4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan Umum
4.2.2 Hubungan Kepadatan Nyamuk Anopheles spp
Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis di antara benua Asia dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta dilalui garis khatulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk menyebabk an wilayah indo nesia rentan terhadap perubahan iklim dan cuaca (BMKG 2011).
Pengaruh suhu, kelembaban udara, hujan dan angin dapat menambah atau mengurangi aktivitas nyamuk menggigit. Hasil penelitian di Kelurahan Caile menunjukkan bahwa ada hubungan ke arah linier yang positif antara kepadatan nyamuk Anopheles spp mengisap darah orang dengan indeks curah hujan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi curah hujan maka akan semakin bertambah pula kepadatan atau populasi nyamuk Anopheles spp. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah curah hujan, maka kepadatan nyamuk Anopheles spp ikut menurun.
Hasil ini yang sama di Kelurahan Caile juga sesuai dengan penelitian Rahmawaty (2009) yang melapo rkan bahwa di Desa Lifuleo NTT kondisi curah hujan berbanding lurus dengan kepadatan Anopheles, yaitu curah hujan tinggi kepadatan Anopheles juga meningkat. Hasil yang sama juga dinyatakan oleh Stoop et al. (2009) yang melporkan bahwa ada hubungan yang pos itif antara spesies An. vagus dengan curah hujan di Simpenan Kabupaten Sukabumi.
Kelurahan Ela-Ela berbatasan langsung dengan Kelurahan Caile tetapi berada di pesisir pantai sehingga data curah hujannya juga masih dari satu stasiun pengamatan curah hujan yang sama. Pada saat indeks curah hujan tertinggi di bulan Mei (149,03) kelima spesies Anopheles spp menggigit orang juga tidak pada angka kepadatan tertingginya. Pada saat indeks curah hujan terendah, kelima spesies Anopheles spp yang menggigit orang tidak pada angka kepadatan terendah di Kelurahan Ela-Ela. Pada hail uji korelasi, menunjukkan adanya hubungan yang berkorelasi negatif antara kepadatan nyamuk Anopheles spp mengisap darah orang dengan nilai indeks curah huj an. Hal ini berarti semakin tinggi curah hujan maka kepadatan nyamuk Anopheles spp menurun. Demikian pula sebaliknya, bila curah hujan menurun, maka kepadatan nyamuk Anopheles spp meningkat.
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan yang lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembang biakan vektor oleh karena jentiknya hanyut dan mati. Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah. Terlalu banyak hujan akan menyebabkan banjir dan terlalu kurang hujan akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan berpindahnya tempat perkembangbiakan nyamuk secara temporer. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (Depkes 2007b).
Di Kelurahan Ela-Ela terdapat sejumlah habitat yang dapat menjadi alternatif tempat perkembangbiakan bagi nyamuk Anopheles spp seperti kolam dan rawa, sehingga nyamuk Anopheles spp dapat menemukan tempat perkembangbiakan lainnya unt uk meletakka n telur saat habitat di rawa pantai mengalami kekeringan.
Hal ini menggambarkan adanya kemampuan nyamuk Anopheles spp tersebut untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan habitat. Adanya kolam dan juga genangan air lainnya pada lahan kosong dapat menjadi tempat perkembangbiakan yang lain ba gi Anopeheles spp.
Pada pengaruh suhu, Pinontoan (2009) menyatakan bahwa suhu berhubungan positif secara signifikan dengan persentase nyamuk Anopheles terinfestasi P.
falciparum yang ditangkap baik di dalam maupun di luar rumah pada penelitian di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Suhu udara selain berpengaruh pada nyamuk sebagai vektor, juga mempengaruhi pertumbuhan parasit di dalam tubuh vektor. Suhu kritis terendah rata-rata untuk siklus sporogonik di dalam tubuh nyamuk adalah 160C untuk Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae, sedangkan Plasmodium falciparum adalah 190
Hasil yang sama di Kelurahan Caile juga ditemukan oleh Suprapto (2010) yang melaporkan bahwa di Desa Dulanpokpok Kabupaten Fak-Fak Provinsi Papua Barat terdapat kecenderungan saat terjadi penurunan suhu udara terjadi pula penurunan kepadatan nyamuk An. punctulatus yang tertangkap. Demikian pula sebaliknya, saat terjadi kenaikan suhu udara, kepadatan nyamuk An. punctulatus ikut meningkat.
C (Depkes 2007b).
Serangga adalah binatang berdarah dingin sehingga seluruh proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu lingkungan. N yamuk, seperti kebanyakan serangga, tidak dapat mengontrol suhu pada sebagian besar tubuhnya.
Serangga dapat terus hidup pada temperatur rendah tetapi proses metabo lismenya berjalan lambat atau bahkan tertahan.ketika suhu turun dibawah ambang batas. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan sebagian besar spesies nyamuk sekitar 25-270C. Perkembangannya dapat terhenti sama sekali pada suhu 10 0C atau apabila suhu melebihi 400
Kelembaban berdampak pula terhadap kelangsungan hidup nyamuk. Nyamuk umumnya tidak akan hidup cukup lama untuk menyelesaikan siklus transmisinya saat kelembaban terus- menerus kurang dari 60 % (Grover-Kopec et al. 2006).
Kelembaban nisbi udara adalah banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam persen (%). Kalau dalam udara ada kekurangan air yang besar, maka udara ini mempunyai daya penguapan yang besar. Sistem pernapasan pada nyamuk adalah menggunaka n pipa udara yang disebut trakhea dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spirakle. Adanya spirakle yang terbuka tanpa ada meknisme pengaturnya, pada waktu kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk yang dapat mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan (Depkes 2007b).
C besar kemungkinan dapat terjadi kematian (WHO 1975).
Karena nyamuk adalah binatang berdarah dingin, maka proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan. N yamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan-peruba han diluar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 250-270
Suhu dan kelembaban berdampak langsung pada lama umur nyamuk. Setiap spesies dapat berkembang pada tingkat yang optimal sebagai hasil dari adaptasi ekologi. Penyebaran malaria mensyaratkan kondisi yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup baik nyamuk dan parasit. Suhu antara 21
C.
Nyamuk dapat bertahan hidup dalam suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis dan pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan proses fisiologisnya.
0C-320
Kelembaban juga dapat bertindak sebagai faktor pembatas dalam penyebaran dan lama hidup. Pada saat musim kering, nyamuk berada dalam ruangan di rumah-rumah atau tempat beristirahat dalam ruangan dimana iklim mikro yang memberikan kelembaban yang menguntungkan. Nyamuk yang di luar ruangan akan beristirahat pada vegetasi dekat dengan tanah selama musim kemarau. Sepanjang siang dan malam ada perubahan suhu dan kelembaban sesuai karakteristik masing- masing area.
Aktivitas serangga berkorelasi dengan irama perubahan itu. Sepanjang hari nyamuk beristirahat ditempat-tempat dingin. Saat senja, ketika penurunan suhu dan kelembaban meningkat, nyamuk tiba-tiba menjadi aktif (WHO 1975).
C dan kelembaban relatif minimal 60% yang paling kondusif untuk transmisi. Lama umur nyamuk mempengaruhi transmisi malaria, karena membutuhkan waktu sekitar satu minggu buat parasit untuk berkembang. Biasanya nyamuk betina hidup 2,5 – 3 minggu. Lama minimum perkembangan bergantung pada suhu di semua habitat nyamuk, termasuk di daerah trop is (Despo mmier et al. 2006).
Dari kegiatan penelitian ini terlihat bahwa spesies An. barbirostris, An.
subpictus, dan An. vagus merupakan tiga spesies terbesar yang ditemuka n baik di Kelurahan Caile maupun Ela-Ela. Hal ini karena terdapatnya habitat potensial di Kelurahan Caile sepe rti persawahan, genangan, bekas tapak kaki hewan dan ada nya kolam, rawa serta genangan air payau di Kelurahan Ela-Ela. Aktivitas nya muk Anopheles spp dalam mencari sumber darah untuk mematangkan telurnya, baik yang tertangkap di Kelurahan Caile maupun di Kelurahan Ela-Ela menunjukk an sifat mencari darah cenderung di luar rumah (eksofagik). Dan di Kelurahan Caile karena adanya umpan hewan umumnya lebih menunjukkan sifat zoofilik.
Spesies yang zoofilik adalah kelompok serangga yang lebih menyukai hidup berdampingan dengan hewan atau ternak. Serangga dapat hidup dengan hewan karena mendapat habitat yang sesuai untuk berkembangbiak bagi bentuk pradewasanya maupun tahap dewasanya. Pada berbagai spesies kegiatan menggigit dan mengisap darah berbeda menurut umur, waktu dan lingkungan. Demikian pula irama, serangan sehari- hari dapat berubah menurut musim dan suhu. Beberapa spesies memasuki rumah untuk mencari maka n (endo fagik) dan istirahat di dalam rumah (endo filik), sedang spesies lain memasuki rumah hanya untuk makan (endofagik) dan menghabiskan waktu istirahatnya di luar rumah (eksofilik); adapula yang mengisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahat juga di luar rumah (eksofilik) (Hadi dan Koesharto 2006).
4.2.3 Status Kerentanan Nyam uk Anopheles spp
Situasi upa ya pe ngenda lian vektor malaria di Kabupaten Bulukumba dari tahun-tahun sebelumnya hingga sekarang belum terlaksana dengan optimal. Untuk pengendalian vektor penyakit lain semisal DBD selama ini digunakan insektisida dari golongan organofosfat dan piretroid sintetik. Pengendalian khusus untuk vektor malaria sendiri terakhir dilakuan pada tahun 2006, sedangkan untuk pencegahan adalah dengan membagikan kelambu berisektisida da n melakuka n pengawasan melalui kegiatan mass blood survey (MBS). Umumnya masyarakat menggunakan dengan baik kelambu tersebut dan juga dapat menerima dengan baik adanya kegiatan pemeriksaan darah.
Upa ya untuk menurunkan penularan malaria harus menjadi pendekatan yang
terpadu, termasuk
pengendalian nyamuk (larva dan de wasa), modifikasi perilaku (menggunakan kelamb u berinsektisida), dan penggunaan pengobatan yang cepat dan efektif (Caillouet et al.
2008)
Pengenda lian vektor secara kimiawi khususnya pengendalian dengan menggunakan insektisida, baik untuk nyamuk dewasa maupun jentiknya akan merangsang terjadinya seleksi pada nyamuk sasaran. Nyamuk atau jentik yang dapat terbunuh (rentan) oleh insektisida akan mati, sedangkan yang resisten (kebal) akan tetap hidup. Jumlah yang hidup ini lama kelamaan akan semakin banyak sehingga terjadilah perkembangan kekebalan pada nyamuk atau jentik terhadap dosis tertentu insektisida. Peristiwa terjadinya kekebalan ini merupakan penghambat utama dalam
.
melakukan pengendalian vektor menggunakan insektisida. Hambatan ini dirasakan sangat mengganggu keberhasilan upaya pengendalian vektor yang dilakukan, sehingga perlu dilakukan suatu uji untuk mengetahui apakah sudah terjadi kekebalan vektor terhadap insektisida dosis tertentu yang digunakan untuk melakukan pengendalian vektor (Kusnadi 2005).
Fisiologi kerentanan terhadap insektisida telah didefinisikan sebagai kemampuan populasi serangga untuk mentoleransi takaran suatu jenis insektisida yang akan membuktikan kematian bagi mayoritas dari individu dalam suatu populasi normal dari spesies yang sama. Efektivitas penyemprotan residu dalam ruangan (IRS) dan kelambu berinsektisida (ITNs) tergantung antara lain pada proporsi vektor beristirahat pada permukaan yang disemprot dan pada kerentanan vektor terhadap insektisida yang digunakan (WHO 2003a).
Efikasi biologis piretroid bervariasi, tergantung pada bahan aktif masing-masing. Banyak piretroid yang memiliki efek sebagai racun kontak yang sangat kuat.
Beberapa diantaranya adalah tetrametrin, yang memiliki sifat melumpuhkan yang sangat kuat. Senyawa-senyawa yang fotostabil, misalnya sipermetrin dan tau-fluvalinat, juga bertindak sebagai racun perut. O leh karena sifat lipofiliknya kuat, insektisida piretroid tidak bisa menembus jaringa n tanaman sehingga tidak memiliki sifat sistemik maupun translaminar.
Semua piretroid adalah racun yang mempengaruhi saraf serangga (racun saraf) dengan berbagai macam cara kerja pada susunan saraf sentral dan pada umumnya memiliki spektrum pengendalian yang luas (broad spectrum) dan efektif terhadap banyak spesies serangga hama dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Orthoptera dan Thysanoptera. Namun kebanyakan piretroid tidak aktif terhadap tungau (mite, acarinae), kecuali beberapa senyawa seperti fenpropatrin, bifentrin. Piretroid sebagian besar tidak selektif, kecuali tau- fluvalinat yang dapat dikatakan aman terhadap kebanyakan serangga berguna (Djojosumarto 2008).
Cara kerja piretroid adalah sebagai racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf. Mereka terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf.
Piretroid terikat pada gerbang ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkordinasi pada serangga yang keracunan (Wirawan 2006).
Piretroid termasuk lambda sihalotrin mengganggu fungsi normal dari sistem saraf pada suatu organisme. Dengan mengganggu sistem saraf serangga, lambda sihalotrin dapat menyebabkan kelumpuhan atau kematian. Suhu mempengaruhi kelumpuhan serangga dan toks isitas lambda siha lotrin. Lambda sihalotrin mempengaruhi berbagai serangga dalam dan luar ruangan ketika mereka makan atau menyentuh bahan kimia ini (NPIC 2001).
Deltametrin adalah piretroid yang membunuh serangga melalui kontak dandengan cara terkomsumsi. Secara umum modus aksi dari Deltametrin adalah mempengaruhi aktiitas saraf dengan menunda penutupan saluran natrium.
Berspektrum luas yang telah dikaitkan pada toksisitas sistem syaraf pada hewan laboratorium dan manusia (CEPA 2000).
Tingkat kematian 100% ini dapat dipahami karena kegiatan pengendalian vektor khusus untuk malaria seperti dengan IRS atau fogging di Kabupaten Bulukumba terakhir dilakukan pada tahun 2006 dengan menggunakan insektisida berba han aktif Deltametrin dan setelah itu tak pernah ada lagi sesudahnya (Dinkes 2011). Hal ini menjadikan vektor malaria tersebut sangat jarang terpapar dengan insektisida yang dapat menurunkan jumlah populasinya sehingga hasil pengujian menunjukkan nilai yang masih sangat rentan dan belum ada resistensi.
Resistensi insektisida sendiri dapat terjadi jika pop ulasi serangga telah mengalami tekanan seleksi insektisida untuk waktu yang sangat lama atau pada tingkat yang sangat sering terpapar. Ada beberapa mekanisme resistensi yang dapat terjadi pada serangga, tetapi yang paling banyak dialami dalam bidang pertanian, medis dan hama perkotaaan adalah peningkatan aktivitas enzim detoksifikasi pada serangga (Lee et al. 1999). Peningkatan detoksifikasi insektisida (menjadi tidak beracun) karena bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim mikrosomal oks idase terhadap piretroid (Untung 2006).
Sekalipun dari hasil wawancara dengan petani di persawahan Kelurahan Caile tentang penggunaan insektisida selama masa tanam pada saat penelitian diperoleh informasi tentang jenis insektisida yang digunakan berbahan aktif lambda sihalotrin, namun berdasarkan data yang terhimpun dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, bahan aktif ini tidak selalu beredar selama masa setahun di Kabupaten Bulukumba (September 2010-Agustus 2011). Hal ini berarti penggunaan insektisida berbahan aktif Lambda sihalotrin tidak selalu dipakai dalam memberantas serangga
hama atau dapat dikatakan bahwa baik hama di persawahan maupun nyamuk Anopheles tidak terus menerus terpapar dengan insektisida jenis ini.
Selain dari adanya penekanan selektif yang berhubungan dengan lama efektifitas insektisida (residual effect), adanya perubahan perilaku vektor yang semula endofagik menjadi eksofagik akan mempengaruhi terjadinya percepatan resistensi.
Seperti diketahui apabila di lingkungan tersedia ternak, nyamuk akan cenderung mencari sumber darah di kandang ternak daripada di dalam rumah yang telah disemprot dengan insektisida. Jika terjadi hal demikian pemunculan resistensi lambat, karena vektor jarang ko ntak dengan insektisida (Widiarti et al. 2005a).
Hemingway et al. (1986) menyatakan bahwa penekanan selektif terjadinya resistensi dapat berlangsung pada saat nyamuk berada pada stadium jentik maupun dewasa. Hal ini dapat sejalan dengan keadaan lingkungan pada habitat Anopheles spp di Kelurahan Caile, tidak terlalu seringnya pemakaian insektisida berbahan aktif lambda sihalotrin oleh petani untuk membasmi serangga hama pada tanaman padi dan adanya ternak di sekitar habitat mengindikasikan rendahnya keterpaparan nya muk Anopheles spp baik pada stadium larva dan dewasa terhadap insektisida baik yang digunakan untuk pengendalian hama serangga di sektor pertanian maupun pengendalian vektor malaria di sektor kesehatan, hal ini terlihat pada hasil uji kerentanan nyamuk spesies Anopheles barbirostris terhadap insektisida lambda sihalotrin yang mencapai tingkat mortalitas 100% atau masih dalam kategori rentan dan belum terjadi resistensi.
Dari dua hasil uji tersebut, berarti insektisida berbahan aktif deltametrin 0.05%. dan Lambda sihalotrin 0,05% masih efektif digunakan dalam pengendalian vektor malaria khususnya terhadap dua spesies Anopheles spp yakni An. subpictus dan An. barbirostris yang telah diko nfirmasi sebagai vektor penyakit malaria di Provinsi Sulawesi Selatan.
Melalui penelitian ini diharapkan, dalam penggunaan insektida untuk pengendalian serangga hama padi atau pertanian dan juga untuk pengendalian nyamuk vektor malaria agar selalu dapat dikoordinasikan antara instansi di bidang pertanian dan kesehatan demi memperpanjang efektifitas pengggunaan insektisida guna menjaga status kerentanan nyamuk Anopheles spp pada tingkatan yang dapat menekan serendah mungkin penularan penyakit malaria dan juga untuk mencegah lebih cepatnya terjadi resistensi pada hama atau nyamuk vektor.