• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Dosis Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja melakukan pekerjaannya di departemen Metal Forming dan Heat

METODOLOGI PENELITIAN

6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan Dengan Gangguan Pendengaran Pekerja melakukan pekerjaannya di departemen Metal Forming dan Heat

Treatment berupa proses pengerjaan rangkaian pesawat menggunakan mesin dan hand tools seperti palu, rooter dan gerinda. Kondisi dari bengkel Metal Forming dan Heat Treatment diketahui memiliki bahaya kebisingan tinggi diatas nilai ambang batas. Exposure limit yang direkomendasikan oleh NIOSH untuk bahaya kebisingan adalah 85 dB equivalen dengan 100% dosis selama 8 jam per hari (NIOSH, 1998).

Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Soepardi, 2007).

Mekanisme terjadinya kebisingan dimulai dari bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel syaraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan oleh getaran dari sumber bunyi. Gelombang

tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya dan pada saat bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki karena mengganggu atau timbul diluar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi tersebut dinyatakan sebagai kebisingan (Pradana, 2013).

Pengukuran dosis kebisingan dilakukan apabila kebisingan yang memapar pekerja terdiri dari periode yang berbeda begitu pun dengan tingkat kebisingannya (Istantyo, 2011). Peleliti menentukan dosis kebisingan yang diterima pekerja didasarkan pada jenis pekerjaan dan lamanya pekerja melakukan pekerjaan tersebut yang didapat melalui kuesioner (recall aktivitas). Pengukuran dosis kebisingan dengan menggunakan recall aktivitas dilakukan karena pekerja melakukan pekerjaan yang sama dari hari ke hari, sehingga dapat diasumsikan bahwa recall aktivitas dapat menggambarkan dosis kebisingan harian yang diterima pekerja. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan penulis berdasarkan data kuesioner, pengukuran dilakukan di titik-titik pekerja berada dibantu oleh supervisor atau leader dari tiap unit di depertemen Metal Forming dan Heat Treatment. Pengukuran intensitas kebisingan dilakukan pada jam 09.00 WIB sampai dengan jam 11.00 WIB, kemudian pada jam 13.00 WIB sampai dengan jam 15.00 WIB. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut merupakan jam operasional pekerja.

Pada tabel 5.3 diketahui bahwa distribusi frekuensi pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari NAB (≥100%) sebanyak 53 dari 66 pekerja (80,3%). Sedangkan 13 dari 66 pekerja (19,7%) menerima paparan kebisingan kurang dari NAB (<100%). Sementara pada tabel 5.4, dapat diketahui bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,000).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011), yang mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti memiliki hubungan yang sangat signifikan terhadap gangguan fungsi pendengaran dengan nilai pvalue sebesar 0,000. Berdasarkan nilai OR pada analisis multivariat untuk variabel dosis kebisingan sebesar 19,279, artinya pekerja yang menerima dosis kebisingan lebih dari 100% atau equivalen dengan 85 dB memiliki peluang 19,279 kali lebih berisiko untuk mengalami gangguan fungsi pendengaran dibandingkan dengan pekerja yang menerima dosis kebisingan <100%.

Bising berpengaruh terhadap tenaga kerja, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain gangguan pendengaran, fisiologi, serta gangguan psikologi. Bising menimbulkan kerusakan di telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disosiasi organ Corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Selain itu bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ Corti dengan menggunakan mikroskop elektron didapatkan hasil bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Soepardi, 2007).

Jenis kerusakan yang timbul pada struktur organ tertentu tergantung pada intensitas, lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian dengan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serat aferen.

Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi yang lebih keras disertai waktu pajanan yang lebih lama akan menimbulkan kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran Reisner. Pajanan bising dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada lamina retikularis.

Melalui penelitian eksperimental diketahui bahwa nada murni dengan frekuensi tinggi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputus dan degenerasi sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik pada sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organ Corti (Ballenger, 1997).

Upaya untuk menanggulangi masalah kebisingan di tempat kerja yaitu perusahaan sebaiknya membentuk program konservasi pendengaran. Menurut Mahmud (2009), jika kebisingan di area lingkungan kerja telah melebihi 85 dB, maka industri tersebut wajib menerapkan program konservasi pendengaran. Program Konservasi Pendengaran merupakan rangkaian kegiatan yang sistematik dan bertujuan untuk mencegah terjadinya ketulian pada para pekerja yang terpapar kebisingan tinggi (OSHA, 2002). Terdapat delapan elemen dalam program konservasi pendengaran sesuai dengan ketentuan Direktorat Bina Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan (2006) yaitu, monitoring pajanan bising, pengendalian secara teknik, pengendalian administratif, pelatihan dan pendidikan pekerja, audiometri, evaluasi dan dokumentasi, dan audit program.

Upaya pengendalian kebisingan dengan mereduksi bising dari sumber perlu dilakukan. Contoh dengan memasang pembatas atau tameng atau perisai yang dikombinasikan dengan peredam suara yang dipasang di langit-langit. Hal ini dapat digunakan saat proses pengerjaan menggerinda kerangka sayap pesawat yang dapat menibulkan bising dengan frekuensi tinggi, yang dapat mengganggu setiap orang di area tersebut. Selain itu untuk proses menggerinda dapat dilindungi dengan sekat perisai pada kedua sisinya dan menempatkan “baffels” penyerap suara pada langit-langit.

Upaya lain yang dapat dilakukan yaitu dengan cara pembatasan pemaparan bising dengan mengontrol lingkungan mesin atau perlindungan diri pekerja yang terpapar bising dengan menggunakan alat pelindung telinga. Kedua cara

ini mampu untuk menghilangkan atau mengurangi bising yang masuk ke telinga dalam.