HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN KOMPUTER DENGAN SINDROMA MATA KERING
Oleh : CITRA ARYANTI
080100050
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN LAMA PENGGUNAAN KOMPUTER DENGAN SINDROMA MATA KERING
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh : CITRA ARYANTI
080100050
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Hubungan Lama Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering
Nama : Citra Aryanti
NIM : 080100050
Pembimbing Penguji I
( dr. Rodiah Rahmawaty, Sp.M) ( dr. Lita Feriyawati, M.Kes ) NIP. 19760417 200501 2 002 NIP. 19700208 200112 2 001
Penguji II
( dr. O.K. M. Syahputra, M.Kes ) NIP. 19701007 198902 1 001
Medan, Desember 2011 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Pendahuluan Penggunaan komputer telah menjadi primadona untuk memudahkan pekerjaan di segala bidang. Tanpa disadari, bekerja berlama-lama di depan komputer dapat menimbulkan gangguan oftalmikus yang merupakan bagian dari Sindroma Mata Kering. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan adanya pengaruh lama penggunaan komputer terhadap keparahan Sindroma Mata Kering. Namun, masih terdapat kerancuan mengenai jenis lama penggunaan komputer yang mempengaruhi secara spesifik. Anjuran istirahat dan batasan waktu kerja juga masih menimbulkan kebingungan. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu adakah hubungan antara jenis lama penggunaan komputer dengan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain
cross-sectional yang dilakukan pada 82 karyawan dan pelajar pengguna komputer di Kelurahan Petisah Tengah, Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui metode pembagian angket dengan instrumen kuesioner yang berisi 10 gejala Sindroma Mata Kering dan Visual Analogue Scale untuk menilai derajat keparahan Sindroma Mata Kering. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Korelasi Pearson, ANOVA, dan Chi Square satu arah dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05).
Hasil Hasil penelitian dengan korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada
hubungan bermakna antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus (r=0,742; p<0,001 dan r=0,754, p<0,001), lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari (r=0,722, p<0,001 dan r=0,754, p<0,001), riwayat lama penggunaan komputer (r=0,215; p=0,026 dan r=0,208, p=0,03), indeks penggunaan komputer (r=0,514; p<0,001 dan r=0,549, p<0,001) dengan peningkatan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering. Uji ANOVA memberikan simpulan bahwa waktu maksimal istirahat penggunaan komputer secara terus-menerus adalah 4 jam dan batas waktu penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari adalah 7 jam untuk menghindari Sindroma Mata Kering.
Diskusi Berdasarkan hasil penelitian ini, jelas bahwa perlu adanya sosialisasi
pemerintah pada perusahaan dan masyarakat akan pentingnya istirahat saat menggunakan komputer secara terus-menerus dan batas kerja menggunakan komputer bagi karyawan dalam satu hari dalam upaya prevensi Sindroma Mata Kering dan segala komplikasi terkait.
ABSTRACT
Introduction Computers use have become very important to ease the work in all fields. Without realizing it, working for long in front of the computer can cause visual symptoms which is part of Dry Eye Syndrome. Various studies had indicated influence of computer use on the severity of Dry Eye Syndrome. However, specific computer usage time that affects the Dry Eye Syndrome is still ambiguous. Prompts rest and working time restrictions are also confusing. So, this research was conducted to determine association between four types of computer usage with the number of symptoms and severity of Dry Eye Syndrome.
Methods This study is an analytical study with cross-sectional design conducted on total 82 employees and students of computer users in the Kelurahan Petisah Tengah, Kota Medan. The data was collected through distribution of questionnaires contain ten symptoms of Dry Eye Syndrome and measurement Dry Eye Syndrome severity with Visual Analogue Scale. Data analysis was performed using one-tailed Pearson correlation test, ANOVA, and Chi Square with a 95% significance level (p<0.05).
Results The study by Pearson correlation showed that there is a significant association between continuous duration of computer use (r=0.742, p<0.001 and r=0.754, p<0.001), average duration of computer use each day (r=0.722, p<0.001 and r=0.754, p<0.001), history duration of computer use (r =0.215, p=0.0026 and r=0.208, p=0.03), computer usage index (r=0.514, p=0.026 and r=0.549, p<0.001) with increasing number of symptoms and severity of Dry Eye Syndrome. ANOVA test gives the conclusion that the maximum break time continuous computer usage duration is 4 hours and limits 7 hours of computer use time in one day to prevent Dry Eye Syndrome.
Discussion Based on these results, it is clear that the government need to socialize the company and community about rest time importance when using the computer continuously and limit the employees’ computer working time by each day to prevent Dry Eye Syndrome and associated complications.
Keywords: computer usage time, number of symptoms, severity, Dry Eye
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan
sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan
landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan
dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ”Hubungan Lama
Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering”.
Dalam penyelesaian proposal penelitian ini penulis banyak menerima
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A(K),
selaku rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu dr. Rodiah Rahmawaty, Sp.M, selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya tulis
ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Ibu dr. Lita Feriyawati, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah
memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam
penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
5. Bapak dr. O.K. M. Syahputra, M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah
memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam
penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.
6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga
7. Seluruh responden pelajar dan karyawan pengguna komputer di Kelurahan
Petisah Tengah yang telah banyak berjasa secara sukarela meluangkan
waktunya mengisi kuesioner sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan
lancar.
8. Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang
dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada
penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.
9. Sepupu penulis, Yuli Selvi yang telah memberikan bantuan baik tenaga
maupun waktu yang tidak ternilai dalam proses pengambilan data dan dr.
Heryanto serta kakak senior, Sri Wahyuni dan Ervina, yang memberikan
nasihat-nasihat, dukungan materi dan moril, bagi penulis dalam menjalani
pendidikan selama ini.
10. Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2008 yang telah memberi
saran, kritik, dukungan materi, dan moril dalam baik dalam menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini.
11. Abangda dan kakanda SCORE PEMA FK USU yang telah mengajarkan
kepada penulis indahnya seluk beluk dunia penelitian.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan proposal penelitian ini.
Medan, 10 Desember 2011
DAFTAR ISI
2.5.2. Epidemiologi Sindroma Mata Kering ... 13
2.5.3. Klasifikasi Sindroma Mata Kering ... 14
2.5.4. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering ... 15
2.6. Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering ... 17
2.7. Lama Penggunaan Komputer dan Sindroma Mata Kering... 23
2.8. Jam Istirahat Bagi Pengguna Komputer ... 23
Komputer ... 29
2.11. Prognosis Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer 29 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 30
3.1. Kerangka Konsep ... 30
3.2. Definisi Operasional ... 30
3.2.1. Variabel Independen ... 30
3.2.2. Variabel Dependen ... 32
3.3. Hipotesis ... 33
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34
4.1. Jenis Penelitian... 34
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 34
4.3.1. Populasi Penelitian... 34
4.3.2. Sampel Penelitian ... 35
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 36
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37
4.5.1. Metode Pengolahan Data ... 37
4.5.2. Metode Analisis Data ... 37
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
5.1. Hasil Penelitian ... 39
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 39
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden ... 39
5.1.3. Lama Penggunaan Komputer ... 42
5.1.4. Sindroma Mata Kering ... 45
5.1.5. Hasil Analisis Data ... 48
5.2. Pembahasan ... 70
5.2.1. Lama Penggunaan Komputer ... 70
5.2.2. Sindroma Mata Kering ... 71
5.2.3. Hubungan Lama Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering ... 77
5.3. Keterbatasan Penelitian ... 85
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 86
6.1. Kesimpulan ... 86
6.2. Saran ... 87
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1. Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas
Permukaan Okular, Lebar Palpebra, dan Besar Penguapan
Air Mata pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan
Menggunakan Komputer ... 19
Tabel 2.2. Gejala Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer ... 26
Tabel 4.1. Interpretasi Tingkat Hubungan Koefisien Korelasi (r) ... 40
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Pelajar dan Karyawan
Pengguna Komputer di Kelurahan Petisah Tengah ... 19
Tabel 5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Penggunaan
Komputer secara Terus-Menerus ... 19
Tabel 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Penggunaan
Komputer Rata-rata dalam Satu Hari ... 19
Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Lama
Penggunaan Komputer ... 19
Tabel 5.5. Distribusi Responden Berdasarkan Indeks Penggunaan
Komputer ... 19
Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Interpretasi Indeks
Penggunaan Komputer ... 19
Tabel 5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Gejala Sindroma
Mata Kering ... 19
Tabel 5.8. Distribusi Setiap Gejala Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.9. Distribusi Responden Berdasarkan Nilai Visual Analogue
Scale (VAS) Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.10. Hasil Uji Korelasi Pearson Mengenai Hubungan Lama
Penggunaan Komputer Secara Terus-Menerus dengan
Jumlah Gejala Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.11. Hasil Uji Korelasi Pearson Mengenai Hubungan Lama
Jumlah Gejala Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.12. Hasil Uji Korelasi Pearson Mengenai Hubungan Riwayat
Lama Penggunaan Komputer dengan Jumlah Gejala
Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.13. Hasil Uji Korelasi Pearson Mengenai Indeks Penggunaan
Komputer dengan Jumlah Gejala Sindroma Mata Kering
dengan Uji Korelasi Pearson ... 19
Tabel 5.14. Hasil Uji ANOVA Mengenai Perbedaan Interpretasi Indeks
Penggunaan Komputer dengan Jumlah Gejala Sindroma
Mata Kering ... 19
Tabel 5.15. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Interpretasi Indeks Penggunaan
Komputer dengan Jumlah Gejala Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.16. Hasil Uji ANOVA Mengenai Perbedaan Setiap Jam Lama
Penggunaan Komputer Secara Terus-menerus ... 19
Tabel 5.17. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Lama Penggunaan Komputer
Secara Terus-menerus dengan Jumlah Gejala Sindroma Mata
Kering ... 19
Tabel 5.18. Hasil Uji ANOVA Mengenai Perbedaan Jumlah Gejala Setiap
Jam Lama Penggunaan Komputer Rata-rata dalam Satu Hari 19
Tabel 5.19. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Lama Penggunaan Komputer
Rata-rata Dalam Satu Hari dengan Jumlah Gejala Sindroma
Mata Kering ... 19
Tabel 5.20. Hubungan Lama Penggunaan Komputer dengan Nilai Visual
Analogue Scale Sindroma Mata Kering dengan Uji Korelasi
Pearson ... 19
Tabel 5.21. Hubungan Interpretasi Indeks Penggunaan Komputer dengan
Nilai VAS Sindroma Mata Kering dengan uji ANOVA ... 19
Tabel 5.22. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Interpretasi Indeks Penggunaan
Komputer dengan Nilai VAS Sindroma Mata Kering ... 19
Tabel 5.23. Hasil Uji ANOVA Mengenai Perbedaan Nilai VAS Setiap
Tabel 5.24. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Lama Penggunaan Komputer
Secara Terus-menerus dengan Nilai VAS Sindroma Mata
Kering ... 19
Tabel 5.25. Hasil Uji ANOVA Mengenai Perbedaan Nilai VAS Setiap
Jam Lama Penggunaan Komputer Rata-rata dalam Satu
Hari ... 19
Tabel 5.26. Uji Tukey Post Hoc ANOVA Lama Penggunaan Komputer
Rata-rata Dalam Satu Hari dengan Nilai VAS Sindroma
Mata Kering ... 19
Tabel 5.27. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Jenis Kelamin ... 19
Tabel 5.28. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Usia ... 19
Tabel 5.29. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Kebiasaan Merokok ... 19
Tabel 5.30. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Kebiasaan Memakai Kacamata ... 19
Tabel 5.31. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Pekerjaan ... 19
Tabel 5.32. Perbedaan Jumlah Gejala dan Nilai VAS SMK Berdasarkan
Suku ... 19
Tabel 5.33. Analisis Karakteristik Responden terhadap nilai VAS
Sindroma Mata Kering Berdasarkan Kriteria Patel dan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Lakrimalis ... 7
Gambar 2.2. Model Pemecahan Tear Film... 10
Gambar 2.3. Model Tear Film ... 11
Gambar 2.4. Klasifikasi Sindroma Mata Kering ... 15
Gambar 2.5. Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer ... 18
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Daftar Riwayat Hidup LAMPIRAN 2 Jadwal Penelitian LAMPIRAN 3 Lembar Penjelasan
LAMPIRAN 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) LAMPIRAN 5 Kuesioner Penelitian
LAMPIRAN 6 Data Induk
ABSTRAK
Pendahuluan Penggunaan komputer telah menjadi primadona untuk memudahkan pekerjaan di segala bidang. Tanpa disadari, bekerja berlama-lama di depan komputer dapat menimbulkan gangguan oftalmikus yang merupakan bagian dari Sindroma Mata Kering. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan adanya pengaruh lama penggunaan komputer terhadap keparahan Sindroma Mata Kering. Namun, masih terdapat kerancuan mengenai jenis lama penggunaan komputer yang mempengaruhi secara spesifik. Anjuran istirahat dan batasan waktu kerja juga masih menimbulkan kebingungan. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan guna mencari tahu adakah hubungan antara jenis lama penggunaan komputer dengan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain
cross-sectional yang dilakukan pada 82 karyawan dan pelajar pengguna komputer di Kelurahan Petisah Tengah, Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui metode pembagian angket dengan instrumen kuesioner yang berisi 10 gejala Sindroma Mata Kering dan Visual Analogue Scale untuk menilai derajat keparahan Sindroma Mata Kering. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Korelasi Pearson, ANOVA, dan Chi Square satu arah dengan tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05).
Hasil Hasil penelitian dengan korelasi Pearson menunjukkan bahwa ada
hubungan bermakna antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus (r=0,742; p<0,001 dan r=0,754, p<0,001), lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari (r=0,722, p<0,001 dan r=0,754, p<0,001), riwayat lama penggunaan komputer (r=0,215; p=0,026 dan r=0,208, p=0,03), indeks penggunaan komputer (r=0,514; p<0,001 dan r=0,549, p<0,001) dengan peningkatan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering. Uji ANOVA memberikan simpulan bahwa waktu maksimal istirahat penggunaan komputer secara terus-menerus adalah 4 jam dan batas waktu penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari adalah 7 jam untuk menghindari Sindroma Mata Kering.
Diskusi Berdasarkan hasil penelitian ini, jelas bahwa perlu adanya sosialisasi
pemerintah pada perusahaan dan masyarakat akan pentingnya istirahat saat menggunakan komputer secara terus-menerus dan batas kerja menggunakan komputer bagi karyawan dalam satu hari dalam upaya prevensi Sindroma Mata Kering dan segala komplikasi terkait.
ABSTRACT
Introduction Computers use have become very important to ease the work in all fields. Without realizing it, working for long in front of the computer can cause visual symptoms which is part of Dry Eye Syndrome. Various studies had indicated influence of computer use on the severity of Dry Eye Syndrome. However, specific computer usage time that affects the Dry Eye Syndrome is still ambiguous. Prompts rest and working time restrictions are also confusing. So, this research was conducted to determine association between four types of computer usage with the number of symptoms and severity of Dry Eye Syndrome.
Methods This study is an analytical study with cross-sectional design conducted on total 82 employees and students of computer users in the Kelurahan Petisah Tengah, Kota Medan. The data was collected through distribution of questionnaires contain ten symptoms of Dry Eye Syndrome and measurement Dry Eye Syndrome severity with Visual Analogue Scale. Data analysis was performed using one-tailed Pearson correlation test, ANOVA, and Chi Square with a 95% significance level (p<0.05).
Results The study by Pearson correlation showed that there is a significant association between continuous duration of computer use (r=0.742, p<0.001 and r=0.754, p<0.001), average duration of computer use each day (r=0.722, p<0.001 and r=0.754, p<0.001), history duration of computer use (r =0.215, p=0.0026 and r=0.208, p=0.03), computer usage index (r=0.514, p=0.026 and r=0.549, p<0.001) with increasing number of symptoms and severity of Dry Eye Syndrome. ANOVA test gives the conclusion that the maximum break time continuous computer usage duration is 4 hours and limits 7 hours of computer use time in one day to prevent Dry Eye Syndrome.
Discussion Based on these results, it is clear that the government need to socialize the company and community about rest time importance when using the computer continuously and limit the employees’ computer working time by each day to prevent Dry Eye Syndrome and associated complications.
Keywords: computer usage time, number of symptoms, severity, Dry Eye
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan zaman diikuti dengan lahirnya berbagai teknologi
muktahir. Salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad ke-20 adalah
komputer (Ting, 2005). Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007) terdapat hampir
1 miliar komputer digunakan di dunia. Penggunaan komputer telah menjadi
primadona untuk memudahkan pekerjaan di segala bidang. Sekitar 75% pekerjaan
di dunia bergantung pada komputer (Kanitkar et al., 2005).
Memandang hal tersebut, semakin banyak orang harus bekerja di depan
komputer selama berjam-jam tanpa istirahat. Tanpa disadari, bekerja
berlama-lama di depan komputer dapat menimbulkan masalah kesehatan negatif baik
secara fisik maupun mental pada operatornya (Zhaojia et al., 2007; Biljana et al.,
2007). Kumpulan gangguan fisik yang menyerang pengguna komputer disebut
Computer Vision Syndrome (CVS). Sekitar 88-90% pengguna komputer
mengalami CVS (Sirikul et al., 2009; Chu et al., 2011). Kejadian CVS juga
dinyatakan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (AOA, 2007).
Gejala CVS dibedakan menjadi keluhan gejala pada mata,
muskuloskeletal, dan umum (AOA, 2007). Mayoritas, sekitar 75-90%, pengguna
komputer mengeluhkan gejala oftalmikus (Anshel, 2007). Di Indonesia, Amalia
(2010) menunjukkan 92,9% pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus.
Schlote et al. (2004) menyebutkan bahwa gejala oftalmikus ini disebabkan
dan merupakan bagian dari Sindroma Mata Kering (SMK). SMK adalah
kumpulan gejala akibat gangguan pada air mata dan permukaan okuler yang
menyebabkan ketidaknyamanan pada mata, gangguan penglihatan, dan
ketidakstabilan pelumas mata (DEWS, 2007). SMK dialami sementara setelah
penggunaan komputer dan dapat menghilang sendiri. Selain itu, keluhannya pun
samar-samar sehingga sering diabaikan. Walaupun begitu, permukaan okuler yang
mengalami kerusakan berulang, dan SMK pun akan menetap (DEWS, 2007;
AAO, 2003, Diller et al., 2005).
Sen et al. (2007), Uchino et al. (2008), dan DEWS (2007) menunjukkan
hubungan yang erat antara lama penggunaan komputer dengan peningkatan dan
keparahan gejala SMK. Untuk mengatasinya, pengguna komputer dianjurkan
untuk istirahat setelah beberapa jam penggunaan komputer (Balci et al., 2003;
Blehm et al., 2005). Perlu diingat pula bahwa interupsi yang terlalu sering akan
membawa dampak yang kurang efektif terhadap pekerjaan yang sedangan
dikerjakan. Dengan mengetahui berapa lama penggunaan komputer memperburuk
gejala SMK, pencegahan awal SMK dengan istirahat teratur hendaknya dapat
dilaksanakan.
Gejala SMK akan mulai dialami dan memburuk pada pengguna komputer
lebih dari 2 jam per hari (Broumand et al., 2008), 3 jam per hari (Kanitkar et al.,
2005; Amalia et al., 2010), 4 jam per hari (Fenga et al., 2007; Uchina et al.,
2008), 5 jam per hari (Honda, 2007), dan 6 jam per hari (Shigenori et al., 2002).
Pada penelitian yang menggunakan indikator lama penggunaan komputer
terus-menerus, Parwati (2004) menyatakan gejala SMK timbul setelah 2 jam
penggunaan komputer secara terus-menerus. Akan tetapi, penelitian Sadri (2003)
dengan menggunakan tes Schirmer tidak menunjukkan adanya perbedaan sekresi
air mata sebelum dan setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus.
Penelitian Hiroko (2007) menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer atas
kejadian SMK. Sen et al. (2007) menyatakan bahwa gejala SMK umumnya
dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah
6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
Terdapat kerancuan mengenai lama penggunaan komputer yaitu apakah
rata-rata jam per hari ataukah secara terus-menerus yang mempengaruhi SMK
secara signifikan. Variasi jam yang ditemukan dalam penelitian sebelumnya juga
menimbulkan kebingungan. Kebanyakan penelitian tersebut dilaksanakan di
tempat yang berbeda-beda, padahal siklus air mata sangat dipengaruhi oleh faktor
ras dan kelembaban tempat. Atas dasar inilah, penulis tertarik untuk meneliti
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis
merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
Apakah lama penggunaan komputer berhubungan dengan peningkatan
gejala dan keparahan Sindroma Mata Kering?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan lama penggunaan komputer dan Sindroma Mata
Kering.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan lama penggunaan komputer secara terus-menerus
dengan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
2. Mengetahui hubungan lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu
hari dengan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
3. Mengetahui hubungan riwayat lama penggunaan komputer dengan jumlah
gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
4. Mengetahui hubungan indeks penggunaan komputer secara terus-menerus
dengan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
5. Mengetahui jenis lama penggunaan komputer yang bermakna terhadap
peningkatan jumlah gejala dan derajat keparahan Sindroma Mata Kering.
6. Mengetahui berapa jam setelah penggunaan komputer secara
terus-menerus yang bermakna terhadap peningkatan jumlah gejala dan derajat
keparahan Sindroma Mata Kering.
7. Mengetahui lama penggunaan komputer rata-rata dalam satu hari yang
bermakna terhadap peningkatan jumlah gejala dan derajat keparahan
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi masyarakat umum, khususnya pengguna komputer
Data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi sebagai sumbangan
informasi bagi pengguna komputer akan Sindroma Mata Kering yang
dapat timbul akibat lama menatap monitor komputer. Selain itu, penelitian
ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengaturan waktu istirahat dan
mengontrol jam penggunaan komputer agar tidak menganggu kesehatan
mata dan produktivitas kerja.
2. Di bidang pelayanan masyarakat
Data atau informasi penelitian ini dapat masukan bagi Departemen Tenaga
Kerja dalam menetapkan maksimal jam kerja dan waktu istirahat untuk
meningkatkan kualitas perlindungan kepada tenaga kerja.
3. Di bidang akademik/ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan
teoritis ilmu kedokteran di bidang oftalmologi, khususnya tentang
hubungan lama penggunaan komputer terhadap kejadian Sindroma Mata
Kering.
4. Di bidang pengembangan penelitian
Memberikan masukan data bagi peneliti lain di ingin menggali dan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Komputer
Komputer merupakan salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad
ke-20 (Ting, 2005). Sekarang, komputer juga tampil berupa laptop dan netbook.
Menurut Blissmer (1985), komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu
melakukan tugas menerima input, mengolahnya, dan menyediakan output berupa
hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi menjadi data visual yang dapat
dilihat dengan menggunakan monitor atau visual display terminal (Humaidi,
2005). Visual Display Terminal (VDT) atau yang biasanya disebut monitor adalah
bagian yang biasanya ditatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata pada
penggunanya (Fauzia, 2004).
Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007) terdapat hampir 1 miliar
komputer yang digunakan di dunia. Sekitar 75% pekerjaan di dunia bergantung
pada komputer dan 50% rumah memiliki setidaknya sebuah komputer (Kanitkar
et al., 2005). Sekitar 100 juta penduduk Amerika Serikat menggunakan komputer
untuk pekerjaannya sehari-hari (Izquierdo, 2010).
Di Washington, 90% pelajar usia 5-17 tahun dan 60% orang berusia 18
tahun ke atas menggunakan komputer setiap hari dengan mayoritas menggunakan
komputer untuk bekerja, belajar, dan mengakses internet (DeBell et al., 2003).
Penelitian Hoesin et al. (2007) pada 2500 orang di 16 kota di Indonesia
menunjukkan bahwa terdapat 46,7% pengguna komputer dengan mayoritas
menggunakan komputer untuk bekerja.
2.2. Computer Vision Syndrome
Ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan banyak dikeluhkan pengguna
komputer. Sejak tahun 1986, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan hal ini sebagai growing health problem. Survei yang dilakukan
oleh American Optometrist Association (AOA) menunjukkan bahwa lebih dari 10
penglihatan oleh penggunaan komputer (AOA, 2007). Kumpulan gejala akibat
penggunaan komputer disebut Computer Vision Syndrome (CVS) (AOA, 2003;
Wimalasundera, 2006; Madhan, 2009).
Banyak penelitian menunjukkan benar adanya CVS pada pengguna
komputer (Clayton et al., 2005; Khan et al., 2005; Biljana et al., 2007). Sekitar
88-90% pengguna komputer mengalami CVS (Sirikul et al., 2009; Chu et al.,
2011).
Gejala CVS dibedakan menjadi keluhan gejala pada mata,
muskuloskeletal, dan umum (AOA, 2007). Penelitian Zhaojia (2007)
menunjukkan 25,7% pengguna komputer mengeluhkan gejala muskuloskeletal
sedangkan Hiroko (2007) menunjukkan gejala ini dikeluhkan 68,7% pengguna
komputer. Zunjic (2004) menunjukkan 80% pengguna komputer mengeluhkan
gejala umum terutama nyeri kepala, Aakre (2007) menunjukkan angka 62,5%.
Mayoritas, sekitar 75-90%, pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus
(Anshel, 2007). Di Indonesia, Amalia (2010) menunjukkan 92,9% pengguna
komputer mengeluhkan gejala oftalmikus.
Jenis-jenis gejala oftalmikus yang dapat dialami yaitu mata lelah
(astenopia), mata kering, mata merah, mata kabur, mata tegang, mata terbakar,
refleks berair, (Dain et al., 1988; Yaginuma et al., 1990; Hikichi et al., 1995;
Sitzman, 2005; Blehm et al., 2005; Barar et al., 2007; Bali et al., 2007; Chu et al.,
Megwas et al., 2009). Menurut Sheedy (2003), gejala oftalmikus CVS dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu gejala internal (sakit dan tegang pada bola
mata) dan eksternal (terbakar, iritasi, kering disertai refleks pengeluaran air mata).
Berbagai literatur menyebutkan bahwa dalang dari semua gejala ini adalah
berkaitan dengan mata kering (Schlote et al., 2004). Terlihat bahwa rincian gejala
CVS tumpang tindih dengan gejala sindrom mata kering (Salibello et al., 1995;
Shimmura et al., 1999; Doughty, 2001).
2.3. Sistem Lakrimalis
Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas
salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan sindrom mata kering
(Kanski et al., 2011).
2.3.1. Aparatus Lakrimalis
Aparatus atau sistem lakrimal terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanksi et al., 2011; Sullivan et al., 2004; AAO, 2007), yaitu:
Sumber : Wagner et al., 2006
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Lakrimalis
1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis
Aparatus sekretorius lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal aksesorius (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra
(kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistim sekresi
terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata
tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada
rangsangan eksternal (Kanski et al., 2003, Sullivan et al., 2004; AAO, 2007).
2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan
penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan,
2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus, kemudian
bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus
superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebelum
berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus
lakrimalis, air mata akan dieksreksikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang
12-18 mm ke bagian akhirnya di meatus inferior. Di sini juga terdapat katup
Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al., 2004; AOA, 2007).
2.3.2. Kedipan Mata
80% dari mata berkedip secara sempurna (komplit), 18% inkomplit, 2%
twitch. Bila ditinjau berdasarkan rangsang mengedip, mengedip terdiri dari tiga
kategori yaitu: (Acosta et al., 1999; Pepose et al., 1992; Delgado et al., 2003)
1. Berkedip involunter yaitu berkedip secara spontan, tanpa stimulus, dengan
generator kedipan di otak yang belum diketahui secara jelas.
2. Berkedip volunter yaitu secara sadar membuka dan menutup kelopak mata.
3. Refleks berkedip adalah berkedip yang dirangsang bila ada stimulus
eksternal melalui nervus trigeminus dan nervus fasialis.
Berkedip melibatkan dua otot yaitu muskulus levator palpebra superior
dan mukulus orbikularis okuli (AAO, 2007). Aktivasi berkedip melibatkan
nukleus kaudatus (Mazzone et al., 2010) dan girus presentralis media (Kato et al.,
2003). Dan inhibisi berkedip melibatkan korteks frontal (Stuss et al., 1999;
Mazzone et al., 2010).
2.3.3. Dinamika Sekresi Air Mata
Eter et al. (2002) menemukan laju pengeluaran air mata dengan
fluorofotometri sekitar 3,4 μL/menit pada orang normal dan 2,48 μL/menit pada
penderita sindrom mata kering. Nichols (2004a) menunjukkan laju pengeluaran
air mata adalah 3,8 μL/menit dengan interferometri. Antara dua interval berkedip,
terjadi 1-2% evaporasi, menyebabkan penipisan 0,1 μm PTF dan 20%,
pertambahan osmoralitas (On et al., 2006).
Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6 -7
µL yang terbagi 3 bagian yaitu (Sullivan, 2002):
2. Melalui proses berkedip sebanyak 1 µ L akan membentuk TF (TF) dengan
tebal 6-10 µm dan luas 260 mm2.
3. Sisanya sebanyak 2-3 µL akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm2
dengan jari-jari 0.24 mm (Yokoi et al., 2004). Menurut, Wang et al. (2006)
TF digabungkan dari tear meniskus atas dan bawah saat berkedip.
Ketebalan TF bersifat iregular pada permukaan okular sehingga tidak ada
ketebalan yang tepat untuk ukuran TF (Wang et al., 2006). Smith et al, (2000)
menunjukkan ketebalan berkisar antara 7-10 μm sedangkan Pyrdal et al. (1992)
menyatakan TF seharusnya memiliki ketebalan 35-40 μm dan mayoritas terdiri
dari gel musin.
Palakuru, et al. (2007) menunjukkan bahwa TF berada dalam keadaan
paling tebal saat segera setelah mengedip dan berada dalam keadaan paling tipis
saat kelopak mata terbuka. Dalam penelitian mereka, angka perubahan ketebalan
ini menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok yang disuruh melambatkan
kedipan matanya. Mereka menyimpulkan hal ini disebabkan oleh refleks berair
yang segera.
2.3.4. Mekanisme Distribusi Air Mata
Mengedip berperan dalam produksi, distribusi, dan drainase air mata
(Palakuru, et al., 2007). Banyak variasi teori mengenai mekanisme distribusi air
mata (AAO, 2007). AAO menganut teori Doane (1981) yang dapat dijelaskan
sebagai berikut. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip risleting dan
menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus
konjungtiva akan bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi (Kanski et
al., 2003; Sullivan et al., 2004). Sewaktu kelopak mata mulai membuka, aparatus
ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya. Saat kelopak mata
atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan terjadi setelah
kelopak mata atas telah turun setengah bagian. Kontraksi otot orbikularis okuli
untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan tekanan menekan dan
mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus
serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak seperti memeras.
Kemudian, setelah dua per tiga bagian kelopak mata berangsur-angsur terbuka,
punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung sampai
kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali (Doane, 1981). TF
dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka,
lapisan lemak ikut terangkat. Berikut ini adalah model pemecahan TF:
Sumber : Pflugfelder et al., 2004
Gambar 2.2. Model Pemecahan Tear Film
2.3.5. Mekanisme Ekskresi Air Mata
Nichols et al. (2005) menyebutkan bahwa ada tiga mekanisme yang dapat
menyebabkan penipisan PTF yaitu absorpsi (inward flow ke kornea), tangential
flow (pergerakan paralel air mata sepanjang permukaan kornea), dan evaporasi.
Tsubota et al. (1992), Mathers et al. (1996), Goto et al. (2003)
menunjukkan evaporasi hanya berperan minimal menyebabkan penipisan TF.
Akan tetapi, Rolando et al. (1983) dan DEWS (2007) menunjukkan bahwa
evaporasi berperan penting menyebabkan penipisan TF. Smith et al. (2008)
menyebutkan bahwa hal ini bervariasi sesuai keadaan dan melibatkan kombinasi
berbagai mekanisme.
Laju evaporasi pada orang normal adalah 0,004 (Craig, 2000), 0,25 (Goto,
et al., 2003), 0,89 (Mathers, 1993), 0,94 (Shimazaki, 1995), 1,2 (Tomlinson,
1991), 1,61 (Hamano, 1980), 1,94 (Yamada, 1990). Perlu waktu 3-5 menit untuk
2.4. Air Mata 2.4.1. Tear Film
Secara umum, TF (TF) terdiri dari tiga komponen lapisan di mulai dari
lapisan terluar yaitu lapisan lipid, lapisan akuos, dan lapisan musin. Model dan
susunan TF masih kontroverisal. Sebelum tahun 1994, TF diyakini merupakan
lapisan seperti sandwich yang terdiri dari lapisan lemak, akuos, dan musin (Wolff,
1954; Holly dan Lemp, 1977). Pada tahun 1988, Tiffany mengajukan model baru
TF dengan 6 lapisan (Tiffany, 1988).
Sumber : Pflugfelder et al., 2004
Gambar 2.3. Model Tear Film
Sekarang, model TF telah dideskripsikan dengan campuran antara ketiga
lapisan ini dengan ketebalan 40 μm. Mayoritas lapisan lemak mengapung diatas,
dan campuran lapisan akuos dan musin berada di bawah dalam bentuk gel musin
(Gipson, 2004; Nichols, 2004a; Foulks, 2005).
1. Lapisan lipid
Lapisan lipid, tebal 0,1 µ m (AAO, 2007), 40-80 nm (On et al., 2006),
dihasilkan oleh kelenjar meibom palpebra superior dan inferior, kelenjar Zeis, dan
kelenjar Moll (Sullivan et al., 2004). Lapisan ini terdiri dari sembilan jenis lemak
polar dan non polar yang berfungsi melicinkan gerakan palpebra dan mencegah
evaporasi sehingga lapisan ini memegang peranan penting dalam menjaga
stabilitas TF (AAO, 2007). Gangguan satu saja lipid menyebabkan ketidakstabilan
hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Kelenjar Zeis menghasilkan asam lemak
untuk mencegah kontaminasi dari kelopak mata (Patel et al., 2003). Kelenjar Moll
menghasilkan lemak polar (Nichols, 2004a) untuk mengontrol evaporasi (Patel et
al., 2003) dan menurunkan tegangan permukaan (Nagyova et al., 1999).
2. Lapisan akuos
Lapisan akuos, tebal 6-7 µ m, merupakan 90% komponen TF. Mayoritas
lapisan akuos diproduksi oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesorius dengan
tambahan sekresi air dan elektrolit dari sel epitel di permukaan okular (Patel et
al., 2003). Kelenjar aksesorius dan sel epitel okular menghasilkan elektrolit
inorganik untuk mengatur tekanan osmotik mata dan pH mata saat membuka
(7,3-7,6) dan menutup (6,8); substansi organik seperti protein (albumin, globulin,
transferin, imunoglobulin, betalisin, lipokalin, glikoprotein, laktoferin, transferin,
histamin, lisozim), metabolit, dan oksigen. Lipokalin berfungsi untuk
menciptakan suasana hidrofobik agar lapisan lipid dapat melekat di atas lapisan
akuos (Patel et al., 2003; Nichols, 2004a).
3. Lapisan musin
Lapisan musin, tebal 0,002-0,005 µm, diproduksi oleh sel goblet, kelenjar
Henle, kelenjar Manz pada limbus, epitel sekretori di permukaan konjungtiva dan
sel sekretori non globlet yang berfungsi membentuk glikokaliks. Glikokaliks
membentuk dasar yang hidrofilik bagi TF sehingga dapat membasahi kornea
(Krenzer et al., 2000). Epitel sekretori di permukaan konjungtiva membentuk
musin transmembran. Gel dibentuk sel goblet, kelenjar Henle, dan kelenjar Manz
pada limbus yang dirangsang P2Y2 (Cowlen et al., 2003; Gipson, 2004).
2.4.2. Komposisi Air Mata
Air mata terdiri dari 98,2% air dan 1,8% zat lainnya (On et al., 2006).
Dalam keadaan normal, cairan air mata bersifat isotonik dengan osmolalitas
295-309 mosm/L (On et al., 2007). Konsentrasi glukosa pada air mata 2,5-5 mg/dL
dan urea 0,04 mg/dL. Suhu air mata normal 35°C (Smith et al., 2000). Indeks
refraksi 1,336 (AAO, 2007) yang merupakan komponen yang cukup besar dalam
pH air mata normal 7,25-7,35 (AAO, 2007) dengan pH terendah saat mata terbuka
karena kornea menghasilkan lebih banyak karbon dioksida dan terperangkap
dalam pool TF (On et al., 2006). Ketegangan permukaan air mata 43,6 ± 2,7
dyne/cm. Dalam keadaan mata kering, ketegangan permukaan bisa naik menjadi
49,6 ± 2,2 dyne/cm (Tiffany et al., 1989).
2.4.3. Fungsi Tear Film
Secara garis besar, fungsi TF adalah sebagai penunjang imunitas (Gipson
et al., 2004), melapisi dan melindungi melapisi dan melindungi kornea
(precorneal TF atau PTF) dan konjungtiva (preocular TF) dari friksi saat
berkedip (Patel et al., 2003), melindungi permukaan okular dari gangguan kimia
dan biologis (Nichols, 2004a), mempertahankan kekuatan refraksi dari kornea
fokus dan bagus (Kanski et al., 2003), dan memberi oksigen dan nutrien pada
kornea yang avaskular (Bron, 2005).
2.5. Sindroma Mata Kering
2.5.1. Definisi Sindroma Mata Kering
Sindroma Mata Kering (SMK) adalah kumpulan gejala akibat gangguan
pada air mata dan permukaan okuler yang menyebabkan ketidaknyamanan pada
mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan TF (DEWS, 2007). SMK
biasanya menunjukkan keluhan yang samar-samar dan bila tidak diobati atau
dihentikan dapat berlangsung terus-menerus kronis menimbulkan kerusakan yang
irreversibel terutama pada permukaan okular (Koh et al., 2008).
2.5.2. Epidemiologi Sindroma Mata Kering
Epidemiologi sindroma mata kering meningkat dari tahun ke tahun.
Prevalensi SMK berkisar 7,4-57,89%. bergantung pada penelitian mana yang
diambil, bagaimana penyakit didiagnosis, dan populasi mana yang disurvei
(Gayton, 2008).
Empat penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi SMK
Studi besar Women’s Health Study and Physician’s Health Study menunjukkan
prevalensi SMK di Amerika Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria,
(Schaumberg et al., 2003; 2009). Salisbury Eye Study menunjukkan angka 14,6%
pada populasi berusia 48-91 tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita
(Schein et al., 1997). The Beaver Dam population-based study menemukan
prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65 tahun
(Moss et al., 2000). Penelitian Hom (2004) pada Hispanik menunjukkan
prevalensi yang cukup besar yaitu 24,6%. Di Kanada, prevalensi berkisar 25%
(Doughty et al., 1997), di Australia, prevalensi 7,4% (McCarty et al.,1998) dan
16,6% pada tahun 2003 (Chia et al., 2003).
Di Shanghai, prevalensi sindrom mata kering 33,78% pada wanita dan
24,11% pada pria dengan faktor risiko yang memperberat, diantaranya adalah
jenis kelamin wanita, umur di atas 50 tahun, penggunaan lensa kontak,
penggunaan anti histamin (Tian et al., 2009). Jie et al. (2009) di Beijing
menunjukkan prevalensi 21% dengan dengan faktor risiko utama perempuan
berusia tua dan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Di Jepang, prevalensi
berkisar 12,3% pada mahasiswa (Uchino et al., 2008). Di Taiwan, Shihpai
menunjukkan prevalensi 33,7% dengan faktor risiko utama umur dan jenis
kelamin wanita (Lin et al., 2003).
Di Malaysia, prevalensi sindrom mata kering 14,4% (Jamaliah et al.,
2002). Di Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada
penduduk berusia di atas 21 tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok, dan
pterigium (Lee et al.., 2002). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan,
Chaironika (2011) menemukan 76,8% prevalensi SMK pada wanita yang telah
menopause.
2.5.3. Klasifikasi Sindroma Mata Kering
Sindroma Mata Kering (SMK) dapat dikategorikan menjadi episodik dan
kronik. SMK episodik yaitu mata kering yang dialami akibat lingkungan atau
oleh sesuatu dan bersifat menetap. SMK episodik dapat berlanjut ke mata kering
kronik (Gayton, 2009).
Menurut DEWS (2007), SMK dapat dikategorikan menjadi aquoeus
deficient dan evaporative dry eye. Aqueous tear deficient dry eye adalah kelompok
mata kering yang disebabkan karena kurangnya produksi air mata walaupun
evaporasinya tetap berjalan normal. Evaporative dry eye adalah kelompok mata
kering yang disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak
terjadi gangguan pada proses produksinya. Banyak sekali etiologi yang dapat
mencetuskan kedua hal ini, baik yang bersifat autoimun, obat, maupun lingkungan
Klasifikasi ini cukup membingungkan sebab sindrom mata kering sering
merupakan gabungan antara keduanya (DEWS, 2007).
Sumber : DEWS, 2007
2.5.4. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering
Faktor risiko SMK dibagi dua yaitu, milleu interieur dan milleu esterieur.
Milleu interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu
tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang
memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar (Sullivan et al., 2004b).
Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar. Kelembaban lingkungan yang
rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan cepatnya evaporasi.
Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan mikroskop,
dokter radiologi, atau pengguna komputer.
Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab SMK:
1. Usia
Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi
kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi
limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002,
2004c). Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino et al. (2007) yang menemukan
adanya penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang
tua. Zhu et al. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat
menurunkan transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel
asinar merembes keluar dan menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar
Meibom. Akan tetapi, penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya
perbedaan tes Schrimer antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39
tahun dan 40-53 tahun (p<0,05).
2. Jenis kelamin
Hampir semua penelitian epidemiologi sindrom mata kering menunjukkan
prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause
(Versura et al., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi
meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001).
3. Pengguna lensa kontak
Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley et
al., 2000). Pemakaian lensa kontak memisahkan PTF menjadi dua bagian
sehingga SMK sering dialami (Nichols et al., 2003). Selain itu, Tutt (2000)
menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa
kontak dengan alat aberometer.
4. Merokok
Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus
dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004).
Asap rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan
okular (Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002). Moss
et al. (2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada
perokok.
5. Ruangan ber-AC
SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang
tinggi karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang
kencang (Wolkoff et al., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan
yang ber-AC (Schaumberg et al., 2003).
2.6. Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering
Sindroma mata kering akibat penggunaan komputer memang bukan suatu
masalah yang serius karena mata dapat beradaptasi yang kembali normal
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, dialaminya SMK yang sering dan repetitif
dapat berdampak buruk pada ketajaman penglihatan dan kesehatan permukaan
okuler (Kaido et al., 2007 dan Koh et al., 2008).
Penelitian Filipina menunjukkan korelasi 0,256 antara lama penggunaan
komputer dengan timbulnya keluhan SMK (p=0,003). Fenga et al. (2008)
menunjukkan angka korelasi 0,358.
Berikut ini disajikan bagan patofisiologi timbulnya mata kering akibat
Penggunaan Komputer
Mata dipaksa fokus Mata lelah
Frekuensi berkedip ↓ Kelopak mata lelah berkedip
Hipofungsi lakrimal Evaporasi air mata ↑
Sementara Akuous ↓, Musin ↓, Lipid ↓
Akous ↓ PTF tidak stabil
Hiperosmolaritas Break up time ↑
Pemecahan TF
MAP, NFKb distribusi
irregular
IL-1, TNF-α, MMP-9 Ruptur PTF ↑
Kompensasi berkedip Ruptur semakin luas
Friksi permukaan okular ↑ Evaporasi semakin ↑
Kompensasi gagal
Frekuensi berkedip ↓↓
Dialami berulang-ulang Permukaan okular rusak
Gambar 2.5. Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna
Komputer
Berbagai literatur berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip
saat menggunakan komputer (Ziemssen et al., 2005; Anshel, 2007; Himebaugh et
al., 2009). Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas
permukaan okular terpapar, lebar palpebra terparar, dan besar penguapan sesuai
Tabel 2.1. Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan Okular, Lebar Palpebra, dan Besar Penguapan Air Mata pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan Menggunakan Komputer
Kegiatan Frekuensi berkedip
(kali/menit)
(Tsubota et al., 1993) 16 ± 4
(AOA, 2007)
2,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993)
4,1 ± 1,4 (Goto et al., 2003)
Berbicara
16,8
(Schlote et al., 2004) 21,5 ± 10 (Doughty, 2001)
11,62
(Schaefer et al., 2009)
4,9 ± 1.49 (Schaefer et al., 2009)
Membaca
10 ± 6
(Tsubota et al., 1993) 7,5 ± 6,1
1,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993)
Menggunakan komputer
7 ± 7
(Tsubota et al., 1993) 6,6 ± 4,8 (Schlote et al., 2004)
5,75
(Schaefer et al., 2009)
10.42 ± 7,78 (Schaefer et al., 2009)
2,3 ± 0,5 (Tsubota et al., 1993)
a. Bawah 1,2 ± 0,27
(Tsubota et al., 1995)
5,7 ± 0,98 (Tsubota et al., 1995)
5,6 ± 1,8 (Tsubota et al., 1995)
b. Sejajar 2,2 ± 0,39
(Tsubota et al., 1995)
9,4 ± 0,14 (Tsubota et al., 1995)
7,8 ± 2,2 (Tsubota et al., 1995)
c. Atas 3,0 ± 0,33
(Tsubota et al., 1995)
12,1 ± 1,2 (Tsubota et al., 1995)
Kumpulan data di atas menunjukkan pengurangan frekuensi berkedip dan
memanjangnya interval antara dua kedipan saat menggunakan komputer. Hal ini
menyebabkan luasnya permukaan okular yang terpapar sehingga memperpanjang
waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi (Doughty, 2001; Goto et al.,
2003; Abelson et al., 2005; Himebaugh et al., 2009; Schaefer et al., 2009). Selain
itu, saat menatap komputer, terutama sejajar ataupun dengan tatapan ke atas,
permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar sehingga terjadi penguapan
terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer sejajar dan ke atas dibandingkan
saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat (Schaefer et al., 2009).
Walaupun pada data hanya dijumpai sedikit peningkatan evaporasi pada penderita
mata kering, hal ini sudah dapat menggangu kestabilan dinamika air mata dan
gangguan pada permukaan okular (Nakaishi et al., 1999; Goto et al., 2003).
Fokus bekerja pada sesuatu ditemukan berkaitan dengan frekuensi
berkedip. Bahkan, banyak penelitian yang menjadikan frekuensi berkedip sebagai
indikator terhadap kelelahan dan keberatan mental terhadap pekerjaan (Scerbo et
al., 2001). Pengurangan frekuensi berkedip ini belum jelas mekanismenya. Para
peneliti berpendapat bahwa hal ini ada kaitannya dengan pacemaker sistem saraf
pusat yang diaktifkan karena pemusatan perhatian dan pandangan (Acosta et al.,
1999; Doughty, 2001).
Akan tetapi, kaitan ini menjadi sangat unik sebab indikator peningkatan
dan penurunan frekuensi berkedip tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan
(Affandi, 2005). Misal, frekuensi berkedip terus meningkat seiring pemfokusan
yang lebih berat saat menyetir (Andreassi, 2006). Akan tetapi, kebanyakan
frekuensi berkedip menurun seiring dengan memberatnya beban mental (Hankins
et al., 1998; Lipp, et al., 2000; Orden et al., 2001; Wilson et al., 2002; Ebite et al.,
2009). Seperti halnya saat penjahat sebenarnya mengisi kuesioner mengenai
kejahatan yang ia lakukan, akan lebih berat beban pikiran dan terjadi pengurangan
kedipan mata (Leal et al., 2010).
Saat menggunakan komputer, mata dipaksa untuk memfokuskan kerja
pada komputer, stuck at that point, sehingga frekuensi berkedip berkurang
komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Kaneko et al., 2001; Caffier et
al., 2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak
sempurna. Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu
ruptur TF (Tomlinson et al., 2002).
Di sisi lain, terdapat teori yang menyatakan, di mana saat fokus bekerja
terhadap sesuatu, sistem saraf simpatis akan diaktifkan dan terjadi induksi sekresi
dopamin. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan kedipan mata
berkurang. Dopamin adalah neurotransmitter yang berhubungan dengan induksi
fisiologi mengedip spontan (Taylor, 2002). Selain itu, terdapat cahaya terang akan
mensupresi produksi hormon melatonin. Melatonin seharusnya berfungsi sebagai
inhibitor sekresi dopamin pada sistem limbik (Sandyk et al., 1990; Nakayama et
al., 1998). Walaupun demikian, sampai sekarang tetap dibuktikan penurunan
berkedip seiring meningkatnya intensitas dan beban mental saat menggunakan
komputer.
Frekuensi mengedip yang berkurang menyebabkan berkurangnya juga
input sensori ke kelenjar lakrimal sehingga terjadi gangguan pada kelenjar
lakrimal akibat lama tidak digunakan. Keadaan ini disebut disuse athropy
(Nakamura et al., 2005). Tong et al. (2010) menunjukkan disfungsi kelenjar
meibom pada pengguna komputer pada tahap lanjut.
Nakamura et al. (2010) melakukan percobaan dengan menggunakan
hewan coba mencit. Manipulasi efek monitor komputer dilakukan dengan cara
terus-menerus memberi kipasan angin pada mencit yang digantungkan pada
ayunan. Penelitian ini menunjukkan adanya hipofungsi dari kelenjar lakrimal pada
SMK akibat penggunaan komputer. Gambaran histopatologi kelenjar lakrimal
dengan mikroskop elektron menunjukkan pengurangan jumlah sel asinar,
pembesaran sel asinar akibat vesikel sekretori pada sitoplasma, dan berkurangnya
jumlah retikulum endoplasma. Pengurangan sel asinar menyebabkan
berkurangnya fungsinya untuk eksositosis vesikel sekretori air mata (Wu et al.,
2006). Selain itu, pembesaran vesikel sekretori dan berkurangnya jumlah
normal (Nguyen et al., 2004). Pada manusia yang menderita SMK, Obata et al.
(1995) juga menemukan gambaran histopatologi yang sama.
Kesemua hal di atas menyebabkan gangguan pada TF. Reduksi dari salah
satu lapisan saja dapat memperburuk dan menggangu stabilitas lapisan lain
(Gayton, 2009). Hipofungsi lakrimal menyebabkan berkurangnya sekresi akuos
penyusun TF. Hal ini menyebabkan peningkatan osmoralitas air mata akibat
berkurangnya air yang menjadi 90% penyusunnya. Peningkatan osmoralitas air
mata menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB. Kemudian
kedua mediator ini akan merangsang dilepaskannya sitokin inflamasi IL-1,
TNF-α, dan MMP-9 (Li et al., 2004; Luo et al., 2005, Paiva et al., 2006). Sitokin inflamasi tersebut ditemukan juga dalam air mata dan kelenjar lakrimal (Jones et
al., 1994; Nakamura et al., 2006). Sitokin-sitokin inflamasi ini akan menyebabkan
apoptosis dari sel epitel, termasuk sel goblet (Argueso et al., 2002; Brignole et al.,
2002). Berkurangnya sel goblet akan menyebakan defek pengeluaran musin
sehingga TF akan terganggu. Sebagai kompensasi, sitokin-sitokin inflamasi ini
juga akan menstimulasi nervus trigeminus untuk merangsang refleks pengeluaran
air mata dan refleks berkedip (Qian et al., 2004). Begley et al. (2003)
menyebutkan bahwa osmoralitas yang meningkat akan merangsang kemoreseptor
untuk meneruskan sinyal refleks berkedip melalui nervus trigeminus. Namun,
musin sudah berkurang dan TF telah tidak stabil, sehingga refleks berkedip justru
akan menambah friksi gesekan antara kelopak mata dan permukaan okular dan
akan memperparah inflamasi dan kerusakan. Penipisan ketiga lapisan TF juga
akan semakin cepat (Patel et al., 2003). Bila mata kering ini berlangsung
terus-menerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif sehingga tidak ada
lagi refleks kompensasi (Abelson et al., 2002). Tanpa dan dengan kompensasi,
kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Benitez et al., 2007).
Di sisi lain, pengurangan frekuensi berkedip dan pemanjangan interval
antara dua kedipan akan meningkat akan menyebabkan permukaan okular
terpapar dengan udara luar meluas (Tsubota et al., 1993, 1995; Ziemssen et al.,
2005; Abelson et al., 2002, Schaefer, 2009). Evaporasi akan meningkat sehingga
memanjang melebihi BUT dan terjadi sebelum periode berkedip setelahnya
(Schaefer et al., 2009). Dengan evaporasi meningkat dan waktu pembentukan TF
yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF, TF akan pecah dan SMK
mulai dialami (Wolkoff et al., 2005; Kimball et al., 2009). Evaporasi yang
berlebihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan osmoralitas mata kering
(Craig et al., 2000). Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah akibat evaporasi
juga dapat mencetuskan ruptur TF (Wolkoff et al., 2005).
Pemecahan TF pada orang normal biasanya dimulai dari daerah inferior,
sedangkan pada penderita mata kering biasanya pada bagian sentral dan superior
akibat efek langsung dari evaporasi berlebihan (Himebaugh et al., 2009).
Pemecahan TF juga terjadi secara irregular meninggalkan tepi TF tanpa dukungan
TF bagian tengah. Ruptur PTF akan terjadi dalam waktu yang singkat dan
menginduksi ruptur yang semakin luas lagi. Kerusakan pada permukaan okular
juga akan timbul (Naranayan et al., 2006).
Musin yang berkurang akibat evaporasi berlebihan menyebabkan
terbentuknya dry spot yang dapat menginduksi refleks pengeluaran air mata
sebagai kompensasi (Gipson et al., 2004). Selain itu, penurunan suhu di
permukaan kornea akibat evaporasi juga merangsang saraf termosensitif dan
menginduksi kompensasi refleks berkedip (Hirata et al., 2010). Kompensasi
refleks berkedip disertai pengeluaran air mata akan mengatasi keadaan mata
kering. Akan tetapi, bila hal ini dialami terus-menerus setiap hari, air mata tidak
lagi seadekuat kompensasi awal. Refleks berkedip bahkan akan menyebabkan
peningkatan kerusakan mekanik akibat gesekan berlebihan kelopak mata pada
permukaan okuler (Yokoi et al., 2008; Ward et al., 2010) sebab adanya evaporasi
berlebihan dan hipofungsi lakrimal. Jadi, refleks berkedip malah akan melengkapi
lingkaran setan dari serangkaian perjalanan SMK.
2.7. Lama Penggunaan Komputer dan Sindroma Mata Kering
Peningkatan jumlah keluhan oftalmikus dan lamanya waktu bekerja
ditemukan berkaitan erat (Nakazawa et al., 2002; Sen et al., 2007). Banyak
komputer terhadap perburukan gejala mata kering (DEWS, 2007; Uchino et al.,
2008). Namun, hasil yang dilaporkan cukup bervariasi. Selain itu, belum jelas
dibedakan antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus, per hari, atau
riwayat lama penggunaan komputer.
Penelitian University of South Carolina mengategorikan penggunaan
komputer ringan < 2 jam, sedang 2-4 jam, dan berat > 4 jam per hari. Penelitian
Taylor (2007) di 16 negara di dunia menunjukkan rata-rata lama penggunaan
komputer per harinya adalah sekitar 5 jam. Penelitian Sen et al. (2007)
menunjukkan hampir setengah dari pengguna komputer menggunakan komputer
secara terus-menerus tanpa istirahat lebih dari 2 jam per harinya. Penelitian
Hoesin et al. (2007) di 16 kota di Indonesia menunjukkan rata-rata penggunaan
komputer di Indonesia kurang dari 5 jam per hari. Di Bantul, 7% pengguna
komputer menggunakan komputer dalam intensitas yang rendah, 3% dengan
intensitas sedang, dan 83% dengan intensitas tinggi. (Indriawati et al., 2008).
Penelitian Dewi et al. (2009) di kantor samsat Palembang menunjukkan 75%
pekerja menggunakan komputer menggunakan komputer lebih dari 4 jam.
Sen et al. (2007) menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama
penggunaan komputer terus-menerus dengan sindroma mata kering. Akan tetapi,
kaitan dengan lama penggunaan komputer rata-rata per hari tidak begitu
bermakna. Dengan menggunakan kuesioner berskala 1-10 ditunjukkan bahwa
gejala yang paling sering dialami adalah kelelahan pada mata dengan skor 4,5;
terbakar pada mata 3,3; gangguan pemfokusan mata 2,7. Angka tertinggi 7
didapatkan pada gejala terbakar pada mata pada pengguna komputer lebih dari 6
jam per hari. Nakamura et al. (2010) juga menunjukkan adanya hubungan antara
riwayat lama penggunaan komputer dengan p= 0,012.
Penelitian Shima et al. (1993) menunjukkan peningkatan gangguan mata
pada pekerja pengguna komputer lebih dari 1 jam per hari. Broumand et al.
(2008) menunjukkan perburukan gejala pada pengguna komputer lebih dari 2 jam
per hari. Penelitian Kanitkar et al. (2005) dan Amalia et al. (2010) menunjukkan
SMK dialami pengguna komputer lebih dari 3 jam per hari. Penelitian Fenga et al.
dari 4 jam per hari. Penelitian Uchino et al. (2008) menunjukkan keluhan SMK
menunjukkan hasil yang signifikan pada pelajar pengguna komputer lebih dari 4
jam per hari dengan mayoritas pelajar wanita dan pengguna lensa kontak.
Penelitian Nakazawa et al. (2002) dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan
bermakna keluhan mata kering pada pekerja pengguna komputer lebih dari 5
jam/hari. Penelitian Hanne et al. (1994) dan Shigenori et al. (2002) menunjukkan
baru timbul keluhan mata kering pada pengguna komputer lebih dari 6 jam.
Penelitian Sen et al. (2007) menunjukkan gejala mata kering umumnya
dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah
6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
Parwati (2004) menyatakan gejala oftalmikus timbul setelah 2 jam
penggunaan komputer secara terus-menerus. Akan tetapi, penelitian Sadri (2003)
dengan menggunakan tes Schirmer tidak menunjukkan adanya perbedaan sekresi
air mata sebelum dan setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus.
Penelitian Hiroko (2007) menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer atas
kejadian SMK. Sen et al. (2007) menyatakan bahwa gejala SMK umumnya
dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah
6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
Berbagai penelitian di atas menunjukkan variasi antara pada pengguna
komputer intensitas yang bagaimanakah bisa memberikan hasil yang signifikan
terhadap kejadian SMK. Bahkan, penelitian objektif mata kering dengan uji
stabilitas air mata prekorneal, kondisi lapisan lemak air mata, tidak menunjukkan
adanya hubungan dengan lama bekerja menggunakan komputer. Tes Schirmer
baru menunjukkan hubungan yang bermakna pada penggunaan komputer > 8
jam/hari (Nakamura et al., 2010).
Gejala yang berhubungan dengan SMK yaitu mata terasa kering, mata
lelah, mata terasa terbakar, mata terasa perih, mata terasa gatal, mata merah, mata
berair, penglihatan kabur sesaat (kembali dengan berkedip), fotofobia (sensitif
terhadap cahaya), dan seperti ada benda asing (AOA, 2002; DEWS, 2007).
Tabel 2.2. Gejala Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer
Gejala Keluhan (%) Sumber
Mata terasa kering 47
56 66 85
Jamalilah et al., 2002 Hiroko, 2007
Dehghani et al., 2008 Murtopo et al., 2005
Mata lelah 46,4
Bhanderi et al., 2008 Fenga et al., 2007 Dehghani et al., 2008 Hiroko, 2007
Amalia et al., 2010 Shofwati et al., 2010 Bali et al., 2007
Mata terasa terbakar 28,1
79
Edema et al., 2010 Dehghani et al., 2008
Mata terasa perih 31,51 Megwas et al., 200 Penglihatan kabur sesaat (kembali
dengan berkedip)
Broumand et al., 2008 Megwas et al., 2009 Mocci, 2001 Edema et al., 2010 Sirikul et al., 2009
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya) 34,8 Bali et al., 2007
Seperti ada benda asing (berpasir) 0 Megwas et al., 2009
2.8. Jam Istirahat Bagi Pengguna Komputer
“Istirahat”, satu manuver yang paling tepat untuk mencegah SMK akibat
lama penggunaan komputer (Balci et al., 2003; Blehm et al., 2005). Akan tetapi,
masih sedikit penelitian mengenai jam istirahat yang ideal. Perlu diingat pula
bahwa interupsi yang terlalu sering akan membawa dampak yang kurang efektif
terhadap pekerjaan yang sedangan dikerjakan.
NIOSH (1981) dan OSHA (1997) menganjurkan setiap 2 jam, seorang
pengguna komputer harus beristirahat 10 menit. Waktu istirahat lain yang
dianjurkan cukup bervariasi yaitu 10 menit setiap 50 menit (Karwowski, 1994),
10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1984), 30 menit setiap 3½ jam (Asfour,
1987), 5 menit setiap 1 jam (Kanitkard et al., 2005), dan 15 menit setiap 2 jam