• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Spriritual Insan Kamil

مكلامعاو مكبولق

C. Konsep Spriritual Insan Kamil

94

demikian halnya, maka upaya mewujudkan insan kamil perlu diarahkan melalui pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak, ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya.

95

utuh. Adapun kesempurnaan dari segi pengetahuannya ialah karena dia telah mencapai tingkat kesadaran tertinggi, yakni menyadari kesatuan esensinya dengan Tuhan, yang disebut makrifat.21

Ibn Arabi memandang insan kamil sebagai wadah tajalli Tuhan yang paripurna. Pandangan demikian didasarkan pada asumsi, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas.

Realitas tunggal itu adalah wujud mutlak yang bebas dari segenap pemikiran, hubungan, arah dan waktu. Ia adalah esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu. Kemudian, wujud mutlak itu ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang serba ganda ini. Tajalli tersebut terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada (creatio ex nihilo).22

Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber-tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (al-haqiqah alMuhammadiyah). Hakikat Muhammad (nur Muhammad) merupakan wadah tajalli Tuhan yang sempurna dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. 23 Jadi, dari satu sisi, insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, sementara disisi lain, ia merupakan miniatur dari segenap jagad raya, karena pada dirinya terproyeksi segenap realitas individual dari alam semesta, baik alam fisika maupun metafisika. Hati insan kamil berpadanan

21 Yuna sril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Ja ka rta : Pa ra madina, 1997), ha l. 60

22 Yuna sril Ali, Manusia Citra Ilahi, ha l. 111-112

23 Yuna sril Ali, Manusia Citra Ilahi, ha l. 56

96

dengan arasy Tuhan, “ke-Aku-an”nya sepadan dengan kursi Tuhan, peringkat rohaninya dengan sidratul muntaha, akalnya dengan pena yang tinggi, jiwanya dengan lauh mahfuz, tabiatnya dengan elemen-elemen, kemampuannya dengan hayula, tubuhnya dengan haba’ dan lain-lain.24

Bani Adam secara potensial adalah insan kamil, meski hanya di kalangan para nabi dan wali saja potensi itu menjadi aktual. Allah berfirman dalam (Q.S al-Isrá/17:70)25

⬧⬧◆

▪

⧫

⧫◆

◆❑◆





⬧⧫◆

◆◆



⧫

◆⬧◆

◼⧫



☺

◼

⬧



“dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.

Al-Jili membagi insan kamil atas tiga tingkatan. Tingkat pertama disebutnya sebagai tingkat permulaan (al-bidayah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat Ilahi pada dirinya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah (at-tawasut). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al-haqaiq ar-rahmaniyah). Sementara itu, pengetahuan yang

24 Yuna sril Ali, Manusia Citra Ilahi, ha l. 119

25 Depa rtemen Agama RI, Terjemah Tafsir Perkata (Ba ndung: Sigma Publishing, 2010), ha l. 289.

97

dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini juga telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal-hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. Tingkat ketiga ialah tingkat terakhir (al-khitam). Pada tingkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Di samping itu, ia pun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.

Dengan demikian pada insan kamil sering terjadi hal-hal yang luar biasa.26

Akan tetapi, insan kamil yang muncul dalam setiap zaman, semenjak Adam a.s. tidak dapat mencapai peringkat tertinggi, kecuali Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an surat al-Ahzab : 21 menjelaskan:

⬧

⧫

⬧



❑◆



◆❑

◆

☺

⧫

❑⧫



⧫❑◆◆

⧫

⧫⬧◆







“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”27

Insan kamil bagi al-Raniri adalah hakikat muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari tajalli Satu Dzat kepada dzat yang lain (Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena

26 Yuna sril Ali, Manusia Citra Ilahi, ha l. 123

27 Depa rtemen Agama RI, Terjemah Tafsir Perkata (Ba ndung: Sigma Publishing, 2010), ha l. 420

98

seluruh alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah.

Dari sini posisi insan kamil menjadi penting bagi bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya.28 Jadi seseorang bisa dikatakan insan kamil ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang dengan itu menjadi wadah tajalli Ilahi yang paripurna.

Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya.

28 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: sufisme dan tanggung jawab sosial abad 21, Pusta ka Pela ja r, Yoga ya ka rta, 2002

99 TASAWUF A. Pengertian Tasawuf

Menurut Bahasa

Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tasawuf. Dari berbagai sumber rujukan buku-buku tasawuf, paling tidak ada lima pendapat tentang asal kata dari tasawuf. Pertama, kata tasawuf dinisbahkan kepada perkataan ahl-shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebagian fakir miskin di kalangan orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah diantara orang-orang yang tidak punya rumah, maka menempati gubuk yang telah dibangun Rasulullah di luar masjid di Madinah.1

Ahl al-Shuffah adalah sebuah komunitas yang memiliki ciri yang menyibukkan diri dengan kegiatan ibadah. Mereka meninggalkan kehidupan dunia dan memilih pola hidup zuhud.

Mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana (sofa), mereka miskin tetapi berhati mulia. Para sahabat nabi hasil produk shuffah ini antara lain Abu Darda’, Abu Dzar al Ghifari dan Abu Hurairah.2

Kedua, ada pendapat yang mengatakan tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Berasal dari kata shuf karena orang-orang ahli ibadah dan zahid pada masa dahulu menggunakan pakaian sederhana terbuat dari bulu domba. Dalam sejarah tasawuf banyak kita dapati cerita bahwa ketika seseorang

1 Abul ‘Ala a ‘Afify, Fi al Tashawwuf al Islam wa Tarikhikhi, (Iskanda riyah:

Lajnah al Ta’lif wa al-Tarjamah wa al Nasyr), tt., hal. 66

2 Muha mma d Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, (Ca kra wa la: Yogya ka rta , 2009), ha l. 19

100

ingin memasuki jalan kedekatan pada Allah mereka meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun sederhana. Tradisi pakaian sederhana dan compang camping ini dengan tujuan agar para ahli ibadah tidak timbul rasa riya’, ujub atau sombong.3

Ketiga, tasawuf berasal dari kata shofi, yang berarti orang suci atau orang-orang yang mensucikan dirinya dari hal-hal yang bersifat keduniaan.4 Mereka memiliki ciri-ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.

Pendapat yang keempat mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shaf, yaitu menggambarkan orang-orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah d an dalam melaksanakan kebajikan.5 Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa tasawuf bukan berasal dari bahasa Arab melainkan bahasa Yunani, yaitu sophia, yang artinya hikmah atau filsafat.6 Menisbahkan dengan kata sophia karena jalan yang ditempuh oleh para ahli ibadah memiliki kesamaan dengan cara yang ditempuh oleh para filosof. Mereka sama-sama mencari kebenaran yang berawal dari keraguan dan ketidakpuasan jiwa.

3 Muha mmad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi, ha l. 21

4 Alwa n Khoiri, Akhlak/Tasawuf, (Yogya ka rta: Pokja Akademik UIN Sunan Ka lija ga , 2005), ha l. 29

5 Ya sir Na sution, Cakrawala Tasawuf (Ja ka rta : Putra Gra fika , 2007), ha l. 3

6 Alwa n Khoiri, Akhlak/Tasawuf, ha l. 30

101

Contoh ini pernah dialami oleh Iman al Ghazali dalam mengarungi dunia tasawuf. 7

Menurut Istilah

Tasawuf dari aspek terminologis (istilah) juga didefinisikan secara beragam, dan dari berbagai sudut pandang.

Hal ini dikarenakan bebeda cara memandang aktifitas para kaum sufi. Ma’ruf al Karkhi mendefinisikan tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan mahkluk.8 Abu Bakar Al Kattani mengatakan tasawuf adalah budi pekerti.

Barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf.9 Selanjutnya Muhammad Amin Kurdi mendefinisikan tasawuf adalah suatu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara melaksanakan suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangannya. 10

Dari kajian sudut bahasa maupun istilah sebagaimana dijelaskan di atas, menurut Nicholson, bahwa masalah yang berkaitan dengan sufisme adalah sesuatu yang tidak dapat didefinisikan secara jelas dan terang, bahkan semakin banyak

7 Muha mma d Hafiun, Teori Asal Usul Tasawuf, (Yogya ka rta : Jurna l Da kwa h, 2012), Vol. XIII, No. 2, ha l. 242-244

8 AS-Suhra wa rdi, Awarif al-Ma,rif (Ka misy Ihya ’ ‘Ulum a l-Din, Singa pura:

Mar’i), hal. 313

9 Al-Gha za li, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, (Sema ra ng: Makta bah Usa ha Kelua rga ), ha l.

376

10 Amin a l-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Alam al-Ghuyub, (Sura baya:

Bungkul Inda h), ha l. 406

102

didefinisikan maka semakin jauh dari makna dan tujuan.11 Hal ini biasa terjadi karena hasil pengalaman sufistik tergantung pada pengamalan masing-masing tokoh sufi. Namun, menurut Abuddin Nata, bahwa walaupun setaip para tokoh sufi berbeda dalam merumuskan arti tasawuf tapi pada intinya adalah sama, bahwa tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah.

Atau dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dan bersama Allah.12