• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Etnosains dengan Nilai Karakter dalam Pembelajaran Biologi

Pembelajaran Biologi Elok Norma Khabibah & Hanni Hanifah

5. Hubungan antara Etnosains dengan Nilai Karakter dalam Pembelajaran Biologi

Peserta didik yang cenderung memiliki otak cerdas tanpa diimbangi dengan rasa keberagaman yang baik, termasuk nilai-nilai moral yang diabaikan merupakan dampak dari sistem pendidikan yang terlalu mengedepankan sisi kognitif saja. Hal inilah yang kemudian mendasari perubahan kurikulum menjadi kurikulum 2013 (Syukri, 2014). Kurikulum 2013 menekankan pada aspek sikap dan psikomotor, sementara aspek kognitif mendapat porsi yang lebih kecil. Hal ini terlihat dari Kompetensi Inti (KI) yang dituntut dari siswa pada kurikulum tersebut. Kompetensi Inti yang dimaksud yaitu KI-1 berkenaan dengan sikap keagamaan, KI-2 berkaitan dengan sikap sosial, KI-3 berkenaan dengan

pengetahuan (kognitif), dan KI-4 berkaitan dengan penerapan keterampilan (psikomotor). Adapaun rumusan sikap social yaitu menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong), kerja sama, toleran , damai, santun, responsive dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektof dengan lingkungan social dan alam serta menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia (Permendikbud, 2016). Oleh sebab itu, kurikulum yang saat ini digunakan sebagai acuan pembelajaran di sekolah dapat berjalan beriringan dengan pendidikan karakter dan dinilai efektif untuk meningkatkan nilai-nilai karakter pada siswa. Contoh pembelajaran etnosains dalam pembelajaran biologi disajikan dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Hubungan antara Etnosains dengan Nilai Karakter dalam Pembelajaran Biologi

No. Materi Biologi Aspek Etnosains Nilai Karakter

1. Animalia a. Pedoman hidup Jawa

―Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara‖.

Artinya: mengusahakan keselamatan dan kebahagiaan, namun memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri contoh-contoh animalia dan pemanfaatannya.

b. Adat Batak

Marturtur, yaitu adanya kekerabatan atau keluarga. Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada sub materi pengelompokkan hewan atau klasifikasi hewan.

a. Berani

b. Amanah, jujur c. Tanggung

jawab

2. Plantae a. Pedoman hidup Jawa

―Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara‖.

Artinya: mengusahakan keselamatan dan kebahagiaan, namun memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri contoh-contoh plantae dan pemanfaatannya.

b. Adat Batak

Marturtur, yaitu adanya kekerabatan atau keluarga. Nilai ini dapat disisipkan melalui

a. Berani

b. Amanah, jujur c. Tanggung

pembelajaran pada submateri klasifikasi tumbuhan.

3. Pencemaran

lingkungan Adat Sunda ―konsep wiwitan‖, yaitu konsep kembali pada asal (Sang Maha Pencipta)

Maka pencemaran lingkungan yang terjadi, bila dikembalikan kepada Sang Pencipta bisa saja menjadi bencana akibat murkanya Sang Maha Pencipta.

Konsep wiwitan ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri dampak pencemaran lingkungan, yaitu salah satunya menimbulkan bencana.

a. Peduli b. Tanggung

jawab

4. Sistem

reproduksi a. Adat Batak Marpinompar, yaitu kehendak adat batak untuk memiliki keturunan sebagai generasai penerus untuk mempertahankan marga sehingga silsilah tidak putus.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri definisi dan tujuan reproduksi. b. Adat Sunda

10 dasakerta sunda tentang kesejahteraan hidup yang bisa dicapai bila mampu menjaga 10 organ tubuh, yaitu 1) telinga, 2) mata, 3) kulit, 4) lidah, 5) hidung, 6) mulut, 7) tangan, 8) kaki, 9) tumbung atau dubur, 10) alat kelamin atau pusara.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri penyakit terkait sistem reproduksi.

c. Adat Lampung

Tentang ―Piil-Pusanggikhi‖ yaitu malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri penyakit terkait sistem reproduksi. a. Berintegritas b. Tanggung jawab c. Amanah, jujur d. Berani

d. Suku Bugis

Tentang ―Siri Na Pacce‖, yaitu sebuah prinsip yang berarti sangat menjunjung tinggi rasa malu untuk melakukan hal yang tidak baik.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri penyakit terkait sistem reproduksi.

5. Ekosistem a. Pedoman hidup Jawa

―Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara‖.

Artinya: mengusahakan keselamatan dan kebahagiaan, namun memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri rantai makanan karena sifat serakah dan tamak dapat memutus salah satu rantai makanan. Jika salah satu rantai terputus akan mengakibatkan lonjakan pada salah satu populasi.

b. Suku Bugis

Tentang ―sipakainga, sipakatau, dan sipakalebbi‖, yaitu tentang prinsip hidup yang mengajarkan untuk berhubungan dengan sesama agar mencapai kesuksesan. Sipakainga berarti saling mengingatkan, sipakatau berarti saling menghormati dan hidup rukun, dan sipakalebbi berarti saling menghargai.

Nilai ini dapat disisipkan melalui pembelajaran pada submateri komponen ekosistem, yaitu individu, komunitas, populasi, dan biosfer.

a. Peduli b. Menghargai c. Tanggung

jawab

KESIMPULAN

Harapan bahwa pembelajaran melalui pendekatan etnosains mampu mengembangkan kemampuan siswa untuk hidup dan bersosialisasi di tengah lingkungan masyarakat tanpa mengabaikan nilai-nilai leluhur. Selain itu, terbentuknya inspirasi mengenai peran siswa dalam mengangkat nilai-nilai budaya (kearifan lokal) dan memiliki kompetensi daya saing yang bersumber pada kebudayaan yang ada.

DAFTAR RUJUKAN

Albaiti. 2015. Kajian Kearifan Lokal Kelompok Budaya Dani Lembah Baliem Wamena Papua. Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia Vol. 1 No. 1; ISSN 2502-2393.

Atmojo, S. E. & Saputra, H. J. 2012. Pembelajaran Etnosains Bervisi Sets untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa. Diperoleh 9 Oktober, 2016, dari https://setyoatmojo.wordpress.com/2012/10/08/pembelajaran-etnosains-bervisi-sets/.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Draf Grand Design Pendidikan Karakter. Edisi 23 Oktober 2010.

Lickona, T. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Book.

Mahendrani, K. & Sudarmin. 2015. Pengembangan Booklet Etnosains Fotografi Tema Ekosistem untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pada Siswa SMP. Unnes Science Education Journal 4(2).

Mumpuni, A. & Masruri, M. S. 2016. Muatan Nilai-Nilai Karakter Pada Buku Teks Kurikulum 2013 Pegangan Guru dan Pegangan Siswa Kelas II. Jurnal Pendidikan Karakter Tahun VI No.1.

Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter; Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Permendikbud. 2016. Kompetesi Inti Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Rukiyati & Purwastuti, A. L. 2016. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada Sekolah Dasar di Bantul Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter Tahun VI No.1.

Samani, M. & Hariyanto. 2013. Konsep dan Model; Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sarwanto, Budiharti, R., & Fitriana, D. 2010. Identifikasi Sains Asli (Indigenous Science) Sistem Pranata Mangsa melalui Kajian Etnosains. Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010.

Sudarmin & Pujiastuti, S. E. 2013. Scientific Knowledge Based Culture and Local Wisdom in Karimunjawa for Growing Soft Skills Conservation. International Journal of Science and Research, Index Copernicus Value: 6.14, Impact Factor: 4.438.

Suastra, I W. 2005. Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) dalam Rangka Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah. Disertasi Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Sulistyowati, E. 2012. Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama.

Syukri. 2014. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013 Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di MA Quraniyah Batu Kuta Narmada Lombok Barat. Jurnal Transformasi P2M IAIN Mataram Volume 10 Nomor 1. Wahyudi. 2003. Tinjauan aspek budaya pada pembelajaran IPA: Pentingnya

Kurikulum IPA Berbasis Kebudayaan Lokal. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 040, Tahun ke-9, 42-60.