• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata

Sindroma mata kering akibat penggunaan komputer memang bukan suatu masalah yang serius karena mata dapat beradaptasi yang kembali normal sebagaimana mestinya. Akan tetapi, dialaminya SMK yang sering dan repetitif dapat berdampak buruk pada ketajaman penglihatan dan kesehatan permukaan okuler (Kaido et al., 2007 dan Koh et al., 2008).

Penelitian Filipina menunjukkan korelasi 0,256 antara lama penggunaan komputer dengan timbulnya keluhan SMK (p=0,003). Fenga et al. (2008) menunjukkan angka korelasi 0,358.

Berikut ini disajikan bagan patofisiologi timbulnya mata kering akibat penggunaan komputer:

Penggunaan Komputer

Mata dipaksa fokus Mata lelah

Frekuensi berkedip ↓ Kelopak mata lelah berkedip

Hipofungsi lakrimal Evaporasi air mata ↑

Sementara Akuous ↓, Musin ↓, Lipid ↓

Akous ↓ PTF tidak stabil

Hiperosmolaritas Break up time ↑

Pemecahan TF

MAP, NFKb distribusi

irregular

IL-1, TNF-α, MMP-9 Ruptur PTF ↑

Kompensasi berkedip Ruptur semakin luas

Friksi permukaan okular ↑ Evaporasi semakin ↑

Kompensasi gagal

Frekuensi berkedip ↓↓

Dialami berulang-ulang Permukaan okular rusak

Gambar 2.5. Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer

Berbagai literatur berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip saat menggunakan komputer (Ziemssen et al., 2005; Anshel, 2007; Himebaugh et al., 2009). Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas permukaan okular terpapar, lebar palpebra terparar, dan besar penguapan sesuai kegiatan akan disajikan sebagai berikut:

Tabel 2.1. Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan Okular, Lebar Palpebra, dan Besar Penguapan Air Mata pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan Menggunakan Komputer

Kegiatan Frekuensi berkedip

(kali/menit)

Interval antara dua kedipan (detik)

Luas permukaan

okular (cm2) Lebar palpebra (mm)

Besar penguapan air

mata (x 10-7 g/s per cm2) Istirahat 22 ± 9 (Tsubota et al., 1993) 16 ± 4 (AOA, 2007) 2,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993) 4,1 ± 1,4 (Goto et al., 2003) Berbicara 16,8 (Schlote et al., 2004) 21,5 ± 10 (Doughty, 2001) 11,62 (Schaefer et al., 2009) 4,9 ± 1.49 (Schaefer et al., 2009) Membaca 10 ± 6 (Tsubota et al., 1993) 7,5 ± 6,1 1,2 ± 0,4 (Tsubota et al., 1993) Menggunakan komputer 7 ± 7 (Tsubota et al., 1993) 6,6 ± 4,8 (Schlote et al., 2004) 5,75 (Schaefer et al., 2009) 10.42 ± 7,78 (Schaefer et al., 2009) 2,3 ± 0,5 (Tsubota et al., 1993) a. Bawah 1,2 ± 0,27 (Tsubota et al., 1995) 5,7 ± 0,98 (Tsubota et al., 1995) 5,6 ± 1,8 (Tsubota et al., 1995) b. Sejajar 2,2 ± 0,39 (Tsubota et al., 1995) 9,4 ± 0,14 (Tsubota et al., 1995) 7,8 ± 2,2 (Tsubota et al., 1995) c. Atas 3,0 ± 0,33 (Tsubota et al., 1995) 12,1 ± 1,2 (Tsubota et al., 1995) 8,0 ± 1,7 (Tsubota et al., 1995)

Kumpulan data di atas menunjukkan pengurangan frekuensi berkedip dan memanjangnya interval antara dua kedipan saat menggunakan komputer. Hal ini menyebabkan luasnya permukaan okular yang terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi (Doughty, 2001; Goto et al., 2003; Abelson et al., 2005; Himebaugh et al., 2009; Schaefer et al., 2009). Selain itu, saat menatap komputer, terutama sejajar ataupun dengan tatapan ke atas, permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar sehingga terjadi penguapan terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer sejajar dan ke atas dibandingkan saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat (Schaefer et al., 2009). Walaupun pada data hanya dijumpai sedikit peningkatan evaporasi pada penderita mata kering, hal ini sudah dapat menggangu kestabilan dinamika air mata dan gangguan pada permukaan okular (Nakaishi et al., 1999; Goto et al., 2003).

Fokus bekerja pada sesuatu ditemukan berkaitan dengan frekuensi berkedip. Bahkan, banyak penelitian yang menjadikan frekuensi berkedip sebagai indikator terhadap kelelahan dan keberatan mental terhadap pekerjaan (Scerbo et al., 2001). Pengurangan frekuensi berkedip ini belum jelas mekanismenya. Para peneliti berpendapat bahwa hal ini ada kaitannya dengan pacemaker sistem saraf pusat yang diaktifkan karena pemusatan perhatian dan pandangan (Acosta et al., 1999; Doughty, 2001).

Akan tetapi, kaitan ini menjadi sangat unik sebab indikator peningkatan dan penurunan frekuensi berkedip tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan (Affandi, 2005). Misal, frekuensi berkedip terus meningkat seiring pemfokusan yang lebih berat saat menyetir (Andreassi, 2006). Akan tetapi, kebanyakan frekuensi berkedip menurun seiring dengan memberatnya beban mental (Hankins et al., 1998; Lipp, et al., 2000; Orden et al., 2001; Wilson et al., 2002; Ebite et al., 2009). Seperti halnya saat penjahat sebenarnya mengisi kuesioner mengenai kejahatan yang ia lakukan, akan lebih berat beban pikiran dan terjadi pengurangan kedipan mata (Leal et al., 2010).

Saat menggunakan komputer, mata dipaksa untuk memfokuskan kerja pada komputer, stuck at that point, sehingga frekuensi berkedip berkurang (Goldsborough, 2007). Kelelahan mata yang berlebihan akibat terus menatap

komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Kaneko et al., 2001; Caffier et al., 2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak sempurna. Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu ruptur TF (Tomlinson et al., 2002).

Di sisi lain, terdapat teori yang menyatakan, di mana saat fokus bekerja terhadap sesuatu, sistem saraf simpatis akan diaktifkan dan terjadi induksi sekresi dopamin. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan kedipan mata berkurang. Dopamin adalah neurotransmitter yang berhubungan dengan induksi fisiologi mengedip spontan (Taylor, 2002). Selain itu, terdapat cahaya terang akan mensupresi produksi hormon melatonin. Melatonin seharusnya berfungsi sebagai inhibitor sekresi dopamin pada sistem limbik (Sandyk et al., 1990; Nakayama et al., 1998). Walaupun demikian, sampai sekarang tetap dibuktikan penurunan berkedip seiring meningkatnya intensitas dan beban mental saat menggunakan komputer.

Frekuensi mengedip yang berkurang menyebabkan berkurangnya juga input sensori ke kelenjar lakrimal sehingga terjadi gangguan pada kelenjar lakrimal akibat lama tidak digunakan. Keadaan ini disebut disuse athropy (Nakamura et al., 2005). Tong et al. (2010) menunjukkan disfungsi kelenjar meibom pada pengguna komputer pada tahap lanjut.

Nakamura et al. (2010) melakukan percobaan dengan menggunakan hewan coba mencit. Manipulasi efek monitor komputer dilakukan dengan cara terus-menerus memberi kipasan angin pada mencit yang digantungkan pada ayunan. Penelitian ini menunjukkan adanya hipofungsi dari kelenjar lakrimal pada SMK akibat penggunaan komputer. Gambaran histopatologi kelenjar lakrimal dengan mikroskop elektron menunjukkan pengurangan jumlah sel asinar, pembesaran sel asinar akibat vesikel sekretori pada sitoplasma, dan berkurangnya jumlah retikulum endoplasma. Pengurangan sel asinar menyebabkan berkurangnya fungsinya untuk eksositosis vesikel sekretori air mata (Wu et al., 2006). Selain itu, pembesaran vesikel sekretori dan berkurangnya jumlah retikulum endoplasma menyebabkan hilangnya struktur kelenjar asinar yang

normal (Nguyen et al., 2004). Pada manusia yang menderita SMK, Obata et al. (1995) juga menemukan gambaran histopatologi yang sama.

Kesemua hal di atas menyebabkan gangguan pada TF. Reduksi dari salah satu lapisan saja dapat memperburuk dan menggangu stabilitas lapisan lain (Gayton, 2009). Hipofungsi lakrimal menyebabkan berkurangnya sekresi akuos penyusun TF. Hal ini menyebabkan peningkatan osmoralitas air mata akibat berkurangnya air yang menjadi 90% penyusunnya. Peningkatan osmoralitas air mata menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB. Kemudian kedua mediator ini akan merangsang dilepaskannya sitokin inflamasi IL-1, TNF-

α, dan MMP-9 (Li et al., 2004; Luo et al., 2005, Paiva et al., 2006). Sitokin inflamasi tersebut ditemukan juga dalam air mata dan kelenjar lakrimal (Jones et al., 1994; Nakamura et al., 2006). Sitokin-sitokin inflamasi ini akan menyebabkan apoptosis dari sel epitel, termasuk sel goblet (Argueso et al., 2002; Brignole et al., 2002). Berkurangnya sel goblet akan menyebakan defek pengeluaran musin sehingga TF akan terganggu. Sebagai kompensasi, sitokin-sitokin inflamasi ini juga akan menstimulasi nervus trigeminus untuk merangsang refleks pengeluaran air mata dan refleks berkedip (Qian et al., 2004). Begley et al. (2003) menyebutkan bahwa osmoralitas yang meningkat akan merangsang kemoreseptor untuk meneruskan sinyal refleks berkedip melalui nervus trigeminus. Namun, musin sudah berkurang dan TF telah tidak stabil, sehingga refleks berkedip justru akan menambah friksi gesekan antara kelopak mata dan permukaan okular dan akan memperparah inflamasi dan kerusakan. Penipisan ketiga lapisan TF juga akan semakin cepat (Patel et al., 2003). Bila mata kering ini berlangsung terus- menerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif sehingga tidak ada lagi refleks kompensasi (Abelson et al., 2002). Tanpa dan dengan kompensasi, kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Benitez et al., 2007).

Di sisi lain, pengurangan frekuensi berkedip dan pemanjangan interval antara dua kedipan akan meningkat akan menyebabkan permukaan okular terpapar dengan udara luar meluas (Tsubota et al., 1993, 1995; Ziemssen et al., 2005; Abelson et al., 2002, Schaefer, 2009). Evaporasi akan meningkat sehingga kecepatan penipisan lapisan TF meningkat. Interval kedipan mata juga

memanjang melebihi BUT dan terjadi sebelum periode berkedip setelahnya (Schaefer et al., 2009). Dengan evaporasi meningkat dan waktu pembentukan TF yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF, TF akan pecah dan SMK mulai dialami (Wolkoff et al., 2005; Kimball et al., 2009). Evaporasi yang berlebihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan osmoralitas mata kering (Craig et al., 2000). Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah akibat evaporasi juga dapat mencetuskan ruptur TF (Wolkoff et al., 2005).

Pemecahan TF pada orang normal biasanya dimulai dari daerah inferior, sedangkan pada penderita mata kering biasanya pada bagian sentral dan superior akibat efek langsung dari evaporasi berlebihan (Himebaugh et al., 2009). Pemecahan TF juga terjadi secara irregular meninggalkan tepi TF tanpa dukungan TF bagian tengah. Ruptur PTF akan terjadi dalam waktu yang singkat dan menginduksi ruptur yang semakin luas lagi. Kerusakan pada permukaan okular juga akan timbul (Naranayan et al., 2006).

Musin yang berkurang akibat evaporasi berlebihan menyebabkan terbentuknya dry spot yang dapat menginduksi refleks pengeluaran air mata sebagai kompensasi (Gipson et al., 2004). Selain itu, penurunan suhu di permukaan kornea akibat evaporasi juga merangsang saraf termosensitif dan menginduksi kompensasi refleks berkedip (Hirata et al., 2010). Kompensasi refleks berkedip disertai pengeluaran air mata akan mengatasi keadaan mata kering. Akan tetapi, bila hal ini dialami terus-menerus setiap hari, air mata tidak lagi seadekuat kompensasi awal. Refleks berkedip bahkan akan menyebabkan peningkatan kerusakan mekanik akibat gesekan berlebihan kelopak mata pada permukaan okuler (Yokoi et al., 2008; Ward et al., 2010) sebab adanya evaporasi berlebihan dan hipofungsi lakrimal. Jadi, refleks berkedip malah akan melengkapi lingkaran setan dari serangkaian perjalanan SMK.

Dokumen terkait