• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP HIV/AIDS PADA MURID SMA ISLAM X JAKARTA TIMUR

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 49-56)

Fitri Arlinkasari Universitas YARSI

Abstrak

Penelitian ini mengukur hubungan antara pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan sikap terhadap HIV/AIDS pada kelompok sampel murid SMA Islam X di wilayah Jakarta Timur. Penelitian ini menjadi dasar untuk menetapkan baseline intervensi berupa promosi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang diberikan kepada murid SMA Islam X. Sampel penelitian terdiri atas 134 orang, 88 diantaranya adalah murid perempuan dan 47 murid laki-laki dengan rentang usia 15-17 tahun. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan kuesioner sikap dan pengetahuan, didapatkan hasil yang korelasi negatif antara pengetahuan dan sikap terhadap HIV/AIDS dengan rxy=-0.34 (p<0.05). Artinya, semakin tinggi pengetahuan mengenai HIV/AIDS yang dimiliki sampel, semakin negatif sikap mereka terhadap HIV/AIDS. Temuan ini cukup menarik karena kebanyakan hasil penelitian sebelumnya mengungkap hal sebaliknya dimana pengetahuan berkorelasi positif dengan sikap terhadap HIV/AIDS. Berdasarkan hasil survey dan wawancara kualitatif, perbedaan hasil dalam penelitian ini umumnya dipengaruhi oleh pandangan sampel terhadap HIV/AIDS yang mayoritas disebabkan oleh perilaku seksual beresiko. Perilaku seks sendiri bagi kebanyakan sampel masih dipandang sebagai satu hal yang tabu untuk dibahas dalam komunitas mereka, terutama komunitas islam. Implikasi dari penelitian ini adalah untuk menetapkan bentuk intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang HIV / AIDS dengan pendekatan yang dapat diterima oleh nilai-nilai Islam yang mereka anut.

Kata kunci: HIV/AIDS, sekolah Islam, pengetahuan dan sikap

Pendahulan

HIV/AIDS bukanlah hal baru di Indonesia, pertama kali diidentifikasi pada tahun 1987. Pada awalnya, pemerintah memandang bahwa kasus HIV/AIDS tidak akan berkembang di Indonesia karena Indonesia merupakan Negara Pancasilais dan sebagian besar penduduk menganut Islam. Para penderita HIV/AIDS pun mendapatkan perlakuan negatif dari masyarakat seperti dikucilkan, tidak mendapatkan asuransi dan dikeluarkan dari pekerjaan. Menyadari semakin maraknya kasus HIV/AIDS di Indonesia, pemerintah mulai membentuk lembaga tingkat nasional maupun daerah dan bekerja sama dengan berbagai LSM untuk menyebarkan informasi mengenai HIV/AIDS dan pencegahannya.

46

Tampaknya, upaya tersebut tidak begitu berhasil dalam menekan penyebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia (Muninjaya, 1998).

Selama lima tahun terakhir, penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia cukup tinggi bahkan UNAIDS (Joint United Programme on HIV and AIDS) menjuluki Indonesia sebagai Negara di Asia dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS paling cepat. Menurut data Kemenkes pada tahun 2012, penderita HIV/AIDS di Indonesia mencapai 131.685 orang, dengan pembagian 92.251 pengidap HIV dan 39.434 AIDS (http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesia-tercepat-di-asia). Penyebaran HIV/AIDS tidak mengenal jenis kelamin maupun usia, laki-laki maupun perempuan, mulai dari anak-anak hingga dewasa berisiko untuk mengidap HIV/AIDS.

Penyebaran HIV/AIDS umumnya terjadi karena perilaku berisiko seperti pengguna narkoba suntik dan hubungan seks tidak aman. Berdasarkan data pada tahun 2012, sebagian besar (77.4%) penyebaran HIV/AIDS tersebut terjadi melalui hubungan seks berisiko (http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesia-tercepat-di-asia-). Laki-laki pengidap HIV/AIDS melakukan hubungan seks berisiko dengan perempuan, sehingga penularan terjadi dengan mudah. Pada tahun 2012, sekitar 35% dari pengidap HIV/AIDS adalah perempuan yang umumnya ibu rumah tangga. Kurangnya pengetahuan mengenai hubungan seks yang aman dan kurangnya kemampuan/power perempuan untuk menolak hubungan seksual berisiko (menganjurkan menggunakan kondom saat berhubungan intim) menjadi penyebab utama penyebaran HIV/AIDS pada perempuan (http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/12/121130_hiv_aids.shtml).

Remaja seringkali mendapatkan tekanan dari teman sebayanya untuk melakukan hubungan seks dini, dan remaja perempuan biasanya tidak memiliki kemampuan untuk menolak melakukan hubungan seks bebas (Mwaba, 2000 dalam Agha 2002). Di Indonesia, perilaku seks pranikah pada remaja tidak lagi menjadi hal aneh diperkirakan dipengaruhi oleh pergeseran budaya di kalangan masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2009 mengenai perilaku seks pranikah remaja di empat kota (Jakarta Pusat, Medan, Bandung dan Surabaya) menunjukkan 35.9% remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Bahkan 6.9% dari responden tersebut sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah (http://kebijakankesehatanindonesia.net). Dengan demikian, penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual pada remaja sangat mungkin terjadi.

HIV/AIDS tidak hanya menjadi tanggung jawab bidang kesehatan, tetapi juga melibatkan peranan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurut WHO (dalam Muninjaya, 1998) beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menanggulangi HIV/AIDS adalah: penanganan penderita, penanggulangan penyakit kelamin, perhatian kepada kaum

47

perempuan, dukungan dari lingkungan sosial untuk menunjang upaya pencegahan penularan HIV, antisipasi masalah dampak ekonomi, dan pengembangan pergerakan masyarakat untuk menghilangkan diskriminasi. Berbagai lembaga baik dari pemerintah maupun LSM terkait, giat melakukan promosi kesehatan terutama memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat untuk mengurangi penularan HIV/AIDS. Promosi kesehatan untuk mengurangi penularan HIV/AIDS ini juga diberikan kepada generasi muda melalui pendidikan dan penyuluhan di sekolah/universitas (Muninjaya, 1998).

Guna mencegah penularan HIV AIDS, sekolah Islam X di wilayah Jakarta Timur bekerja sama dengan Universitas YARSI (melalui Fakultas Teknologi Informasi, Fakultas Psikologi dan YARSI HIV AIDS Care) melakukan studi pendahuluan sebelum menentukan intervensi berupa promosi kesehatan bagi para siswa. Pengukuran yang dilakukan melibatkan variabel sikap dan pengetahuan siswa terhadap HIV AIDS, sebab kedua variabel tersebut secara teoretik dapat memprediksi intensi berperilaku seseorang (Ajzen, 2005; Azwar, 2005).

Metode

Penelitian ini dilakukan di sekolah Islam X di wilayah Jakarta Timur. Sekolah tersebut merupakan sekolah binaan Muhammadiyah dan merupakan salah satu sekolah mitra Universitas YARSI untuk kegiatan pengabdian masyarakat serta penelitian. Pengambilan data dilakukan sebanyak tiga kali. Pengambilan data pertama dan kedua dilakukan untuk mendapatkan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner berbasis

mobile pada tanggal 16 dan 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pengambilan data ketiga

dilakukan pada tanggal 28 November 2014 untuk mendapatkan data kualitatif melalui wawancara dengan beberapa siswa yang sebelumnya telah mengisi kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan denga teknik purposive sampling. Sampel yang terlibat dalam penelitian ini merupakan siswa-siswi kelas X dan XI SMA Islam X yang sebelumnya secara khusus telah ditargetkan oleh pihak sekolah untuk berpartisipasi sebagai responden dan objek intervensi promosi kesehatan.

Sikap terhadap HIV/AIDS diukur dengan menggunakan skala likert yang disusun sendiri dan terdiri atas 12 item dengan 4 alternatif pilihan jawaban, yaitu (1) Sangat tidak setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Setuju, (4) Sangat setuju. Sementara variabel pengetahuan disusun dengan menggunakan pilihan jawaban benar-salah. Pertanyaan yang dijawab dengan tepat oleh sampel akan mendapatkan skor 1, sementara pertanyaan yang dijawab

48

dengan tidak diskor 0. Jumlah pertanyaan dalam alat ukur pengetahuan tentang HIV/AIDS adalah sebanyak 30 item.

Pada uji validitas dan reliabilitas alat ukur, peneliti melibatkan 47 responden yang merepresentasikan sampel. Dari 47 kuesioner yang terdata hanya 46 kuesioner yang dapat diproses. Skala sikap memiliki 12 aitem dengan reliabilitas sebanyak 0.596 yang menandakan alat ukur ini sudah cukup reliable. Sementara pada skala pengetahuan dengan jumlah aitem sebanyak 30 aitem yang dapat diproses sebanyak 28 aitem memiliki nilai reliabilitas 0.554 yang menandakan alat ukur tersebut cukup reliabel. Hal tersebut dikarenakan dua aitem lainnya, yaitu aitem 5 dan aitem 24 tidak diisi oleh beberapa responden. Setelah memproses reliabilitas dilakukan uji normalitas menggunakan rumus Kolgomorov-Smirnov pada masing-masing skala. pada skala pengetahuan dan skala sikap diketahui bahwa memiliki distribusi normal.

Variabel K-SZ p

Pengetahuan 0.858 0.454

Sikap 0.718 0.680

Tipe penelitian ini merupakan penelitian korelasional untuk melihat hubungan antara sikap dengan pengetahuan siswa terhadap HIV/AIDS. Perhitungan korelasi menggunakan teknik statistik pearson product moment dengan menggunakan SPSS.

Hasil dan Analisis

Total sampel yang berpartisipasi dalam pengambilan data tahap 1 dan 2 adalah sebanyak 134 siswa. Dua puluh delapan dari 47 responden di antaranya berjenis kelamin perempuan, sementara 18 orang lainnya berjenis kelamin laki-laki. Rentang usia responden pada pengukuran ini adalah 15 – 19 tahun. Sebanyak satu responden berusia 15 tahun, enam belas responden berusia 16 tahun, sebelas responden berusia 17 tahun, Sembilan responden berusia 18 tahun, dan Sembilan responden lainnya berusia 19 tahun.

Uji Korelasi

Hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan teknik korelasi pearson

product moment. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat

hubungan yang positif antara pengetahuan tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap HIV/AIDS. Hasil yang diperoleh setelah dilakukan pengujian adalah rxy= -0,34 (p<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis peneliti ditolak. Hal ini dikarenakan korelasi

49

antara kedua variabel adalah negatif, dimana semakin tinggi pengetahuan sampel tentang HIV/AIDS justru membuat sikapnya semakin negatif terhadap HIV/AIDS. Dengan ditolaknya hipotesis penelitian, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sikap beberapa sampel terhadap HIV/AIDS melalui pendekatan kualitatif.

Berdasarkan data kuantitatif yang didapat, semakin tinggi pengetahuan subyek mengenai HIV/AIDS, justru membuat sikap subyek terhadap HIV/AIDS semakin negatif. Temuan ini menjadi menarik untuk dikaji sebab dalam banyak penelitian sebelumnya, pengetahuan berkorelasi positif dengan sikap terhadap HIV/AIDS (Oktarina, dkk., 2009; Ouzouni & Nakakis, 2012) . Hal tersebut dikarenakan Pengetahuan merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan sikap (Sarwanto, 1999). Apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan perilaku yang baik pula (Widodo, dkk., 2005). Dengan demikian, setidaknya orang akan dapat lebih objektif memandang HIV/AIDS sebagai suatu infeksi yang bisa menular kepada siapa saja dan sangat bergantung dari hal-hal yang dapat diubah ataupun dicegah, seperti perilaku dan gaya hidup.

Dalam kelompok atau komunitas tertentu, HIV/AIDS maupun penyakit menular lain seringkali dipandang negatif yang dimanifestasikan dalam bentuk stigma dan sikap negatif. Pada kelompok primitif misalnya, penyakit menular ataupun penyakit kronis lainnya dianggap lebih disebabkan oleh kutukan (sumber irasional) dibandingkan oleh perilaku tidak sehat dan beresiko. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV menjadi diasingkan dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat sehingga berpotensi menularkan kembali pada orang-orang di sekitarnya. Hal lain yang lebih fatal akibat stigma negatif yang berlebihan adalah masyarakat menjadi tidak belajar tentang penyebab menularnya HIV dan cenderung membesar-besarkan resiko terinfeksi HIV (Woubalem, 2005).

Tidak hanya pada kelompok primitif, pada sejumlah kelompok agama pun sikap terhadap HIV/AIDS cenderung negatif. Sebagai contoh, perilaku seksual yang beresiko (seperti hubungan seks di luar nikah, berganti-ganti pasangan seksual, dan hubungan seks sesama jenis) merupakan perilaku yang tidak bisa diterima secara norma, khususnya norma agama dan tabu untuk dibicarakan (Ahmed, 2013). Dengan demikian, dalam berbagai kasus, kelompok muslim cenderung lebih mudah melakukan diskrimnasi kepada mereka yang terinfeksi HIV dengan alasan bahwa ODHA sejak awal tidak memikirkan konsekuensi atas tindakan di luar norma (Hasnain, 2005). Padahal, penularan HIV kini mulai banyak terjadi di kalangan rumah tangga, terutama para istri yang terinfeksi dari suaminya yang tanpa sepengatahuan istri, melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain. Tanpa memandang media dan proses penularannya, sejumlah kelompok cenderung tetap memberikan stigma negatif pada orang yang tidak sengaja tertular HIV

50

(dalam hal ini, istri yang tertular dari suami akibat perilaku seksual beresiko dengan pasangan lain atau perselingkuhan).

Hasil wawancara dengan 10 subyek dalam penelitian ini secara umum relevan dengan temuan-temuan sebelumnya yang meneliti sikap terhadap HIV/AIDS pada kelompok muslim. Sebagaimana disebutkan dalam bagian hasil penelitian, delapan subyek mengemukakan bahwa HIV/AIDS adalah akibat dari perbuatan berdosa yang dilarang agama sehingga sikap subyek terhadap ODHA dan perbuatan yang membuatnya terinfeksi menjadi negatif. Sikap yang cenderung negatif tersebut bahkan membuat sebagian besar subyek beranggapan bahwa upaya pencegahan akan menjadi sia-sia jika masyarakat tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai norma agama (khususnya Islam) yang memang telah melarang umatnya untuk berzinah. Dengan demikian, intervensi promosi pencegahan hanya bisa menjadi efektif bagi kelompoknya atau di sekolahnya jika melibatkan pemimpin agama atau dengan pendekatan nilai-nilai islam.

Daftar Pustaka

Ahmed, S. (2013). Aids and the muslim world: a challenge. Asian Journal Of Social Sciences & Humanities. Vol. 2 No.3.

Ajzen, I. (2005). Attitudes, Personality and Behavior (2nd Edition). Poland: Polskabook Azwar, S. 2005. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Hasnain, M. (2005). Cultural approach to HIV/AIDS harm reduction in muslim countries. Harm Reduction Journal. 2: 23.

Kebijakan Kesehatan Indonesia. (n.d). “BKKBN: Seks Bebas Kini Masalah Utama Remaja Indonesia”. Diunduh pada 29 Januari 2014 dari

http://kebijakankesehatanindonesia.net/component/content/article/73-berita/1233-bkkbn-seks-bebas-kini-masalah-utama-remaja-indonesia.html

Limputtong, P., (2013). Stigma, Discrimination, and Living With HIV/AIDS. Victoria: Springer

Muninjaya, Gde A.A. (1998). AIDS di Indonesia: Masalah dan Kebijakan

Penanggulangannya. Jakarta: EGC.

Ouzoni, C., Nakakis, K., (2012). HIV/AIDS knowledge, attitudes and behaviors of student nurses. Health Science Journal. Volume 6, Issue 1.

51

Oktarina, dkk., (2009). Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin

Penelitian Sistem Kesehatan. Vol 12 No.4 (362-369).

Penyebaran AIDS di Indonesia Tercepat di Asia, (2013, Februari). Diunduh pada Desember, 11, 2013 dari http://lampost.co/berita/penyebaran-aids-di-indonesia-tercepat-di-asia-

Perempuan dan Anak Rentan HIV/AIDS (2012, Desember) Diunduh pada Desember 11, 2013 dari

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/12/121130_hiv_aids.shtml

Population Council. (n.d.). Peer Education and HIV/AIDS: Past Experience, Future

Directions. Diunduh dari http://www.popcouncil.org/pdfs/peer_ed.pdf

Sarwanto. Pengetahuan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS Remaja Pekerja PT Flower Indonesia dan Upaya Peningkatannya, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol. 3 No. 2, Desember 1999.

Widodo AD, dkk., 2005. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan, Persalinan serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto

52

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 49-56)