagaimana Gereja itu disebut Katolik. Pertama, Gereja tidak terikat pada tempat atau bangsa tertentu. Kedua, Gereja terbuka bagi setiap orang dari kelas sosial mana pun. Ketiga, adanya unsur kasih yang memungkinkan adanya pengampunan atas segala kesalahan. Terakhir, Gereja mendukung kebenaran dan terbuka terhadap perkembangan zaman. Tanda-

tanda ini yang terus menerus diperjuangkan oleh Gereja hingga saat ini. Adanya Konsili Vatikan II menjadi tanda bahwa Gereja mulai memperjuangkan ciri kekatolikannya.

St. Vincentius (dalam Groome, 1998: 398) mengatakan bahwa Gereja Katolik itu, “believed everywhere, always and by all.” Pendapat ini menunjukkan adanya unsur otentisitas yang menyebabkan Gereja itu dipercaya di mana pun; unsur kesinambungan (always) sehingga ajaran-ajaran, tradisi dan ritusnya lestari dari zaman ke zaman; juga unsur keterbukaan (by all). Maka Gereja Katolik itu dipercayai di mana pun, selalu dan oleh siapa pun. Secara ringkas, arti kata Katolik memiliki kesepadanan dengan sebuah istilah yang diungkapkan oleh Groome welcoming everyone.

Groome (1998: 394) mengatakan bahwa menjadi Katolik merupakan suatu lifetime journey. Sebagai sebuah perjalanan seumur hidup, ada tanda- tanda yang menunjukkan bahwa seseorang/kelompok menghayati kekatolikannya. Groome (1998: 413) memberikan gambaran berupa tujuh kedalaman (seven depth) yang berupa:

“...love for all people with commitment to their welfare, rights and justice. It welcomes human diversity, is open to learn from other traditions, and lives in solidarity with all humankind as brother and sister. A Catholic cherishes her or his particular and roots of identity while reaching for an open horizon and global consciousness. A Catholic community is radically inclusive of diverse peoples and perspective; is free of discrimination and sectarian sentiment; and welcomes “the stranger” with outreach, especially to those most in need.”

Berdasarkan pernyataan di atas, tujuh kedalaman (seven depth) yang menandakan seorang/kelompok yang menghayati kekatolikannya yaitu: adanya

rasa cinta yang berlaku untuk semua orang, adanya usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, terbuka terhadap berbagai perbedaan, solidaritas sebagai satu saudara, keterbukaan terhadap kebudayaan global dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar, merangkul semua terutama yang membutuhkan dan pada akhirnya hidup mereka menjadi inklusif.

Karakter kekatolikan ini mendapat sumber inspirasi dari kehidupan Jemaat Perdana (Kis 2:41-47). Jemaat Perdana ini memberi kesaksian melalui penghayatan dalam hidup mereka yang menunjukkan karakter kekatolikan.

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang.”

Kisah Jemaat Perdana ini menunjukkan bagaimana iman Katolik itu dihayati dalam dinamika hidup. Penghayatan tersebut menyebabkan jemaat memiliki sebuah karakter khusus yang memungkinkan orang-orang menyebut mereka Katolik. Karakter tersebut disebut katolisitas. Go (1995: 10) mengatakan, “isi katolisitas dapat dilihat dalam seluruh iman dan hidup Gereja Katolik seperti dikonkretkan oleh Jemaat Perdana.”

Jemaat Perdana memberikan gambaran mengenai tanda-tanda katolisitas melalui beberapa bidang. Pertama, bidang koinonia (persaudaraan) di mana jemaat bertekun dalam persekutuan, adanya kegiatan berkumpul bersama, bertekun dan sehati, gembira serta tulus hati. Kedua, bidang kerygma

(pewartaan) di mana Jemaat bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Ketiga, bidang leiturgia (peribadatan) di mana jemaat memecahkan roti secara bergilir. Keempat, bidang diakonia (pelayanan) di mana jemaat saling memenuhi kebutuhan dan berbagi. Terakhir, bidang marturia (kesaksian), jemaat bersaksi melalui cara hidup mereka yang disukai semua orang.

Katolisitas sebagaimana digambarkan dalam kisah Jemaat Perdana tersebut menjadi “inspirasi, motivasi dan animasi bagi sekolah Katolik dalam medan baktinya” (Go, 1995: 11). Katolisitas tersebut diterjemahkan dalam dinamika keseharian sekolah Katolik sehingga menjadi sebuah ciri khusus yang memungkinkan orang mengatakan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah Katolik meski kata Katolik tidak disebutkan secara langsung dalam nama sekolah.

Cerita pengalaman Groome (dalam Heryatno, 2008: 11) ketika mengunjungi sekolah St. Joseph di Karachi Pakistan memberi ilustrasi bagaimana sekolah tersebut menghayati katolisitas. Sekolah St. Joseph berada di Pakistan yang mana mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Katolik namun tidak menampakkan kekatolikan secara lahiriah. Kekatolikan nampak dalam iklim yang dibangun.

Sekolah ini menggarisbawahi martabat setiap pribadi, memberi penghormatan kepada siswa laki-laki maupun perempuan, mendorong mereka berkembang secara positif, menekankan suasana persaudaraan dan kesetiakawanan. Semua staf menekankan pentingnya setiap siswa untuk memiliki sikap hidup yang peduli pada kebersamaan, terutama pada usaha

mewujudkan kerukunan, menegakkan perdamaian dan keadilan, serta penghormatan kepada mereka yang berbeda. Mereka juga menjunjung tinggi kedisiplinan dan menjaga mutu akademis.

Peserta didik dibekali keutamaan dan kebijaksanaan agar hidup dan tindakan mereka bermakna bukan hanya bagi diri sendiri namun terlebih bagi sesama. Staf sekolah yakin bahwa itulah spiritualitas Injil yang menjiwai dan menggerakkan cara hidup mereka bersama. Mereka mengkomunikasikan dan menghayati nilai-nilai Injili di dalam seluruh kegiatan.

Secara singkat, sekolah ini mengusahakan pendidikan yang bersifat utuh dalam bentuk pelayanan yang total kepada semua siswanya sehingga aspek pelayanan/diakonia sungguh nyata. Pelayanan itu didukung dengan suasana persaudaraan yang penuh kasih (aspek persekutuan/koinonia) dengan berpegang pada nilai Injil (aspek pewartaan/kerygma). Sekolah juga mendorong siswanya untuk berguna bagi sesama (aspek kesaksian/marturia). Aspek leiturgia/peribadatan bagi sekolah ini berlaku bagi mereka yang beriman Katolik karena tidak semua murid di sekolah ini adalah Katolik. Kisah sekolah St. Joseph ini semakin mempertajam makna katolisitas sebagai esensi dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik dan aspek-aspeknya.