• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer Dengan Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) Pada Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Group, Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer Dengan Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) Pada Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Group, Tahun 2012"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer dengan

Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) pada

Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Group, Medan,

tahun 2012

Oleh :

MENTARI BUNJAMIN

090100301

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer dengan

Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) pada

Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Group, Medan,

tahun 2012

Oleh :

MENTARI BUNJAMIN

090100301

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer dengan Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome (CVS) pada Pekerja Pengoperasian Komputer di Wilmar Group, tahun 2012

Nama : Mentari Bunjamin

NIM : 090100301

Pembimbing Penguji I

(dr. T. Siti Harilza Zubaidah, Sp.M) (dr. Zulkifli, M.Si)

NIP. 197604222005012002 NIP. 194711021978021001

(4)

(dr, Iman Helmi Effendi, Sp.OG) NIP. 140344041

Medan, 08 Desember 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) ABSTRAK

Penggunaan komputer sudah sangatlah universal di abad ke-21 ini. Komputer digunakan baik di tempat kerja ataupun di sekolah. Bekerja sepanjang waktu dengan melihat monitor komputer, menimbulkan gejala-gejala okular dan gangguan fisik. Sindroma ini menyerang pengguna komputer dan disebut Computer Vision Syndrome (CVS). Populasi pekerja di Indonesia terus meningkat, menurut badan statistik, jumlah tenaga kerja di Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89 juta, dan pada tahun 2000 sudah mencapai lebih dari 95 juta orang. Atas latar belakang inilah, Penulis tertarik untuk meneliti tingkat-tingkat gejala yang dialami oleh pekerja-pekerja di perusahaan swasta yang mana menggunakan komputer dalam bekerja sehari-harinya.

(5)

ABSTRACT

The use of computers is very universal in the 21st century. Computers are used either at work or at school. Working all the time by looking at a computer monitor, causing ocular symptoms and physical disorders. This syndrome is attacking computer users and is called Computer Vision Syndrome (CVS). Working population in Indonesia continues to increase, according to government statistics, the number of workers in Indonesia in 1997 was about 89 million, and by 2000 had reached more than 95 million people. Above this background, the authors are interested in examining the levels of symptoms experienced by workers in private enterprises which use computers in their daily work.

This study was a descriptive cross-sectional design conducted in 97 employees in one of the private companies in the city of Medan. Data collected through questionnaire distribution method guided, with personal data and 19 questions regarding symptoms of Computer Vision Syndrome is felt by workers. Data distribution is done using the frequency distribution table.

Risk factors of the onset of symptoms Computer Vision Syndrome include eye to screen distance, the distance eye to keyboard, the distance eye to reference materials, and the position of the eye level of the computer monitor. The results of this study showed that almost 50% of the employees with the level of mild symptoms in late adolescence (47%) and early adulthood (44%).

(6)

gejala-gejala Computer Vision Syndrome yang dirasakan oleh para pekerja. Distribusi data dilakukan dengan menggunakan distribusi tabel frekuensi.

Faktor-faktor risiko timbulnya gejala-gejala Computer Vision Syndrome antara lain adalah jarak mata terhadap layar monitor, jarak mata terhadap keyboard, jarak mata terhadap materi-materi reference, dan posisi level mata terhadap monitor komputer. Hasil penelitian ini menunjukkan hampir 50% mengenai karyawan dengan tingkat gejala ringan pada usia remaja akhir (47%) dan dewasa awal (44%).

Berdasarkan penelitian ini, diperlukan penjelasan dan penyuluhan oleh dokter atau tenaga kesehatan ke perusahaan-perusahaan mengenai Computer Vision Syndrome beserta gejala-gejalanya, dan pemeriksaan rutin bagi karyawan-karyawan yang bekerja terus-menerus dengan menggunakan komputer. Bagi Departemen Tenaga Kerja ataupun perusahaan-perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menetapkan maksimal jam kerja dan waktu istirahat untuk meningkatkan kualitas perlindungan kepada tenaga kerja.

(7)

Keywords: computer user, perpetual, employees, Computer Vision Syndrome

symptoms

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul ”Gambaran Tingkat Lama Penggunaan Komputer dengan Terjadinya Gejala-gejala Computer Vision Syndrome Pada Pekerja Pengoperasi Komputer di Wilmar Group, Medan Kota”.

Dalam penyelesaian proposal penelitian ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Orang tua penulis yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan tiada bosan-bosannya mendoakan serta memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis dan pendidikan.

2. Ibu dr. T. Siti Harilza Zubaidah, sp.M, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada penulis sehingga proposal karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

(8)

4. Teman-teman sebimbimgan, Umul dan Ayu, yang memberikan nasihat-nasihat, dukungan materi dan moril, bagi penulis dalam menjalani pendidikan selama ini.

5. Keluarga dan orang-orang dekat dari penulis, Kak Dahlia, Steven dan Patricia yang telah saling memberikan masukan terhadap karya tulis ilmiah masing-masing.

6. Teman teman karib penulis, yang dengan setia memberikan dukungan dan saran sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa FK USU stambuk 2009 yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu, yang telah memberi saran, kritik, dukungan materi, dan moril dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan proposal penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan proposal penelitian ini.

Medan, 08 Desember 2012

(9)

DAFTAR ISI

Halamsan

LEMBAR PENGESAHAN... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT…………... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Pendahuluan... 1

1.2. Rumusan Masalah... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja... 5

2.2. Komputer... 6

2.3. Computer Vision Syndrome... 7

2.3.1. Patofisiologi... .. 7

2.3.1. Gejala klinis dan simptom... .. 8

(10)

2.3.1. Diagnosis banding... .. 9

2.3.1. Penatalaksanaan... .. 9

2.3.1. Pencegahan... .. 9

2.4. Sistem lakrimal... .. 10

2.5. Fisiologi pengeluaran air mata... .. 11

2.6. Mata kering... .. 12

2.6.1. Epidemiologi sindroma mata kering... .. 13

2.6.2. Klasifikasi sindroma mata kering... .. 13

2.6.3. Hipersekresi dan hiposekresi air mata... .. 16

2.6.4. Faktor risiko sindroma mata kering... .. 17

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... .. 20

3.1. Kerangka Konsep... .. 20

3.2. Variabel dan Definisi Operasional... .. 20

BAB 4 METODE PENELITIAN... .. 23

4.1. Jenis Penelitian... 23

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 23

4.2.1. Lokasi Penelitian ... 23

(11)

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian... 23

4.3.1. Populasi Penelitian... 23

4.3.2. Sampel Penelitian... 23

4.4. Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Pengambilan Sampel ... 24

4.4.1. Teknik Pengumpulan Data... 24

4.4.2. Prosedur Pengambilan Sampel... 25

4.4.2. Uji Validitas... 25

4.4.2. Uji Realibilitas………... 25

4.5. Instrumen penelitian... 27

4.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data... 27

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... .. 28

5.1. Hasil Penelitian... 28

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………. 28

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden…………. 28

5.1.3 Deskripsi Jawaban Responden terhadap Pertanyaan Tingkat Gejala ………. 29

5.1.4 Hasil Analistik Responden……….…………. 31

5.1.4.1 Hasil Analisis Univariat……… 31

(12)

5.2. Pembahasan... 33

5.2.1. Kelompok Umur Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome... 34

5.2.2. Kelompok Jenis Kelamin Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... .. 35

6.1. Kesimpulan……... .. 35

6.2. Saran………... .. 35

DAFTAR PUSTAKA... 36

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Perbedaan antara penyakit kerja dan penyakit terkait kerja 5

2.6.2.1 Klasifikasi defisiensi air mata 14

2.6.2.2 Etiologi dan diagnosis dari Sindroma Mata Kejang 14

4.1 Hasil uji validitas dan reabilitas kuesioner 25

5.1 Distribusi responden menurut umur dan jenis kelamin 27

5.2 Distribusi frekuensi jawaban responden padavariabel perta- 28

nyaan tingkat gejala Computer Vision Syndrome (CVS)

5.3 Distribusi responden berdasarkan hasil ukur tingkat 30 gejala Computer Vision Syndrome (CVS)

5.4 Distribusi tabulasi silang umur karyawan terhadap ting- 30 kat gejala Computer Vision Syndrome di perusahaan

swasta Wilmar Group, 2012

5.5 Distribusi tabulasi silang jenis kelamin karyawan terha- 31 dap tingkat gejala Computer Vision Syndrome di perusa-

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AAO : American Academy of Opthalmology

AOA : American Ophtometric Association

CVS : Computer Vision Syndrome

ILO : International Labour Organization

SMK : Sindroma Mata Kering

TF : Tear Film

VDT : Video Display Terminal

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup (Curriculum Vitae)

Lampiran 2 Lembar Penjelasan

Lampiran 3 Lembar Pernyataan Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) Kesediaan Mengikuti Penelitian

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian

Lampiran 5 Validitas

Lampiran 6 Reabilitas

Lampiran 7 Tabel Frekuensi

Lampiran 8 Master Data

Lampiran 9 Ethical Clearance

(16)

(dr, Iman Helmi Effendi, Sp.OG) NIP. 140344041

Medan, 08 Desember 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) ABSTRAK

Penggunaan komputer sudah sangatlah universal di abad ke-21 ini. Komputer digunakan baik di tempat kerja ataupun di sekolah. Bekerja sepanjang waktu dengan melihat monitor komputer, menimbulkan gejala-gejala okular dan gangguan fisik. Sindroma ini menyerang pengguna komputer dan disebut Computer Vision Syndrome (CVS). Populasi pekerja di Indonesia terus meningkat, menurut badan statistik, jumlah tenaga kerja di Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89 juta, dan pada tahun 2000 sudah mencapai lebih dari 95 juta orang. Atas latar belakang inilah, Penulis tertarik untuk meneliti tingkat-tingkat gejala yang dialami oleh pekerja-pekerja di perusahaan swasta yang mana menggunakan komputer dalam bekerja sehari-harinya.

(17)

ABSTRACT

The use of computers is very universal in the 21st century. Computers are used either at work or at school. Working all the time by looking at a computer monitor, causing ocular symptoms and physical disorders. This syndrome is attacking computer users and is called Computer Vision Syndrome (CVS). Working population in Indonesia continues to increase, according to government statistics, the number of workers in Indonesia in 1997 was about 89 million, and by 2000 had reached more than 95 million people. Above this background, the authors are interested in examining the levels of symptoms experienced by workers in private enterprises which use computers in their daily work.

This study was a descriptive cross-sectional design conducted in 97 employees in one of the private companies in the city of Medan. Data collected through questionnaire distribution method guided, with personal data and 19 questions regarding symptoms of Computer Vision Syndrome is felt by workers. Data distribution is done using the frequency distribution table.

Risk factors of the onset of symptoms Computer Vision Syndrome include eye to screen distance, the distance eye to keyboard, the distance eye to reference materials, and the position of the eye level of the computer monitor. The results of this study showed that almost 50% of the employees with the level of mild symptoms in late adolescence (47%) and early adulthood (44%).

(18)

gejala-gejala Computer Vision Syndrome yang dirasakan oleh para pekerja. Distribusi data dilakukan dengan menggunakan distribusi tabel frekuensi.

Faktor-faktor risiko timbulnya gejala-gejala Computer Vision Syndrome antara lain adalah jarak mata terhadap layar monitor, jarak mata terhadap keyboard, jarak mata terhadap materi-materi reference, dan posisi level mata terhadap monitor komputer. Hasil penelitian ini menunjukkan hampir 50% mengenai karyawan dengan tingkat gejala ringan pada usia remaja akhir (47%) dan dewasa awal (44%).

Berdasarkan penelitian ini, diperlukan penjelasan dan penyuluhan oleh dokter atau tenaga kesehatan ke perusahaan-perusahaan mengenai Computer Vision Syndrome beserta gejala-gejalanya, dan pemeriksaan rutin bagi karyawan-karyawan yang bekerja terus-menerus dengan menggunakan komputer. Bagi Departemen Tenaga Kerja ataupun perusahaan-perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menetapkan maksimal jam kerja dan waktu istirahat untuk meningkatkan kualitas perlindungan kepada tenaga kerja.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Bekerja pada kondisi yang tidak nyaman dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya (ILO, 1999).

Komputer merupakan salah satu penemuan yang populer di abad ke-20 ini. Penggunaan komputer sudah sangat universal dan digunakan baik di tempat kerja ataupun di sekolah. Bekerja sepanjang waktu dengan melihat monitor komputer, menimbulkan gejala-gejala okular dan gangguan fisik (Bhlem C, Vishnu S dkk., 2005). Beberapa gejala pada mata akibat penggunaan komputer yang berpengaruh terhadap mata operator adalah monitor komputer atau Visual Display Terminal (VDT) (Abrams D, 1993). World Health Organization (WHO) melaporkan

gejala-gejala yang dapat terjadi pada mata adalah astenopia (75%-90%), yang meliputi mata kering, sakit kepala, kabur melihat secara periodik, kadang-kadang kabur melihat jauh, mata merah, rasa panas, silau, pemakaian lensa kontak yang tidak nyaman, perubahan persepsi warna, nyeri leher dan bahu. Istilah sindroma yang digunakan akibat penggunaan komputer dikenal dengan Computer Vision Syndrome (CVS) (Crystal D, 2002).

(20)

komputer disebut Computer Vision Syndrome (CVS). Sekitar 88-90% pengguna komputer mengalami Computer Vision Syndrome (Chu dkk., 2011). Kejadian Computer Vision Syndrome juga dinyatakan mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun (AOA, 2007).

Populasi pekerja di Indonesia terus meningkat, menurut badan statistik, jumlah tenaga kerja di Indonesia yang pada tahun 1997 masih sekitar 89 juta, dan pada tahun 2000 sudah mencapai lebih dari 95 juta orang. Menurut ILO, di Indonesia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius, baik dari pembuat kebijakan maupun dari pihak pemberi pelayanan kesehatan, termasuk diantaranya pelayanan kesehatan (Riska DI, 2007). Disamping astenopia akibat kerja mata yang berlebihan di depan komputer, juga berisiko menimbulkan mata kering (dry eye) (Digirofamo J, 2002).

Gejala Computer Vision Syndrome dibedakan menjadi keluhan gejala pada mata, muskuloskeletal, dan umum (AOA, 2007). Berdasarkan Thompson (1998), prevalensi dari gejala-gejala okular pada pengguna komputer berkisar dari 25-93%. Pendapat Sheddy (2003) dalam studinya bahwa satu dari enam pasien yang melakukan pemeriksaan mata memiliki masalah pada mata yang berkaitan dengan komputer.

American Optometric Association (AOA) mendefinisikan Computer

Vision Syndrome sebagai “Masalah yang kompleks dari mata dan penglihatan

sehubungan dengan bekerja terlalu dekat, yang dialami selama atau sehubungan dengan penggunaan komputer“ (Ganggama MP, Poonam dkk., 2010).

Faktor-faktor pada pekerjaan yang berperan penting pada gangguan penglihatan adalah sudut pandang mata terhadap komputer dan meja kerja, penerangan cahaya, durasi selama melihat monitor komputer, posisi leher, pekerja dengan kelainan refraktif, mata kering dan presbyopia (Bhlem C, Vishnu S dkk., 2005).

(21)

dkk, 2004). Gejala-gejala okularnya adalah astenopia, akomodasi dan kesulitan vergence dan mata kering. Keluhan yang banyak dari pengguna komputer adalah

keluhan sementara yang berpengaruh langsung pada mata, akan tetapi kerusakan struktur yang permanen dapat terjadi (Suharyanto FX, 2002).

Computer Vision Syndome terjadi sekitar 90% dari pekerja komputer, dan

pengguna-pengguna komputer sebagai media yang universal. Hal ini sangatlah penting untuk mengidentifikasi apakah gejala-gejala ini sangat spesifik untuk pengoperasi komputer, atau sebuah manifestasi dari melihat dengan jarak dekat (Chu C, Rosenfield dkk,. 2011).

Terdapat kerancuan mengenai lama penggunaan komputer yaitu apakah rata-rata jam per hari ataukah secara terus-menerus yang mempengaruhi Computer Vision Syndrome secara signifikan. Variasi jam yang ditemukan dalam

penelitian sebelumnya juga menimbulkan kebingungan. Wilmar Group memiliki lebih dari seribu karyawan dan kesehariannya beroperasi dengan menggunakan komputer. Atas dasar inilah, penulis tertarik untuk meneliti hubungan lama penggunaan komputer dengan Computer Vision Syndrome di Wilmar Group.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimanakah gambaran tingkat lama penggunaan komputer dengan terjadinya gejala-gejala Computer Vision Syndrome pada pekerja pengoperasi komputer di Wilmar Group, Medan Kota?

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

(22)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui faktor-faktor resiko Computer Vision Syndrome pada karyawan perusahaan Wilmar Group.

2. Mengetahui kepedulian karyawan perusahaan Wilmar Group terhadap gejala Computer Vision Syndrome yang dirasakan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi masyarakat umum, khususnya pengguna komputer

Data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi sebagai sumbangan informasi bagi pengguna komputer akan Computer Vision Syndrome yang dapat timbul akibat lama menatap monitor komputer. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pengaturan waktu istirahat dan mengontrol jam penggunaan komputer agar tidak menganggu kesehatan mata dan produktivitas kerja.

2. Di bidang pelayanan masyarakat

Data atau informasi penelitian ini dapat masukan bagi Departemen Tenaga Kerja dalam menetapkan maksimal jam kerja dan waktu istirahat untuk meningkatkan kualitas perlindungan kepada tenaga kerja.

3. Di bidang akademik/ilmiah

Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang oftalmologi, khususnya tentang gambaran lama penggunaan komputer terhadap tingkat gejala Computer Vision Syndrome.

4. Di bidang pengembangan penelitian

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja

Penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja baik faktor resiko karena kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja, limbah perusahaan dan hasil produksi. Occupational diseases muncul sebagai akibat paparan dari fisikal, kimia, biologis, ergonomik atau faktor-faktor psikososial di lingkungan kerja (Occupational Medicine Practice, 1991). Menurut ILO (1991), occupational diseases adalah kondisi patologis yang diinduksi oleh hal-hal yang berhubungan dengan kerja, seperti paparan berlebihan dari faktor-faktor yang berbahaya, materi-materi kerja ataupun lingkungan kerja.

Menurut ILO (1991), penyakit terkait kerja adalah penyakit yang dipicu oleh kerja, atau memiliki insidensi tinggi terhadap suatu penyakit akibat lingkungan kerja.

Perbedaan antara penyakit akibat kerja dan penyakit terkait kerja (Buchari, 2007) :

Penyakit akibat kerja

Terjadi hanya di antara populasi kerja Penyebabnya spesifik

Riwayat paparan di tempat kerja sangat penting Riwayat mendapat kompensasi dan tercatat Penyakit terkait kerja

Terjadi juga pada populasi penduduk Penyebabnya multifaktorial

Paparan di tempat kerja mungkin merupakan salah satu faktor kemungkinan Kemungkinan mendapat kompensasi dan tercatat

(24)

1. Pengenalan lingkungan kerja

Pengenalan lingkungan kerja dapat dilakukan dengan cara melihat dan mengenal (“walk through inspection”) .

2. Evaluasi lingkungan kerja

Lakukan penilaian-penilaian dan besarnya potensi-potensi bahaya yang mungkin timbul.

3. Pengendalian lingkungan kerja

Dapat dilakukan upaya dengan mengurangi dan menghilangkan pemajanan atau paparan dari zat-zat berbahaya di lingkungan kerja. Pengendalian yang adekuat sangat membantu dalam mencegah efek kesehatan yang merugikan

2.2. Komputer

Komputer merupakan salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad ke-20 (Ting, 2005). Sekarang, komputer juga tampil dalam rupa laptop dan notebook. Menurut Blissmer (1985), komputer adalah secara umum terdiri dari

dua perangkat, yaitu hardware dan software. Monitor komputer atau dikenal dengan “Video Display Terminal” (VDT) dimasukan sebagai hardware sedangkan aplikasi program dimasukkan sebagai software. Komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu melakukan tugas menerima input, mengolahnya, dan menyediakan output berupa hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi menjadi data visual yang dapat dilihat dengan menggunakan monitor atau Video Display Terminal (Humaidi, 2005). Video Display Terminal (VDT) atau yang

biasanya disebut monitor adalah bagian yang ditatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata pada penggunanya (Fauzia, 2004).

(25)

mengakses internet (DeBell dkk., 2003). Penelitian Hoesin dkk. (2007) pada 2500 orang di 16 kota di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat 46,7% pengguna komputer dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja.

Untuk mengurangi dampak dari monitor komputer perlu kita perhatikan aspek ergonomis dari tempat kerja dan ligkungan kerja. Hal-hal yang diperhatikan di tempat kerja seperti: monitor komputer, rancangan tempat kerja memperhatikan tinggi meja, tinggi kursi, dan jarak mata-Video Display Terminal (450-700) mm, dan jarak optimal 500-600mm (Suharyanto FX, 2002). Lingkungan kerja juga sebaiknya memperhatikan penerangan, sebaiknya 300-700 lux. Untuk suhu disarankan 24-26˚C, dengan perbedaan suhu di dalam ruangan dan diluar ruangan tidak melebihi 5˚C, dan kelembaban 40-60%. Kebisingan secara umum di bawah 60dB (40-60dB). Disamping faktor-faktor di atas dianjurkan untuk istirahat selama 15 menit setelah bekerja terus-menerus dengan Video Display Terminal selama dua jam dengan beban kerja sedang dan satu jam pada beban kerja berat. Olah raga juga dianjurkan untuk meningkatkan kebugaran (Suharyanto FX, 2002).

2.3. Computer Vision Syndrome

Menurut Garg A (2009), Computer Vision Syndrome (CVS) adalah sebuah kondisi yang terjadi pada orang-orang yang bekerja pada monitor komputer. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya Computer Vision Syndrome adalah posisi yang tidak pas seperti duduk terlalu dekat ke monitor

komputer, pencahayaan yang kurang, dan bertambahnya tatapan ke layar dan frekuensi berkedip yang berkurang. Computer Vision Syndrome merupakan kondisi sementara yang diakibatkan oleh mata yang bekerja terlalu fokus dan menatap pada display komputer dalam suatu periode waktu yang tidak mendapat interupsi.

2.3.1. Patofisiologi

Computer Vision Syndrome disebabkan oleh penurunan refleks berkedip

(26)

komputer. Sebagai tambahan, pemfokusan dalam jarak dekat untuk durasi yang lama memaksa kerja dari otot siliaris pada mata. Hal ini memicu gejala-gejala astenopia dan memberi rasa lelah pada mata setelah bekerja dalam waktu yang lama. Beberapa orang dengan umur sekitar 30-40 tahunan mengeluhkan ketidakmampuan dalam memfokuskan objek-objek dekat setelah bekerja dalam waktu yang singkat, yang berakhir pada penurunan mekanisme fokus akomodasi dari mata dan presbyopia. Tampilan yang terdapat di monitor tidak sama pada hasil tampilan piksel-piksel yang berupa titik, yang tercetak di atas kertas. Permukaan garis-garis luarnya yang sangat berliku-liku tersebut menambah nilai kontras yang rendah dan kekurangjelasan. Selain itu, huruf-huruf di monitor komputer bervariasi dalam intensitas cahaya, yang mana juga menambah nilai kontras yang rendah. Hal-hal ini menyebabkan mata harus tetap fokus secara spontan untuk menjaga ketajaman gambar sehingga memaksa kerja dari otot siliaris pada mata. Kelemahan akomodasi juga meningkatkan kerja dari otot siliaris pada mata (Garg A, Rosen E, 2009).

2.3.2. Gejala klinis dan simptom

Simptom-simptom dari Computer Vision Syndrome dikarakteristikkan dengan sensasi panas, berair, perasaan berat pada kelopak mata, nyeri di mata, sakit kepala dll. Simptom-simptom dibawah ini mungkin pernah dirasakan oleh penderita Computer Vision Syndrome (Garg A, Rosen E, 2009), yakni:

1. Mata kering 2. Sakit kepala 3. Iritasi mata

4. Sensasi benda asing 5. Penglihatan yang kabur 6. Sensitif terhadap cahaya 7. Penglihatan ganda

8. Ketidakmampuan memfokuskan objek dalam jarak tertentu

(pseudomyopia) 9. Nyeri leher dan bahu

(27)

11.Lemas dan lelah

12.Kesulitan dalam berkendara pada malam hari 2.3.3. Diagnosis

Menurut Garg A & Rosen E, (2009), diagnosis Computer Vision Syndrome

dapat dilakukan dengan sebagai berikut : 1. Pemeriksaan okular

2. Direct opthalmoscopy 3. Visual acuity

4. Tonometry

2.3.4. Diagnosis banding

Sindroma mata kering pada Computer Vision Syndrome sering di salah diagnosiskan dengan mata kering paska bedah refraktif.

2.4.5. Penatalaksanaan

Mata kering lebih sering menjadi target terapi pada Computer Vision Syndrome. Penggunaan larutan counter artificial tear dapat mereduksi efek-efek mata kering pada Computer Vision Syndrome. Gejala-gejala astenopia dapat direduksi dengan mengistirahatkan mata beserta ototnya. Berkedip rutin juga dianjurkan untuk membantu pengisian kembali dari tear film. Untuk mengurangi kerja dari otot siliaris dapat dibantu dengan sesekali melihat keluar dari jendela dan menatap langit.

(28)

2.3.6. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara (Garg A., Rosen E., 2009), yakni :

1. Jaga jarak 20-26 inci dari monitor

2. Monitor komputer harus ditempatkan 10˚ - 15˚ dari level bawah mata pada tatapan yang lurus

3. Gunakan layar antiglare

4. Penurunan cahaya

5. Hindari paparan cahaya matahari langsuns pada posisi komputer dan minimalisasikan tatapan.

6. Ingat untuk berkedip secara reguler

7. Monitor komputer diletakkan secara horizontal di atas meja yang akan sangat membantu dalam membaca dengan mengoreksi presbyopia penderita

8. Pemberian konseling dan pencegahan yang baik memberikan hasil prognosis yang baik.

2.4. Sistem lakrimal

Terdiri dari dua sistem, yaitu sistem sekresi dan sistem ekskresi (Harahap H, 1999). Ada beberapa komponen sekresi yang terdiri dari; glandula lakrimal (kelenjar utama), glandula lakrimal aksesoris (Krause dan Wolfring), glandula sebasea palpebra (kelenjar Meibom) dan sel-sel goblet dari konjungtiva (Musin) (AAO, 1998). Persarafan dari sistem sekresi oleh saraf trigeminus dan saraf simpatis tidak memberikan pada sekresi (AAO, 1992). Sistem sekresi terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal terdiri dari kelenjar aksesoris air mata dari Krause dan Wolfring, sedangkan refleks sekresi dari kelenjar air mata yang utama terdiri dari porsi orbita dan palpebra (AAO, 1992).

Sistem ekskresi dari air mata dimulai dari puntum lakrimalis superior & inferior, ampula, kanlikulus komunis, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis, dan nasi inferior. Persarafan juga berasal dari simpatetis orbita (AAO, 1992).

(29)

sekretori lakrimalis, distribusi dengan berkedip, evaporasi dari permukaan okular dan drainasi oleh aparatus lakrimalis. Air mata berfungsi sebagai (Harahap H, 1999) :

1. Mempertahankan kornea

2. Menghaus benda asing dari permukaan kornea 3. Sumber /oksigen bagi epitel kornea dan konjungtiva 4. Pelicin antara kornea dengan kelopak mata

5. Jalur bagi sel-sel leukosit menuju ke bagian sentral kornea avaskuler bila terjadi trauma kornea

6. Sebagai anti bakterial

7. Sebagai media pembuangan debris dari sel yag mengalami deskuamasi

2.5. Fisiologi pengeluaran air mata

Permukaan depan bola mata ditutupi oleh suatu lapisan yang disebut Tear Film (TF) (Gondhowiardjo TD, 1999). Tear Film terdiri dari tiga lapisan :

1. Lapisan superfisisal (lipid)

Dihasilkan oleh kelenjar meibom dan kelenjar sebasea, berfungsi mencegah evaporasi. Memiliki tebal 0,1um terdiri dari sedikitnya sembilan jenis lemak yaitu, hydrokarbon (7,54%), sterol ester (27,3%), wax ester (32,3%), diester region (7,54%), tryacyl gliserol (3,7%), post tryacyl gliserol (2,98%), free sterol (1,63%), free fatty acid (1,98%) dan polar lipid (14,8%) (Gondhowiardjo TD, 1999). Lapisan lipid bersifat hidropobik, memperlambat evaporasi dan untuk lubrikasi. (Irsad S, 2003) 2. Lapisan akuos

(30)

3. Lapisan mukus

Dihasilkan oleh sel-sel goblet konjungtiva dan merupakan lapisan terdalam. Tebal 0,02um - 0,05um. Mukus merupakan faktor penting untuk menurunkan tegangan permukaan (surfaktan) epitel kornea yang hidropobik, sehingga permukaan tersebut dapat dibasahi air mata. (Irsad S, 2003).

Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6 - 7µL yang terbagi tiga bagian (Sullivan, 2002), yaitu :

1. Mengisi sakus konjungitva sebanyak 3µL - 4µL.

2. Melalui proses berkedip sebanyak 1µL akan membentuk tear film dengan tebal 6µL - 10µL dan luas 260 mm².

3. Sisanya sebanyak 2µL - 3µL akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm² dengan jari-jari 0,24mm (Yokoi dkk., 2006). Menurut Wang dkk., (2006), tear film digabungkan dari tear meniscus atas dan bawah saat berkedip.

Air mata (tear film) berjalan menutupi permukaan bola mata dan kelopak mata kemudian melewati komponen-komponen dari sistim sekresi dan diteruskan ke hidung. Kebanyakan tear film dieliminasi secara langsung melalui evaporasi dan diabsorpsi kembali oleh sakus lakrimalis (Tanenbaum M, 1997).

Ketika kelopak mata membuka sebelum mata mulai berkedip maka kanalikuli siap untuk diisi air mata. Mekanisme dimulai dari kelopak mata atas turun sebagai awal berkedip dan bawah akan berkontak lebih kuat, sehingga hanya setengah jalan yang tertutup. Sewaktu puntum tertutup saat berkedip, ini akan menekan kanalikuli dan sakus lakrimal air mata terdorong melalui duktus nasolakromalis dan melalui hidung (Tanenbaum, 1997).

Sekresi air mata pada satu mata adalah 60 gram/hari (Janin, 1772), sedangkan sekresi basal 0,6ml – 1,2ml per menit (AAO, 1992).

2.6.Mata kering (dry eyes)

(31)

(Crystal D, 2002) ataupun produksi air mata yang tidak cukup atau ketidaknormalan dari komposisi air mata. Gejala mata kering bervariasi pada tiap-tiap orang seperti perasaan tidak enak di mata, rasa benda asing, mata merah, rasa terbakar dan air mata berlebihan (Chacko B, 1997).

Mata kering sering terjadi akibat penuaan, lebih 75% orang di atas 65 tahun dan lebih tua menderita mata kering. Wanita umumnya yang mengalami menopause karena perubahan hormonal. Mata kering dapat terjadi pada beberapa kondisi antara lain seperti (Irsad S, 2003) :

1. Adanya masalah mengedip yang dihubungkan dengan penggunaan komputer 2. Pemakaian anti histamin,hormonal dan anti depresi

3. Faktor lingkungan seperti cuaca yang panas 4. Kehamilan dan merokok

5. Kondisi kesehatan seperti diabetes, akne rosacea, arthritis, sindrome syogren, defisiensi vitamin A dan lan-lain

6. Pemakaian lensa kontak

7. Pembedahan refraktif seperti Lasik

2.6.1. Epidemiologi Sindroma Mata Kering

Epidemiologi sindroma mata kering meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat, menunjukkan prevalensi berkisar antara 5-30% dengan total penduduk berusia 50 tahun sebanyak 4,91 juta. Studi besar oleh Women’s Health Study and Physician’s Health Study menunjukkan prevalensi SMK di Amerika Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria (Schamberg dkk., 2003).

Salisbury Eye Study menunjukkan angka 154,6% pada populasi berusia 48-91 tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita (Schein dkk., 1997). The Beaver Dam population-based study menemukan prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65 tahun (Moss dkk., 2000).

(32)

telah menopause.

2.6.2. Klasifikasi Sindroma Mata Kering

Sindroma mata kering dapat dikategorikan menjadi episodik dan kronik. Sindroma Mata Kering episodik yaitu mata kering yang dialami akibat lingkungan atau pekerjaan, dan bersifat sementara. Sindroma Mata Kering kronik yaitu mata kering yang dipicu oleh sesuatu dan bersifat menetap. Sindroma Mata Kering episodik dapat berlanjut ke mata kering kronik (Guyton, 2009).

Berikut adalah tabel klasifikasi beserta penyebabnya menurut Asyari F (2002) dan Miller SJH (1990):

Table 2.6.2.1. Classification of Tear Deficiency Aqueous tear deficiency

Mucin deficiency Lipid abnormality

Lid surfacing abnormality Epitheliopathy

Table 2.6.2.2. Etiology and diagnosis of Dry Eye Syndrome I. Etiology

A. Conditions characterized by hypofunction of the lacrimal gland : a.1. Congenital

a.1.1. Familial dysautonomia (Riley Day Syndrome) a.1.2. Aplasia of the lacrimal gland

a.1.3. Trigeminal nerve aplasia a.1.4. Ectodermal dysplasia a.2. Acquired

a.2.1. Systemic diseases

a.2.1.1. Sjogren’s syndrome

a.2.1.2. Progressive systemic sclerosis a.2.1.3. Sarcoidosis

(33)

a.2.1.5. Amyloidosis a.2.1.6. Hemochromatosis a.2.2. Infection

a.2.2.1. Trachoma a.2.2.2. Mumps a.2.3. Injury

a.2.3.1. Surgical removal of lacrimal gland a.2.3.2. Irradiation

a.2.3.3. Chemical burn a.2.4. Medications

a.2.4.1. Antihistamines a.2.4.2. Antimuscarinics a.2.4.3. General amesthetics a.2.4.4. Beta-adrenergic blockers a.2.4.5. Neurogenic-neuroparalytic B.Conditions characterized by mucin deficiency :

b.1. Avitaminosis A

b.2. Steven-Johnsosn syndrome b.3. Ocular pemphigoid

b.4. Chronic conjunctivitis b.5. Chemical burns

b.6. Medications-antihistamines antimuscarinics, beta-adrenergic blocking agents C. Conditions charatcterized by lid deficiency

c.1. Lid margin scarring: c.2. Blepharitis

D. Defective spreading of tear film caused by the following : d.1. Eyelid abnormalities

d.1.1. Defects

(34)

d.1.4.1. Neurologic disorders d.1.4.2. Hyperthyroidism d.1.4.3. Contact lens d.1.4.4. Drugs

d.1.4.5. Herpes simplex keratitis d.1.4.6. Leprosy

d.1.5. Lagophtalmus

d.1.5.1. Hyperthyroidism d.1.5.2. Leprosy

d.1.5.3. Nocturnal lagophtalmus d.2. Conjunctival abnormalities

d.2.1. Pterygium d.2.2. Symblepharon d.3. Proptosis

II. Diagnosis

A. Biomicroscopy B. Rose bengal staining C. Fluorescein staining D. Tearbreak-up time E. Tear film osmolarity F. Tear lysozyme

G. Schirmer test wwithout an anesthesia H. Impresion cytology

J. Tear lactofern

2.6.3. Hipersekresi dan hiposekresi air mata

(35)

sekunder dari bakteri dan virus, inflamasi kronis kelenjar lakrimal dan atrofi senilis kelenjar lakrimal. (Irsad S, 2003). Produksi air mata dapat juga dipengaruhi oleh obat-obatan. Contoh-contoh obat yang dapat mengurangi produksi air mata yaitu, atropin, skopolamin, antihistamin, beta bloker, phenotiazin, diazepam, nitroyus oxide dan halotan. Sedangkan obat-obat yang meningkatkan air mata yaitu, pilokarpin, metakholin, neostigmin, epinefrin, efedrin, fluoracil, dan bromhexin (Irsad S, 2003).

2.6.4. Faktor risiko sindroma mata kering

Faktor risiko Sindroma Mata Kering dibagi dua, yaitu : milleu interieur dan milleu esterieur. Milleu interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar (Sullivan dkk., 2004). Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar. Kelembaban lingkungan yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan cepatnya evaporasi. Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan mikroskop, dokter radiologi, atau pengguna komputer.

Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab Sindroma Mata Kering:

1. Usia

Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha dkk., 2000). Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino dkk. (2007) yang menemukan adanya penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang tua. Zhu dkk.. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat menurunkan transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel asinar merembes keluar dan

menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom. 2. Jenis kelamin

(36)

(Versura dkk., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg dkk., 2001).

3. Pengguna lensa kontak

Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley dkk., 2000). Tutt (2000) menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa kontak dengan alat aberometer.

4. Merokok

Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus dibandingkan yang tidak merokok (Reijula dkk., 2004). Moss dkk. (2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada perokok. 5. Ruangan ber-AC

SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang tinggi karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang kencang (Wolkoff dkk., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan yang ber-AC (Schaumberg dkk., 2003).

Hubungan penggunaan komputer dengan Computer Vision Syndrome dari segi posisi monitor komputer dan arah pandangan mata. Berbagai literatur berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip saat menggunakan komputer (Himebaugh dkk., 2009). Hal ini menyebabkan luasnya permukaan okular yang terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi. Selain itu, saat menatap komputer terutama sejajar ataupun dengan tatapan ke atas, permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar sehingga terjadi penguapan terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer sejajar dan ke atas dibandingkan saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat (Schaefer dkk., 2009).

(37)

memfokuskan kerja pada komputer (stuck at that point), sehingga frekuensi berkedip berkurang (Goldsborough, 2007). Kelelahan mata yang berlebihan akibat terus menatap komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Caffier dkk., 2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak sempurna. Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu ruptur tear film (Craig JP dkk., 2002).

(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka konsep

Konsep-konsep (variabel-variabel) yang akan diamati melalui penelitian ini adalah durasi kerja, posisi di depan monitor, sudut mata terhadapar monitor & pencahayaan sebagai independent variables (variabel - variabel bebas) dan kejadian computer vision syndrome sebagai dependent variable (variabel terikat). Sekaligus penelitian ini akan membuktikan pengaruh dari tiap-tiap variabel bebas terhadap variabel tingkat (kejadian computer vision syndrome).

3.2. Variabel dan Definisi operasional

1. Durasi kerja

Durasi kerja adalah dua jam waktu bekerja di depan monitor komputer. Cara pengukuran dilakukan dengan pengamatan pada jam dinding tempat ruang kerja (Suharyati FX, 2002).

2. Reference material

Reference time adalah materi yang dilihat pada saat mata tidak menatap monitor komputer. Contoh bisa berupa pemandangan di luar jendela, gelas di atas meja dll (Suharyanto FX, 2002).

Durasi kerja Pencahayaan / Nilai

it

Computer vision syndrome

Reference

Posisi di depan monitor

(39)

3. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan nilai opasitas komputer. Pencahayaan dinilai dari nilai opasitas di pengaturan komputer yang digunakan oleh pengoperasi komputer (Suharyanto FX, 2002).

4. Posisi di depan monitor

Posisi di depan monitor adalah jarak kursi terhadap layar monitor. Cara pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran (Suharyanto FX, 2002). 5. Posisi mata ke reference

Posisi dari mata ke reference adalah jarak dari mata ke pandangan lain selain monitor komputer. Cara pengukuran dengan menggunakan meteran (Suharyanto FX, 2002).

Kategori-kategori umur pada penelitian ini adalah : (Depkes RI, 2009) a. Remaja akhir : 20-25 tahun

b. Dewasa awal : 26-35 tahun c. Dewasa akhir : 36-45 tahun d. Lansia awal :4 6-50 tahun

Cara ukur pada penelitian ini adalah dengan metode kuesioner terbimbing, dimana setiap sampel akan dibimbing dalam mengisi kuesioner untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengisian. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat lama penggunaan komputer terhadap gejala - gejala

Computer Vision Syndrome adalah kuesioner. Pertanyaan yang diajukan sebanyak 19 pertanyaan tertutup dengan pilihan jawaban, dimana setiap jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban yang salah diberi skor 0.

Menurut Arikunto (2007), hasil pengukuran dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

a. Lama penggunaan baik apabila jawaban respon yang benar lebih dari 75% dari nilai tertinggi.

e. Lama penggunaan sedang apabila jawaban responden yang benar antara 40% sampai 75% dari nilai tertinggi.

(40)

Dengan demikian, penilaian terhadap lama penggunaan responden berdasarkan sistem skoring adalah :

(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross sectional, dimana data yang menyangkut variabel bebas atau risiko dan variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Dalam penelitian ini digunakan studi cross sectional untuk menilai tingkat gejala Computer Vision Syndrome

yang dirasakan oleh karyawan-karyawan pengoperasi komputer di perusahaan Wilmar Group.

4.2 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di Wilmar Group, berlokasi di jalan Putri Hijau No.10, B&G Tower, Medan, kode pos 20111. Penelitian ini dilakukan setiap hari pukul 09.00-12.00 WIB, sejak bulan Juli 2012 s.d. Agustus 2012.

4.3 Populasi dan sampel

1. Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pekerja berusia 20-40 tahun di Wilmar Group tahun 2012.

2. Sampel: dipilih sejumlah pekerja pengoperasi komputer sesuai dengan perkiraan besar sampel. Cara pemilihan sampel menggunakan teknik

consecutive sampling.

3. Estimasi besar sampel menggunakan rumus simple random sampling dan memerlukan tiga informasi untuk proporsi populasi tersebut, yaitu : Sastroasmoro, 2008)

Rumus : n = (Zα)² PQ

Keterangan:

(42)

P = proporsi

Q = 1-P

d = tingkat ketetapan absolut

Tingkat kepercayaan pada penelitian ini dikehendaki sebesar 95% sehingga untuk Zα = 1,96. Bila proporsi sebelumnya tidak diketahui, maka pada subyek yang dipilih secara simple random sampling dipergunakan P = 0,50, maka nilai Q = 0,5. Untuk ketetapan absolute yang diinginkan adalah 0,10 (10%).

P = 0,50; zα = 1,96; d = 0,10 n = 1,96² . 0,50 . (1-0,50)

a. Bersedia mengikuti penelitian

= 97 0,10²

Dengan demikian besar sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah 97 orang. Sampel penelitian diambil dari populasi target yang memenuhi kriteria inklusi maupun kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi:

b. Tidak memakai kacamata atau lensa kontak c. Usia 20-50 tahun

d. Bekerja dengan mengoperasikan komputer, minimal dua jam sehari secara terus-menerus

e. Tidak memiliki kelainan mata Kriteria eksklusi:

a. Tidak mengisi kuesioner dengan lengkap

4.4. Teknik pengumpulan data dan prosedur pengambilan sampel

4.4.1. Teknik pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang diperoleh pada hasil kuesioner terbimbing. Data sekunder adalah data-data gambaran distribusi umur staf-staf pengoperasi komputer di Wilmar Group.

(43)

Setelah menyetujui informed consent, unsur-unsur kriteria eksklusi akan ditanyakan kepada subjek. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi, akan dijelaskan mengenai prosedur eksperimen dan tata cara pengambilan sampel pada penelitian tersebut.

4.4.2. Prosedur pengambilan sampel

Adapun prosedur pengambilan sampel pada penelitian ini adalah :

1. Sepuluh subjek dipantau terlebih dahulu selama 2 jam.

2. Setelah 2 jam dilakukan pengambilan sampel dengan mengisi kuesioner terbimbing.

3. Selanjutnya dilakukan pengukuran dimulai dari jarak dan posisi level mata terhadap layar monitor, jarak mata terhadap keyboard, jarak dan posisi level mata terhadap ke arah luar jendela.

4. Hasil yang didapatkan dicatat. 4.4.3. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Dari uji validitas dengan program Statistic Package for Social Service (SPSS), yang telah dilakukan terhadap kuesiioner, diperoleh 19

pertanyaan yang valid dengan pertanyaan 6 (r=0,289), pertanyaan 7 (r=0,295), pertanyaan 10 (r=0,453), pertanyaan 11 (r=0,456), pertanyaan 12 (r=0,387), pertanyaan 13 (r=0,391), pertanyaan 14 (r=0,242), pertanyaan 15 (r=0,344), pertanyaan 17 (r=0,413), pertanyaan 19 (r=0,410), pertanyaan 20 (r=0,344), pertanyaan 21 (r=0,505), pertanyaan 22 (r=0,441), pertanyaan 23 (r=0,359), pertanyaan 24 (r=0,479), pertanyaan 25 (r=0,411), pertanyaan 26 (r=0,350), pertanyaan 27 (r=0,428), pertanyaan 28 (r=0,284).

4.4.4. Uji Realibilitas

(44)

gejala yang valid adalah reliabilitas dengan alpha=0,728. Hasil validitas dan realibilitas dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 4.1. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner

Variabel Nomor pertanyaan

Total

Pearson

Status Alpha Status

Gambaran 1 0,026 Invalid 0,728

2 0,246 Invalid

3 0,256 Invalid

4 0,178 Invalid

5 0,275 Invalid

6 0,289 Valid Reliabilitas

7 0,295 Valid Reliabilitas

8 0,024 Invalid

9 0,255 Invalid

10 0,453 Valid Reliabilitas

11 0,456 Valid Reliabilitas

12 0,387 Valid Reliabilitas

13 0,391 Valid Reliabilitas

14 0,242 Valid Reliabilitas

15 0,344 Valid Reliabilitas

(45)

17 0,413 Valid Reliabilitas

18 0,174 Invalid

19 0,410 Valid Reliabilitas

20 0,344 Valid Reliabilitas

21 0,505 Valid Reliabilitas

22 0,441 Valid Reliabilitas

23 0,359 Valid Reliabilitas

24 0,479 Valid Reliabilitas

25 0,411 Valid Reliabilitas

26 0,350 Valid Reliabilitas

27 0,428 Valid Reliabilitas

28 0,284 Valid Reliabilitas

29 0,166 Invalid

30 1 Invalid

Uji validitas dan realibilitas ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 17. Jumlah sampel dalam uji validitas dan realibilitas ada sebanyak 50 orang.

4.5. Instrumen penelitian

Alat-alat yang akan digunakan dalam pengumpulan data berupa kuesioner (daftar pertanyaan), meteran untuk mengukur jarak posisi kursi terhadap layar monitor komputer dan jam.

4.6. Metode pengelolaan dan analisis data

(46)
(47)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di perusahaan swasta Wilmar Group. yang terletak di Kota Medan. Penelitian ini dilakukan saat jam kerja yaitu pukul 09.00-12.00 WIB setiap hari.

5.1.2Deskripsi Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 97 orang yang berasal dari karyawan yang bekerja di perusahaan swasta Wilmar Group dan memenuhi kriteria sebagai berikut : Seluruh karyawan yang bekerja di perusahaan swasta Wilmar Group yang berusia 20-50 tahun bersedia mengikuti penelitian, mengisi kuesioner dengan lengkap, tidak memakai kacamata atau lensa kontak, bekerja di depan komputer minimal dua jam sehari secara terus-menerus, dan tidak memiliki kelainan mata. Distribusi responden menurut umur dan jenis kelamin.

Dari hasil analisis tabel 5.1 didapatkan bahwa jumlah responden yang paling banyak berusia 20-25 tahun yaitu 46 orang (47.4%), yang berusia 26-35 tahun yaitu 43 orang (44.3%), yang berusia 36-45 tahun yaitu 6 orang (6.2%), yang berusia diatas 46-50 tahun yaitu 2 orang (2.1%).

Dari hasil analisis tabel 5.1 didapatkan bahwa responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 34 orang (34%), sedangkan responden yang berusia jenis kelamin perempuan 63 orang(63%).

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Umur dan Jenis Kelamin.

Variable N %

Umur dikelompokkan

20-25 46 47.4

26-35 43 44.3

(48)

46-50 2 2.1

Total 97 100.0

Jenis Kelamin

Laki-laki 34 34

Perempuan 63 63

Total 97 100.0

5.1.3 Deskripsi Jawaban Responden terhadap Pertanyaan Tingkat Gejala Jumlah pertanyaan ada 19 dimana pertanyaan diajukan untuk mengukur tingkat gejala Computer Vision Syndrome (CVS) yang timbul. Pertanyaan-pertanyaan untuk tingkat-tingkat gejala meliputi apakah pernah mengalami sakit kepala dan apakah pernah diobati, apakah pernah memiliki pandangan kabur dan apakah pernah diobati, apakah pernah mengalami kesensitifan terhadap cahaya dan pernah mengobatinya, apakah pernah mengalami mata berair, nyeri leher dan bahu, penglihatan ganda, apakah jarak mata terhadap layar monitor kurang dari 25cm, jarak mata terhadap keyboard kurang dari 20cm, apakah jarak mata terhadap arah luar jendela kurang dari 3meter, apakah layar komputer berada 10cm dibawah level mata ataupun 10cm diatas level mata.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pertanyaan Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome (CVS)

Jawaban Responden

Benar (ada) Salah (tidak ada)

No Pertanyaan Tingkat Gejala N % N %

1 Ada mengalami sakit kepala 82 84.5 15 15.5 2 Ada mengobati sakit kepala

tersebut

49 50.5 48 49.5

3 Ada mengalami pandangan kabur 68 70.1 29 29.9 4 Ada mengobati pandangan kabur

tersebut

33 34 64 66

(49)

terhadap cahaya

6 Ada mengobati kesensitifan terhadap cahaya tersebut

20 20.6 77 79.4

7 Ada mengalami mata berair 55 56.7 42 43.3 8 Ada mengobati mata berair tersebut 18 18.6 79 81.4 9 Ada mengobati rasa gatal, panas

dan merah di mata yang dialami

37 38.1 60 61.9

10 Ada mengobati nyeri punggung yang dialami

27 27.8 70 72.2

11 Ada mengalami nyeri leher dan bahu

85 87.6 12 12.4

12 Ada mengobati nyeri leher tersebut 28 28.9 69 71.1 13 Ada mengalami penglihatan ganda 24 24.7 73 75.3 14 Ada mengobati penglihatan ganda

tersebut

12 12.4 85 87.6

15 Apakah jarak mata terhadap layar monitor Anda kurang dari 25 cm

28 28.9 69 71.1

16 Apakah jarak mata terhadap keyboard kurang dari 20cm

23 23.7 74 76.3

17 Apakah jarak mata ke arah luar jendela kurang dari 3 meter

25 25.8 72 74.2

18 Apakah layar komputer berada 10cm dibawah level mata

30 30.9 67 69.1

19 Apakah layar komputer berada 10cm diatas level mata

32 33 65 67

(50)

5.1.4 Hasil Analisis Statistik 5.1.4.1 Hasil Analisis Univariat

Distribusi responden berdasarkan hasil ukur tingkat-tingkat gejala akan diterangkan pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Hasil Ukur Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome (CVS)

Hasil ukuran tingkat gambaran gejala

N %

Tingkat gejala berat 6 6.2

Tingkat gejala sedang 35 36.1

Tingkat gejala ringan 56 57.7

Total 97 100.0

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 5.3, diperoleh hasil bahwa yang mengalami tingkat gejala berat ada 6 responden (6.2%), yang mengalami gambaran gejala sedang ada 35 responden (36.1%), yang mengalami tingkat gejala ringan ada 56 responden (57.7%). Hal ini berarti menunjukan bahwa tingkat tingkat gejala Computer Vision Syndrome yang dialami di perusahaan swasta Wilmar Group adalah gambaran gejala ringan.

5.1.4.2 Hasil Analisis Bivariat

Tabel 5.4 Distribusi Tabulasi Silang Umur Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome di perusahaan swasta Wilmar Group, 2012

Tingkat Gambaran Gejala Total

Umur Gejala berat Gejala sedang Gejala ringan

N % N % N % N %

20-25 3 6.5 18 39.1 25 54.3 46 100

26-35 3 7 14 32.6 26 60.5 43 100

36-45 0 0 2 33.3 4 66.7 6 100

(51)

Dari tabel 5.4 diperoleh bahwa dari semua karyawan yang berumur 20-25 tahun yang mengalami tingkat gejala berat ada sebanyak 3 karyawan (6.5%), yang mengalami tingkat gejala sedang ada 18 karyawan (39.1%), dan yang mengalami tingkat gejala ringan ada 25 karyawan (54.3%). Untuk karyawan yang berumur 26-35 tahun yang mengalami tingkat gejala berat ada sebanyak 3 karyawan (7%), yang mengalami tingkat gejala sedang ada 14 karyawan (32.6%), dan yang mengalami tingkat gejala ringan ada 26 karyawan (60.5%). Untuk karyawan yang berumur 36-45 tahun yang mengalami tingkat gejala sedang ada 2 karyawan (33.3%), dan yang mengalami tingkat gejala ringan ada 4 karyawan (66.7%). Untuk karyawan yang berumur 46-50 tahun yang mengalami tingkat gejala sedang ada 1 karyawan (50%), dan yang mengalami tingkat gejala ringan ada 1 karyawan (50%).

Tabel 5.5 Distribusi Tabulasi Silang Jenis Kelamin Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome di perusahaan swasta Wilmar Group, 2012

Tingkat Gambaran Gejala

Jenis kelamin

Gejala berat Gejala sedang Gejala ringan Total

N % N % N % N %

Laki-laki 2 5.9 8 23.5 24 70.6 34 100

Perempuan 4 6.3 27 42.9 32 50.8 63 100

(52)

5.2 Pembahasan

Komputer merupakan salah satu penemuan yang popular di abad ke-21 ini. Penggunaan komputer sudah sangat universal dan digunakan baik di tempat kerja ataupun di sekolah. Bekerja sepanjang waktu dengan melihat monitor komputer, menimbulkan gejala-gejala okular dan gangguan fisik (Bhlem C, Vishnu S dkk., 2005). World Health Organization (WHO) melaporkan gejala-gejala yang dapat terjadi pada mata adalah astenopia (75%-90%), yang meliputi mata kering, sakit kepala, kabur melihat secara periodik, kadang-kadang kabur melihat jauh, mata merah, rasa panas, silau, pemakaian lensa kontak yang tidak nyaman, perubahan persepsi warna, nyeri leher dan bahu. Istilah sindroma yang digunakan akibat penggunaan komputer dikenal dengan Computer Vision Syndrome (CVS) (Crystal D, 2002).

Dari hasil penelitian yang telah disajikan pada lembar sebelumnya, ternyata pada karyawan-karyawan yang menggunakan komputer selama dua jam terus-menerus dalam sehari, diperoleh bahwa 6.2% karyawan memiliki tingkat gejala berat, 36.1% memiliki tingkat gejala sedang, dan 57.7% memiliki tingkat gejala rendah. Hal ini menunjukkan tingkat gejala-gejala terhadap Computer Vision Syndrome, masih kurang dikenali sebagai Computer Vision Syndrome dan dari

hasil penelitian ini didapati rata-rata karyawan sudah bergejala ringan.

Hasil penelitian mendapatkan bahwa gejala-gejala yang didapatkan berat berupa mengalami nyeri leher (87.6%) dan pundak serta sakit kepala (84.5%). Untuk tingkat gejala sedang, didapatkan berupa mengalami pandangan kabur (70.1%), kesensitifan terhadap cahaya (57.7%) serta mata berair (56.7%). Dan untuk tingkat gejala ringan didapatkan berupa mata terasa gatal, panas, dan merah (38.1%).

Peneliti mendapati dari hasil penelitian ini bahwa tidak terlalu banyak karyawan yang memiliki gejala Computer Vision Syndrome melakukan pemeriksaan kesehatan mata dan melakukan pengobatan serta pencegahan. Menurut AOA (2007), gejala-gejala yang dapat dijumpai pada Computer Vision Syndrome adalah sakit kepala, penglihatan kabur, mata kering dan sakit pada leher

(53)

Pada hasil penelitian ini, didapati jarak mata terhadap monitor komputer kurang dari 25cm sebayak 28 responden (28.9%), dimana jarak yang baik utntuk melihat computer adalah 20-28 inci dari komputer (AOA, 2007). Sedangkan untuk jarak layar komputer yang terbentuk dari level mata yang baik adalah 15°-20° atau 5-6 inci dibawah level mata (AOA, 2007). Dari hasil penelitian didapati 30 responden (30.9%) memliki layar komputer berada 10cm dibawah level mata dan 32 responden (33%) memiliki layar komputer berada 10cm diatas level mata. Menurut AOA (2007), dikatakan bahwa diperlukan adanya materi-materi reference, pada penelitian didapatkan 25 responden (28.5%) memiliki materi-materi reference dalam jarak kurang dari 3meter.

5.2.1 Kelompok Umur Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome

Dari tabel 5.4 diperoleh bahwa dari seluruh karyawan yang memiliki gejala berat adalah yang berusia 20-25 tahun sebanyak 3 karyawan (6.5%), yang memiliki gejala sedang adalah yang berusia 20-25 tahun sebanyak 18 karyawan (39.1%), dan yang memiliki gejala ringan adalah yang berusia 26-35 tahun sebanyak 26 karyawan (60.5%). Hal ini menunjukkan mayoritas karyawan di perusahaan Wilmar Group yang mengalami gejala-gejala Computer Vision Syndrome adalah golongan umur 20-25 tahun sebanyak 46 orang dengan tingkat

gejala ringan (54.3%).

5.2.2 Kelompok Jenis Kelamin Karyawan terhadap Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome

(54)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan pada penelitian ini adalah :

1. Tingkat gejala Computer Vision Syndrome karyawan Wilmar Group berdasarkan hasil penelitian ini adalah gejala ringan dengan gejala yang dirasakan mata terasa gatal, panas, dan merah. Dengan populasi responden laki-laki terbanyak, dimana kelompok usia kelompok usia 26-35 tahun paling banyak ditemukan.

2. Faktor risiko terjadinya Computer Vision Syndrome (CVS) yang didapatkan dari hasil penelitian ini adalah posisi layar komputer yang berada 10cm diatas level mata.

3. Dari hasil penelitian didapatkan juga bahwa rata-rata lebih dari setengah populasi karyawan Wilmar Group pernah mengobati sakit kepala yang dialami.

6.2. SARAN

1. Diperlukan penjelasan dan penyuluhan oleh dokter atau tenaga kesehatan ke perusahaan-perusahaan mengenai Computer Vision Syndrome beserta gejala-gejalanya, dan pemeriksaan rutin bagi karyawan-karyawan yang bekerja terus-menerus dengan menggunakan computer. Bagi perusahaan-perusahaan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menetapkan maksimal jam kerja dan waktu istirahat untuk meningkatkan kualitas perlindungan kepada tenaga kerja.

2. Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dalam menggambarkan tingkat gejala Computer Vision Syndrome. Untuk mendapatkan analisis yang lebih mendalam mengenali tingkat gejala Computer Vision Syndrome maka dapat dilakukan penelitian yang lebih

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Abrams D. The Clinical Importance of Refraction in Duke - Elder's Practice of Refraction, Tenth Edition, Edinburg, Churchill Livingstone, 1993; 3-8.

American Academy of Ophtalmology, Fundamental and Principles of Ophtalmology, Section 2, Basic and Clinical Science Course, 1991-1992; 149-152.

American Academy of Opthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal Systems, section 7, basic and Clinical Course, 1997-1998; 199-205.

American Ophtometric Association (AOA), 2007. Optometric Clinical Practice Guideline: Care of the Patient with ocular surface disorders. (1): 21-8.

Arikunto, Suharsimi, 2007. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Asyari, F. Mata kering, aste nopia ancam pengguna komputer, Republika, 10 November; 2002.

Barabino, S. & Dana, M.R., 2007. Dry Eye Syndromes. Chem. Immunol. Allergy, 92: 176-184.

Begley, C.G., Chalmers, R.L. & Abetz, L., 2003. The Relationship between Habitual Patient-Reported Symptoms and Clinical Signs among Patients with Dry Eye of Varying Severity. Invest Ophthalmol. Vis. Sci.. 44:4753-61.

Biljana, M., Reza, D. & David, A., 2007. Impact of Dry Eye Syndrome on Vision-Related Quality of Life. An. J. Ophthalmology, 143 (3): 409-15.

(56)

Blissmer, R.H. Computer Annual, An Introduction to Information Systems 2nd Edition. New York: John Wiley & Sons. 1985.

Buchari., 2007. Penyakit akibat kerja dan penyakti terkait kerja. Medan : Fakultas Kedokteran Universita Sumatera Utara. Usu Repository© 2007.

Chu, C., Rosenfield, M., Portello, J.K. & Collier, J.D., 2011. A Comparison of Symptoms After Viewing Text on A Computer Screen and Hardcopy. Ophthalmic. Physiology Opt., 31(1): 29-32.

Crystal D. Dry Eyes in Dry Eye treatment, Edinburg, 2002.; 1-3.

Caffier, P.P., Erdmann, U., & Ulspeger, P. Experimental Evaluation of Eye-Blink Parameters as a Drowsiness Measure. Bur. J. App,. Physiol., 89, 319-325.

Chacko B, Lemp MA. Diagnosis and Treatment of Tear Deficiencies in Duane's Clinical Ophtalmology, Volume 4, Chapter 14, Lippincott-Raven Publishers,

Philadelphia, 1997; 1-13

Chaironika, N., 2011. Insidensi dan Derajat Dry Eye pada Menopause di RSU. H.

Adam Malik Medan. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22950/6.

Craig JP, Tomlinson A, Patterson NS, Reid VEH, McFadyen AK. Tear production measurement, basal or reflex assessment? In: Lacrimal Gland, Tear Film, and Dry Eye Syndrome 3: Basic Science and clinical Relevance, Pts a & B, 506 (pp.

1159-1163). New York: Kluwer Academic/Plenum Publ.

(57)

Doughty, M.J., 2001. Consideration of Three Types of Spontaneous Eyeblink Activity in Normal Humans: During Reading and Video Display Terminal Use in Primary Gaze and While in Conservation. Optometry and Vision Science, 78: 712-725.

Fauzia, I., 2004. Upaya Untuk Mengurangi Kelelahan Mata pada Tenaga Kerja yang Menggunakan Komputer di Rumah Sakit “X”. Jakarta: Universitas Indonesia.

Available from: http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=79629.

Ganggama, M.P., Poonsm, Rajagopala, M. A Clinical Study on Computer Vision Syndrome and Its Management with Triphala Eye Drops and Saptamrita Lauha

2010; 31 (2): 236-9.

Garcia, G.M.J., Saiz, G.A., Fuente, D.B., Grasa, M.G., Iscar, M.A., Jose, S.J., et al., 2007. Exposure to a Controlled Adverse Environment Impairs The Ocular Surface of Subjects with Minimally Symptomatic Dry Eye. Invest Ophthalmol. Vis. Sci., 48 (9): 4026-4032.

Gartner, 2002. Gartner Dataquest Says Worldwide PC Market Experienced Flat Growth in First Quarter 2002. Available from: http://www.gartner.com/5_about/press_releases/2002_04/pr20020419a.jsp.

Guyton J. 2009. Etiology, Prevalence, and Treatment of Dry Eye Disease. Clin Opthamol., 3: 405-412.

(58)

Gondhowiarjo TD, Qualities Deterioration of Lipid and Mucous Fractions of The Tear Film in Understanding Ocular Infection and Inflammation, Continuing

Medical Education, FKUI-RSCM 1999; 59-68.

Gondhowiarjo TD, Medical and Surgical Management of Ocular Surface Disorder n Understanding Ocular Infection and Inflammation, Continuing Medical

Education, FKUI-RSCM; 1999; 84-90

Harahap H. Hubungan Produksi Air Mata dengan Usia Pada uji Schirmer Terhadap Usia Subur dan Menopause, Tesis; FK-USU, 1999

Harahap, J., Fujiati, I.I., Amelia, R., Wahyuni, A.R., 2010. Panduan Penulisan Proposal Penelitian dan Laporan Hasil Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Medan:

FK-USU.

Humaidi S. 2005. Dampak Radiasi Monitor Komputer. Medan : Universitas sumatera Utara.

Himebaugh, N.L., Begley, C.G., Bradley, A. & Wilkinson, J.A., 2009. Blinking and Tear Break-Up During Four Visual Tasks. Opthom. Vis. Science, 86: 106-114.

Hosein, H. & Saleh, B., 2007. Penggunaan Komputer dan Internet di Indonesia. Jurnal PEKOMMAS, 12 (1): 15-29.

International Labour Organization (ILO), 1991. Work-related Diseases and

Occupational Diseases. Available from :

Izquierdo, N.J. & Roy, H., 2010. Computer Vision Syndrome. Puerto Rico:

Medscape. Available from:

(59)

Irsad S. Uji Schimer I sebelum dan sesudah 2 jam menggunakan komputer, 2003. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Jamalilah, R. & Fathilah, J., 2002. Prevalence of Dry Eye in University Malaya Medical Centre. Med J. Malaysia, 57: 390-7.

Kanitkar, K., Carlson, A.N. & Yee, R., 2005. Ocular Problems Associated with Computer Use. Texas: Review of Ophthalmology. Available from:

http://www.revophth.com/content/d/features/i/1317/c/25354/.

Lee, A.J., Lee, J., Saw, S.M., Gazzard, G., Koh, D., Widjaja, D., et al., 2002. Prevalence and Risk Factors Associated with Dry Eye Symptoms: A Population Based Study in Indonesia. Br. J. Ophthalmol, 86: 1347-1351.

Milder B. The Lacrimal Apparatus, Adler’s Physiology of The Eye Clinical Application, 8th edition, Toronto, 1987; 15-35.

Muchtar, Z., Haryuna, T.S.H., Effendy, E., Rambe, A.Y.M., Betty, Zahara, D., 2011. Desain Penelitian Klinis dan Statistika Kedokteran. Medan: FK-USU.

Moss, S.E., Klein, R. & Klein, B.E., 2000. Prevalence of and Risk Factors For Dry Eye Syndrome. Arch. Ophthalmol., 118:1264-8.

Nakayama K, Weinberg NM, Lindsley DB. Electrocortical responses during classical conditioning. Electroenceph. Clin. Neurophysiol. 24:16-24, 1968.

Notoatmodjo, S., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Gambar

Gambaran  1
Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pertanyaan Tingkat Gejala Computer Vision Syndrome (CVS)
Tabel 5.5 Distribusi Tabulasi Silang Jenis Kelamin Karyawan terhadap
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui hubungan lama mengetik dan masa mengetik dengan resiko terjadinya Carpal Tunnel Syndrome pada pekerja rental komputer. Untuk mengetahui karateristik pekerja

Judul Penelitian : Pengaruh Lama Terpapar Dan Jarak Monitor Komputer Terhadap Gejala Computer Vision Syndrome Pada Pegawai Negeri Sipil Di Kantor Pemerintah Kota

Computer vision syndrome (CVS) adalah gejala-gejala kelainan pada mata yang terjadi di.. antara para pengguna

Hal ini dapat meningkatkan insidensi CVS ( Computer Vision Syndrome ) sehingga menjadi per- hatian khusus bagi peneliti, oleh karena itu peneliti tertarik untuk

Kumpulan gejala mata dan penglihatan yang dialami selama bekerja dengan monitor komputer/Visual Display Terminal (VDT) dalam jangka waktu lama dinamakan Computer

Untuk faktor risiko kacamata, posisi monitor, jarak antara mata dengan pusat monitor tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya Computer Vision Syndrome

Menurut studi lainnya penggunaan komputer lebih dari tiga jam dalam sehari dapat menyebabkan munculnya gejala Computer Vision Syndrome, sakit punggung, dan juga

Ekaputra Prada Indonesia dapat disimpulkan sebagai berikut : Terdapat hubungan masa kerja dan lama penggunaan komputer terhadap keluhan Computer Vision Syndrome pada pekerja pengguna