• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Implementasi Kebijakan DBD Terhadap Kejadian DBD Di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Implementasi Kebijakan DBD Terhadap Kejadian DBD Di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DBD TERHADAP KEJADIAN DBD DI KELURAHAN BANDAR SAKTI

KOTA TEBING TINGGI

TESIS

Oleh

SRI REZEKI SIBARANI 107032018/ IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF POLICY IMPLEMENTATION ON THE INCIDENT OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER IN KELURAHAN BANDAR

SAKTI, THE CITY OF TEBING TINGGI

THESIS

BY

SRI REZEKI SIBARANI 107032018/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DBD TERHADAP KEJADIAN DBD DI

KELURAHAN BANDAR SAKTI KOTA TEBING TINGGI

Nama Mahasiswa : Sri Rezeki Sibarani Nomor Induk Mahasiswa : 107032018

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Juanita, S.E, M.Kes) (Drs. Amru Nasution, M.Kes) Ketua Anggota

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 16 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DBD TERHADAP KEJADIAN DBD DI KELURAHAN BANDAR SAKTI

KOTA TEBING TINGGI

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2013

(6)

ABSTRAK

Jumlah kasus DBD di Indonesia masih tinggi yaitu 156.086 kasus pada tahun 2010, lalu mengalami penurunan yaitu 49.868 kasus pada tahun 2011. Kasus DBD di Sumatera Utara tahun 2010 yaitu 8.889 kasus, pada tahun 2011 yaitu 4.535 kasus. Pada tahun 2010 kejadian DBD di Tebing Tinggi sebanyak 381 kasus dengan angka kesakitan 262/100.000 penduduk, dan pada tahun 2011 kejadian DBD sebanyak 176 kasus dengan angka kesakitan 121/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD tersebut masih tinggi mengingat indikator angka DBD adalah 2/100.000.

Kelurahan Bandar Sakti merupakan kelurahan tertinggi kasus DBD di kota Tebing Tinggi tahun 2011. Tebing Tinggi telah memiliki kebijakan tentang Pemberantasan DBD dengan mengikuti kebijakan pusat dan saat ini terdapat

kebijakan yang terbaru yaitu dibentuknya Surat Keputusan

No.440.04/722/SK/V/2011 tentang Pembentukan Kader Jumantik di kota Tebing Tinggi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh implementasi kebijakan terhadap kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Sampel berjumlah 100 orang yang diambil dengan cara simple random sampling. Analisis data terdiri dari analisis univariat, analisis bivariat menggunakan chi square, analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan 12 responden (12%) pernah menyatakan bahwa anggota keluarga pernah mengalami kejadian DBD. Hasil bivariat menunjukkan bahwa ke 3 variabel mempunyai hubungan signifikan terhadap kejadian DBD, dimana nilai p < 0,021 pada komunikasi, p < 0,001 pada sumber daya, p < 0,001 pada disposisi. Untuk hasil multivariat menunjukkan bahwa yang paling berpengaruh terhadap menurunnya kejadian DBD adalah sumber daya.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tebing Tinggi agar meningkatkan kerjasama lintas sektoral untuk mengaktifkan kembali Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional), mengeluarkan peraturan yang berisi tentang sanksi atas pelanggaran PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), mengawasi seluruh kegiatan PSN, melakukan KKP (Komunikasi Perubahan Perilaku).

(7)

ABSTRACT

The number of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) cases in Indonesia is still high. It was 156,086 cases in 2010 then decreased to 49,868 cases in 2011. In Sumatera Utara, there were 8,889 cases in 2010 and 4,535 cases in 2011. In Tebing Tinggi, there were 381 DHF cases with morbidity rate of 262/100,000 population, and in 2011 there were 176 DHF cases with with morbidity rate of 121/100,000 population. In relation to the DHF indicator rate of 2/100,000, the cases of DHF in Indonesia is still high.

Kelurahan Bandar Sakti is an urban village (kelurahan) with the highest DHF case in Tebing Tinggi in 2011. Tebing Tinggi has owned a policy on DHF eradication referring to the policy issued by central government and now a recent decree available is the decree No. 440.04/722/SK/V/2011 on the establishment of jumantik cadres in the City of Tebing Tinggi. The purpose of this analytical study with cross-sectional design was to find out the influence of policy implementation on the incident of DHF in Kelurahan Bandar Sakti, the City of Tebing Tinggi in 2011. The samples for this study was 100 persons selected through simple random sampling technique. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that 12 respondents (12%) said that their family members experinced the DHF once. The result of bivariate analysis showed that the 3 (three) variables of communication (p < 0.021), resources (p < 0.001), and disposition (p < 0.001) had a significant relationship with DHF. The result of multi variate analysis showed that resources was the most influencing variable in minimizing the incident of DHF.

The management of Tebing Tinggi Health Service is suggested to improve the inter-sectoral cooperation and to reactivate the Pokjanal (National Working Group), to issue a regulation on the sanction for the violation of mosquito nest eradication, to monitor all of Civil Servants’ activities, and to implemenmt COMBI (Communications for Behavioral Impact).

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada

Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Implementasi

Kebijakan DBD Terhadap Kejadian DBD Di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing

Tinggi”.

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan,

bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak pihak.

Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

3. Dr. Juanita, S.E, M.Kes selaku ketua komisi pembimbing yang dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu

untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

4. Drs. Amru Nasution, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan

(9)

waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis

selesai.

5. Drh. Rasmaliah, M.Kes dan Ir. Evi Naria, M.Kes sebagai komisi penguji yang

telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan

tesis ini.

6. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara

7. Dr. Vive Kananda, Sp. THT, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi

yang telah memberikan izin penelitian.

8. Ibu Lurah Pinang Mancung dan Ibu Lurah Bandar Sakti yang bersedia

memberikan izin penelitian dan menemani saya selama penelitian berlangsung.

9. Seluruh staf Dinas Kesehatan Tebing Tinggi yang telah membantu saya dalam

mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian.

10. Suami tercinta AKP. Bonar Pakpahan, S.IK yang penuh pengertian, kesabaran,

dukungan, dan doa yang diberikan mulai dari masa sebelum menikah yaitu disaat

penulis menjalani pendidikan semester 1 hingga setelah menikah disaat penulis

menjalani pendidikan semester akhir.

11. Orang tua terkasih B. Sibarani dan O. Br. Sihombing, Am.Keb, penulis ucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya buat dukungan moral, materil, dan doa yang

sudah diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada

(10)

dukungan dan doa nya selama ini sehingga memotivasi penulis. Penulis juga

mengucapkan terimakasih untuk keluarga besar penulis terkhusus kakanda

Gunawan Sibarani, SH, M.Hum dan Dewi Tampubolon, SH, adinda Daniel

Reiner Sibarani dan Gleydhis Sibarani.

12. Rekan-rekan mahasiswa S2 Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

angkatan 2010 yang penulis sebut sebagai sahabat terutama drg. Imelda Gultom

M.Kes, dr. Veronika Brahmana, dr. Lomo Daniel, Betty Sirait, Hotman Siahaan

M.Kes, dr. Edward Situmorang, dr. Imas Wirdaningsih, M.Kes.

13. Terkhusus kepada rekan mahasiswa S2 Minat Studi Epidemiologi tahun 2010

yaitu Linda Sirait, SKM, M.Kes dan Henny Hutasoit, SKM, M.Kes yang telah

banyak membantu dan memberi masukan kepada penulis dalam pengerjaan tesis

ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan,

semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Januari 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Sri Rezeki Sibarani, lahir pada tanggal 2 Agustus 1987 di Tebing Tinggi, anak

kedua dari empat bersaudara dari pasangan ayahanda B. Sibarani dan ibunda O. Br.

Sihombing, Am. Keb. Menikah pada tanggal 14 Juli 2012 dengan suami tercinta

AKP. Bonar Pakpahan, S.IK.

Pendidikan formal penulis dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar

Methodist Tebing Tinggi tahun 1992-1998, Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 2 Tebing Tinggi tahun 1998-2001, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1

Tebing Tinggi tahun 2001-2004, Fakultas Kedokteran Universitas Methodist

Indonesia tahun 2004-2010.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kebijakan Kesehatan ... 8

2.1.1 Pengertian Kebijakan ... 8

2.1.2 Pengertian Kebijakan Kesehatan ... 9

2.2 Implementasi Kebijakan ... 10

2.3 Kebijakan Kesehatan Sebagai Tanggung Jawab Pemerintah ... 16

2.4 Kebijakan Kesahatan dalam Program Pemberantasan DBD ... 16

2.5 Demam Berdarah Dengue ... 29

2.5.1 Pengertian DBD ... 29

2.5.2 Etiologi DBD ... 30

2.5.3 Cara Penularan DBD ... 30

2.5.4 Epidemiologi ... 28

2.5.5 Tanda dan Gejala Klinis ... 31

2.6 Landasan Teori ... 32

2.7 Kerangka Konsep ... 37

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3 Populasi dan Sampel ... 38

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 38

3.4.1 Jenis Data ... 40

(13)

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 44

3.5.1 Variabel Independen ... 44

3.5.2 Variabel Dependen ... 44

3.6 Metode Pengukuran ... 45

3.6.1 Variabel Independen ... 45

3.6.2 Variabel Dependen ... 46

3.7 Metode Analisis Data ... 46

3.7.1 Analisis Univariat ... 46

3.7.2 Analisis Bivariat ... 46

3.7.3 Analisis Multivariat ... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 48

4.1.1 Letak Geografis dan Demografis Kelurahan Bandar Sakti Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi ... 49

4.1.2 Gambaran Umum Kelurahan Bandar Sakti ... 49

4.2 Analisis Univariat ... 50

4.2.1 Distribusi Frekuensi Komunikasi Terhadap Kejadian DBD ... 50

4.2.2 Distribusi Frekuensi Sumber Daya Terhadap Kejadian DBD ... 55

4.2.3 Distribusi Frekuensi Disposisi Terhadap Kejadian DBD ... 58

4.3 Analisis Bivariat ... 62

4.3.1 Hubungan Komunikasi dengan Kejadian DBD ... 62

4.3.2 Hubungan Sumber Daya dengan Tindakan Kejadian DBD ... 63

4.3.3 Hubungan Disposisi dengan Kejadian DBD ... 64

4.4 Analisis Multivariat ... 65

BAB 5. PEMBAHASAN ... 68

5.1 Analisis Bivariat ... 68

5.1.1 Hubungan Komunikasi terhadap Kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi ... 68

5.1.2 Hubungan Sumber Daya terhadap Kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi ... 72

5.1.3 Hubungan Disposisi terhadap Kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi ... 77

5.3 Analisis Multivariat ... 80

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

6.1 Kesimpulan ... 84

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Jumlah Sampel Masing-Masing Lingkungan Kelurahan Bandar

Sakti Kota Tebing Tinggi ... 37

3.2 Hasil Uji Validitas ... 39

3.3 Hasil Uji Reliabilitas ... 41

4.1 Distribusi Frekuensi Komunikasi Terhadap Kejadian DBD ... 50

4.2 Distribusi Frekuensi Kategori Komunikasi Terhadap Kejadian DBD ... 51

4.3 Distribusi Frekuensi Sumber Daya Terhadap Kejadian DBD ... 53

4.4 Distribusi Frekuensi Kategori Komunikasi Terhadap Kejadia DBD ... 54

4.5 Distribusi Frekuensi Disposisi Terhadap Kejadian DBD ... 57

4.6 Distribusi Frekuensi Kategori Disposisi Terhadap Kejadian DBD ... 58

4.7 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD ... 59

4.8 Hubungan Komunikasi Dengan Kejadian DBD ... 60

4.9 Hubungan Sumber Daya Dengan Kejadian DBD ... 61

4.10 Hubungan Disposisi Dengan Kejadian DBD ... 62

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner ... 88

2 Master Data ... 94

3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 97

4 Tabel Frekuensi Pertanyaan ... 103

5 Tabel Frekuensi Variabel Kategorisasi ... 112

6 Hasil Uji Statistik Bivariat ... 113

7 Regresi Logistik ... 117

8 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 119

9 Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian ... 120

(18)

ABSTRAK

Jumlah kasus DBD di Indonesia masih tinggi yaitu 156.086 kasus pada tahun 2010, lalu mengalami penurunan yaitu 49.868 kasus pada tahun 2011. Kasus DBD di Sumatera Utara tahun 2010 yaitu 8.889 kasus, pada tahun 2011 yaitu 4.535 kasus. Pada tahun 2010 kejadian DBD di Tebing Tinggi sebanyak 381 kasus dengan angka kesakitan 262/100.000 penduduk, dan pada tahun 2011 kejadian DBD sebanyak 176 kasus dengan angka kesakitan 121/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD tersebut masih tinggi mengingat indikator angka DBD adalah 2/100.000.

Kelurahan Bandar Sakti merupakan kelurahan tertinggi kasus DBD di kota Tebing Tinggi tahun 2011. Tebing Tinggi telah memiliki kebijakan tentang Pemberantasan DBD dengan mengikuti kebijakan pusat dan saat ini terdapat

kebijakan yang terbaru yaitu dibentuknya Surat Keputusan

No.440.04/722/SK/V/2011 tentang Pembentukan Kader Jumantik di kota Tebing Tinggi.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh implementasi kebijakan terhadap kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan desain cross sectional. Sampel berjumlah 100 orang yang diambil dengan cara simple random sampling. Analisis data terdiri dari analisis univariat, analisis bivariat menggunakan chi square, analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan 12 responden (12%) pernah menyatakan bahwa anggota keluarga pernah mengalami kejadian DBD. Hasil bivariat menunjukkan bahwa ke 3 variabel mempunyai hubungan signifikan terhadap kejadian DBD, dimana nilai p < 0,021 pada komunikasi, p < 0,001 pada sumber daya, p < 0,001 pada disposisi. Untuk hasil multivariat menunjukkan bahwa yang paling berpengaruh terhadap menurunnya kejadian DBD adalah sumber daya.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tebing Tinggi agar meningkatkan kerjasama lintas sektoral untuk mengaktifkan kembali Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional), mengeluarkan peraturan yang berisi tentang sanksi atas pelanggaran PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), mengawasi seluruh kegiatan PSN, melakukan KKP (Komunikasi Perubahan Perilaku).

(19)

ABSTRACT

The number of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) cases in Indonesia is still high. It was 156,086 cases in 2010 then decreased to 49,868 cases in 2011. In Sumatera Utara, there were 8,889 cases in 2010 and 4,535 cases in 2011. In Tebing Tinggi, there were 381 DHF cases with morbidity rate of 262/100,000 population, and in 2011 there were 176 DHF cases with with morbidity rate of 121/100,000 population. In relation to the DHF indicator rate of 2/100,000, the cases of DHF in Indonesia is still high.

Kelurahan Bandar Sakti is an urban village (kelurahan) with the highest DHF case in Tebing Tinggi in 2011. Tebing Tinggi has owned a policy on DHF eradication referring to the policy issued by central government and now a recent decree available is the decree No. 440.04/722/SK/V/2011 on the establishment of jumantik cadres in the City of Tebing Tinggi. The purpose of this analytical study with cross-sectional design was to find out the influence of policy implementation on the incident of DHF in Kelurahan Bandar Sakti, the City of Tebing Tinggi in 2011. The samples for this study was 100 persons selected through simple random sampling technique. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that 12 respondents (12%) said that their family members experinced the DHF once. The result of bivariate analysis showed that the 3 (three) variables of communication (p < 0.021), resources (p < 0.001), and disposition (p < 0.001) had a significant relationship with DHF. The result of multi variate analysis showed that resources was the most influencing variable in minimizing the incident of DHF.

The management of Tebing Tinggi Health Service is suggested to improve the inter-sectoral cooperation and to reactivate the Pokjanal (National Working Group), to issue a regulation on the sanction for the violation of mosquito nest eradication, to monitor all of Civil Servants’ activities, and to implemenmt COMBI (Communications for Behavioral Impact).

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi kesehatan

yang tinggi dan mungkin dicapai pada suatu saat yang sesuai dengan kondisi dan

situasi serta kemampuan yang nyata dari setiap orang atau masyarakat dan harus

selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus.

Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

menyatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung

jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, pemberantasan penyakit menular

serta akibat yang ditimbulkannya. Penyakit DBD merupakan masalah kesehatan di

Indonesia karena incidence ratenya yang terus meningkat dan penyebarannya

semakin luas. Berdasarkan data di atas, Pemerintah Indonesia terus berusaha

memperbaiki program pemberantasan DBD. Program tersebut bertujuan untuk

mengurangi penyebarluasan wilayah yang terjangkit DBD, mengurangi jumlah

penderita DBD, dan menurunkan angka kematian akibat DBD.

Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada upaya preventif, yaitu

melaksanakan penyemprotan massal sebelum musim penularan penyakit di daerah

endemis DBD. Selain itu digalakkan juga kegiatan PSN (Pemberantasan Sarang

Nyamuk) dan penyuluhan kepada masyarakat melalui berbagai media. Pada

(21)

dalam pelaksanaanya. Akibatnya strategi pemberantasan DBD tidak terlaksana

dengan baik sehingga setiap tahunnya Indonesia terus dibayangi kejadian luar biasa

(KLB) DBD (Sungkar, 2007).

Penyakit DBD pertama kali ditemukan di Manila (Philipina) pada tahun 1953

dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Menurut Perkiraan Pusat Pengendalian

dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention), Amerika

Serikat bahwa setiap tahun di seluruh dunia terjadi 50 juta – 100 juta kasus DBD

(BPPN, 2006). Sementara itu di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan di

Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968 kemudian menyebar ke seluruh provinsi di

Indonesia. Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD terbesar pertama kali terjadi di

Indonesia pada tahun 1998 dengan Incidence Rate (IR) sebesar 35,19/100.000

penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2% (BPPN, 2006).

Pada tahun 2006 Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus dengue

terbanyak di Asia Tenggara yaitu sebanyak 106.425 pasien (57%) dengan 1132

kematian, atau 70% dari jumlah seluruh yang meninggal di Asia Tenggara. Tahun

2007 dilaporkan terjadi 140.000 kasus DBD dengan angka kematian 1380 (CFR 0,98

%).Tahun 2008 terdapat 137.469 kasus (IR = 59,02/100.000) dengan angka kematian

1187 (CFR 0,86%). Tahun 2009 terdapat 154.855 kasus dengan angka kematian 1.38

(CFR 0,89%). Tahun 2010 terdapat 156.086 kasus (IR = 65,70/100.000) dengan

angka kematian 1.358 (CFR 0,87%). Tahun 2011 kasus DBD menurun cukup jauh

yaitu menjadi 49.868 kasus (IR = 21/100.000) dan CFR 0,80% (Ditjen PP &

(22)

Dari Januari sampai dengan November 2011 ada 5 provinsi dengan IR

tertinggi yaitu Bali 81,08/100.000 penduduk, DKI Jakarta 72,24/100.000 penduduk,

Kepri 49,70/100.000 penduduk, Sulawesi Tengah 47,37/100.000 penduduk, NAD

45,81/100.000 penduduk (Ditjen PP & PL, 2011).

Angka kesakitan DBD di Sumut tahun 2006 yaitu IR 17,58/100.000 penduduk

(2.091 kasus). Pada tahun 2007 jumlah kasus 4.195 dan tahun 2008 sebanyak 4.454

kasus. Sedangkan untuk tahun 2010 jumlah kasus DBD di Sumut telah mencapai

angka 8.889 dengan korban meninggal sebanyak 87 jiwa (IR = 39,6/100.000

penduduk). Tahun 2011 jumlah kasus DBD adalah 4.535 dengan korban meninggal

sebanyak 56 jiwa (IR = 10,26/100.000 penduduk) (Supriady, 2012).

Penemuan kasus dan angka kesakitan DBD untuk kota Tebing Tinggi

mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2007 sebanyak 394 kasus dengan angka

kesakitan 285,59/100.000 penduduk, tahun 2008 sebanyak 176 kasus dengan angka

kesakitan 126,25/100.000 penduduk, tahun 2009 sebanyak 230 kasus dengan angka

kesakitan 163,05/100.000 penduduk, tahun 2010 sebanyak 381 kasus dengan angka

kesakitan 262,00/100.000 penduduk, tahun 2011 sebanyak 176 kasus dengan angka

kesakitan 121,00/100.000 penduduk (Dinkes Tebing Tinggi, 2011).

Jumlah kasus DBD di kota Tebing Tinggi masih cukup tinggi mengingat

indikator angka kesakitan DBD adalah 2/100.000 penduduk dan belum berhasil

dicegah meskipun seluruh kasus yang ditemukan mendapat penanganan serius dari

Dinkes dan jajarannya. Kasus tersebut telah ditangani 100% namun sangat perlu

(23)

daerah endemis DBD yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganannya

karena dapat menimbulkan kematian pada penderita, dan upaya pencegahan dan

penanggulangannya lebih diefektifkan dengan melibatkan semua aspek masyarakat

(Dinkes Tebing Tinggi, 2010).

Untuk saat ini, perkembangan penggunaan teknologi pengendalian DBD

secara nasional, seperti pengembangan vaksin DBD, sedang dilakukan tahap uji coba

ke tengah masyarakat.Pada 2011, telah dilaksanakan di 3 wilayah yakni DKI Jakarta,

Bandung dan Denpasar (Fase 3). Disamping itu juga, beberapa penelitian tentang obat

(herbal) untuk mempercepat kenaikan trombosit dan melakukan kajian distribusi

serotype virus dengue dilakukan di beberapa daerah endemis di seluruh Indonesia

(Ditjen PP & PL, 2011).

Sistem Kewaspadaan Dini telah dilakukan di Malaysia dan terbukti efektif

dalam menurunkan angka kejadian DBD. Pemerintah Indonesia perlu membentuk

sistem tersebut untuk memberikan peringatan dini bagi masyarakat setiap tahunnya

sebelum terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) DBD sehingga masyarakat dapat

mengantisipasinya. Sistem ini dapat memanfaatkan media elektronik sebagai sarana

sosialisasi. Isi sosialisasi mencakup gejala khas DBD yaitu demam tinggi,

perdarahan terutama di kulit, serta apa yang harus dilakukan terhadap penderita DBD.

Sosialisasi juga perlu mencakup upaya pemberantasan DBD yang efektif dan efisien

seperti PSN dan upaya perlindungan diri seperti pemasangan kelambu pada saat anak

tidur siang, kawat kasa pada lubang ventilasi udara dan memakai penolak nyamuk

(24)

Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Singapura,

penelitian mengenai pengendalian vektor DBD di Indonesia masih tertinggal karena

keterbatasan dana. Peningkatan anggaran untuk menunjang penelitian terhadap virus

dengue maupun nyamuk Aedes Aegypti dapat mendorong keberhasilan

pemberantasan DBD (Sungkar, 2007).

Pemberantasan DBD tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat namun

perlu dilakukan terus menerus sehingga kemungkinan terjadinya KLB atau

peningkatan jumlah penderita DBD dapat dihindari. Kerjasama seluruh lapisan

masyarakat mendorong keberhasilan pemberantasan DBD (Sungkar, 2007).

Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Kota Tebing Tinggi menyatakan

saat ini ada beberapa kebijakan pemberantasan DBD yang telah dilakukan

diantaranya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu 3M Plus, Pemeriksaan

Jentik Berkala 1 bulan sekali, Survailens pada setiap kasus DBD, adanya Laporan

KD-RS (Kewaspadaan Dini Rumah Sakit). Kebijakan pemberantasan DBD di Kota

Tebing Tinggi berasal dari kebijakan pusat, khusus tentang jumantik telah diatur

Perda No.44.04/722/SK/V/2011.

Dari data yang telah diperoleh peneliti tentang angka kejadian DBD 5 tahun

terakhir mengalami fluktuasi yaitu tahun 2007 sebanyak 394 kasus, tahun 2008

sebanyak 176 kasus dengan angka kematian sebanyak 3 kasus, tahun 2009 sebanyak

230 kasus dengan angka kematian sebanyak 1 kasus, tahun 2010 sebanyak 381 kasus

(25)

angka kematian sebanyak 2 kasus, hal tersebut menggambarkan masih tingginya

insidens DBD di Kota Tebing Tinggi.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin

mengetahui bagaimana pengaruh implementasi kebijakan DBD terhadap kejadian

DBD di Kota Tebing Tinggi.

1.2 Permasalahan

Dari latar belakang penelitian maka yang menjadi permasalahan adalah sudah

adanya kebijakan DBD di kelurahan Bandar Sakti kota Tebing Tinggi namun kasus

DBD masih tinggi.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh implementasi

kebijakan meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi terhadap kejadian DBD di

kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan mempunyai

pengaruh terhadap keberhasilan pemberantasan DBD di kota Tebing Tinggi.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi dalam

(26)

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar lebih mengetahui dengan jelas

faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kejadian DBD sehingga diharapkan

dapat berperan aktif dalam pencegahan DBD.

c. Memberi kontribusi dalam pengembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya

Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

d. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai kebijakan

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Kesehatan 2.1.1 Pengertian Kebijakan

Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan.

Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan

atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do).

Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya

tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose) (Abidin, 2002).

Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna

bahwa :

a. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah.

b. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan

oleh badan pemerintah (Abidin, 2002).

Menurut Dunn proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai

berikut :

a. Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa

mendapat perhatian dari pemerintah.

b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan

(28)

c. Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses dimana pemerintah

menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria yang harus

dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses

atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut.

d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu proses untuk

melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya

dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan.

e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses untuk memonitor dan

menilai hasil atau kinerja kebijakan (Subarsono, 2005).

2.1.2.Pengertian Kebijakan Kesehatan

Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan

sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari

penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian kebijakan kesehatan yaitu

konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi

pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang

optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010).

Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua

pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam

penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan kerangka

(29)

2.2. Implementasi Kebijakan

Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai

hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers

bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya

(Subarsono, 2005).

Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu

hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan

publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh pemerintah (Wahab, 2008).

Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan

menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan

pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun jaringan yang

memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi

pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (policy

stakeholders) (Subarsono, 2005).

Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap

pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang

memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian

aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi

kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan

alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro

(30)

Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi actuating

dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi tengah yang terkait

erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan (planning), pengorganisasian

(organizing), pembenahan personil (stuffing) dan pengawasan (controlling). Sebagai

langkah awal pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan tujuan serta

formulasi kebijakan. Untuk langkah akhir dari rangkaian kebijakan berada pada

monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002).

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan

masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan

Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel yaitu :

a. Komunikasi

Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus

dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan

kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui

sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi

dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok

sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan

dalam mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009).

b. Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi

(31)

tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya

manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono, 2005). Sumberdaya manusia

adalah kecukupan baik kualitas dan kuantitas implementor yang dapat melingkupi

seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal dalam

melaksanakan kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi

kebijakan. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen

saja (Indiahono, 2009).

c. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor seperti

komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi

yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa

yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau

perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005). Kejujuran mengarahkan

implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam

program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam

melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan

meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota

kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan

menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap

(32)

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang

standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi pedoman bagi

setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang

akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni

prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan aktivitas

organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).

Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward memiliki

keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Semuanya

saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan mempengaruhi

variabel yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan mudah sekali

melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga program tidak optimal

dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari implementor kurang

demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran.

Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat menggambarkan

implementasi program diberbagai tempat dan waktu.

Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena

pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari sekedar

merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek

(33)

pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi

implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan

dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak

dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak

berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin

2002).

Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal yang

biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain :

a. Kondisi Fisik

Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal kegagalan

pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini sering dianggap

bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu

sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi.

b. Faktor Politik

Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran pemerintahan dapat

mengubah orientasi atau pendekatan dalam pelaksanaan bahkan dapat

menimbulkan perubahan pada seluruh kebijakan yang telah dibuat. Perubahan

pemerintahan dari kepala pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat

menimbulkan perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi sistem

pemerintahan, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan strategi

industrialisasi ke orientasi agri-bisnis, perubahan dari orientasi yang

(34)

c. Attitude

Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu

berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa melakukan

perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum kebijakan itu

dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan perundang-undangan boleh saja

terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada waktu baru

mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude positif dalam budaya

bernegara.

d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor inputs.

Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan tidak

tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah satu faktor

dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.

e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah pelaksanaan.

Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A > B > C > D,

kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C dan atau

antara C dengan D.

f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat terjadi karena teori

yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam perumusan

kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002).

Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi

yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa pelaksanaan yang

(35)

suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat

(Abidin, 2002).

2.3. Kebijakan Kesehatan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah

Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah

keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa setiap

orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan.

Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan bahwa

pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,

membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan

terjangkau oleh masyarakat.

2.4. Kebijakan Kesehatan dalam Program Pemberantasan DBD

Depkes telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam

penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD

adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi

diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA (Tempat

Penampungan Air). Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil

yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah

wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus

(36)

ialah dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang dilaksanakan oleh

masyarakat atau keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Oleh karena itu saat

ini Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan upaya Pemberantasan Sarang

Nyamuk (Ditjen PP & PL, 2004).

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Bagian PMK

(Pengendalian Masalah Kesehatan) Dinkes Tebing Tinggi tentang kebijakan

pemberantasan DBD di Tebing Tinggi dipaparkan sebagai berikut :

a. Untuk pencegahan penyakit DBD dilaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang

Nyamuk) melalui 3M Plus dengan melibatkan masyarakat yaitu 3M yakni

menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat tempat

penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air. Kegiatan

lainnya yang melibatkan masyarakat yaitu gotong royong dan ini dilakukan 1x

1minggu. Plus yakni memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa,

mengatur ventilasi dan pencahayaan dalam ruangan, mengganti air vas bunga atau

tempat minum burung, menghindari menggantung pakaian dalam kamar,

menggunakan obat anti nyamuk, menaburkan larvasida di tempat penampungan

air, dan lainnya. Sosialiasi dibuat dalam bentuk leaflet, spanduk, baliho. Selain

kegiatan tersebut pemerintah juga melakukan fogging massal dan abatesasi.

b. Kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat diwujudkan kembali dalam

kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilaksanakan 1 bulan 1 kali oleh

(37)

Jumantik (2 orang kader per lingkungan) dengan penggajian Rp. 25.000 per bulan

untuk setiap jumantik.

c. Survailens / Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi dilakukan pada setiap

kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah penderita. Bila

ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya ataupun

ditemukan faktor resiko (jentik) maka dilakukan fogging fokus dengan siklus 2

kali dan fogging massal bila diperlukan.

d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit

(KD-RS) DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis sebagai

laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru untuk segera

dilaksanakan surveilans epidemiologi.

Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sesuai

dengan Peraturan Menkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 yaitu :

a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah.

b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih

dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya.

c. Angka kematian (CFR) dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan

50% atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya dalam kurun

waktu yang sama (Ditjen PP & PL 2011).

Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka telah

dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain :

(38)

b. Kepmenkes No.581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD.

c. PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi

sebagai daerah otonom.

d. Kepmenkes No.004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan & strategi

desentralisasi bidang kesehatan .

e. Permenkes No.741 tahun 2008 tentang SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota

dengan target 100% kejadian DBD ditangani sesuai standar.

f. Permenkes No.1501/Menkes/Per/X/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu

yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya (hasil revisi dari

Permenkes No.560 tahun 1989 karena dipandang tidak memadai lagi dalam

penanggulangan berbagai penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah).

Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No.22

tahun 1999 tantang pemerintahan daerah serta PP No.25 tahun 2000 tentang

kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi sebagai daerah otonom telah terjadi

pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan

dalam bidang kesehatan. Namun lambatnya penanganan penyakit demam berdarah itu

tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat &

pemerintah kabupaten atau kota sebagai pelaksana program (Hidayat, 2008).

Melalui Kepmenkes No. 581 tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional

Penanggulangan DBD yang terdiri dari beberapa pokok program yaitu :

a. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Untuk setiap kasus DBD

(39)

penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya penderita DBD

lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor resiko yaitu ditemukan jentik,

maka dilakukan penyemprotan (Fogging Fokus) dengan siklus 2 kali disertai

larvasidasi, dan gerakan PSN.

b. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB ) setahun 4

kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.

c. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN

(Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3M Plus, dengan melibatkan

masyarakat.

d. Memfasilitasi terbentuknya tenaga Jumantik ( Juru Pemantau Jentik)

e. Kemitraan melalui wadah Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional), bersama

Depdagri dan lintas sektor lainnya terutama Depdiknas.

f. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada (Ditjen PP & PL,

2011).

Adapun beberapa pengembangan program pencegahan DBD dari

program-program yang ada yaitu :

a. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai

tingkat administrasi.

b. Pengendalian DBD masuk dalam SPM bidang kesehatan kabupaten atau kota

sehingga upaya pengendalian (operasional dan non operasional) menjadi

(40)

c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk teknis BOK tahun

2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta pengendalian dan

pemberantasan vektor.

d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar meningkatkan komitmen

terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk kegiatan juru

pemantau jentik (Jumantik) contoh DKI Jakarta, Mojokerto (Jawa Tengah),

Denpasar (Bali).

e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD contoh beberapa

daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara lain DKI

Jakarta, Jawa Timur, NTT.

f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait :

1. Kementrian Pendidikan Nasional & Kementrian Agama :untuk mengaktifkan

UKS.

2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat melalui PKK.

3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans berdasarkan iklim.

g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja masing-masing

daerah (misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan komponen

masyarakat lainnya) dalam PSN (Ditjen PP & PL, 2011).

Pada tanggal 14 – 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil

menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya di Jakarta yang

dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan tanggal 15 Juni

(41)

nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta

dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO yang

menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu :

a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu mengatasi

permasalahan demam berdarah.

b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam berdarah.

c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus menerus

(surveilans).

d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang memadai.

e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat.

f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi pemerintah , swasta, dan

masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.

g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, karang

taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap demam berdarah.

h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam berdarah.

i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai tingkatan baik

pusat, provinsi, kabupaten atau kota.

j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian demam berdarah

(Ditjen PP & PL, 2011).

Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak 1975

Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak memperkenankan adanya

(42)

ketentuan serupa yang disebut Destruction of Disease Bearing Insect untuk

mengendalikan penularan demam berdarah melalui pengontrolan jentik di negaranya.

Lewat aturan tersebut tiap pemilik rumah didenda bila dijumpai jentik nyamuk di

rumah. Bagi Malaysia dan Singapura aturan khusus itu juga bisa menjadi sumber

pendapatan negara. Singapura mengumpulkan uang penalti hingga 317 ribu dolar

Singapura. Sedangkan Malaysia mencapai 2,4 juta ringgit Malaysia. Rita Kusriastuti

berpendapat kalau pemerintah Indonesia berniat mengeluarkan aturan seperti itu

harus dilaksanakan konsekuen sehingga tidak menjadi sia-sia. Beliau setuju terhadap

aturan tersebut mengingat Indonesia belum ada regulasi seperti halnya Singapura atau

Malaysia. Di Indonesia perkara mengeluarkan sebuah aturan memang bukan

gampang setidaknya butuh waktu dan biaya apalagi pembuatan regulasi setingkat UU

harus mengikutsertakan parlemen (Bantors, 2007).

Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin

Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan lain

serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih Sehat

(PHBS). Negara Sri Lanka menggunakan Green Home Movement yaitu

menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan

kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti dan menempelkan stiker

hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi

pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk

membersihkan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang

(43)

Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD

maka pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu

Komunikasi Perubahan Perilaku / KPP ( Communications for Behavioral Impact /

COMBI ), tetapi beberapa Negara di dunia seperti Negara Asean (Malaysia, Laos,

Vietnam), Amerika Latin telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik.

Di Indonesia sudah diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan

memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada kekompakan

kerja tim, yang disebut sebagai tim kerja dinamis dan penyampaian pesan, materi dan

media komunikasi direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan oleh

masyarakat dengan cara pemecahan masalah yang disetujui bersama. Diharapkan

dengan pendekatan KPP / Combi ini, perubahan perilaku masyarakat kearah

pemberdayaan PSN dapat tercapai secara optimal (Ditjen PP & PL,2008).

DKI Jakarta telah memiliki Perda No.6 Tahun 2007 tentang pengendalian

penyakit DBD dimana dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar

ketentuan dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti

atau jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut:

a. Teguran tertulis.

b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan

stiker di pintu rumah.

c. Denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana

(44)

Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan

yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap

urusan kerumahtanggaan dan atau kebersihan lingkungan masyarakat yang melanggar

ketentuan dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes

albopictus pada lingkungan masyarakat yang menjadi lingkup tanggung jawabnya

dikenakan sanksi sebagai berikut :

a. Teguran tertulis

b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada masyarakat melalui penempelan

stiker di lobbi atau pintu masuk kantor

c. Denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau denda paling banyak

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan.

Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang

43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968

menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan.

Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang

tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011

sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %).

Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011

tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target

(45)

DBD sangat endemis di Indonesia, penyebab meluasnya penyakit DBD di

Indonesia multi faktorial antara lain:

a. Faktor Manusia dan Sosial Budaya

1. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus

DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini

karena berkaitan dengan penyediaan infrastruktur yang kurang memadai seperti

penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul

barang-barang bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat

perkembang biakan nyamuk Aedes, penular DBD.

2. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain

mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.

3. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari

seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam bak mandi,

membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan

nyamuk .

4. Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan

terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah-wadah dan kurang

melaksanakan kebersihan dan 3M Plus ( menguras, menutup dan mengubur,

serta Plus yaitu menaburkan larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. )

(46)

1. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah

Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan siklusnya didalam

tubuh nyamuk.

2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok

tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan.

3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di

Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung

menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak-bak

air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.

c. Standar Operasional Prosedur

1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan

penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit,

Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi

over diagnosis.

2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS (Kewaspadaan Dini

Rumah Sakit) DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah

sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya

setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar

dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat

sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.

(47)

1. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas

lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program

pengendalian DBD.

2. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena

keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik

Berkala) dimana kader-kader jumantik melaksanakan pemeriksaan jentik

seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional

maupun biaya pengganti transport bagi para kader jumantik sehingga

kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan,

Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui

peran serta masyarakat dan Jumantik.

e. Kondisi Sarana Pendukung

Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau Puskesmas jumlahnya

bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh karena itu

mesin-mesin yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari

mesin-mesin yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang rusak.

f. SumberPembiayaan

1. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah

sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong

kecil di masing-masing wilayah endemis.

2. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA , estimasi hanya

(48)

yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan tujuan membunuh

nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta

penyemprotan yang tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung

biaya itu sendiri. Penyemprotan liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan

penyemprot/ pihak swasta yang hanya mengutamakan aspek keuntungan saja.

3. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret dimana

pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini

membuat hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di lapangan.

g. Faktor kerjasama atau peran serta lintas sektor (Ditjen PP &PL, 2011).

2.5. Demam Berdarah Dengue 2.5.1. Pengertian DBD

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab

yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari, manifestasi perdarahan

(petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan

gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif,

trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/l ), hemokonsentrasi (peningkatan

hemotokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes RI,

(49)

2.5.2. Etiologi DBD

Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B

anthropida borne virus (Arboviruses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili

Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu :DEN–1, DEN–2, DEN–3 dan

DEN–4. Salah satu infeksi serotypeakan menimbulkan antibodi terhadap serotype

yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain dan

sangat kekurangan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotype

yang lain. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di

Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan

banyak yang menunjukkan manifestasi klinis berat. Serotype DEN–3 berasal dari

Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imunitas rendah dengan tingkat

penyebaran yang tinggi, sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu

penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI, 2005).

2.5.3. Cara Penularan DBD

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada

manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes

polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun

merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung

virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.

(50)

(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada

saat gigitan berikutnya.

Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya

(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting.

Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk

tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia,

virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum

menimbulkan penyakit.

Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk

menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas

sampai 5 hari setelah demam timbul. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi

oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan

halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini

dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter,

nyamuk ini tidak dapat berkembang biak lebih dari ketinggian tersebut, suhu udara

terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk

berkembang biak (Depkes RI, 2005).

2.5.4. Epidemiologi

Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua

golongan umur, jenis kelamin, terutama anak – anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini

terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa.

(51)

penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD

memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2005).

Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan

upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan

kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat

akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan

sarang nyamuk masih kurang (Sungkar, 2007).

2.5.5. Tanda dan Gejala Klinis

Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade

terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa.

Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari (Depkes RI, 2005).

Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO

tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosa

yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis). Kriteria klinis

tersebut seperti:

a. Demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif,

petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis

dan melena.

c. Pembesaran hati.

d. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan

(52)

gelisah. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 / ul atau kurang

dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit 20% atau lebih.

Dua kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan diagnosis

klinis DBD (Depkes RI, 2005).

WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu :

Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdahan

ialah uji torniqet positif.

Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain. Derajat

III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan jadi

menurun ( < 20 mmHg ) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan

penderita menjadi gelisah.

Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah

yang tidak dapat diukur (Depkes RI, 2005).

Panduan WHO di tahun 2009 telah diterbitkan yang merupakan

penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu WHO 1997, penyempurnaan ini

dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan

panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adnya redefenisi kasus terutama untuk kasus

infeksi dengue berat. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke

empat kriteria WHO 1997 namun terjadi syok. Sehingga disepakatilah panduan

(53)

Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah :

a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs) yakni :

1. Bertempat tinggal di daerah endemik dengue atau bepergian ke daerah

endemik dengue

2. Demam disertai 2 dari hal berikut : mual ataupun muntah, ruam, sakit dan

nyeri, uji torniqet positif, leukopenia.

b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)yakni :

nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan

mukosa, letargi atau lemah, pembesaran hati > 2cm, kenaikan hematokrit seiring

dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.

c. Dengue berat (severe dengue ) yakni :

1. Kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi

cairan dengan distress pernafasan.

2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan dokter / petugas kesehatan.

3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran,

gangguan jantung, dan organ lain) (Primal, 2010).

Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spesifik untuk DBD

tidak ada, karena obat terhadap virus dengue belum ada. Prinsip dasar pengobatan

penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran

(54)

2.6. Landasan Teori

Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George

Edward III (1980) menunjukkan empat variabel yang berperan penting dalam

pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi,

sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

a. Komunikasi, yaitu bagaimana petugas kesehatan menyampaikan program dari

suatu kebijakan dengan tujuan dan sasaran yang jelas sehingga kelompok sasaran

mengetahui hal tersebut. Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran tentang

program tersebut maka akan mengurangi kekeliruan dalam mengaplikasikannya.

Dalam hal ini peneliti meneliti apakah masyarakat mengetahui program-program

pemberantasan DBD yang ditetapkan Pemerintah Kota Tebing Tinggi.

b. Sumber daya, yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.

Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas petugas

kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok masyarakat. Dalam hal ini

peneliti meneliti apakah petugas kesehatan yang akan melaksanakan kebijakan

memadai jumlahnya, bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang akan

mengaplikasikan kebijakan tersebut, tingkat pemahaman terhadap tujuan dan

sasaran serta aplikasi detail program, dan kemampuan menyampaikan program

dan mengarahkan. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas

sebuah kebijakan. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah program memiliki

(55)

c. Disposisi, yaitu bagaimana watak karateristik petugas kesehatan. Karateristik yang

penting ad

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Hasil Ui Validitas
Tabel 3.2. Hasil Uji Reliabilitas
Tabel 4.1 Distribusi Frekuesi Responden Berdasarkan Komunikasi Kebijakan DBD
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Dari hasil analisis Turnover Intentions, hendaknya perusahaan lebih memperhatikan lagi karakteristik karyawan yang memiliki hubungan dengan variabel-variabel penelitian, dengan

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG... PENYESUAIAN DIRI SANTRI PONDOK PESANTREN TK- SDI SUNAN

Metode yang dilakukan adalah menganalisa sistem secara lebih rinci baik proses, prosedur dan fungsi sesuai dengan data-data yang telah dikumpulkan, tahapan-tahapan analisa

Critical review in oral biology and medicine : Inflamation- induced bone remodeling in periodontal disease and the influence of post menopausal osteoporosis.. Journal of

Hal tersebut menjadi titik perhatian seluruh kader PMII Komisariat UIN Maliki Malang dalam menggagas sebuah ide maupun pemikiran besar untuk didialektikakan sebagai

Hasil dari penelitian yang diuji menggunakan SPSS 23 menunjukan bahwa secara simultan rasio Capital adequacy ratio (CAR), Non Performing Finance (NPF), Financing