• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proyek / Usaha

C. Pengertian Hati Nurani

Al-Qalb merupakan bentuk singular dari al-qulub, diambil dari kata qa-la-ba. Dikatakan qalb, karena perubahan yang terjadi padanya. Ibn Manzur mengatakan: “qalbu qalbi: ay tah wil al-yai’ ‘an wajhihi”, yang berarti perubahan pada sesuatu.21

Hati menurut Kamus Dewan adalah organ dalam badan yang berwarna perang kemerah-merahan di dalam perut di bagian sebelah kanan yang berfungsi mengeluarkan empedu, mengawal kandungan gula dalam darah, menyembuhkan kesan keracunan nitrogen, menghasilkan urea dan menyimpan glikogen. Hati

19 Mustofa , Akhlak Tasawuf, (Ba ndung: CV. Pusta ka Setia . 2014), ha l. 116

20 Abuddin Na ta , Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, ha l. 114

21 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid: 1, (Beirut: Da r Sa dr, Cet. 1, T. Th), ha l.

680

76

menurut Kamus Dewan juga adalah jantung.22 Begitu juga di dalam Macmillan English Dictionary, hati bermaksud jantung iaitu organ yang berada di dalam badan yang mengepam darah yang terletak di kawasan dada.23

Abu‘Abdullah ibn ‘Ali ibn al-Hasan ibn Basyar al-Hakim al-Tirmidzi, yang akrab disapa dengan al-Hakim al-Tirmidzi (selanjutnya disebut Hakim), seorang sufi abad ke-3 H/ 9 M yang memiliki konsepsi hati disebut maqamat al-qalb. Baginya, hati merupakan entitas yang memiliki tingkatan-tingkatan batin, yaitu dada (sadr), hati (qalb), hati kecil (fu’ad), dan hati nurani (lubb).24

Dalam al-Qur’an kata lubb disebutkan dalam bentuk بابلا sebanyak 16 kali. Bagi Hakim lubb merupakan tingkatan batin hati yang keempat, yang berada di dalam fu’ad. Ia ibarat retina mata, atau seperti cahaya lampu, atau seperti sari pati buah dalam buah badam. Mata, lampu, dan buah setiap bagian-bagian luar yang ada pada dirinya akan menjadi pelindung bagi yang berada di dalamnya. Menurut hakim, lubb terkait dengan cahaya tauhid dan tafrid, di mana cahaya tersebut merupakan cahaya yang paling sempurna dan penguasa atas cahaya-cahaya yang lainnya.

Maka lubb ibarat gunung yang besar dan tingkatan yang paling tinggi yang tidak akan hilang dan bergerak. Cahaya tauhid

22 Kamus Dewan, (Kua la Lumpur: Dewa n Baha sa dan Pustaka , 2013), Edisi ke-4

23 Hoey, M, Macmillan English Dictionary. (United Kingdom: Ma cmillan Publishers Limited, 2006)

24 Al-Ha kim a l-Tirmidz i, Bayan al-Farq baina al-sadr wa al-Qalb wa al-Fu’ad wa al-Lubb, (Ka iro: Ma rka z a l-Kita b li a l-Na syr,T. Th), ha l. 17

77

merupakan inti pokok dari agama, di mana seluruh cahaya merujuk kepadanya. Oleh karena itu, tidak akan sempurna cahaya Islam, iman, dan makrifat kecuali dengan baiknya cahaya tauhid, dan tidak akan kokoh cahaya-cahaya tersebut kecuali dengan kekokohan cahaya tauhid, dan tidak akan ada kecuali dengan adanya cahaya tauhid, sehingga dengannya seorang hamba dikatakan sah keimanannya.25

Hakim berkata: “Ketahuilah bahwa cahaya lubb tidak ada kecuali bagi orang-orang yang beriman, mereka adalah golongan khawwas hamba Allah yang menerima syariat-Nya dengan ketaatan, dan menjauhkan dirinya dari hawa nafsu dan kenikmatan dunia, yang dengan keimanannya mereka dipakaikan pakaian takwa.”

Dalam pandangan Hakim orang-orang tersebut di atas dijauhkan Allah dari bala. Karenanya, disebut ulul al-bab, yaitu orang-orang yang diberi perlakuan khusus oleh Allah melalui teguran dan pujian yang termaktub dalam al-Qur’an.

Sebagaimana yang Allah firmankan dalam QS. al-Maidah:100 dan QS. al-Baqarah: 269.

➔



❑⧫

⬧

◆

❑⬧◆

⧫

◆

❑→⬧

⬧



⧫

⧫

➔⬧

❑⬧➔



“Katakanlah: "tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka

25 Al-Ha kim a l-Tirmidz i, Bayan al-Farq baina al-sadr wa al-Qalb wa al-Fu’ad wa al-Lubb, (Ka iro: Ma rka z a l-Kita b li a l-Na syr,T. Th), ha l. 17

78

bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S Al-Maidah [5]:100)

⬧

⬧☺⬧

⧫

⬧ ⧫◆  ⧫

⬧☺⬧

⬧⬧

◆





⧫◆

⧫



❑

⧫



“Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 269)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, lubb merupakan inti dari segala hati yang terkait dengannya cahaya tauhid, dimana cahaya-cahaya seperti Islam, iman, dan makrifat tidak sempurna kecuali dengannya.26

Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Atas dasar inilah muncul aliran intuisisme, yaitu paham yang mengatakan bahwa perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan kata hati atau hati nurani. 27

Menurut Andre Cresson (1869-1950), Seorang ilumuwan Prancis berkomentar: “Kebanyakan orang, bahkan hampir dikatakan seluruhnya, merasakan keberadaan hati nurani pada diri

26 Ryandi, Jurnal: Konsep Hati Menurut Al-Hakim At-Tirmidzi, (Gontor:

Pa sca sa rja na ISID, 2014), ha l. 120

27 Abuddin Na ta , Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, ha l. 114

79

mereka setelah mereka menginjak usia dewasa. Setiap kali mereka hendak memulai pekerjaan tertentu, mereka merasakan bahwa pekerjaan itu tidak keluar dari tiga kemungkinan: (1) harus dikerjakan atau (2) harus ditinggalkan, atau (3) tidak harus dikerjakan.”

Dengan melakukan pekerjaan itu- baik mengikuti petunjuk hati nurani atau tidak- mereka akan menemukan berbagai macam perasaan pada diri mereka. Jika patuh terhadap petunjuk hati nurani, mereka pasti akan menghargai diri mereka, yakni kepuasan akhlaki, tetapi jika tidak mengikutinya, mereka akan merasakan kehinaan pada diri mereka atau lebih dikenal dengan istilah teguran hati nurani. 28

Dari mana sumber hati nurani? Siapa/apa yang membentuknya? Apakah ia bawaan sejak lahir ataukah ia adalah hasil dari berbagai factor luar yang dialami manusia?

Immanuel Kant, Jean Jacques Rousseau (1712-1778), Rene Descartes (1596-1650) adalah tokoh-tokoh yang berpendapat bahwa nurani adalah insting yang melekat pada semua manusia. Ada juga yang berpendapat bahwa nurani tercipta melalui pengalaman keseharian, yakni yang baik adalah yang dibuktikkan oleh pengalaman dan disepakati oleh masyarakat kebaikannya, sedangkan sebaliknya adalah keburukan.

John Struart Mill (1820) berpandangan lain. Filsuf Inggris ini berpendapat bahwa tingkah laku yang berkaitan dengan moral,

28 Qura ish Shiha b, Yang Hilang Dari Kita : Akhlak, (Ciputa t: Lentera Hati, 2016), ha l. 44

80

nilai-nilainya diperoleh manusia secara turun-temurun, generasi demi generasi. Jadi ia tidak bersifat individual, melainkan kolektif. Ia berkembang melalui pewarisan dari manusia dengan lingkungannya; dan dari sini tolok ukur akhlak adalah pembenaran antara bermanfaat dengan yang tidak bermanfaat.29

Agamawan berkomentar bahwa tidak musthil mereka semua mendengar bisikan dalam hatinya, tetapi bisikan itu walau bersumber dari hati dan dinamai hati nurani, tetapi ia pada hakikatnya bukan jasmani kebenaran. Hati dapat kotor, ia dapat dipengaruhi oleh setan. Setan atau nafsu manusia membisikan kepada manusia apa yang dianggap oleh yang mendengarnya sebagai bisikan hati nurani. Mengikuti nurani memang dapat menimbulkan ketenangan batin, tetapi bisikan nurani tidak selalu benar karena apa yang dinamai “hati nurani” adalah produk pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan kondisi socia l serta budaya yang tentu saja dapat berbeda antara seorang dengan yang lain.

Sekali lagi hati nurani terbentuk dari pendidikan, pengalaman, dan lingkungan sehingga tidak mustahil ada “bisikan nurani” yang dibisikan dari setan. Kalaupun akan menjadikan hati nurani sebagai tolok ukur, itu adalah yang telah terbentuk melalui pendidikan dan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan norma budaya positif. 30

29 Qura ish Shiha b, Yang Hilang Dari Kita : Akhlak, (Ciputa t: Lentera Hati, 2016), ha l. 44

30 Qura ish Shiha b, Yang Hilang Dari Kita : Akhlak, , ha l. 45-46

81

D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani