Proyek / Usaha
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani dengan Akhlak
81
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani
82
INSAN KAMIL A. Pengertian Insan Kamil
Insan Kamil berasal dari bahasa Arab, insan dan kamil.1 Insan berarti manusia, sedangkan kamil artinya sempurna.2 Dari segi pemaknaan istilah Insan Kamil memiliki berbagai definisi beragam yang diantaranya diartikan sebagai manusia yang telah sampai pada tingkat tertinggi (fana’ fillah).3 Makna lain Insan Kamil adalah manusia paripurna sebagai wakil Allah untuk mengaktualisasikan diri, merenungkan dan memikirkan kesempurnaan yang berasal dari nama-Nya sendiri.4
Jamil Shaliba mengatakan bahwa kata insan menunjukkan pada sesuatu yang khusus digunakan untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insane mengacu kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya. Selanjutnya kata insan digunakan para filosof klasik sebagai kata yang menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat mansuia.5 Kata insan juga digunakan untuk menunjukkan pada arti terkumpulnya
1 Abuddin Na ta , Akhlak Tasawuf (Ja ka rta : Ra ja Gra findo Persa da , 2009), ha l.
257
2 Ma hmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Ja ka rta : Hidaka rya Agung, 1990), ha l. 51 da n ha l. 383
3 Asma ran AS, Pen ga nta r Studi Ta sa wuf (Ja ka rta : Raja Gra findo Persa da, 1994), ha l. 345
4 Ama tulla h Armstrong, Kunci Mema suki Dunia Sufi, terj. M. S. Na shrullah da n Ahma d Ba iquni (Ba ndung: Miza n,2001), ha l. 118
5 Ja mil Sha liba , Al-Mu’jam Al-Falsafi, Jilid I, (Be irut: Da r a l-Kita b, 1978), ha l.
158
83
seluruh potensi intelektual, rohani dan fisik yang ada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan lainnya.6
Di dalam Al-Quran telah dijumpai dan dibedakan dengan istilah basyar dan al-nas. Kata insan jamaknya kata al-nas. Kata insan mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal dari kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin.yang kedua, berasal dari kata nasiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal dari kata al-uns yang artinya jinak, lawan dari kata buas.7 Dengan bertumpu pada asal kata anasa, maka insan mengandung arti melihat, mengetahui dan meminta izin dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran.
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nasiya, insan mengandung arti lupa dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri. Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang demikian termasuk sifat insaniyah.
Sedangkan kata insan jika dilihat dari asalnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak, mengandung arti bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara, jinak.
Dilihat dari sudut kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa maka dapatlah dikatakan bahwa kata
6 Ja mil Sha liba , Al-Mu’jam Al-Falsafi, Jilid I, (Be irut: Da r a l-Kita b, 1978), ha l.
158
7 Ibn ma nzur, Lisan Al-Arab, jilid VII (Mesir: Da r a l-Mishiya h, 1968), ha l.
306-314
84
insan menunjukkan pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insan manusia pada dasarnya jinak, dapat menyesuaikan dengan realitas hidup an lingkungan yang ada.
Manusia mempunyai kemampuan adptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan, etik, sopan santun dan sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara alamiah.8
Selanjutnya kata insan dalam al-Qur’an di sebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat, dan di gunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang amat luas. Musa Asy’ari menyebutkan lapangan kegiatan insan dalam 6 bidang. Pertama untuk menyatakan bahwa manusia menerima pelajaran dari tuhan tentang apa yag di ketahuinya (Q.S. Al-‘Alaq [96]:1-5) kedua, manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan.(Q.S. Yusuf [12]:5) ketiga, manusia memikul amanat dari tuhan.(Q.S.Al-Ahzab [33]:72) keempat, manusia harus menggunakan waktu dengan baik (Q.S Al-Fiil [105]:1-3) kelima, manusia hanya akan mendapatkan bagian dari apa yang telah di kerjakannya.(Q.S An-Najm [53]:39) keenam, manusia mempunya keterikatan dengan moral atau sopan santun (Q.S. Al-Ankabut [29]:8).
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut manusia di gunakan al-Qur’an untuk menunjukkan makhluk yang dapat
8 Musa Asy’a ri, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogya ka rta Lemba ga Studi Filsa fa t Isla m, 1992), ha l. 19 -20
85
belajar, mempunyai musuh (setan), dapat menggunakan waktu, dapat memikul amanat, punya keterkaitan dengan moral, dapat berternak (Q.S Qashash [28]:23), menguasai lautan (Q.S Baqarah [2]:124), dapat mengelolah biji besi dan logam (Q.S Al-Hadid [57]:25), melakukan perubahan sosial (Q.S Ali Imran [3]:140), memimpin (Q.S Al-Baqarah [2]:124), menguasai ruang angkasa (Q.S Ar-Rahman [55]:33), beribadah (Q.S Al-Baqarag [2]:21), akan di hidupkan di akhirat (Q.S Al-Isra’ [17]:71).
Semua kegiatan yang di sebutkan al-Qur’an di atas, di kaitkan dengan pengguanaan kata insan di dalamnya, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu pada dasarnya adalah kegiatan yang di sadari dan berkaitan dengan kapasitas akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang di timbulkannya.
Berdasarkan keterangan tersebut istiah insan ternyata menunjukkan kepada makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki berbagai potensi baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual. Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersaebut itulah yang di sebut insan kamil. Kata insan lebih mengaacu kepada manusia yang dapat melakukan berbabagai kegiatan yang bersifat moral, intelektua, sosial dan rohaniah dan unsur insaniyah inilah yang selanjutnya di sebut sebagai makhluk yang memiliki instuisi, sifat lahut, dan sifat ini pula yag dapat baqa dan bersatu secara rohaniyah dengan Tuhan dalam Tasawuf, sebagai mana telah di uraikan di atas.
86
Selanjutnya al-Nas digunakan al-Qur’an untuk menyatakan adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan sosial dan kepemimpinan.9
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa islam dengan sumber ajarannya al-Qur’an telah memotret manusia dalam sosoknya yang benar-benar utuh dan menyeluh. Seluruh sisi dan aspek dari keidupan manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barang kali tidak ada kitab lain didunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain itu al-Qur’an.
Apa yang dikemukakan al-Qur’an ini jelas sangat membantu untuk menjelaskan konsep insan kamil.
Dengan demikian, insan kamil lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya bersifat batin, dan bukan pada manusia dari dimensi basyariahnya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih dan tasawuf inilah insan kamil akan lebih terbina lagi. Namun insan kamil lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyanya, atau segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu.
9 Musa Asy’a ri, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogya ka rta Lemba ga Studi Filsa fa t Isla m, 1992), ha l. 25 -27
87
Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan berubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insan kamil. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS As-Syu’ara: 88-89
⧫❑⧫
⧫
⧫
◆
⧫❑⧫
⧫
⧫
⬧
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
Ayat tersebut sejalan dengan sabda Rasulullah yang menyatakan: