• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1.1 Hubungan Komunikasi terhadap Kejadian DBD d

Hasil penelitian komunikasi menunjukkan bahwa responden lebih banyak

berada pada kategori yang buruk. Effendy (2003) mengartikan komunikasi sebagai

suatu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk

memberikan atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik secara langsung

(lisan) maupun tak langsung.Komunikasi kesehatan merupakan proses penyampaian

pesan kesehatan oleh komunikator melalui saluran/media tertentu kepada komunikan

dengan tujuan untuk mendorong perilaku manusia tercapainya kesejahteraan sebagai

kekuatan yang mengarah kepada keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental

(rohani), dan sosial. Komunikasi dapat mengubah sikap dan perilaku kesehatan secara

langsung terhadap penyebab yang sama. Perubahan pengetahuan dan sikap

merupakan pra kondisi dalam perubahan perilaku kesehatan. Komunikasi

membutuhkan adanya suatu kompetensi komunikan, komitmen dalam menyampaikan

pesan, isi komunikasi harus berpengaruh dan mendukung terhadap kebijakan,

cakupan jangkauan yang sudah dikuasai, dan kontinuitas yaitu komunikasi yang terus

Dari hasil tabulasi silang antara komunikasi terhadap kejadian DBD terlihat

bahwa 56 responden menyatakan komunikasi buruk diantaranya yang menderita

DBD 3 responden dan yang tidak menderita DBD sebanyak 53 responden, dan

sebanyak 44 responden yang menyatakan komunikasi baik diataranya ada 9

responden yang menderita DBD dan 35 responden yang tidak menderita DBD. Dari

hasil uji statistik Chi-square diperoleh nilai p = 0,021 artinya ada hubungan antara

komunikasi dengan kejadian DBD di kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan-

kegiatan pencegahan pemberantasan Demam Berdarah belum begitu tersosialisasi

dengan baik, hal ini dapat dilihat dari angka penelitian yang menunjukkan masih

adanya penduduk yang belum pernah mendengar tentang kegiatan 3M. Padahal

komunikasi merupakan bagian penting untuk menentukan pengetahuan dan sikap

perilaku kesehatan (Health Belief Model).

Faktor komunikasi sangat berpengaruh terhadap penerimaan kebijakan oleh

kelompok sasaran, sehingga kualitas komunikasi akan mempengaruhi dalam

mencapai efektivitas implementasi kebijakan. Dengan demikian, penyebaran isi

kebijakan melalui proses komunikasi yang baik akan mempengaruhi terhadap

implementasi kebijakan. Dalam hal ini, media komunikasi yang digunakan untuk

menyebarluaskan isi kebijakan kepada kelompok sasaran akan sangat berperan.

Seperti halnya dalam penelitian ini, media komunikasi pencegahan pemberantasan

DBD yang digunakan adalah spanduk/baliho, brosur/selebaran/poster,

upaya promosi kesehatan yang sangatlah diperlukan dalam mendukung upaya

pencegahan DBD sesuai dengan hasil Deklarasi Nasional DBD tahun 2011.

Sebanyak 39 responden (39%) pernah mendengar tentang program

pemberantasan Demam Berdarah, dalam menanyakan hal ini peneliti memberikan

pertanyaan dengan kalimat yang mudah dimengerti oleh responden, namun yang

mendengar tentang program tersebut lebih dari 1 kali hanya 13 responden (13%),

dikarenakan intensitas penyuluhan DBD yang tidak terlalu sering sehingga saat si ibu

pergi ke posyandu ataupun puskesmas tidak mendengar tentang porogram itu

kembali. Dan dari seluruh responden yang pernah mendengar tentang program

pemberantasan DBD tersebut diperoleh 35 responden (35%) yang menyatakan telah

diberitahukan apa-apa saja program 3M tersebut dan dapat menjelaskannya dengan

baik. Menurut Kepmenkes no.581 tahun 1992 tentang Program Nasional

Penanggulangan DBD bahwa perlu dilakukan penyuluhan agar masyarakat tetap

waspada.

Terdapat 16 responden yang pernah membaca brosur/selebaran/postur baik

yang diperoleh dari posyandu, puskesmas, maupun yang diberikan pada saat

mahasiswa sedang praktek kerja lapangan. Disetiap puskesmas di Tebing Tinggi

dilengkapi dengan spanduk 3M yang merupakan program pemerintah Tebing Tinggi

dalam menurunkan angka kejadian DBD dengan tujuan semakin membiasakan

masyarakat dengan kegiatan 3M. Responden yang menyatakan pernah membaca

spanduk/baliho yang ada disepanjang jalan sekitar 45 responden (45%), hasil ini jelas

radio juga merupakan media komunikasi yang sangat penting,dapat dilihat dalam

penelitian ini 72 responden (72%) menyatakan pernah melihat dan mendengar

pencegahan Demam Berdarah dari media tersebut, dalam hal ini peneliti memang

sengaja memilih responden yang memang memiliki TV maupun radio agar tidak

terjadi bias. Jika memperhitungkan kualitas dan keefektifannya, media televisi sangat

berperan besar dikarenakan sifatnya yang audio-visual (pendengaran dan

penglihatan) lebih menarik dan mudah diingat oleh responden.

Sebanyak 56 responden (56 %) yang menyatakan bahwa pernah diberitahukan

petugas kesehatan tentang pentingnya gotong royong mengingat bahwa daerah

Bandar Sakti merupakan daerah banjir dan dikelilingi oleh beberapa aliran sungai.

Petugas kesehatan yang diwawancarai oleh peneliti juga menyatakan bahwa Tebing

Tinggi memiliki program gotong royong yaitu Jumat bersih bagi PNS dan staf untuk

melakukan gotong royong dilingkungan kerja masing-masing, dan hari Sabtu

diberlakukan sebagai hari gotong royong di lingkungan penduduk, gotong royong ini

dilakukan 1 minggu sekali. Kepmenkes No.581 tahun 1992 telah menetapkan

Program Nasional Penanggulangan DBD dimana salah satunya adalah penyuluhan

kepada masyarakat namun hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar

responden tidak pernah mendengar penyuluhan.

Bahaya demam berdarah diketahui oleh 46 responden (46%) yaitu

menyebabkan kematian, ada sebanyak 54 responden (54%) yang tidak mengetahu

bahwa DBD bisa menyebabkan kematian. Peneliti menanyakan hal tersebut dengan

maka responden haruslah melakukan program pencegaan pemberantasan DBD secara

rutin. Petugas kesehatan yang datang ke pemukiman penduduk didampingi oleh

kepala lingkungan atau kepala lorong seperti misalnya pada saat gotong royong

diadakan dilingkungan penduduk, dan saat ceramah dilakukan misalnya di posyandu

maka kegiatan ini didampingi oleh ibu kepala lingkungan. Dari hasil penelitian ini

diperoleh 42 responden (42%) menyatakan bahwa petugas kesehatan didampingi oleh

kepala lingkungan saat datang ke lingkungan penduduk. Hal ini ditanyakan oleh

peneliti dengan maksud apakah petugas kesehatan memilih sasaran komunikasi yang

jelas.

Pentingnya komunikasi tentang DBD juga terjadi di kota Palu, menurut hasil

penelitian Falmah dkk (2012) bahwa keberhasilan pemberantasan nyamuk aedes

aegypti tidak lepas dari peran petugas kesehatan Kota Palu yaitu memberikan

penyuluhan pada masyarakat tentang demam berdarah dengue secara intensif. Upaya

pemberantasan dan pencegahan yang dilakukan Dinas kesehatan kota Palu, yaitu

yang pertama dengan penyuluhan, penyuluhan yang dilakukan melalui rapat

koordinasi desa dan kecamatan, serta penyuluhan dilakukan dari rumah ke rumah

oleh petugas kesehatan. Kedua, dengan abatesasi yaitu pemberian abate kepada

seluruh masyarakat. Ketiga dengan fogging atau pengasapan sebagai alternatif

terakhir untuk pemberantasan nyamuk dewasa yang telah mengandung virus dengue.

Penanggulangan DBD diwilayah kecmatan Palu Selatan dan pada umumnya di

wilayah Kota Palu, ada beberapa bentuk sosialisasi yang telah dilaksanakan oleh

sistem kesehatan daerah mengenai diharuskannya rumah bebas jentik, kemudian ada

juga himbauan berupa perihal sistem kuota banding akan adanya peningkatan kasus

DBD. Artinya, ini merupakan warning buat tiap kecamatan mengenai akan adanya

surat edaran walikota mengenai perilaku hidup bersih dan pentingnya perilaku hidup

bersih dan perihal kegiatan Jumat bersih.

Dalam melaksanakan sosialisasi, tidak terlepas dari konsep kemitraan dengan

masyarakat. Jaringan kemitraan di Kota Palu diselenggarakan melalui pertemuan

berkala guna memadukan berbagai sumber daya yang tersedia di masing-masing

mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan,

pemantauan dan penilaian yang merupakan program sosialisasi dalam bentuk

koordinasi antara multistakeholders dalam melaksanakan penanggulangan penyakit

demam berdarah. Upaya penghimbauan masyarakat terus dilakukan Dinas Kesehatan

agar melakukan gerakan 3 M serta menerapkan pola hidup bersih dan sehat di

lingkungan masing-masing.

Penelitian Chahaya (2003) menyatakan bahwa penyuluhan kesehatan

merupakan kegiatan penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai

salah satu bentuk perubahan perilaku walaupun memerlukan waktu panjang dan harus

dilakukan berkelanjutan. PSN merupakan cara paling efektif dibandingkan dengan

fogging maupun abatesasi dan keberhasilan upaya ini cukup besar untuk menurunkan

angka kejadian DBD.

Pada tahun 2004 WHO telah memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu

COMBI) yang telah diterapkan di Jakarta Timur dan memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada kekompakan kerja tim, yang disebut

sebagai tim kerja dinamis dan penyampaian pesan, materi dan media komunikasi

direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan oleh masyarakat dengan cara

pemecahan masalah yang disetujui bersama. Dengan pendekatan KPP / Combi ini

diharapkan adanya perubahan perilaku masyarakat kearah pemberdayaan PSN.

Tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

agar mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran tidak jelas atau

bahkan tidak diketahui maka akan terjadi resistensi kelompok sasaran (Subarsono,

2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program yang akan

dilaksanakan maka akan mengurangi penolakan atau kekeliruan dalam

mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009). Van Mater dan Varn Horn

menyebutkan bahwa prospek implementasi kebijakan yang efektif sangat ditentukan

oleh komunikasi kepada para pelaksana kebijakan secara akurat dan konsisten

(accuracy and consistency)

5.1.2. Hubungan Sumber Daya terhadap Kejadian DBD di Kelurahan Bandar

Dokumen terkait