• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Lama Penggunaan Komputer dengan

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.2. Pembahasan

5.2.3. Hubungan Lama Penggunaan Komputer dengan

Peningkatan jumlah keluhan oftalmikus dan lamanya waktu bekerja ditemukan berkaitan erat (Nakazawa et al., 2002; Sen et al., 2007). Patofisiologi dan penjelasan mengenai hubungan antara keduanya dapat dilihat pada gambar 2.5. beserta deskripsinya. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan erat antara lama penggunaan komputer terhadap perburukan gejala mata kering (DEWS, 2007; Uchino et al., 2008). Sen et al. (2007) menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama penggunaan komputer terus-menerus dengan sindroma mata kering. Akan tetapi, kaitan dengan lama penggunaan komputer rata-rata per hari tidak begitu bermakna. Hasil yang dilaporkan cukup bervariasi. Selain itu, belum jelas dibedakan antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus, per hari, atau riwayat lama penggunaan komputer.

1. Lama Penggunaan Komputer Secara Terus-Menerus dalam Satu Hari dengan Jumlah Gejala dan Nilai VAS Sindroma Mata Kering

Hasil uji korelasi Pearson mengenai hubungan lama penggunaan komputer secara terus-menerus dan jumlah gejala SMK adalah r=0,742 dengan p<0,001. Besar kekuatan hubungan menurut interpretasi nilai korelasi Pearson adalah kuat (Arlinda, 2007). Kekuatan uji korelasi antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus dengan nilai VAS juga menunjukkan kekuatan yang kuat dengan r=0,754 dengan p<0,001. Dibanding lama penggunaan komputer yang lain, lama penggunaan komputer secara terus-menerus adalah indikator yang menunjukkan hubungan paling kuat dengan pertambahan jumlah gejala SMK.

Fokus bekerja pada monitor tanpa istirahat akan terus merangsang pacemaker sistem saraf pusat untuk mengurangi frekuensi berkedip (Acosta et al., 1999; Doughty, 2001). Waktu evaporasi dari luas permukaan yang terpapar akan semakin meningkat sehingga kecepatan penipisan TF semakin meningkat (Doughty, 2001; Goto et al., 2003; Abelson et al., 2005; Himebaugh et al., 2009; Schaefer et al., 2009). Kedipan disinyalir akan inkomplit yang tidak efektif menyebarkan air mata (Kaneko et al., 2001; Caffier et al., 2003) sehingga waktu ruptur TF semakin cepat (Tomlinson et al., 2002). Interval kedipan mata juga memanjang melebihi BUT dan terjadi sebelum periode berkedip setelahnya (Schaefer et al., 2009). Dengan evaporasi meningkat dan waktu pembentukan TF yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF, TF akan pecah dan SMK mulai dialami (Wolkoff et al., 2005; Kimball et al., 2009).

Uchino et al. (2008) dengan instrumen Dry Eye Questionnaire pada 4393 karyawan menemukan odds ratio lama penggunaan komputer 4 jam secara terus menerus terhadap kejadian SMK adalah sebesar 1,68 (95%CI=1,4-2,02). Belum banyak penelitian yang mengkaji secara spesifik antara kedua hal ini. Hanya saja sudah dijabarkan bahwa penggunaan setelah berapa jam gejala SMK sudah mulai dirasakan. Parwati (2004) menyatakan gejala oftalmikus timbul setelah 2 jam penggunaan komputer secara terus-menerus. Akan tetapi, penelitian Sadri (2003) dengan menggunakan tes Schirmer tidak menunjukkan adanya perbedaan sekresi air mata sebelum dan setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus.

Penelitian Hiroko (2007) menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atas kejadian SMK. Sen et al. (2007) menyatakan bahwa gejala SMK umumnya dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah 6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus. Pada penelitian ini pertambahan bermakna jumlah gejala dibanding jam pertama penggunaan komputer adalah setelah 4 jam penggunaan komputer dan pertambahan bermakna nilai VAS dibanding jam pertama penggunaan komputer adalah setelah 5 jam penggunaan komputer.

NIOSH (1981) dan OSHA (1997) menganjurkan setiap 2 jam, seorang pengguna komputer harus beristirahat 10 menit. Waktu istirahat lain yang dianjurkan cukup bervariasi yaitu 10 menit setiap 50 menit (Karwowski, 1994), 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1984), 30 menit setiap 3½ jam (Asfour, 1987), 5 menit setiap 1 jam (Kanitkard et al., 2005), dan 15 menit setiap 2 jam (Andriana, 2010). Istirahat 5 menit setiap 30 menit atau 10 menit setiap jam menunjukkan peningkatan produktivitas yang sama dan agar tidak mengganggu pekerjaan dipilih 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1994).

Tampak bahwa istirahat yang dianjurkan mayoritas pada 2 jam pertama padahal pada penelitian ini jam istirahat yang tepat masih bisa dilakukan setiap 4 jam penggunaan komputer secara terus-menerus. Hal ini sesuai dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja RI, 1993 yang menganjurkan break bagi karyawan setiap 4 jam. Perbedaan anjuran organisasi internasional diatas dapat dijelaskan oleh dua hal. Hal pertama yaitu SMK cenderung terjadi pada orang yang tinggal di daerah non khatulistiwa di mana suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang akan lebih memicu SMK karena suhu normal mata adalah 35°C (Wolkoff et al., 2005). Hal kedua adalah NIOSH dan OSHA berasumsi bahwa selingan istirahat yang lebih cepat dapat lebih meningkatkan produktivitas kerja atas penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan.

2. Lama Penggunaan Komputer Rata-rata dalam Satu Hari dengan Jumlah Gejala dan nilai VAS Sindroma Mata Kering

Pada penelitian ini, didapatkan hasil uji korelasi Pearson sebesar r=0,722 dengan p<0,001. Besar kekuatan hubungan menurut interpretasi nilai korelasi

Pearson adalah kuat (Arlinda, 2007). Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding penelitian Fenga, et al dengan hasil korelasi 0,358 dengan kekuatan hubungan sedang. Perbedaan ini disebabkan karena pada penelitian Fenga et al. (2007) rata- rata lama penggunaan komputer dalam satu hari lebih rendah dibanding pada penelitian ini yaitu 3,9 jam. Hal ini menunjukkan pengaruh yang besar akan lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari dengan pertambahan gejala SMK.

Nakamura et al. (2010) menunjukkan hubungan yang signifikan antara kedua variabel ini yaitu dengan p<0,05. Penelitian Bhatt (2006) juga menunjukkan nilai signifikansi yang sama yaitu p<0,05. Penelitian Deghani et al. (2008) menunjukkan nilai signifikansi dengan p=0,023. Nilai signifikansi yang ditunjukkan lebih rendah karena pada penelitian Nakamura et al. digunakan tes Schrimer untuk menentukan diagnosis SMK. Selain itu, pada penelitian Nakamura et al. dan Bhatt, lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari responden yang diteliti lebih rendah dibandingkan penelitian ini, yaitu hanya 5,1 jam dan 6 jam. Di sisi lain, penelitian Deghani menggunakan sampel yang sedikit yaitu 57 sampel dan uji hipotesis yang digunakan juga berbeda yaitu Fischer Exact. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian Nakaishi et al. (1999) dan Shrestha et al. (2011) karena karakteristik responden yang hampir mirip.

Kekuatan uji korelasi antara lama penggunaan komputer secara terus- menerus dengan nilai VAS juga menunjukkan kekuatan yang kuat dengan r=0,754 (p<0,001) sama dengan indikator lama penggunaan komputer secara terus- menerus. Hal ini menunjukkan asumsi tingkat keparahan gejala SMK dalam satu harinya sama, yang berbeda adalah jumlah gejala yang dirasakan.

Penelitian yang menilai nilai korelasi antara dua variabel ini masih sangat terbatas. Kebanyakan menggunakan tes Schrimer karena dianggap lebih objektif dibanding penggunaan kuesioner. Akan tetapi, penelitian ini tetap menganut prinsip bahwa ternyata kebanyakan tes diagnostik tidak distandardisasi sehingga menimbulkan hasil yang berbeda-beda dalam setiap penelitian. Tidak ada kesepakatan mengenai gold standard dan cut-off value tiap-tiap pemeriksaan objektif SMK (Foulks et al., 2003). Selain itu, SMK yang ringan tidak akan

memberikan hasil yang patologis pada tes Schirmer, tes BUT, mapun tes objektif lain sebab penderita masih dapat mengompensasi dengan refleks berair dan SMK timbul hilang (Palakuru, et al., 2007).

Penelitian Shima et al. (1993) menunjukkan peningkatan gangguan mata pada pekerja pengguna komputer lebih dari 1 jam per hari. Broumand et al. (2008) menunjukkan perburukan gejala pada pengguna komputer lebih dari 2 jam per hari. Penelitian Kanitkar et al. (2005) dan Amalia et al. (2010) menunjukkan SMK dialami pengguna komputer lebih dari 3 jam per hari. Penelitian Fenga et al. (2007) menunjukkan mata kering mayoritas dialami pengguna komputer lebih dari 4 jam per hari. Penelitian Uchino et al. (2008) menunjukkan keluhan SMK menunjukkan hasil yang signifikan pada pelajar pengguna komputer lebih dari 4 jam per hari dengan mayoritas pelajar wanita dan pengguna lensa kontak. Penelitian Nakazawa et al. (2002) dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan bermakna keluhan mata kering pada pekerja pengguna komputer lebih dari 5 jam/hari. Penelitian Hanne et al. (1994) dan Shigenori et al. (2002) menunjukkan baru timbul keluhan mata kering pada pengguna komputer lebih dari 6 jam. Penelitian Sen et al. (2007) menunjukkan gejala mata kering umumnya dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah 6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.

Pada penelitian ini pertambahan bermakna jumlah gejala dibanding 1 jam penggunaan komputer adalah setelah 8 jam penggunaan komputer dan pertambahan bermakna nilai VAS dibanding 1 jam penggunaan komputer adalah setelah 7 jam penggunaan komputer. Hal ini sudah mendukung peraturan jumlah jam kerja maksimal seorang karyawan yang di atur dalam UU Menteri Tenaga Kerja RI tahun 1993.

3. Riwayat Lama Penggunaan Komputer dengan Jumlah Gejala dan nilai

VAS Sindroma Mata Kering

Frekuensi mengedip yang berkurang dalam pekerjaan sehari-hari akibat penggunaan komputer menyebabkan berkurangnya juga input sensori ke kelenjar lakrimal sehingga terjadi gangguan pada kelenjar lakrimal akibat lama tidak digunakan. Keadaan ini disebut disuse athropy (Nakamura et al., 2005).

Hipofungsi lakrimal menyebabkan berkurangnya sekresi akuos penyusun TF. Hal ini menyebabkan peningkatan osmoralitas air mata akibat berkurangnya air yang menjadi 90% penyusunnya. Peningkatan osmoralitas air mata menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB. Kemudian kedua mediator ini

akan merangsang dilepaskannya sitokin inflamasi IL-1, TNF-α, dan MMP-9 (Li et

al., 2004; Luo et al., 2005, Paiva et al., 2006). Sitokin inflamasi tersebut ditemukan juga dalam air mata dan kelenjar lakrimal (Jones et al., 1994; Nakamura et al., 2006). Sitokin-sitokin inflamasi ini akan menyebabkan apoptosis dari sel epitel, termasuk sel goblet (Argueso et al., 2002; Brignole et al., 2002). Berkurangnya sel goblet akan menyebakan defek pengeluaran musin sehingga TF akan terganggu. Sebagai kompensasi, sitokin-sitokin inflamasi ini juga akan menstimulasi nervus trigeminus untuk merangsang refleks pengeluaran air mata dan refleks berkedip (Qian et al., 2004). Begley et al. (2003) menyebutkan bahwa osmoralitas yang meningkat akan merangsang kemoreseptor untuk meneruskan sinyal refleks berkedip melalui nervus trigeminus. Namun, musin sudah berkurang dan TF telah tidak stabil, sehingga refleks berkedip justru akan menambah friksi gesekan antara kelopak mata dan permukaan okular dan akan memperparah inflamasi dan kerusakan. Penipisan ketiga lapisan TF juga akan semakin cepat (Patel et al., 2003). Bila mata kering ini berlangsung terus-menerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif sehingga tidak ada lagi refleks kompensasi (Abelson et al., 2002). Tanpa dan dengan kompensasi, kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Benitez et al., 2007).

Nakamura et al. (2010) pada penelitiannya menunjukkan hubungan riwayat penggunaan komputer dengan SMK bernilai p=0,012. Pada penelitian ini, didapatkan hasil uji korelasi Pearson sebesar r=0,252 dengan p=0,026. Besar kekuatan hubungan menurut interpretasi nilai korelasi Pearson adalah rendah (Arlinda, 2007). Parameter riwayat penggunaan komputer dengan nilai VAS juga menunjukkan korelasi yang rendah (r=0,208) dengan p=0,03. Nilai p yang ditunjukkan oleh Nakamura, et al. lebih bermakna sebab sampel yang diteliti lebih banyak yaitu sebanyak 1025 sampel. Selain itu, sampel dipilih berupa karyawan pengguna komputer yang telah bekerja 8 tahun di mana hampir seluruhnya

menggunakan komputer rutin setiap hari dengan rata-rata 5 jam per hari. Namun, indikator ini tetap saja hanya berupa riwayat lama penggunaan komputer dengan kekuatan hubungan yang rendah dengan SMK sebab asumsi penelitian biasanya tidak meninjau pola dan rutinitas lama penggunaan komputer setiap harinya, nilai ini tidak begitu berpengaruh pada pertambahan jumlah gejala SMK. Pada penelitian-penelitian sebelumnya, parameter ini juga jarang digunakan karena dianggap tidak berpengaruh.

4. Indeks Penggunaan Komputer dengan Jumlah Gejala dan nilai VAS

Sindroma Mata Kering

Penelitian Tatemichi et al. (2004) membuat sebuah nilai indeks penggunaan komputer sebagai indikator beratnya penggunaan komputer. Pada penelitiannya, indeks ini diaplikasikan untuk mencari hubungan antara indeks penggunaan komputer dengan beratnya glaukoma. Penulis mengambil suatu inisiatif untuk mengaplikasikan indeks penggunaan komputer sebagai prediktor beratnya penggunaan komputer untuk mencari hubungannya dengan SMK. Ternyata pada penelitian ini didapatkan hasil uji Korelasi Pearson IPK dengan nilai VAS menunjukkan p<0,001 dan r=0,514 yang menunjukkan korelasi berkekuatan sedang. Hasil uji Korelasi Pearson IPK dengan nilai VAS menunjukkan p<0,001 dan r=0,549 yang menunjukkan korelasi yang juga berkekuatan sedang. didapatkan hubungan kekuatan yang sedang dibanding hubungan kuat yang ditunjukkan oleh lama penggunaan komputer secara terus- menerus dalam satu hari dengan riwayat lama penggunaan komputer. Jadi, parameter ini tidak begitu akurat dibanding lama penggunaan komputer secara terus-menerus dan rata-rata dalam satu hari untuk aplikasi prediktor SMK.

5. Variabel Atribut dengan Jumlah Gejala dan nilai VAS Sindroma Mata

Kering

Pada tabel 5.27. dan 5.33. ditunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah gejala dan nilai VAS SMK antara kelompok berjenis kelamin pria dan wanita. Hampir semua penelitian epidemiologi SMK menunjukkan prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause (Versura et al., 2005). Hal ini disebabkan hormon seks mempengaruhi sekresi air mata,

disfungsi meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001). Walaupun begitu, penulis berasumsi bahwa pada penelitian ini, umur tertinggi adalah umur 45 tahun di mana pada jenis kelamin wanita belum terjadi menopause yang menyebabkan perubahan siklus hormon. Selain itu, hormon androgen pria usia muda masih adekuat untuk mempertahankan struktur dan fungsi kelenjar lakrimal (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002, 2004c). Penelitian Schaefer et al. (2009) juga tidak menunjukkan adanya tes Schrimer kelompok pengguna komputer berumur 20-39 tahun dan 40-53 tahun (p < 0,05).

Tabel 5.28. menunjukkan adanya korelasi dengan kekuatan hubungan sedang antara usia dengan jumlah gejala dan nilai VAS SMK. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya perbedaan tes Schrimer antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39 tahun dan 40-53 tahun (p<0,05). Ia menyebutkan bahwa usia akn berpengaruh

secara signifikan bila telah memasuki usia di atas 53 tahun. Perbedaan ini dapat

dijelaskan oleh adanya pengaruh faktor ras dan genetik sampel penelitian yang turut mempengaruhi penentuan faktor hormonal seseorang (Henderson, 2008).

Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004). Tabel 5.29. dan 5.33. menunjukkan adanya perbedaan jumlah gejala dan nilai VAS berdasarkan kebiasaan merokok. Hal ini disebabkan asap rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan okular (Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002) dan SMK kan terjadi. Rasio prevalens menurut kriteria Garcia, et al. menghasilkan angka 1,67 yang artinya kebiasaan merokok meningkatkan 1,67 kali risiko terjadinya SMK. Nilai ini hampir sama dengan penelitian Moss et al. (2000) yang menunjukkan bahwa SMK 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok.

Tabel 5.31. menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara pekerjaan dengan jumlah gejala dan nilai VAS. Tabel 5.33. juga menunjukkan hal yang demikian. Hal ini dikarenakan jumlah kerja menggunakan komputer yang lebih tinggi dan beban kerja yang lebih berat pada karyawan.

Tabel 5.32. menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna antara suku dengan jumlah gejala dan nilai VAS. Suku Melayu menunjukkan proporsi yang paling tinggi untuk jumlah gejala dan suku Jawa menunjukkan proposi yang paling tinggi untuk nilai VAS. Perbedaan ini disebabkan karena proporsi sampel suku yang tidak seimbang sehingga menimbulkan hasil yang bias.

Dokumen terkait