2 TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Status Kerentanan Nya muk Anopheles spp
Salah satu yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan tidaknya pengendalian vektor adalah kerentanan/kepekaan vektor terhadap insektisida yang digunakan. Dalam upaya menunjang pemberantasan penyakit malaria berbasis wilayah, informasi kerentanan vektor terhadap insektisida sangat diperlukan untuk mencapai hasil memuaskan. Dengan demikian dapat merupakan informasi yang bermanfaat dalam manajemen penggunaan insektisida yang tepat sasaran (Widiarti et al. 2003).
Bila insektisida digunakan dalam pengendalian malaria, penting untuk memantau peruba han tingka t ke rentanan vektor target dari waktu ke wakt u. Uji kerentanan dilakuka n untuk menentuka n propo rsi da ri pop ulasi vektor yang tahan secara fisiologis terhadap insektisida tertentu
Berkembangnya suatu populasi organisme serangga dari yang semula peka menjadi kurang peka dan akhirnya kebal (resisten) terhadap pestisida tertentu merupakan proses seleksi alam. Dalam hal ini individu- individu yang paling kuat dan paling bisa menyesuaikan diri (dalam hal ini tahan terhadap insektisida) akan tetap bertahan hidup, sedang individa yang tidak bisa bertahan akan punah. Proses perkembangan itu tidak mudah dijelaskan secara singkat (Djojosumarto 2008).
(WHO 2003a).
Ketahanan serangga terhadap insektisida bukan fenomena baru. Setelah DDT dan insektisida sintetik organik lainnya digunakan secara luas, laporan mengenai resistensi hama terhadap insektisida semakin banyak. DDT pertama kali digunakan sekitar tahun 1945, pada tahun 1948 mulai dilaporkan terjadinya resistensi pada populasi lalat dan nyamuk (Untung 2006).
Uji kerentanan Anopheles aconitus dari Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta pada tahun 2003 terhadap insektisida kelompok piretroid ternyata sudah menunjukkan penurunan kerentanan/kepekaan, meskipun di beberapa daerah masih peka terhadap insektisida deltametrin 0,05% (100%) kematian seperti di Desa Tirip Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo dan dari Desa Pendoworedjo Kecamatan Girimulyo Kabupaten K ulonprogo Provinsi DI Yogyakarta. Kepekaan Anopheles aconitus tehadap permethrin 0,75% dari semua daerah sudah turun dan kematian berkisar antara 86,0%- 97,5%. Penurunan kerentanan An. aconitus walaupun masih pada batas toleransi mengindikasikan adanya individu vektor yang resisten.
Uji kerentanan An. maculatus di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta pada tahun 2003 terhadap insektisida kelompok piretroid juga sudah menunjukkan adanya
penurunan kerentanan. Penurunan kerentanan menghasilkan kematian vektor berkisar antara 85%-97,5%. Walaupun di beberapa tempat masih peka, hal ini memberi gambaran bahwa adanya variasi kepekaan (resisten, toleran) yang terjadi di alam (Widiarti et al. 2005a).
Pada dasarnya proses terjadinya resistensi serangga terhadap insektisida dipengaruhi oleh sejumlah faktor, pertama adalah faktor genetik; gen pembawa sifat resisten terhadap pestisida tertentu merupakan sumber pertama terjadinya proses kekebalan. Semakin banyak individu yang membawa gen resisten semakin cepat pula terjadinya resistensi pada populasi tersebut. Kedua adalah faktor biologi, faktor biologi termasuk perilaku dan sifat biologi lain dari serangga, termasuk jumlah keturunan, jumlah generasi per tahun, mob ilitas, jenis tanaman inang, parthenogenesis dan lain-lain. Dan ketiga adalah faktor operasional, yang terdiri dari jenis pestisida yang digunakan dan teknik aplikasi pestisida tersebut (Djojosumarto 2008).
Populasi serangga yang mula- mula rentan dapat berubah menjadi populasi yang resisten terhadap insektisida karena populasi tersebut mengandung individu yang memiliki gen resisten. Melalui proses seleksi alami, populasi serangga semakin didominasi oleh populasi yang memiliki gen resisten, sedangkan populasi yang tidak memiliki gen yang dominan akan terbunuh oleh insektisida.
Penyebab resisten yang telah diketahui terlibat dalam mekanisme resistensi suatu serangga terhadap suatu jenis insektisida, meliputi peningkatan detoks ikasi insektisida karena bekerjanya enzim-enzim tertentu seperti enzim dehidrok lorinasi (terhadap DDT), enzim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, organofos fat, piretroid), glutation transferase (terhadap or ganofos fat), hidrolase dan esterase (terhadap or ganofos fat). Juga karena terjadinya penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti asetilkolinerase (terhadap or ganofosfat dan karbamat), sistem saraf seperti terhadap DDT. Dan adanya penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida (Untung 2006).
Proses terjadinya penurunan kerentanan nyamuk terhadap insektisida dalam waktu dan frekuensi tertentu terjadi karena penggunaan insektisida baik di rumah tangga, di lingkungan kesehatan dan juga di bidang pertanian. Insektisida tersebut dapat menimbulkan terjadinya seleksi terhadap populasi nyamuk dewasa yang menjadi vektor.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seleksi tersebut antara lain adalah, pertama faktor biologi yang terdiri dari unsur biotik yakni pergantian generasi, perkawinan dan unsur perilaku yaitu migrasi, isolasi, kemampuan menghindar dan kedua faktor genetik yaitu adanya gen-gen yang mengkode enzim yang berperan pada proses resistensi yang mengakibatkan terjadinya seleksi sehingga muncul strain resisten yang peka dan melahirka n strain baru yang resisten atau menurunkan kerentanan generasi ba ru nyamuk Anopheles spp terhadap insektisida.
Untuk menentukan besar tingkat penurunan kerentanan nyamuk Anopheles spp dibutuhkan pengujian kerentanan atau pun juga uji secara biokimia untuk menilai tingkat kerentanan tersebut. Hasil penguj ian ini memiliki tiga kriteria yakni rentan, toleran dan resisten yang berguna untuk membantu penggunaan insektisida secara lebih terencana dalam pengendalian vektor (Widiarti et al. 2005b).
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi Penelitian
Kabupaten Bulukumba secara geografis terletak di jazirah selatan Propinsi Sulawesi Selatan (+150 Km dari Kota Makassar), yaitu antara 0,5o20’’ sampai 0,5o40’’ lintang selatan dan antara 119o58’’ sampai 120o28’’ bujur timur dengan batas administratif yakni sebelah utara dengan Kabupaten Sinjai, sebelah timur dengan teluk Bone, sebelah selatan dengan laut Flores dan sebelah Barat dengan Kabupaten Bantaeng.
Secara Administrasi Pemerintahan terdiri dari 10 K ecamatan dan 126 Desa/Kelurahan.
Luas wilayah Kabupaten Bulukumba adalah 1.154,67 K m2 atau sekitar 1,85 % dari luas wilayah Prop insi Sulawesi Selatan, dengan kecamatan terluas terdapat pada Kecamatan Gantarang da n Bulukumpa dengan luas wilayah masing- masing berturut-turut adalah 173,51 Km2 dan 171,33 Km2 atau sekitar 30% dari luas kabupaten, disusul kecamatan lainnya dan yang terkecil adalah Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan pusat kota kabupaten dengan luas 14,4 km2
Kegiatan penelitian dilaksanakan di kecamatan yang tertinggi kasus malaria klinis dan positifnya yakni di Kecamatan Ujung Bulu tepatnya pada dua kelurahan yaitu di Kelurahan Caile dan Kelurahan Ela- Ela. Kecamatan Ujung Bulu berada di antara 0-30 meter diatas permukaan laut dengan batas-batas administratif sebagai berikut, di sebe lah Utara de ngan Kecamatan Rilau Ale, sebelah timur dengan Kecamatan Ujung Loe, sebelah
atau hanya sekitar 1% dari luas kabupaten.
Wilayah Kabupaten Bulukumba hampir 95,4% berada pada ketinggian antara 0 – 1000 m diatas permukaan laut (dpl) yang terdiri dari beberapa wilayah berbukit atau dataran tinggi dengan kemiringan 0 – 40 %. Wilayah dataran rendah berada pada sebagian besar pesisir pantai yaitu sebagian wilayah Kecamatan Ujung Bulu, Gantarang, Ujung Loe dan Bonto Bahari. Khusus Kota Bulukumba merupakan tanah datar dengan ketinggian 0,5–
2,5 m dari permukaan laut sehingga pada musim hujan sangat mudah tergenang air, sehingga kualitas lingkungan di beberapa tempat tersebut kurang baik b ila ditinjau dari segi kesehatan maupun aspek sosial ekonomi masyarakat.
Di Kabupaten Bulukumba terdapat 32 aliran sungai dengan aliran sungai sepanjang 552 Km yang dapat mengaliri sawah seluas 23.365 Ha. Curah huj annya rata-rata diatas 230 mm/bulan de ngan rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari / bulan (BPS 2010, Dinkes 2011a).
selatan dengan Laut Flores da n sebelah barat dengan Kecamatan Gantarang. Kelurahan Caile dan Ela-Ela saling berbatasan langsung dan pernah berada dalam satu wilayah administrasi pemerintahan. Kedua kelurahan ini adalah bagian dari Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan kecamatan ibukota Kabupaten Bulukumba sehingga keadaannya cukup ramai dan padat.
Kelurahan Caile memiliki luas wilayah sekitar 3,13 km2 yang terbagi dalam empat wilayah dusun dengan batas-batas administratif sebagai berikut di sebelah Utara dengan,Kecamatan Gantarang, di sebelah timur dengan Kelurahan Kalumeme, sebelah selatan dengan Kelurahan Ela-Ela dan sebelah barat dengan Kecamatan Gantarang. Jumlah penduduknya adalah 8365 jiwa. Letak geografisnya dalam pendataan BPS tergolong BP atau bukan pantai. Terdapat lahan persawahan de ngan luas 146 Ha dan lahan kering 167 Ha. Di Kelurahan Caile terhitung banyak jumlah ternak dan jumlah pemeliharanya. Jumlah Sapi mencapai 198 ekor dari 46 orang pemilik, Juga terdapat 52 ekor kuda dan 123 ekor kambing. Total jumlah ternak besar dan sedang di Kelurahan Caile adalah 373 ekor.
Kelurahan Ela-Ela memiliki luas wilayah sekitar 0,22 km2 yang terbagi dalam dua wilayah dusun dengan batas-batas administratif sebagai berikut, di sebelah Utara dengan,Kelurahan Caile, di sebelah timur dengan Kelurahan Kalumeme, sebelah selatan dengan Laut Flores da n sebelah barat dengan Kelurahan Terang-terang. Jumlah penduduknya adalah 3797 jiwa. Letak geografisnya dalam pendataan BPS tergolong P atau pantai. Tidak terdapat lahan persawahan dan dengan lahan kering seluas 22 Ha. Di Kelurahan Ela-Ela hanya terdapat 3 ekor sapi dari 1 oang pemilik. Juga tercatat 9 ekor kuda, 215 ekor kambing. Total jumlah ternak besar dan sedang di Kelurahan Ela-Ela adalah 227 ekor (BPS 2010, Disnakkeswan 2011).
Di Kelurahan Caile terdapat habitat perkembangan larva nyamuk Anopheles spp tipe permanen yaitu rawa/tambak dan persawahan, Habitat rawa/tambak ini memiliki luas sekitar 394,63 m2 dan habitat persawahan sekitar 1155,94 m2. Sementara itu, d i Kelurahan Ela-Ela terdapat habitat perkembangbiakan larva nyamuk Anopheles spp tipe permanen yaitu rawa/tambak, kolam dan yang bertipe temporer yaitu rawa pantai. Habitat rawa/tambak dengan pohon nipa seluas 725,46 m2, kolam seluas 149,03 m2, dan terdapat dua habitat rawa pantai dengan luas masing- masing 148,29 m2 da n 291,55 m2.
Berikut peta lokasi penelitian dan habitat potensial bagi perkembangbiakan larva Anopheles spp di Kelurahan Caile dan Ela-Ela (Gambar 1).
Gamba r 1. Peta Lokasi Penelitian dan Habitat Potensial di Kelurahan Caile dan Ela-Ela Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba
3.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2011 atau selama tujuh bulan.
3.3 Kegiatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanaka n dengan kegiatan sebagai berikut :
3.3.1 Pengumpulan dan Penga matan Nya muk Anopheles spp (Gambar 2)
Pengumpulan nyamuk dilakuka n pada 3 rumah di masing- masing kelurahan.
Pengumpulan nyamuk dilakukan dengan metode human landing collection da n resting collection. Pada tiap rumah ditempatkan dua orang, satu penangkap di dalam rumah dan
satu di luar rumah. Penangkapa n nyamuk dilakuka n selama tiga malam setiap bulannya, tiap malam selama 12 jam (pukul 18.00-06.00), tiap jamnya selama 45 menit menangkap nyamuk di badan, 10 menit menangkap nyamuk yang istirahat di dinding da lam rumah untuk umpan orang di dalam rumah dan di kandang ternak untuk umpan orang di luar rumah. Penangkap duduk dan menggulung celana hingga batas lutut, nyamuk yang hinggap atau menggigit pada kolektor ditangkap dengan aspirator. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke dalam gelas kertas yang sudah diberi labe l jam dan metode penangkapannya. Selain itu, dilakuka n juga penangkapan nyamuk beristirahat pada pagi hari dari jam 06.00-07.00 di dalam dan di luar rumah (alam). Identifikasi nyamuk dilakukan dengan menggunakan buku kunci identifikasi Anopheles dari O’Connor dan Soepanto (1999).
3.3.2 Penentuan Status Kerentanan terhadap Insektisida Golongan Piretroid
Pengujian di Kelurahan Caile meng gunakan nyamuk dewasa hasil penangkapan yang istirahat di kandang, ternak da n sekitarnya, seda ngka n di Kelurahan Ela-Ela dari hasil pemeliharaan larva instar tiga, empat atau pupa yang berasal dari habitat nyamuk, kemudian dipelihara hingga dewasa (umur 2-5 hari). Pengujian dilaksanakan dengan menggunakan susceptibility tes kit (Standar WHO) dengan bahan insektisida yang digunakan adalah sintetik piretroid (Lambda siha lotrin 0,05% dan deltametrin 0,05%).
Setiap jenis insektisida yang digunakan dipakai tiga tabung uji (3 ulangan) dan satu tabung kontrol. Pada setiap tabung dimasukkan kertas berinsektisida sesuai insektisida yang digunakan. Selanjutnya ke dalam tabung uji bertanda hijau dimasukkan 20 ekor Anopheles yang diambil dari ka nda ng nyamuk menggunakan aspirator. Nyamuk kemudian dipindahkan ke dalam tabung kontak bertanda merah berlapis kertas berinsektisida dengan meniup perlahan. Nyamuk dibiarkan di dalam tabung kontak selama 1 jam. Untuk kontrol digunakan satu tabung uji bertanda hijau yang dimasukkan kertas tidak mengandung insektisida. Ke dalam tabung kontrol dimasukkan 20 ekor nyamuk Anopheles. Setelah masa kontak, nyamuk dipindahkan lagi ke tabung bertanda hijau dengan meniup perlahan dan dibiarkan selama 24 jam. Bagian atas tabung tersebut diberi kapas mengandung larutan air gula 5%, disimpan pada kondisi yang baik untuk hidup. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap kematian.
3.4 Pengumpulan Data Sekunder
Data pendukung yang diperoleh mencakup Data curah hujan Kabupaten Bulukumba dari bulan Februari sampai Agustus 2011 dari BMKG Wilayah IV Makassar (Stasiun Klimatologi Kelas I Maros) dan juga dari sejumlah Dinas dalam lingkup Kabupaten Bulukumba yang terdiri atas :
a) Data penduduk dan angka kesakitan malaria diperoleh dari Dinas Kesehatan b) Data kepe ndudukan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bulukumba.
c) Data jenis insektisida yang digunakan oleh petani dari Dinas Tanaman Pangan.
dan Holtikultura
d) Data jumlah ternak seperti kerbau, sapi, kuda dan kambing dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
3.5 Analisis Data
Data populasi nyamuk dewasa Anopheles spp dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan beberapa parameter yaitu :
a) Kelimpahan nisbi Anopheles (%) dihitung berdasarkan jumlah nyamuk Anopheles spesies tertentu yang tertangkap dibagi jumlah total nyamuk Anopheles dikali 100%.
b) Frekwensi tertangkap dihitung berdasarkan berapa bulan Anopheles spesies tertentu tertangkap dibagi jumlah bulan penangkapan.
c) Dominansi spesies (%) dihitung berdasarkan perkalian antara kelimpahan nisbi dengan Frekwensi Anopheles tertangkap setiap spesies (Sigit 1968).
d) Kepadatan populasi, kepadatan populasi nyamuk dihitung berdasarkan angka :
e) MBR (man biting rate), yaitu jumlah nyamuk Anopheles meng hisap darah/orang/malam
MBR =
f) MHD (man hour density), yaitu jumlah nyamuk Anopheles tertangkap/rumah atau kandang/jam.
Jumlah nyamuk tertangkap per spesies Jumlah penangkap x Jumlah jam penangkapan
MHD =
Jumlah penangkap x Jumlah jam penangkapan Jumlah nyamuk tertangkap di dinding/kandang
e) Hubungan variabe l antara indeks curah hujan (ICH) de ngan kepadatan pop ulasi nyamuk (MBR), dianalisis dengan Pearson correlation menggunakan program computer SPSS versi 17.0. Indeks curah hujan ( ICH) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
f) Uji Kerentanan
Data nyamuk yang diuji kerentanannya dianalisa secara kuantitatif dengan interpretasi data (kriteria) kerentanan vektor ditentukan berdasarkan persentase kematian nyamuk uji dalam periode pengamatan 24 jam. Kematian nyamuk uji antara 98-100%
dinyatakan nyamuk tersebut masih rentan, bila kematian nyamuk uji antara 80,0% - 97,0% tergolong toleran dan jika kurang dari 80,0% tergolong kebal (resisten) (WHO 1998). Nyamuk yang lumpuh dan tidak bisa terbang dihitung atau dianggap mati. Bila ke matian nyamuk kontrol 5-20%, maka dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot’seperti berikut :
ABBOT’S = % Kematian nyamuk uji - % Kematian nyamuk kontrol 100 - % Kematian nyamuk kontrol
Bila kematian nyamuk kontrol lebih dari 20%, maka uji dianggap gagal dan harus diulang kembali (WHO 2003a, 2003b).
Jumlah curah hujan (mm)/bulan x Jumlah hari hujan/bulan ICH =
Jumlah hari (dalam satu bulan)
1.Pengumpulan Nyamuk Dewasa (HLC) 2. Pengumpulan Nyamuk Sekitar Hewan
3. Identifikasi Dewasa Anopheles spp 4. Pengumpulan Larva Anopheles spp
5. Pemeliharaan Larva Anopheles spp 6. Pengamatan Perkembangan Larva
7. Pengamatan Kontak 1 jam 8. Pengamatan Kontak 24 jam
Gambar 2. Kegiatan Penelitian di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba (Februari-Agustus 2011).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil penelitian menunjukk an keragaman jenis nyamuk Anopheles spp yang dilaksanakan dari bulan Februari sampai Agustus 2011 di Kelurahan Caile dan Kelurahan Ela-Ela Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba sebagai berikut : 4.1.1 Keragaman Jenis Nyamuk Anopheles spp
Keragaman jenis nyamuk Anopheles spp dari berbagai metode penangkapan yaitu umpan orang di dalam dan di luar rumah, nyamuk yang istirahat di dinding dalam rumah, umpan hewan ternak (sapi/kerbau), dan penangkapan pada pagi hari di dalam dan di luar rumah (Tabe l 1).
Jumlah nyamuk Anopheles spp yang tertangkap selama penelitian berlangsung sebanyak 1956 spesimen di Kelurahan Caile, paling banyak tertangkap dengan umpan hewan ternak yaitu sejumlah 980 spesimen (50,10%), berikutnya dengan penangkapan umpan orang di luar rumah (UOL) tertangkap 555 (28,37%) spesimen.
Melalui penangkapan malam dengan umpan orang di dalam rumah (UOD) tertangkap 228 (11,66%) spesimen. Untuk penangkapa n nya muk malam hari yang istirahat di dinding dalam rumah tertangkap 172 spesimen (8,79%) dan. penangkapan nyamuk pada pagi hari di dinding dalam rumah tidak tertangkap satu pun, sedangkan di dinding luar rumah dan sekitarnya tertangkap 21 (1,07%) spesimen.
Jumlah nyamuk Anopheles spp yang tertangkap selama tujuh bulan kegiatan penelitian berlangsung sebanyak 1241 spesimen di Kelurahan Ela-Ela, paling banyak tertangkap melalui penangkapan pada malam hari dengan penangkapan umpan orang di luar rumah (UO L) sejumlah 876 (70,59%) spesimen, dengan umpan orang di dalam rumah (UOD) tertangkap 282 (22,72%) spesimen, dan untuk penangkapan nyamuk malam hari yang istirahat di dinding da lam rumah tertangkap 59 (4,75%) spesimen.
Penangkapan nyamuk pagi hari pada dinding dalam rumah tertangkap 4 (0,32%) spesimen dan di dinding luar rumah dan sekitarnya tertangkap 20 (1,61%) spesimen.
Sementara itu penangkapan dengan metode umpan hewan tidak digunakan di Kelurahan Ela-Ela karena tidak terdapat rumah yang memiliki ternak.
Dari 1956 spesimen nyamuk Anopheles spp yang tertangkap selama penelitian ini, terdiri atas 8 spesies yaitu spesies An. barbirostris 817 (41,77%) spesimen, An.
vagus 695 (35,53%) spesimen, An. subpictus 357 (18,25%) spesimen, An. indefinitus
29 (1,48%) spesimen, An. nigerrimus 8 (0,41%) spesimen, An. tesselatus 43 (2,45%) spesimen, An. flavirostris 1 (0,05%) spesimen, dan An. kochi 1 (0,05%) spesimen di Kelurahan Caile. Sementara itu, dari 1241 spesimen nyamuk Anopheles spp yang tertangkap, terdiri atas 5 spesies yaitu terbanyak spesies An. barbirostris 986 (79,45%) spesimen, berikutnya spesies An. subpictus 184 (14,83%) spesimen, An.
vagus 57 (4,59%) spesimen, An. indefinitus 12 (0,97%) spesimen, dan terendah adalah An. nigerrimus 2 (0,16%) spesimen di Kelurahan Ela-Ela (Tabe l 1).
Jumlah spesies di Kelurahan Caile lebih banyak daripada di Ela-Ela dengan ditemukannya spesies An. tesselatus, An. flavirostris dan An. kochi. Larva spesies An.
tesselatus umumnya menempati habitat persawahan, kolam yang teduh, kolam air tawar, saluran yang banyak naungan. Spesies ini menunjukkan toleransi yang rendah terhadap panas dan kekeringan, sehingga mungkin menjadi sebab tidak ditemukannya di Ela- Ela da n daerah pesisir lainnya de ngan habitat yang terke na sinar matahari langsung. Sementara untuk An. flavirostris, diketahui nyamuk ini bersifat zoo filik atau lebih suka menggigit ternak. Tempat perkembangbiakannya di air jernih yang mengalir pelan dan kena sinar matahari langsung seperti sungai dan mata air terutama yang bagian tepinya berumput, sedangkan untuk larva An. kochi biasa ditemukan pada air yag berlumpur, dasar kolam dengan atau tanpa rumput, jejak kaki hewan, dan sawah yang belum ditanami. Hal ini sesuai dengan kondisi habitat yang ada di Kelurahan Caile.
Hasil yang sama dilaporkan Ndoen et al. (2010) bahwa spesies An. tesselatus, An. flavirostris dan An. kochi ditemukan lebih banyak di daerah persawahan di Pulau Jawa, tetapi di N TT tidak ditemukan baik di persawahan maupun di kawasan pantai. Hasil ini juga sesuai de ngan hasil pengamatan Darma et al. (2004) dalam penelitiannya di daerah persawahan dan rawa di Desa Marga Mulya Tanggerang yang menemukan ragam spesies An. Annularis, An. barbirostris, An. kochi, An. subpictus, An. sundaicus, An. tesselatus da n An. vagus. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Maguire et al. (2005) dalam penelitiannya pada desa-desa pesisir pantai Tanjung Anom da n Karang Serang Tanggerang yang menemukan fauna An. subpictus Grassi, An. vagus Doenitz, dan An. barbirostris Van der Wulp. Hasil penelitian ini juga sama dengan yang dilaporkan oleh Darundiati (2002) dalam penelitiannya di Kecamatan Pituruh Purworejo bahwa faktor lingkungan yaitu keberadaan genangan air, letak rumah, jarak sawah dari rumah, jarak rumah dengan breeding place, keberadaan
ternak mamalia, penempatan kandang ternak, dan jenis lantai rumah memiliki hubungan be rmakna de ngan kejadian malaria.
Hadi dan Koesharto (2006) menyatakan habitat nyamuk Anopheles bervariasi tergantung spesies, mulai dari lingkungan pegunungan sampai pantai. Aktivitas menggigitnya malam hari (nokturnal). Jarak terbangnya juga bervariasi tergantung spesies. Menurut Sukowati dan Sofyan (2009), penyebaran nyamuk Anopheles tidak hanya berdasarkan zoogeografi, namun juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, pemanfaatan lahan dan ekosistem. Di Jawa dan Bali terdapat 4 spesies vektor malaria yaitu An. sundaicus sebagai vektor di daerah pantai, An. aconitus di daerah persawahan bertingkat, An. balabacensis di daerah pegunungan bervegetasi, dan An.
maculatus di daerah pegunungan yang jarang vegetasinya.
Tabel 1. Komposisi Keragaman Nyamuk Anopheles spp dari Berbagai Metode Penangkapan di Kelurahan Caile dan Ela-Ela (Februari- Agustus 2011)
SPES IES
4.1.2 Kelimpahan Nisbi, Frekwensi dan Dominansi
Angka Kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominansi dari spesies nyamuk Anopheles spp yang tertangkap dengan metode umpan orang dalam dan luar rumah, istirahat di dinding dalam rumah malam hari da n di kandang, da n yang istirahat pagi hari di dinding dalam rumah da n sekitar luar rumah di Kelurahan Caile dan Ela- Ela (Tabel 2).
Hasil penangkapan dengan umpan orang di dalam rumah menunjukkan nyamuk yang memiliki angka kelimpahan nisbi tertinggi diantara enam spesies yang tertangkap di Kelurahan Caile adalah An. barbirostris (78,95%), berikutnya An.
subpictus (9,21%), An. vagus (7,89%), An. indefinitus (2,19%), dan yang terendah adalah An. tesselatus da n An. nigerrimus (masing- masing 0,88%), Berdasarkan frekuensinya, frekuensi tertinggi ada pada populasi An. barbirostris, An. subpictus dan An. vagus (masing- masing 1 kali). Selanjutnya diikut i An. indefinitus dan An.
tesselatus yang juga memiliki nilai frekuensi yang sama (0,29%), dan nilai yang terenda h frekuensinya adalah An. nigerrimus (0,14%). Seda ng menurut nilai dominansinya, angka tertinggi diantara enam spesies adalah An. barbirostris (78,95%), berikutnya adalah An. subpictus (9,21%), An. vagus (7,89%), An.
indefinitus (0,63%), An.tesselatus (0,25%) dan An. nigerrimus (0,13%).
Pada penangkapan dengan metode umpan orang, hasil penangkapan dengan umpan orang di dalam rumah menunjukkan nyamuk yang memiliki angka kelimpahan nisbi tertinggi diantara lima spesies yang tertangkap di Kelurahan Ela-Ela adalah An.
barbirostris (78,37%), berikutnya, An. subpictus (13,48%), An. vagus (6,74%), An.
barbirostris (78,37%), berikutnya, An. subpictus (13,48%), An. vagus (6,74%), An.