FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN PENDENGARAN PADA PEKERJA DI
DEPARTEMEN METAL FORMING DAN HEAT TREATMENT
PT. DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
DINI RAHMAWATI 1110101000075
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, Mei 2015
Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
(xvi, 140 halaman, 14 tabel, 2 bagan, 8 lampiran)
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam rancang bangun, pengembangan, dan manufacturing pesawat terbang. Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan. Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan. Kebisingan yang ada di lingkungan kerja berkisar antara 80 – 103 dB (A). Pada studi pendahuluan, ditemukan sebanyak 93,3% dari 15 responden mengeluh sering mengalami telinga berdengung.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Populasi penelitian adalah seluruh pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment sebanyak 178 orang, sedangkan sampel penelitian sebanyak 66 orang yang telah dilakukan tes pendengaran dengan alat garpu tala. Penelitian ini menggunakan analisis chi square untuk melihat hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dosis kebisingan, usia, penggunaan alat pelindung telinga dan riwayat merokok dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia tahun 2015.
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
Skripsi, May 2015
Dini Rahmawati. NIM : 1110101000075
Factors Associated with Hearing Loss On Workers in the Department of Metal
Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 2015 (xvi ,140 Pages, 14 tables, 2 charts, 8 attachments)
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) is one of the airlines in Asia which is experienced and competent in the design, development, and manufacturing of aircraft. The productivity of the company is currently supported by 232 units of machinery and equipment. In addition, there are several other tools scattered in various assembly lines, laboratories, services and maintenance unit. Existing noise in the working environment ranges between 80-103 dB (A). In the preliminary study, it was found as many as 93.3% of the 15 respondents complained their experiences of having sound of drone in the ears that bothers while working.
This research is a quantitative research with cross sectional study design to determine the factors associated with hearing loss. The study population was all workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment as many as 178 people, while the samples are 66 people who have a hearing test conducted by means of a tuning fork. The chi square analysis is used to examine the relationship between dependent and independent variables. The survey results revealed that there was a significant relationship between the dose of noise, age, use ear protective equipment and smoking history hearing loss in workers in the department of Metal Forming and Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia in 2015.
In order to reduce the risk of hearing loss, the company should better perform the hearing conservation program, conduct examination of the ear (audiometric tests), perform technical control, limit the working time in noisy areas, carry out the maintenance of machines and working tools, provide training on the use of protective gear for ear and provide oversight of the use of ear protection, provide an education and counseling related to the dangers of smoking and prohibit workers turn the music on while working.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Dini Rahmawati
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Bekasi, 09 Mei 1992
Alamat : Kp. Karehkel RT 02/RW 02, Kec. Leuwiliang, Kab. Bogor
No. Handphone : 0813-9955-3038
E-mail : dinirahmaa7@gmail.com
Pendidikan Formal
Tahun Nama Institusi
2010 – 2015 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Kesehatan Masyarakat
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan semesta alam yang
selalu memberikan kenikmatan tak terkira kepada makhluk-Nya. Atas segala
pertolongan dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015”. Sholawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah menuntun umatnya menuju kehidupan yang
penuh dengan cahaya Islam.
Penulisan skripsi ini bukanlah semata-mata hasil usaha penulis sendiri
melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan berupa materi, doa,
motivasi, dan bimbingan. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yaitu kepada:
1. Keluarga penulis (Bapak, Mimi, Dede, dan Aa (juga Syeikh dan Ummi))
terima kasih atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang diberikan
selama penulis menuntut ilmu di bangku kuliah.
2. Bapak Dr. Arif Sumantri, M.Kes, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D, selaku kepala program studi Kesehatan
Masyarakat yang senantiasa menjadikan program studi ini menjadi lebih
baik.
4. Ibu Iting Shofwati, ST, MKKK selaku dosen pembimbing I yang selalu
sabar, tegas, semangat, dan ikhlas untuk membimbing penulis. Terima
kasih ibu atas waktu, doa dan motivasinya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Tetap semangat untuk menjadi cahaya penolong
5. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang
selalu siap memberikan bimbingannya dan arahan yang positif sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan sarannya yang
positif untuk perbaikan skripsi penulis.
7. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKes, Ph.D selaku dosen penguji sidang
skripsi, terima kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji dan memberikan
saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
8. Ibu Meilani Anwar, SKM, M.T selaku dosen penguji sidang skripsi, terima
kasih atas kesediaan Ibu menjadi penguji, membimbing, menyemangati
dan memberikan saran yang positif untuk perbaikan skripsi penulis.
9. Bapak Sudaryanto dan Pak Tedi selaku K3LH dan Pak Purwadi
Riwayanto selaku Manager Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia yang sudah mengijinkan dan mempermudah penulis melaksanakan penelitian ini.
10.Ibu Ayu, Pak Bambang, Pak Asep, Pak Dadi, Pak Nyoto, Pak Endang, Pak
Bumi, Pak Yadi dan seluruh pekerja di PT. Dirgantara Indonesia yang
telah bersedia membantu penelitian ini.
11.Kak Ami, Kak Septi, Ka Ida dan Pak Ajib yang sudang setia mendengar
keluh kesah penulis dan membantu penulis dengan sabar.
12.Untuk teman-teman K3 2010, Kinoy, Weti, Cinta, Epoy, Asro, Mono,
Agung, Ajis, Dian, Randi, Dika, Dani, Iqbals, Bang Jek, dan Masshon
yang telah memberikan warna-warni dalam masa-masa kuliah. Semoga
silaturahmi kita tetap terjaga selamanya. Selamat berjuang menuju babak baru kehidupan teman-teman.
13.Teman-teman Kebab tersayang dan tersanjung. Kita berbeda tapi tetap “sama”. Jangan pernah lupakan persahabatan ini. Semangat meraih cita -cita eonni.
14.Teman-teman Kesmas UIN 2010 yang sudang membantu penulis selama
15.Semua orang yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat dituliskan satu per satu, terima kasih dan semoga
Allah membalas kebaikan kalian.
Dengan memohon keridhoan Allah Swt, penulis berharap seluruh kebaikan
yang telah diberikan mendapat balasan Allah Swt. Aamiin. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca luas pada umumnya.
Jakarta, Mei 2015
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan i
Abstrak ii
Abstract iii
Pernyataan Persetujuan Pembimbing iv
Pernyataan Persetujuan Penguji v
Daftar Riwayat Hidup vi
Kata Pengantar vii
1.3 Pertanyaan Penelitian 7
1.4 Tujuan Penelitian 9
1.4.1 Tujuan Umum 9
1.4.2 Tujuan Khusus 9
1.5 Manfaat Penelitian 11
1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 11
1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) 12
1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan 12
1.6 Ruang Lingkup Penelitian 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran 13
2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia 17
2.1.3 Mekanisme Mendengar 18
2.1.4
Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing
Loss) 19
2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran 20
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran 23
2.2.1 Dosis Kebisingan 23
2.2.1.1 Kebisisngan 23
2.2.1.2 Pengertian Dosis Kebisingan 43
2.2.2 Usia 45
2.2.3 Masa Kerja 48
2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Diri 51
2.2.5 Riwayat Merokok 53
2.2.6 Penggunaan Obat Ototoksik 55
2.2.7 Lingkungan Tempat Tinggal 58
2.2.8 Jenis Kelamin 59
2.2.9 Hobi Terkait Bising 57
2.2.10 Riwayat Penyakit 61
2.3 Kerangka Teori 63
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep 64
3.2 Definisi Operasional 66
3.3 Hipotesis Penelitian 70
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian 71
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 71
4.3 Populasi dan Sampel 71
4.3.2 Sampel 72
4.3.3 Metode Sampling 73
4.4 Pengumpulan Data 74
4.4.1 Sumber Data 74
4.4.2 Alur Pengumpulan Data 74
4.5 Pengolahan Data 81
4.6 Analisis Data 82
4.6.1 Analisis Univariat 82
4.6.2 Analisis Bivariat 83
BAB V HASIL
5.1 Gambaran Umum Perusahaan 85
5.1.1 Profil Perusahaan 85
5.1.2 Visi dan Misi 87
5.1.3 Kebijakan Keselamatan dan Kesejahteraan Kerja Perusahaan 87
5.1.4
Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan
Heat Treatment Tahun 2015 87
5.2 Analisis Univariat 91
5.2.1 Gambaran Gangguan Pendengaran 91
5.2.2
Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan
Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015 92
5.3 Analisis Bivariat 97
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian 102
6.2 Gangguan Gangguan Pendengaran 102
6.3 Hubungan Antara Dosis Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran 106
6.4 Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Pendengaran 111
6.5 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Pendengaran 113
Pendengaran
6.7 Hubungan Antara Riwayat Merokok dengan Gangguan Pendengaran 122
6.8
Hubungan Antara Hobi yang Terkait Bising dengan Gangguan
Pendengaran 129
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 133
7.2 Saran 135
DAFTAR TABEL
2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan 28
3.1 Definisi Operasional 66
4.1 Daftar Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment 72
4.2 Contoh Perhitungan Dosis Kebisingan 76
4.3 Gambaran Hasil Diagnosis Tes Penala 79
4.4 Daftar Kode Variabel 82
5.1 Gambaran Tingkat Kebisingan di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
90
5.2 Gambaran Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
91
5.3 Gambaran Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran
pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
93
5.4 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang
Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen
Metal Forming dan Heat Treatment Tahun 2015
94
5.5 Alasan Tidak Menggunakan Alat Pelindung Telinga pada Pekerja di
Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
95
5.6 Gambaran Merokok pada Perokok di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
96
5.7 Gambaran Jenis Rokok pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
96
5.8 Jenis Hobi Terkait Bising pada Pekerja di Departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
97
5.9 Gambaran Hubungan antara Gangguan Pendengaran dengan Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Gangguan Pendengaran pada Pekerja di Departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Tahun 2015
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori 63
DAFTAR LAMPIRAN
1. Permohonan Izin Pengambilan Data 142
2. Surat Penerimaan Melaksanakan Penelitian 143
3. Struktur Organisasi PT. Dirgantara Indonesia 144
4. Denah Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia 145
5. Surat Persetujuan Subjek Penelitian 146
6. Kuesioner 147
7. Lembar Penelitian 151
8. Lembar Observasi Dosis Kebisingan 152
9. Lembar Observasi Penggunaan APT 153
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Salah satu tekanan yang berasal dari faktor fisik adalah kebisingan.
Kebisingan di lingkungan kerja dapat menimbulkan gangguan terhadap
kesehatan. Kebisingan selain mempunyai dampak pada gangguan
pendengaran (auditory), dalam beberapa riset terakhir dilaporkan mampu
menimbulkan gangguan yang bersifat extraauditory, seperti stres
psikologik, perubahan sirkulasi darah, kelelahan dan perasaan tidak senang
(annoyance) (Wagshol, 2008).
Gangguan pendengaran jangka pendek yang ditimbulkan oleh
bising, akan hilang dalam beberapa menit atau jam setelah meninggalkan
area kebisingan tinggi. Namun, jika pekerja terpapar dengan kebisingan
tinggi secara terus menerus dan berulang akan mengakibatkan gangguan
pendengaran secara permanen (Soeripto, 2008). Semakin tinggi intensitas
bising dan semakin lama pekerja terpajan bising, maka risiko pekerja
untuk mengalami gangguan pendengaran akan semakin tinggi pula
(European Agency for Safety and Health at Work, 2008).
Suasana yang bising memaksa pekerja untuk berteriak saat
berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau
(miscommunication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Lebih jauh
kebisingan terus menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi
pekerja yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya
menurunkan produktivitas kerja (Notoatmodjo, 2003).
Kebisingan di tempat kerja juga dapat mengganggu proses
sosialisasi dengan lingkungan sekitar dan pada tahap tertentu dapat
membuat pekerja diberhentikan dari pekerjaan sehingga akan berpengaruh
pada pendapatan keluarga serta gangguan produksi, terjadinya kecelakaan
kerja akibat penurunan konsentrasi, maupun kewajiban memberi
kompensasi kecacatan pendengaran pekerja (Kusuma, 2004). Pengaruh
utama kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera
pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan akibat tersebut telah
diketahui dan diterima masyarakat untuk berabad-abad lamanya
(Suma’mur, 2009).
WHO memperkirakan di tahun 2001 terdapat 250 juta orang di
dunia dengan gangguan pendengaran sedang maupun berat, angka ini
meningkat menjadi lebih dari 275 juta orang di tahun 2004. Dari jumlah
tersebut 80% diantaranya berada di negara berkembang. Angka ini terus
meningkat sejak penelitian awal yang dilakukan oleh WHO pada tahun
1986 (Haryuna, 2013). Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan
bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246
asuransi, ditemukan 85% menderita tuli saraf dan dari jumlah tersebut
37% didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz.
Selain itu menurut NIOSH (National Institute for Occupational
Safety and Health) diketahui bahwa 22 juta pekerja memiliki potensi
mengalami gangguan pendengaran setiap tahunnya dan 10 juta pekerja di
Amerika Serikat mempunyai masalah gangguan pendengaran yang
berhubungan dengan pekerjaannya. Di tahun 2007, sekitar 23.000 kasus
dilaporkan sebagai gangguan pendengaran akibat kerja atau 14%.
Kemudian tahun 2008, sekitar dua juta pekerja di Amerika Serikat
terpajan bising di tempat kerja yang berisiko mengalami gangguan
pendengaran (CDC, 2008). Di Indonesia, permasalahan bising termasuk
dalam permsalahan besar di dunia industri. Hal ini terlihat dari besarnya
prevalensi kejadian penurunan pendengaran akibat pajanan bising di
tempat kerja. untuk perusahaan plywood, pajanan bising yang diterima
pekerja berkisar 86,1-108,2 dB dengan prevalensi NIHL sebesar 31,81%
(Tana dalam Akbar, 2012).
Selain karena adanya bahaya seperti kebisingan di lingkungan
kerja, terdapat faktor lainnya yang menyebabkan ganguan pendengaran.
Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2012) terhadap para penerbang TNI
AU pesawat herkules dan helikopter didapatkan hasil bahwa tingkat
kebisingan pesawat merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap
terjadinya NIHL. Selain itu variabel jam terbang, lama kerja, umur,
(Mohammad, 2009; Tandiabang, 2010) berhubungan signifikan dengan
gangguan pendengaran. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa
rokok meningkatkan risiko terjadinya gangguan pendengaran pada
frekuensi tinggi (Mizoue T, 2003). Hal ini diperkuat dengan penelitian lain
yang menyebutkan bahwa perokok berat mempunyai risiko 12 kali lebih
besar mengalami gangguan pendengaran dibandingkan dengan perokok
ringan dan sedang (Tandiabang, 2010).
Terdapat sekitar 500 jenis pekerjaan pada industri yang berpotensi
merusak pendengaran. Salah satu jenis pekerjaan tersebut adalah industri
pesawat terbang yang mampu menghasilkan kebisingan sampai 115-130
dB. PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan salah satu perusahaan
penerbangan di Asia yang berpengalaman dan berkompetensi dalam
rancang bangun, pengembangan dan manufacturing pesawat terbang.
Kegiatan produksi saat ini didukung oleh 232 unit mesin dan peralatan.
Selain itu, terdapat beberapa peralatan lainnya yang tersebar di berbagai
lini perakitan, laboratorium, pelayanan dan unit pemeliharaan.
Salah satu departemen yang ada di PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) dengan kebisingan yang tinggi adalah departemen Metal
Forming dan Heat Treatment. Proses pekerjaan yang dilakukan di
departemen ini antara lain proses bending, press, hot press forming,
folding/plong, stretching, routing cutter, crimping, rolling, tube flaring,
antara 80 dB – 103 dB. Kebisingan tertinggi di departemen ini dihasilkan oleh bunyi dari unit sheet press forming yaitu pada proses membentuk
sayap pesawat dengan menggunakan palu yang terbuat dari logam, agar
bentuk sayap pesawat sesuai dengan kontur yang ada. Kebisingan di
ruangan kedap suara ini dapat mencapai 103 dB atau lebih.
Berdasarkan hasil pengukuran kebisingan dengan menggunakan
Sound Level Meters (SLM) di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment didapatkan bahwa rata-rata tingkat kebisingan di titik A yaitu
lokasi menggerinda pada unit sheet press forming sebesar 90,46 dB dan di
titik B yaitu lokasi pemotong pada unit profile press forming sebesar 89,2
dB, bila dibandingkan dengan Permenaker tahun 2011 tentang nilai
ambang batas faktor fisika di tempat kerja, maka kebisingan tersebut telah
melebihi nilai ambang batas yang diizinkan yaitu sebesar 85 dB.
Kebisingan yang terdapat di departemen ini cenderung kontinu.
Berdasarkan observasi langsung terhadap pekerja, terdapat beberapa
pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja atau
beberapa pekerja terlihat melepaskan APT, lalu menggunakan APT
kembali padahal kebisingan di tempat kerja telah melebihi nilai ambang
batas (NAB).
Tingkat kebisingan yang melebihi nilai ambang batas di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment dapat menyebabkan
ganguan pendengaran pada pekerja. Berdasarkan studi pendahuluan yang
15 orang pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment
diketaui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami telinga
berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut
sebanyak 86,7% merasakan telinga berdengung saat bekerja. dan 2%
pekerja tetap merasa telinga berdengung saat libur bekerja. Kemudian
66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT.
Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika
berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit
berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan
penelitian yang berjudul “faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan pengukuran kebisingan dengan menggunakan Sound
Level Meters (SLM) diketahui bahwa tingkat kebisingan di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment sudah melebihi nilai ambang batas,
dengan rata-rata tingkat kebisingan di titik A sebesar 90,46 dB dan di titik
B sebesar 89,2 dB. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan 15
pekerja diketahui bahwa 93,3% pekerja mengeluh sering mengalami
telinga berdengung. Pekerja yang mengalami telinga berdengung tersebut
66,7% pekerja merasa pendengarannya menurun sejak bekerja di PT.
Dirgantara Indonesia (Persero), 86,7% pekerja merasa terganggu ketika
berkerja di tempat yang bising dan 93,3% pekerja mengaku sulit
berkomunikasi ketika berada di tempat kerja.
Menurut beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat sejumlah
faktor risiko yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran seperti
lama kerja, umur, penggunaan APT, riwayat merokok dan hobi terkait
bising. Berdasarkan hasil temuan tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan terjadinya
gangguan pendengeran di departemen Metal Forming dan Heat Treatment
PT. Dirgantara Indonesia (Persero) pada tahun 2015.
1.3Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)?
2. Bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015?
3. Bagaimana gambaran dosis kebisingan pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
4. Bagaimana gambaran usia pada pekerja di departemen Metal Forming
5. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun
2015?
6. Bagaimana gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada pekerja
di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015?
7. Bagaimana gambaran riwayat merokok pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
8. Bagaimana gambaran hobi terkait bising pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015?
9. Apakah terdapat hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
10.Apakah terdapat hubungan antara usia dan gangguan pendengaran
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
11.Apakah terdapat hubungan antara masa kerja dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
12.Apakah terdapat hubungan antara penggunaan alat pelindung telinga
dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
13.Apakah terdapat hubungan antara riwayat merokok dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
14.Apakah terdapat hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015?
1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun
2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
2. Mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
3. Mengetahui gambaran dosis kebisingan pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
4. Mengetahui gambaran usia pada pekerja di departemen Metal
Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
5. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
6. Mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung telinga pada
pekerja di departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
7. Mengetahui gambaran riwayat merokok pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
8. Mengetahui gambaran hobi terkait bising pada pekerja di
departemen Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara
Indonesia (Persero) tahun 2015.
9. Mengetahui hubungan antara dosis kebisingan dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
10.Mengetahui hubungan antara usia dan gangguan pendengaran
pada pekerja di departemen Metal Forming dan Heat
11.Mengetahui hubungan antara masa kerja dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
12.Mengetahui hubungan antara penggunaan alat pelindung
telinga dan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen
Metal Forming dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia
(Persero) tahun 2015.
13.Mengetahui hubungan antara riwayat merokok dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
14.Mengetahui hubungan antara hobi terkait bising dan gangguan
pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming dan
Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015.
1.5Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat bagi PT. Dirgantara Indonesia (Persero)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi PT.
Dirgantara Indonesia (Persero) mengenai faktor risiko yang
berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja sebagai
salah satu indikator dari adanya gangguan kesehatan telinga yang
dialami oleh pekerja, sehingga dapat dilakukan pencegahan dan
1.5.2 Manfaat bagi Pekerja PT. Dirgantara Indonesia (Persero) Penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran
kepada para pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tentang
faktor risiko yang mempengaruhi penurunan fungsi pendengaran.
Tujuannya agar pekerja lebih memperhatikan faktor risiko yang
dapat mempengaruhi gangguan pendengaran, sehingga dapat
mengurangi angka kejadian gangguan pendengaran yang dialami
pekerja di PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
1.5.3 Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi
untuk penelitian di masa mendatang.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan
dengan gangguan pendengaran pada pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015,
dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2014 – Februari tahun 2015. Sampel dalam penelitian ini adalah pekerja di departemen Metal Forming
dan Heat Treatment. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner, pengukuran gangguan pendengaran dengan
garpu tala, pengukuran dosis kebisingan dengan recall aktivitas, dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendengaran Manusia
2.1.1 Anatomi Organ Pendengaran
Dalam buku penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepada,
dan leher jilid 2, telinga secara anatomi dan fungsional dibagi
menjadi 3 bagian: telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam.
1. Telinga Luar
Telinga luar merupakan bagian telinga yang
terdapat sebelah luar membran timpani. Terdiri dari daun
telinga dan saluran yang menuju membran timpani, yaitu di
sebelah liang telinga luar.
Daun telinga merupakan suatu lempengan tulang
rawan yang berlekuk-lekuk ditutupi oleh kulit dan
dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan ligamentum.
Lekuk daun telinga yang utama ialah heliks dan antiheliks,
tragus dan antritragus, dan konka.
Gendang telinga dan kulit liang telinga mempunyai
sifat membersihkan sendiri yang disebabkan oleh migrasi
lapisan keratin epitelium dari membran timpani ke luar ke
lapisan, lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah
medial, lapisan mukosa membatasi telinga tengah sebelah
lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan
tersebut.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak
di antara membran timpani dan kapsul telinga dalam,
tulang-tulang dan otot yang terdapat di dalamnya beserta
penunjangnya, tuba Eustachius dan sistem sel-sel udara
mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran
timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum
atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum.
Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang
letaknya lebih rendah dari membran timpani. Permukaan
tulang pada bagian ini tampak seperti gambaran kerang
karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding ini
menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah
pada dinding ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis
dapat masuk ke dalam hipotimpanum.
Mesotimpanum yang ada di sebelah medial dibatasi
oleh kapsul optik, yang terletak lebih rendah dari nervus
pada bagian basal koklea terletak tepat di sebelah medial
membran timpani dan disebut promontorium.
Tulang-tulang pendengaran membentuk suatu
sistem pengungkit dan batang yang meneruskan suatu
energi mekanis getar ke cairan periotik. Sistem tersebut
terdiri dari maleus (landasan) dan stapes (sanggurdi).
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan
respon rotasi terhadap gerakan membran timpani melalui
suatu aksis yang merupakan suatu garis antara ligamentum
maleus anterior dan ligamen inkus pada ujung prosesus
brevis.
3. Telinga Dalam
Telinga dalam terletak di pars petrosa atau pars
piramida tulang temporal dan terdiri dari koklea, vestibulum
dan tiga buah kanalis semisirkularis. Koklea merupakan
bagian telinga dalam yang terdapat pada pars petrosa tulang
temporalis. Organ korti terletak pada membran basilaris
yang merupakan struktur yang mengandung sel-sel reseptor
pendengaran, terbentang dari basis sampai apeks koklea.
Bunyi yang dilepaskan dari sumber bunyi, akan
dihantarkan melalui udara sehingga mencapai aurikula.
Selanjutnya diteruskan ke telinga tengah melalui meatus
timpani. Di sini terjadi penguatan bunyi sebesar 15 dB pada
frekuensi antara 2 sampai 5 kH. Selanjutnya getaran bunyi
akan melalui media padat yaitu tulang-tulang pendengaran.
Dalam perjalanannya getaran bunyi akan mengalami
penguatan melalui efek pengungkit rantai tulang
pendengaran yang memberikan penguatan sebesar 1,3 kali
dan efek hidrolik membran timpani sebesar 17 kali. Total
penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB.
Penguatan bunyi ini diperlukan agar bunyi mampu
merambat terus ke perilimfe. Getaran bunyi yang telah
diperkuat selanjutnya menggerakkan stapes yang menutup
foramen ovale. Pada frekuensi sonik gerakan perilimfe
dalam skala vestibuli menyebabkan getaran langsung ke
arah skala media dan menekan membran basilaris.
Gerakan membran basilaris akan menyebabkan
gesekan membran tektoria terhadap rambut sel-sel sensoris.
Pergerakan sel rambut menyebabkan perubahan kimiawi
yang akhirnya menghasilkan listrik biologik dan reaksi
biokimiawi pada sel sensorik sehingga timbul muatan listrik
negatif pada dinding sel. Ujung saraf VIII yang menempel
pada dasar sel sensorik akan menampung mikroponik yang
terbentuk. Lintasan impuls auditori selanjutnya menuju
medula oblongata, kolikulus superior, korpus genukulatum
medial, korteks auditori di lobus temporalis serebri
(Kristianto, 2012).
2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia
Proses pendengaran timbul akibat getaran atmosfer yang
dikenal sebagai gelombang suara yang memiliki kecepatan dan
volume yang berbeda. Gelombang suara bergerak melalui
rongga telinga luar (auris eksterna) yang menyebabkan
membran timpani bergetar, getaran-getaran tersebut diteruskan
menuju inkus dan stapes melalui maleus yang berhubungan
dengan membran tersebut (Amin, 2012).
Getaran yang timbul pada setiap tulang, akan menyebabkan
tulang memperbesar getaran yang kemudian disalurkan ke
fenestra vestibuler menuju perilimfe. Getaran perilimfe
dialihkan menuju endolimfe dalam saluran koklea dan
rangsangan menuju organ korti selanjutnya dihantarkan ke
otak. Perasaan pendengaran ditafsirkan otak sebagai suara yang
enak atau tidak enak. Gelombang suara menimbulkan bunyi
sebagai berikut:
a. Tingkatan suara biasa 80-90 desible
2.1.3 Mekanisme Mendengar
Telinga manusia dan mekanisme pendengaran merupakan hal
yang sangat luar biasa. Dalam waktu yang begitu cepat telinga
dapat melakukan konversi energi mekanik menjadi respon
elektrokimia. Sensitivitas telinga, kemampuannya untuk
membedakan suara-suara tertentu dari suara-suara lain,
membuat kinerjanya tidak dapat ditandingi oleh instrumen
buatan manusia. Secara anatomis, telinga manusia terdiri dari 3
bagian utama, yaitu telinga bagian luar, bagian tengah yang
berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan. Fungsi dari
telinga bagian luar adalah untuk mengumpulkan suara,
sedangkan bagian tengah untuk mengkonversi dan
mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam dimana
reseptor sensorik (sel rambut) berada untuk merasakan suara
(Primadona, 2012).
Mekanisme mendengar dimulai ketika gelombang suara
masuk ke telinga luar dan berjalan melalui jalan sempit yang
disebut lubang telinga yang mengarah ke gendang telinga.
Suara yang masuk membuat gendang telinga bergetar,
kemudian getaran ini dikirim ke tiga tulang kecil yang berada
di telinga tengah, yaitu malleus, incus dan stapes.
Tulang-tulang tersebut memperkuat atau meningkatkan getaran suara
cairan. Sel-sel sensoris khusus pada koklea, dikenal dengan
sel-sel rambut, mendeteksi getaran dan mengonversikannya
menjadi sinyal-sinyal listrik. Selanjutnya, sinyal-sinyal listrik
ini dikirim melalui syaraf pendengaran menuju ke otak yang
kemudian diterjemahkan menjadi suara yang kita kenali dan
pahami (NIDCD, 2008).
2.1.4 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss)
Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing
Loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat
terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu
yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural
koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga (Arsyad et al.,
2007).
Gejala dari gangguan pendengaran akibat bising adalah
terjadinya kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di
telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan
sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila
sudah lebih berat percakapan yang keraspun sulit dimengerti.
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat
menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang
1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat
rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau
kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada
saraf telinga yang terpajan bising.
2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan
keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat
terpajan bising dengan intensitas yang cukup tinggi.
Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam.
Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan
dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat
pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung
singkat (eksplosif) atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea,
antara lain kerusakan Organ corti, sel-sel rambut, stria
vaskularis dll (Arsyad et al., 2007).
2.1.5 Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan
hantaran melalui udara dan melalui tulang dengan memakai
garpu tala atau audiometer nada murni.
Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif,
atresia liang telinga, eksostosis liang telinga, serumen,
sumbatan tuba Eustachius serta radang telinga tengah.
Kelainan di telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural
koklea atau retrokoklea.
Berdasarkan OSHA dalam (Wibowo, 2012), pemeriksaan
pendengaran pada pekerja dilakukan secara berkala setahun
sekali. Sebelum diperiksa, pekerja harus dibebaskan dari
kebisingan di tempat kerjanya selama 14 jam.
a. Audiometer
Salah satu metode untuk memeriksa pendengaran adalah
dengan menggunakan audiometer nada murni karena
mudah diukur, mudah diterangkan, dan mudah dikontrol.
Metode ini dapat untuk mengetahui kelainan pendengaran
(gangguan pendengaran konduksi, saraf maupun
campuran). Terhadap individu yang diperiksa,
diperdengarkan bunyi yang dapat diatur frekuensi dan
intensitasnya, sehingga hasil pemeriksaan dapat berupa
pendengaran normal atau dapat diketahui derajat gangguan
pendengarannya (OSHA, 2008).
Audiometer adalah sebuah alat pengeras yang dapat
memberikan sinyal akustik pada telinga melalui
telepon-kepala, pengeras-suara, atau penghantar-tulang. Sinyal
a) Nada-bentuk-sinus dari frekuensi dan intensitas
berbeda yang murni dari alat generator-nada.
b) Suara-bising, yang disaring atau tidak disaring oleh
pita-saringan (bandfilter).
c) Pembicaraan yang dikeluarkan melalui pita-tape
atau CD-player (Broek P, 2009).
Hearing Threshold Limit (HTL) adalah hasil rata-rata
frekuensi pada 500 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, dan 3000 Hz
atau 4.000 Hz dalam dB. Pemeriksaan audiometri dalam
usaha memberikan perlindungan maksimum terhadap
pekerja dilakukan sebagai berikut:
1. Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di
daerah kerja yang bising (baseline audiogram)
2. Secara berkala (periodik/tahunan)
3. Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8
jam sehari, pemeriksaan dilakukan setiap 1 tahun
atau 6 bulan tergantung tingkat intensitas bising
4. Secara khusus pada waktu tertentu
5. Pada akhir masa kerja (OSHA, 2008)
b. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat
berbagai macam tes penala, seperti tes Rinne, tes Weber,
1. Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran
melalui udara dan hantaran melalui tulang pada
telinga yang diperiksa.
2. Tes Weber ialah tes pendengaran untuk
membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan
telinga kanan.
3. Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran
tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal.
Untuk mendiagnosis gangguan pendengaran akibat
bising (Noise Induced Hearing Loss), pada pemeriksaan
audiologi melalui tes penala didapatkan hasil Rinne
positif, Weber lateralisasi ke telinga yang
pendengarannya lebih baik, dan Schwabach memendek.
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran 2.2.1 Dosis Kebisingan
2.2.1.1Kebisingan
1. Definisi Bunyi atau Suara
Bunyi adalah tekanan bolak balik dan merupakan molekul
dalam medium elastik yang dapat terdeteksi oleh penerima
dan ditangkap sebagai perubahan tekanan. Bunyi memiliki
hubungan antara frekuensi vibrasi suara, panjang
gelombang, dan kecepatan (Sari, 2012).
Suara didefinisikan sebagai sensasi atau rasa yang
gelombang-gelombang suara dibentuk di udara sekeliling
manusia melalui getaran yang diterimanya. Gelombang
suara merupakan gelombang longitudinal yang terdengar
sebagai bunyi bila masuk ke telinga berada pada frekuensi
20–20.000 Hz atau disebut jangkauan suara yang dapat didengar (Djalante, 2010).
2. Pengertian Kebisingan
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No. Kep.
13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di
Tempat Kerja menyatakan bahwa kebisingan adalah semua
bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat
proses produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan bahaya.
Polusi udara atau kebisingan dapat didefinisikan sebagai
suara yang tidak dikehendaki dan mengganggu manusia.
Sehingga meski kecil atau lembut suara yang terdengar,
jika hal tersebut tidak diinginkan maka akan disebut
kebisingan (Djalante, 2010).
Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.
13/Men/X/2011, Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan
adalah 85 dBA untuk waktu pajanan 8 jam sehari dan 40
jam seminggu. Salah satu faktor fisik yang berpengaruh
menyebabkan berkurangnya pendengaran (Depnaker,
2011).
3. Jenis-Jenis Kebisingan
Berdasarkan buku Fundamentals of Industrial Hygiene
5th Edition, pajanan kebisingan di tempat kerja dapat
dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu:
a. Continuous Noise
Continuous noise merupakan jenis kebisingan yang
memiliki tingkat dan spektrum frekuensi konstan.
Kebisingan jenis ini memajan pekerja dengan periode
waktu 8 jam per hari atau 40 jam per minggu.
b. Intermittent Noise
Intermittent noise merupakan jenis kebisingan yang
memajan pekerja hanya pada waktu-waktu tertentu
selama jam kerja. Contoh pekerja yang mengalami
pajanan kebisingan jenis ini adalah inspector atau plant
supervisor yang secara periodik meninggalkan area
kerjanya yang relatif tenang menuju area kerja yang
bising.
c. Impact Noise
Impact noise disebut juga dengan kebisingan impulsif,
yaitu kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan
jenis ini adalah suara ledakan dan pukulan palu
(Standard, 2002).
4. Sumber Kebisingan
Sumber kebisingan bermacam-macam. Di lingkungan
kerja, bising dapat bersumber dari benda-benda maupun
situasi yang berada di dalam maupun di luar lingkungan
kerja. Beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya
bising yaitu mesin-mesin yang berada di sekitar pekerja,
proses-proses kerja, peralatan pabrik, kendaraan, kegiatan
manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang
berlalu-lalang, sampai bunyi yang berasal dari luar
lingkungan kerja (background noise).
Kebisingan yang dihasilkan dari berbagai sumber tersebut
memiliki tingkat intensitas yang berbeda dan akan
memberikan dampak pada kesehatan manusia. Sehingga
dalam pengujian atau pengontrolan tingkat kebisingan
merupakan hal yang sangat perlu dilakukan agar tidak
mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kecelakaan
kerja di sebuah perusahaan (Sari, 2012).
5. Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 13 tahun
kerja, waktu maksimum pekerja di daerah paparan
Tabel 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Sumber : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
6. Dampak Akibat Bising
Kebisingan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tenaga
kerja, gangguan atau penyakit yang diakibatkan oleh bising
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Gangguan Fisiologis
Kebisingan dapat menimbulkan gangguan
fisiologis yaitu internal body system. Internal body
system adalah sistim fisiologis yang terpenting untuk
kehidupan gangguan fisiologis ini dapat menimbulkan
kelelahan dada berdebar, menaikkan denyut jantung,
mempercepat pernafasan pusing, sakit kepala dan
kurang nafsu makan. Selain itu juga dapat
meningkatkan tekanan darah, pengerutan saluran darah
di kulit, meningkatkan laju metabolik, menurunkan
keaktifan organ pencernaan dan ketegangan otot.
Pada umumnya kebisingan bernada tinggi sangat
mengganggu, terlebih bising yang terputus-putus atau
yang datangnya secara tiba-tiba. Gangguan dapat
terjadi pada peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut nadi, basa metabolisme, konstruksi pembuluh
darah kecil terutama pada tangan dan kaki dapat
b. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis akibat bising dapat berupa
rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, rasa jengkel,
rasa khawatir, cemas, susah tidur mudah marah dan
cepat tersinggung. Menurut EPA kriteria kebisingan
yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis yaitu
55-65 dB (Arini, 2005).
c. Gangguan Komunikasi
Risiko potensial terhadap pendengaran terjadi
apabila komunikasi pembicaraan harus dijalankan
dengan berteriak. Gangguan ini dapat menimbulkan
terganggunya pekerjaan dan kadang-kadang
mengakibatkan salah pengertian yang secara tidak
langsung dapat menurunkan kualitas dan kuantitas
kerja. Agar pembicaraan dapat dimengerti dalam
lingkungan bising, maka pembicaraan harus diperkeras
dan harus dalam kata dan bahasa yang mudah
dimengerti oleh penerima.
Dalam ruangan kerja yang bising, pekerja akan
berhubungan pada jarak yang dekat, yaitu kira-kira 1 m.
Pada jarak ini komunikasi dapat dicapai dengan suara
normal apabila backround noise paling tinggi 78 dB.
62 dB, pada level ini komunikasi masih bisa
berlangsung pada jarak 2 m.
d. Gangguan Pendengaran
Kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel
rambut di koklea, bagian dari telinga dalam dan
menyebabkan kehilangan pendengaran. Di banyak
negara, gangguan pendengaran akibat bising berupa
NIHL merupakan penyakit yang paling umum di
bidang industri yang bersifat irreversible (Primadona,
2012).
Selain berpengaruh terhadap tenaga kerja, kebisingan
juga memiliki pengaruh pada perusahaan atau tempat
kerja. Pengaruh lingkungan bising dan gangguan
pendengaran pada tempat kerja adalah:
1. Menurunnya produktivitas tenaga kerja akibat dari
berkurangnya kemampuan fisik tenaga kerja,
berkurangnya tingkat konsentrasi dan kelelahan
akibat dari paparan bising di tempat kerja.
2. Tingginya angka absensi
3. Tingginya biaya ganti rugi dan rehabilitasi akibat
gangguan pendengaran karena bising di tempat
kerja yang akan berdampak pada berkurangnya
4. Tingginya biaya pelatihan untuk mempersiapkan
tenaga kerja agar dapat melakukan pekerjaan
secara rotasi akibat harus mengurangi paparan
intensitas kebisingan yang tinggi (Arini, 2005).
7. Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan biasanya dinyatakan dengan
satuan decibel (dB). Decibel (dB) adalah suatu unit
pengukuran kuantitas resultan yang merepresentasikan
sejumlah bunyi dan dinyatakan secara logaritmik.
Sederhananya, skala decibel (dB) diperoleh dari 10 kali
logaritma (dasar 10) perbandingan tenaga (Wilson, 1989).
Satuan tingkat kebisingan (decibel) dalam skala A, yaitu
kelas tingkat kebisingan yang sesuai dengan respon telinga
normal.
Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu:
a. Frekuensi
Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang
merambat per satuan waktu (cps = cycle per second),
dengan satuan Hertz. Bunyi yang dapat diterima telinga
manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara
20-20000 Hz. Apabila frekuensi kurang dari 20 Hz
20000 Hz maka disebut ultrasound dan tidak dapat
didengar oleh telinga manusia.
b. Intensitas
Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik
penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung
jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan
getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas
bunyi semakin tinggi. Intensitas atau arus energi
persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu
logaritmik yang disebut decibel (dB) dengan
membandingkan kekuatan dasar 0.0002 dyne/cm2
(2x10-5 N/m2) yaitu kekuatan dari bunyi dengan
frekuensi 1000 Hz dan tepat menjadi ambang
pendengaran manusia dengan telinga normal (Santoso,
2008).
Alat untuk mengukur tingkat kebisingan adalah
Sound Level Meter. Ukuran kebisingan dinyatakan
dengan istilah Sound Pressure Level (SPL). Alat yang
digunakan untuk mengukur kebisingan yaitu Sound
Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan diantara
30–130 dB dan dengan frekuensi 20–20000 Hz. Alat ini terdiri dari mikropon, alat penunjuk elektronik,
i. Skala A
Untuk memperlihatkan kepekaan yang
terbesar pada frekuensi rendah dan tinggi
yang menyerupai reaksi untuk intensitas
rendah (35–135 dB). ii. Skala B
Untuk memperlihatkan kepekaan telinga
terhadap bunyi dengan intensitas sedang (
>40 dB) tapi sangat jarang digunakan dan
mungkin tidak digunakan lagi.
iii. Skala C
Untuk bunyi dengan intensitas tinggi ( >45
dB) yang menghasilkan gambaran respons
terhadap bising antara 20 sampai dengan
20000 Hz.. Alat ini dilengkapi dengan
Oktave Band Analyzer.
Intensitas bising akan semakin berkurang jika jarak
dengan sumber bising semakin bertambah.
8. Metode Pengendalian Bising
Pengendalian kebisingan adalah langkah untuk
mengelola risiko paparan kebisingan. Berikut ini
merupakan pengendalian yang dapat diterapkan untuk
1) Eliminasi
Tindakan pengendalian dengan biaya yang efektif
dapat dilakukan ketika suatu pabrik baru akan dibangun
atau dibeli, antara lain dengan desain area instalasi dan
desain serta konstruksi pabrik baru. Pabrik yang baru
harus dirancang dan dibangun dengan memastikan
paparan kebisingan serendah mungkin. Jika terdapat
potensi kebisingan cukup tinggi, maka tindakan
pengendalian teknis yang dapat diterapkan harus
disertakan dalam desain. Kegiatan industri harus
didesain untuk mencegah dan meminimalisi seluruh
risiko baik kesehatan maupun keselamatan yang timbul
akibat paparan kebisingan. Dalam perencanaan tempat
kerja harus memperhatikan beberapa hal berikut ini.
a) Kesepakatan dengan klien untuk pengurangan
kebisingan, sehingga dapat melakukan
kebijakan pengendalian kebisingan untuk
mengatur kerja dan anggaran yang akan
digunakan untuk pengendalian kebisingan yang
efektif pada tahap desain.
b) Mempertimbangkan efek tingkat kebisingan
pada gedung, tata letak gedung dan lokasi area
c) Mempertimbangkan transmisi kebisingan
melalui struktur dan pipa-pipa.
d) Merancang ruang kerja dan ruang kendali yang
dapat meyerap suara jika diperlukan.
e) Menerapkan desain akustik untuk pengendalian
lingkungan eksternal dengan tujuan mengurangi
tingkat kebisingan internal dan sebaliknya.
f) Merancang pabrik untuk mengeliminasi atau
mengendalikan beberapa risiko kesehatan atau
pendengaran yang dihasilkan dari emisi
kebisingan.
2) Pengendalian Teknis
Pengendalian teknis untuk paparan kebisingan dapat
dilakukan pada sumber dan media. Pengendalian teknis
pada sumber adalah dengan menggunakan metode yang
secara permanen dapat mengatasi paparan kebisingan
yang ditimbulkan oleh mesin atau proses kerja.
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara
memodifikasi, mendesain ulang sebagian atau
mengganti peralatan.
Tujuan pelaksanaan pengukuran kebisingan adalah
sebagai upaya untuk mengidentifikasi bagaimana dan
diselesaikan dengan prosedur sederhana dan murah.
Sumber kebisingan yang lebih sulit mungkin
memerlukan saran dari para ahli. Pendekatan ini dapat
memberikan hasil yang paling memuaskan. Seseorang
yang memahami kebisingan dan operasional mesin atau
proses dapat mempertimbangkan berbagai pilihan untuk
mengendalikan kebisingan pada sumber. Pengendalian
teknis untuk bahaya kebisingan dapat difokuskan pada
mesin dan komponennya atau terhadap proses yang
sebenarnya, termasuk sistem penanganan material.
3) Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif seharusnya dilakukan
ketika paparan kebisingan tidak dapat dieliminasi atau
dikendailkan secara teknis. Pengendalian administratif
meliputi rotasi kerja dan redesain kerja yang bertujuan
untuk membatasi jumlah pekerja yang terpapar. Berikut
ini merupakan pengendalian administratif yang dapat
dilakukan.
a) Rotasi kerja
Rotasi kerja melibatkan perubahan tugas
atau pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
sehingga mereka tidak berisiko terpapar
pekerja terpapar kebisingan pada level 94 dB(A)
untuk satu jam, maka pekerja harus
menghabiskan waktu kerjanya di area dengan
kebisingan rendah sehingga pekerja tersebut
tidak terpapar kebisingan lebih dari 85 dB(A)
selama 8 jam.
b) Program Pemeliharaan Peralatan
Dalam banyak kasus, pemeliharaan mesin
dan peralatan dalam kondisi baik akan
mengurangi paparan kebisingan. Penurunan
kebisingan mesin hingga 10 dB(A) dapat dicapai
dengan cara ini. Penurunan yang lebih besar
sangat bergantung pada tipe mesin dan
peralatan. Program pemeliharaan harus
menyertakan modifikasi dan atau tambahan,
misalnya noise mufflers, vibration isolators,
duct silencers. Tingkat kebisingan dapat
meningkat karena kurangnya pemeliharaan,
perubahan pengaturan mesin atau operasional
mesin.
c) Program “Buy Quite”
Kesempatan untuk melalukan program “buy
untuk bangunan dan pengaturan tempat kerja,
perluasan tempat kerja sedang dipertimbangkan,
dan pabrik atau peralatan baru akan dibeli.
4) Alat Pelindung Diri
Alat pelindung telinga merupakan sepasang alat
yang didesain untuk menutupi atau dimasukkan ke
dalam telinga pekerja untuk melindungi pekerja. APT
tidak sesuai digunakan pada lingkungan kerja dengan
level kebisingan rendah (55-85 dB). Pekerja atau semua
orang yang berada dalam lingkungan kerja dengan
kebisingan tinggi seharusnya,
i. Dibekali APT
ii. Dilatih cara menggunakan APT dengan benar
iii. Dilatih untuk menggunakan APT pada saat
terpapar kebisingan
APT seharusnya tidak digunakan untuk
menggantikan pengendalian teknis atau administratif.
APT biasanya hanya digunakan sementara selama
paparan kebisingan tidak dapat dicapai dengan
menerapkan pengendalian lainnya. Pelepasan APT
dalam periode waktu yang singkat pada area kebisingan
secara signifikan dan mengakibatkan perlindungan
yang tidak optimal.
Program pemilihan APT merupakan hal yang
penting untuk memastikan APT dapat melindungi
pekerja dengan perlindungan yang dapat dipercaya.
APT harus sesuai dengan standar dan mencantumkan
kemampuan dalam mereduksi kebisingan atau
dinyatakan dalam nilai NRR (Noise Reduction Rating).
Pemilihan APT didasarkan pada:
i. Derajat perlindungan yang diperlukan dalam
lingkungan pekerja.
ii. Kesesuaian untuk digunakan dalam jenis
pekerjaan dan lingkungan tempat bekerja.
iii. Kenyamanan, berat dan kekuatan mengapit dari
APT yang digunakan.
iv. Kesesuaian dengan pengguna. Kesesuaian
individu diperlukan untuk perlindungan yang
optimum.
v. Keselamatan pengguna dan teman kerja.
Dengan pemilihan APT yang benar, maka suara
peringatan tidak akan terganggu ketika APT
5) Pengendalian Lain
Pengendalian lainnya yang dapat diterapkan adalah:
i. Area Perlindungan Pendengaran (Hearing
Protection Areas)
Tanda peringatan “Hearing Protection
Areas” harus dipasang di tempat kerja yang
memiliki kebisingan tinggi. Batas area bising
harus ditentukan dengan jelas.
Tanda peringatan digunakan untuk
menunjukkan area kebisingan tinggi. Tanda
peringatan tambahan dapat digunakan untuk
menunjukkan bahwa untuk memenuhi area
tersebut harus menggunakan APT. Metode ini
dapat dicapai melalui:
a. Pemasangan tanda peringatan sebagai
media untuk menunjukkan bahwa APT
wajib digunakan ketika pekerjaan sedang
berlangsung.
b. Menyediakan petunjuk baik tertulis
maupun verbal tentang bagaimana cara
mengenali keadaan dimana seseorang
c. Pengawasan yang efektif pada lokasi
yang telah diidentifikasi masuk ke dalam
“Hearing Protection Areas”.
ii. Inspeksi dan Pemeliharaan
APT yang disediakan perusahaan untuk para
pekerja seharusnya diinspeksi dan dipelihara
secara rutin. Perusahaan juga harus
menyediakan area yang bersih untuk menympan
APT ketika tidak digunakan. Fasilitas untuk
membersihkan APT yang dapat digunakan
kembali harus tersedia. Selain itu, pekerja juga
sebaiknya melakukan pengecekkan APT secara
reguler untuk mendeteksi dan melaporkan
kerusakan.
iii. Informasi dan Pelatihan
Pekerja seharusnya sudah diberikan
informasi mengenai perlunya APT sebelum
mereka mulai bekerja. APT yang sesuai
didasarkan pada nilai attentuion yang diperlukan
untuk lingkungan dan pekerjaan yang dilakukan.
Instruksi tentang cara penggunaan, pemasangan,
perawatan dan pemeliharaan seharusnya
sepervisor seharusnya mendorong penggunaan
APT dengan menjelaskan dan memberikan
contoh individu.
2.2.1.2Pengertian Dosis Kebisingan
Pengaturan waktu maksimal pemajanan berkaitan
dengan persentase dosis kebisingan yang diterima oleh
pekerja yaitu mencapai 100% dosis. Rekomendasi yang
diberikan NIOSH untuk exposure limit paparan
kebisingan adalah 85 dB(A), untuk 8 jam per hari.
Paparan yang berada di atas level tersebut dapat dianggap
bahaya. Pekerjaan dengan paparan di atas 85 dB(A) harus
pendapat pengendalian sehingga paparan yang diterima
pekerja kurang dari kombinasi tingkat pemaparan (L) dan
durasi (T), sebagaimana dihitung dengan rumus berikut:
T =
Keterangan:
T : Lama pajanan bising yang diperkenankan (jam)
L : Tingkat Kebisingan
Jika tingkat kebisingan dan periode pemaparan bising
yang diterima pekerja berbeda dalam sehari-sehari, maka
dilakukan pengukuran dosis kebisingan. Ketentuan
diterima pekerja < 80 dB(A), maka bisa kita abaikan
tanpa perlu menghitung dosis karena kebisingan berada
di bawah NAB (Istantyo, 2011). Setelah diketahui
tingkat kebisingannya, kemudian dicari berapa lama
pekerja melakukan pekerjaan di tempat tersebut dan
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D
=
D : jumlah dosis kebisingan
T : lama pajanan kebisingan (jam)
Jika dari perhitungan didapatkan D < 100%, maka
dosis kebisingan yang diterima adalah kurang dari NAB.
Bila D = 100%, maka dosis kebisingannya berada pada
NAB dan bila D > 100%, maka dosis kebisingannya
berada di atas NAB (Tambunan, 2005).
Semakin besar dosis bising yang diterima seorang
pekerja, maka semakin besar potensi terjadi gangguan
pendengaran yang ditandai dengan peningkatan nilai
ambang dengar (Pratiwi, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Istantyo (2011),
mendapatkan hasil bahwa dosis kebisingan terbukti