• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Riwayat Merokok Dengan Gangguan Pendengaran Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung

METODOLOGI PENELITIAN

6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok Dengan Gangguan Pendengaran Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung

dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin, spasme pembuluh darah, kekentalan darah atau juga melalui arteriosklerotik. Insufiensi sistem sirkulasi darah pada organ koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif dan paling sering timbul pada usia tua (presbycusis).

Berdasarkan analisis univariat pada tabel 5.3, dapat diketahui bahwa 10 dari 66 (15,2%) pekerja merupakan perokok berat- perokok sedang, 23 dari 66 (34,8%) pekerja merupakan perokok ringan dan 33 dari 66 (50,0%) pekerja

adalah bukan perokok. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.9 diketahui bahwa riwayat merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015 (pvalue = 0,034).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tandiabang (2010) dengan menggunakan desain studi kasus kontrol menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kelompok perokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja PT. X Provinsi Sulawesi Selatan. Melalui analisis multivariat diketahui bahwa dari semua variabel, perokok berat (p = 0.006<0.05) yang mempunyai pengaruh risiko yang bermakna terhadap timbulnya gangguan fungsi pendengaran. Penelitian lainnya yang dilakukan Baktiansyah (2004), mengenai hubungan merokok dengan gangguan pendengaran di PT X diketahui bahwa pekerja yang diklasifikasikan sebagai perokok berat/sedang mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan gangguan pendengaran (p=0,007). Dengan OR 5,40 mengindikasikan bahwa perokok sedang-berat mempunyai risiko 5,4 kali lebih besar untuk mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok ringan.

Rokok mengandung nikotin dan karbonmonoksida yang mempunyai efek mengganggu peredaran darah, bersifat ototoksik secara langsung dan merusak sel saraf organ koklea. Karbonmonoksida menyebabkan iskemia melalui produksi karboksi-hemoglobin (ikatan antara CO dan hemoglobin) sehingga hemoglobin menjadi tidak efisien mengikat oksigen. Seperti diketahui, ikatan

antara hemoglobin dengan CO jauh lebih kuat ratusan kali dibanding dengan oksigen. Akibatnya, terjadi gangguan suplai oksigen ke organ korti di koklea dan menimbulkan efek iskemia. Selain itu, efek karbonmonoksida lainnya adalah spasme pembuluh darah, kekentalan darah dan arteriosklerotik.

Mizoue et al. (2002) meneliti pengaruh merokok dan bising terhadap gangguan pendengaran melalui data pemeriksaan kesehatan 4.624 pekerja pabrik baja di Jepang. Hasilnya memperlihatkan gambaran yang signifikan berupa terganggunya fungsi pendengaran pada frekuensi tinggi akibat merokok dengan risiko tiga kali lebih besar. Insufisiensi sistem sirkulasi darah koklea yang diakibatkan oleh merokok menjadi penyebab gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif. Pembuluh darah yang menyuplai darah ke koklea tidak mempunyai kolateral sehingga tidak memberikan alternatif suplai darah melalui jalur lain.

Tandiabang (2010) menyatakan bahwa derajat merokok diduga menjadi faktor risiko gangguan pendengaran. Riwayat merokok berdasarkan indeks Brikmann dibagi menjadi 4 kelompok yaitu bukan perokok, perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya mengelompokkan riwayat merokok menjadi 3 yaitu bukan perokok, perokok ringan dan perokok sedang–berat. Pembagian tersebut didasarkan pada perkalian antara lama merokok (tahun) dengan jumlah batang rokok yang dihisap tiap harinya.

Hasil analisis univariat untuk kategori bukan perokok menunjukkan bahwa pekerja yang bukan perokok sebanyak 33 pekerja (50%) dan dari 45 pekerja

yang mengalami gangguan pendengaran terdapat 26 pekerja yang termasuk bukan perokok. Tingginya angka bukan perokok yang mengalami gangguan pendengaran bisa terjadi karena pekerja tersebut sebelumnya merupakan mantan perokok. Dari 33 orang pekerja yang bukan perokok diketahui sebanyak 20 pekerja merupakan mantan perokok (60,6%). Risiko negatif yang ditimbulkan oleh rokok merupakan suatu reaksi yang lama tergantung kepada tingkat ototoksik yang diterima tubuh akibat pajanan rokok tersebut dan kerentanan individu. Jika ototoksik yang diterima tubuh sudah sangat besar maka akan mempengaruhi kesehatan termasuk pendengaran.

Sedangkan untuk perokok ringan, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak 11 pekerja yang termasuk kategori perokok ringan. Penelitian Nakanishi menemukan bahwa perokok ringan memiliki risiko 1,82 kali (95% CI 0,92 – 3,59) untuk mengalami gangguan pendengaran namun risiko tersebut tidak bermakna. Penelitian Nakishi hanya menyimpulkan bahwa perokok ringan dapat menjadi faktor pemberat untuk timbulnya gangguan pendengaran yang disebabkan oleh faktor lain ataupun jika perokok ringan berkembang menjadi berat maka kemungkinan gangguan pendengaran akan timbul. Tidak adanya keterkaitan ini disebabkan efek pengaruh rokok dan komponen-komponennya terhadap sistem tubuh secara umum termasuk risiko negatif terhadap sistem pendengaran merupakan suatu proses yang lama (degenerasi) dan tergantung jumlah pajanan serta kerentanan individu. Selain itu, tubuh manusia sendiri (terlebih pada usia muda) memiliki kemampuan eliminasi dan adaptasi zat-zat

toksik misalnya karbonmonoksida dan nikotin dalam jumlah dan batas tertentu (ambang batas) yang masuk kedalam tubuh. Namun kemampuan sistem pertahanan ini pun seiring dengan waktu akan semakin menurun dan pada akhirnya zat-zat toksik tersebut akan mengakibatkan gangguan juga terhadap tubuh manusia (Tandiabang, 2010).

Hasil untuk perokok sedang-berat, diketahui bahwa dari 45 pekerja yang mengalami gangguan pendengaran terdapat sebanyak delapan pekerja yang termasuk kategori perokok sedang-berat. Menurut Tandiabang (2010), perokok berat memiliki hubungan yang bermakna dengan gangguan pendengaran. Hubungan tersebut dapat dijelaskan oleh penelitian eksperimental pada binatang percobaan yang dilakukan Irvine (2007) di University of California yang memperlihatkan bahwa kadar nikotin yang sangat tinggi (30–60 mg) di dalam darah dapat mengganggu fungsi fisiologis neurotransmiter saraf yaitu asetilkolin yang juga terdapat di dalam sistem persarafan telinga. Nikotin menempati (mengikat) reseptor-reseptor asetilkolin dipermukaan sel saraf atau dengan kata lain nikotin bersifat competitor terhadap asetilkolin, selain dapat pula merusak reseptor-reseptor asetilkolin tersebut terutama jika pajanan terjadi pada masa prenatal. Sehingga kebiasaan merokok dalam dosis besar dan waktu yang lama akan bersifat toksik bagi fungsi pendengaran dan pada akhirnya mengganggu fungsi pendengaran baik langsung (toksik nikotin) maupun tidak langsung (proses degenerasi).

Sampai saat ini, telah dilaporkan bahwa mekanisme kehilangan pendengaran akibat kebisingan terjadi meliputi distorsi dan kehilangan

struktur normal karena kerusakan Stereosilia setelah terpapar kebisingan, dan kerusakan sel-sel rambut organ Corti karena kerusakan DNA (akibat peningkatan kadar radikal bebas beracun dan spesies oksigen reaktif yang dihasilkan selama terpapar kebisingan), degradasi lipid dan protein dan percepatan apoptosis. Mekanisme merokok mempengaruhi organ pendengaran termasuk ototoxicity langsung nikotin dan iskemia koklea akibat meningkatnya tingkat carboxyhemoglobin, vasokonstriksi, dan peningkatan viskositas darah akibat merokok. Selain itu, ditandai juga dengan berkurangnya suplai darah ke koklea dari pembuluh darah tunggal dan kurangnya sirkulasi kolateral. Hal ini juga ditandai dengan aktivitas metabolisme sel-sel rambut yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sangat rentan terhadap cedera iskemik. Berdasarkan hal tersebut, perokok yang bekerja di tempat kerja yang bising akan lebih rentan terhadap gangguan pendengaran dibandingkan dengan bukan perokok karena keterlibatan kompleks mekanisme ini (Sung et al., 2013).

Penelitian eksperimental Mami Iida pada tahun 1998 di Jepang memperlihatkan bahwa jumlah kadar nikotin di dalam darah menentukan efeknya terhadap serebrovaskular. Pada kadar nikotin rendah (<30 mg) ataupun waktu paparan singkat, tubuh dapat beradaptasi (mekanisme pertahanan) sehingga efek nikotin terhadap serebrovaskular tidak muncul. Namun, jika kadar nikotin semakin tinggi (kadar toksik nikotin 0,5 – 1,0 (mg/kgBB), waktu pajanan yang lama, ataupun respon tubuh menurun

(mekanisme eliminasi dan adaptasi melemah), maka efek nikotin terhadap serebrovaskular akan memperlihatkan dampak.

Sebanyak 90,9% pekerja di PT. Dirgantara Indonesia mengkonsumsi rokok filter dan 9,1% pekerja mengkonsumsi rokok kretek. Berdasarkan bahan dan ramuan, rokok digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu rokok kretek, yakni rokok yang memiliki ciri khas adanya campuran cengkeh pada tembakau rajangan yang menghasilkan bunyi kretek-kretek ketika dihisap dan rokok putih yaitu rokok dengan atau tanpa filter menggunakan tembakau virginia iris atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh, digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan kecuali yang tidak diijinkan berdasarkan ketentuan Pemerintah RI. Rokok kretek di Indonesia sangat populer karena memiliki kandungan tar dan nikotin cukup tinggi dibandingkan dengan produk rokok lainnya (Kurniawan dan TNR, 2003) yaitu sampai 60 mg nikotin dan 40 mg tar. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pekerja yang mengkonsumsi rokok jenis kretek lebih berisiko untuk terkena gangguan pendengaran dibandingkan dengan mengkonsumsi rokok jenis filter. Hal ini dikarenakan kadar nikotin yang tinggi di dalam rokok jenis kretek.

Meskipun penelitian ini telah membagi kelompok perokok berdasarkan indeks Brikmann yang pengelompokkannya berdasarkan pada jumlah batang yang dihisap per hari dan lamanya merokok (tahun), namun terdapat kekurangan penelitian yaitu peneliti tidak menganalisis pekerja yang pernah merokok (telah berhenti merokok pada saat penelitian ini dilakukan).

Seseorang yang pernah merokok kemungkinan dapat menyimpan residu dari zat-zat toksik di dalam tubuhnya, hal ini memungkinkan adanya bias dalam penelitian. Penelitian yang akan datang sebaiknya memperhatikan hal tersebut. Saran pengendalian yang dapat diberikan kepada perusahaan yaitu dengan memberikan pendidikan dan penyuluhan kesehatan terkait bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Upaya penyuluhan merupakan suatu usaha dalam memberikan sikap selamat, sikap konstruktif dan menghilangkan prasangka yang merugikan. Selama ini perusahaan belum memberlakukan larangan merokok di tempat kerja, sehingga perusahaan dapat memberlakukan peraturan mengenai larangan merokok di tempat kerja dan memberikan sanksi tegas pada pekerja yang melanggar larangan tersebut. Dengan demikian, selama 8 jam kerja pekerja akan terbebas dari rokok sehingga diharapkan akan mengurangi konsumsi rokok pekerja.

6.8Hubungan Antara Hobi Terkait Bising Dengan Gangguan Pendengaran