BAB 5. PEMBAHASAN
5.1.2 Hubungan Sumber Daya terhadap Kejadian DBD d
. Dengan demikian diharapkan komunikasi dapat berjalan
sesuai dengan program implementasi kebijakan daerah kota Tebing Tinggi.
Hasil penelitian sumber daya menunjukkan bahwa responden lebih banyak
berada pada kategori yang buruk. Subarsono (2005) menyebutkan bahwa sumber
daya dapat berwujud sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.
memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang
terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap
tahap implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai
dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan. Selain
sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi perhitungan penting
dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Indiahono (2009) menyebutkan bahwa
tanpa sumber daya maka kebijakan hanya tinggal dokomen saja.
Pada pertanyaan pertama dapat dilihat bahwa sebanyak 14 responden (14%)
menyatakan bahwa petugas kesehatan datang lebih dari 1 kali ke lingkungan
responden dalam menjelaskan tentang program DBD. Menurut 27 responden (27%)
petugas kesehatan dalam menyampaikan penyuluhannya memakai bahasa yang
mudah dimengerti sehingga responden mengetahui kegiatan apa yang harus dilakukan
dalam mencegah dan memberantas DBD. Kegiatan yang disampaikan dalam
penyuluhan sudah jelas menurut 24 responden (24%) dan terdapat 18 responden
(18%) yang mampu menyebutkan bagaimana tanda dan gejala demam berdarah
dengan jelas.
Hampir seluruh responden (95%) menjawab pernah melihat fogging
dilakukan dilingkungan masing-masing dengan jawaban intensitas fogging yang
bervariasi. Petugas kesehatan yang menghimbau agar responden melakukan kegiatan
3M selama 1x 1 minggu dirumah maupun lingkungan hanya sedikit dan yang mampu
melakukan 3M tersebut sebanyak 16 responden (16%), sebagian responden
tersebut sering dilakukan, bahkan responden sebagian besar mengatakan bahwa
mereka mengetahui kegiatan 3M tersebut dari iklan TV dan baliho yang dipasang
ditiap puskesmas.
Sebanyak 64 responden (64%) menyatakan pernah diminta dana saat fogging
dilakukan dilingkungan mereka namun sebagian responden tidak memberikan dana
tersebut dan sebagian responden lagi tidak keberatan memberikan dana sebagai
ucapan terimakasih. Fogging memang merupakan alternatif setelah diketahui adanya
penderita DBD dilingkungan penduduk tersebut, namun fogging hanya membunuh
nyamuk dewasa saja. Fogging telah dilakukan mulai dari tahun 1972, namun
beberapa penelitian menunjukkan fogging kurang efektif dalam menekan populasi
nyamuk Aedes Aegypty. Kasubdit Arbovirus menjelaskan bahwa fogging dapat
memutus rantai penularan DBD dengan membunuh nyamuk dewasa yang
mengandung virus namun fogging hanya efektif 1 – 2 hari. Jenis insektisida yang
digunakan dalam fogging juga harus diganti-ganti untuk menghindari resistensi
nyamuk terhadap insektisida.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti ke petugas kesehatan bahwa pelaporan
kasus Demam Berdarah sering sangat terlambat sehingga departemen kesehatan
lambat bertindak. Biasanya pasien akan datang berobat pada hari ke 3 dimana klinis
DBD sudah mulai muncul. Rumah Sakit tidak langsung menentukan DBD karena
masih menunggu hasil hematokrit. Bila ditegakkan diagnosa DBD maka akan
dilakukan penyelidikan epidemiologi ke rumah pasien, bila ditemukan jentik maka
munculnya klinis DBD sampai pelaksanaan fogging dilakukan. Dalam penelitian ini,
peneliti menjelaskan bahwa masyarakat bisa menggunakan insektisida swadaya yaitu
semprot nyamuk untuk membunuh nyamuk baik dilakukan didalam rumah maupun
dihalaman. Mengingat seringnya fogging terlambat dilakukan dilingkungan
responden dikarenakan keterbatasan biaya puskesmas, ada beberapa responden yang
menyatakan bahwa fogging pernah dilakukan oleh pihak yang tidak didampingi oleh
petugas kesehatan maupun kepala lingkungan, sehingga responden dilakukan
pengutipan dana. Namun dalam hal ini responden yang tidak keberatan sering
membayar fogging tersebut dengan alasan agar lebih cepat terhindar dari Demam
Berdarah.
Pembagian abate diberikan gratis dari puskesmas, namun terkadang ada
oknum yang menjua abate tersebut. Sebagian besar responden menjawab bahwa
bubuk abate dijual ke rumah-rumah, namun ternyata banyak yang tidak menggunakan
bubuk abate karena sumber air dilingkungan tersebut adalah sumur, responden
mengaku takut bila air yang diminum mengandung abate dan membahayakan
kesehatan mereka. Di lingkungan ini juga terdapat beberapa sumur bersama atau
disebut kali, dan tentu saja hal ini tidak memugkinkan untuk menggunakan abate
pada masing-masing rumah tangga. Petugas kesehatan menyatakan bahwa sumber
dana untuk program DBD selama ini dinyatakan cukup memadai, hal ini sesuai
dengan hasil Deklarasi Nasional DBD tahun 2011 yang menyatakan pentingnya
Untuk lebih memperkuat argumen tentang pentingnya 3M dilakukan oleh
masyarakat maka peneliti memberikan pertanyaan kembali tentang mana yang lebih
baik antara 3M atau fogging dan dari pertanyaan ini peneliti mendapatkan jawaban
responden 80 responden (80%) menyatakan bahwa 3M lebih baik daripada fogging.
Kegiatan 3M ternyata sudah diketahui masyarakat lebih baik dalam memberantas
Demam Berdarah hanya saja mungkin pelaksanaannya yang kurang intens dan tidak
adanya himbauan kembali oleh petugas kesehatan atau dikarenakan kurangnya
kesadaran masyarakat dalam melaksanakan 3M tersebut.
Pada saat melakukan penelitian, peneliti menemukan banyaknya daerah yang
tergenang air baik dijalan-jalan, banyaknya parit yang tersumbat, banyaknya rumah
yang tidak ada paritnya sehingga bila hujan tidak ada aliran air untuk mengalir,
dekatnya pasar pagi dan pasar ayam ke rumah penduduk mengakibatkan sampah-
sampah pasar banyak dibuang dipinggir jalan, jalan masuk ke pemukiman penduduk
juga terdapat banyak lubang besar yang mengakibatkan tergenangnya air pada saat
hujan datang.
Dibeberapa lokasi lain peneliti juga menemukan rumah yang bersih dan telah
tersedianya sarana pengangkut sampah yang disediakan oleh dinas kebersihan kota
Tebing Tinggi sehingga tidak perlu untuk mengubur sampah atau barang bekas dan
untuk pengangkutan sampah ini tidak dikutip biaya dikarenakan merupakan program
Tebing Tinggi sebagai wujud kota yang pernah mendapatkan penghargaan Adipura.
Untuk penggunaan abate sangat disayangkan hanya 1 responden (1%) yang
makan (10 gram) untuk 100 liter air lalu bubuk tersebut dimasukkan ke tempat
penampungan air (bak mandi, tempayan,dll) yang sebelumnya sudah diisi penuh,
kemudian ditaburi bubuk Abate, sesuaikan bubuk abate dengan volume air dalam
tempat penampungan.
Petugas kesehatan menyatakan bahwa saat ini Dinkes Tebing Tinggi
mengalami kekurangan tenaga kesehatan, hal ini ditandai dengan tumpang tindihnya
tugas dari masing-masing bagian yang ada di Dinas saat ini, dan terkadang dibantu
oleh petugas kesehatan puskesmas. Hasil penelitian Falmah dkk (2012) menyatakan
bahwa SDM memiliki peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pogram DBD.
Kota Palu juga mengalami kekurangan jumlah tenaga kesehatan, hanya saja untuk
mengantisipasi kekurangan tenaga kesehatan maka Kota Palu membentuk tim yang
dibantu tenaga pengelola DBD dari puskesmas untuk melaksanakan kegiatan rutin
yang ada di program penanggulangan DBD di Kota Palu.
Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh peneliti diatas maka dapat
dinyatakan bahwa sumber daya kebijakan harus juga tersedia dalam rangka untuk
memperlancar administrasi implementasi kebijakan baik sumber daya manusia
maupun dana. Kurangnya atau terbatasnya sumber daya tersebut dapat menyebabkan
gagalnya implementasi kebijakan.
5.1.3. Hubungan Disposisi terhadap Kejadian DBD di Kelurahan Bandar Sakti