• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SOSIAL ATAS IDENTITAS KEINDONESIAAN PADA MUSLIM YOGYAKARTA PASCA PENETAPAN STATUS

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 153-169)

KEISTIMEWAAN

Muhammad Johan N Huda

Fakultas Psikologi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak

Penelitian ini akan memberikan gambaran tentang dinamika representasi sosial atas keindonesiaan dalam sistem negara-bangsa yang ditandai oleh adanya negosiasi antar identitas di akar rumput. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk memahami realitas di lapangan dengan pendekatan history dan phenomenology yang lalu diberinama pendekatan histofenomemologi. Penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumentasi sebagai metode pengambilan data. Subyek penelitian berjumlah 6 orang. Hasil penelitian menggambarkan representasi sosial atas keindonesiaan pada Muslim Yogyakarta terdapat perbedaan. Dimana Muslim tradisional dan modern memiliki banyak kesamaan terhadap aspek perbandingan repesentasi sosial jika dibandingkan dengan muslim transnasional. Muslim transnasional memiliki kesamaan dengan muslim tradisional dan modern dalam merepresentasikan relasi sejarah Islam, Yogyakarta dengan keindonesiaan yaitu menggunakan representasi hegemonik. Sedangkan representasi polemik digunakan Muslim Transnasional dalam menjelaskan strategi pengelolaan keindonesiaan, persepsi terhadap indonesia saat ini dan imajinasi Indonesia ke depan. Pemaknaan Muslim tradisional dan muslim modern atas keindonesiaan merepresentasikan optimisme dan positif. Lain halnnya dengan Muslim transnasional yang dengan tegas mengatakan bahwa indonesia memiliki makna jika diterapkan syariat Islam secara menyeluruh.

Kata Kunci : Representasi Sosial, Keindonesiaan, Muslim Yogyakarta,

Latar Belakang

Di balik menguatnya demokratisasi sebagai media penataan pemerintahan di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa ada fakta mengenai status keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki dimensi historis sangat kuat, dan dilegitimasi pula dalam pasal 18 UUD 1945. Dimana secara historis sebelum bergabung dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Yogyakarta memiliki tatanan pemerintahan sendiri dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat yang berdiri sejak 13 Februari 1755. Disamping

150

memiliki sistem pemerintahan yang telah berjalan ratusan tahun, sistem kesultanan Yogyakarta juga melahirkan sebuah entitas sosial yang mengkrostruksi nilai-nilai kultural tertentu, misalnya, tatanan tersebut mampu menghadirkan situasi stabil kondusif, keramahan warga, dan kekayaan budaya menjadi ciri wilayah hingga saat ini.

Sebagai implikasi dari fakta sejarah yang mengakar itu muncul kelompok pro-penetapan yang sangat kuat menolak adanya intervensi dari pemerintah pusat maupun kelompok pro-pemilihan. Menurut Widihasto Wasono Putro selaku Koordinator Sekretaris Bersama Keistimewaan Yogyakarta munculnya aspirasi yang berbeda soal keistimewaan Yogyakarta merupakan hal yang wajar. Namun sudah sangat jelas proses perjuangan keistimewaan Yogyakarta telah berjalan bertahun-tahun menunjukkan masyarakat Yogyakarta tetap menginginkan Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin. Dukungan wakil rakyat juga kembali ditegaskan dalam peringatan 66 tahun Amanat 5 September tahun lalu (2011). Saat itu ketua DPRD DIY Yoeke Indra Agung Laksana menyampaikan isi amanat rakyat DIY, yang berisi Sultan dan Paku Alam agar tetap memimpin Yogyakarta sebagai gubernur dan wakil gubernur.

Status Keistimewaan bagi warga muslim Yogyakarta dapat dilihat dalam kerangka teori representasi sosial sebagai bentuk eksistensi identitas kolektif yang mewakili cita-cita ideal dari perjalanan sejarah masa lalu yang disesuaikan dengan tatanan kehidupan bersama saat ini (Macsovici, 1999). Peristiwa ini dalam konteks negara-bangsa adalah suatu bentuk dinamika dari proses negosiasi antara identitas subordinat dan identitas superordinatnya. Menguatnya identitas kolektif warga Muslim Yogyakarta seolah ingin mereposisikan diri kembali di tengah-tengah pusaran identitas nasional yang menurut Anderson (2005) terlalu imajiner, melalui ingatan kolektif atas sejarah keislaman yang mengakar kuat baik secara personal maupun impersonal.

Sejarah masa lalu telah memberikan keabsahan bagi mitos atau ideologi (Sidanus dan Pratto, 1999) dan menjelaskan apa pengertian dari sesuatu itu, serta bagaimana ia menjadi dasar atas bentuk-bentuk yang berbeda dari ingatan kolektif (Paez dan Rime, 1997) yang digunakan untuk situasi saat ini. Lebih lanjut akumulasi pengalaman kesejarahan dapat menghasilkan suatu bentuk narasi kognisi (Wertsch, 2002) atau, dalam pengertian Bar-Tal (2000), etos sosial yang membentuk pola dan menerjemahkan pengalaman baru berdasarkan pada

151

kejadian sejarah. Para peneliti representasi sosial memahami bahwa kognisi itu mengakar dalam konteks sejarah, budaya dan hubungan sosial (Howarth, 2007). Sehingga kognisi tidak murni dikonstruksi oleh individu semata, tetapi besar sekali pengaruh dari berbagai keyakinan di dalam lingkungan individu tersebut.

Representasi sosial menggunakan studi kesejarahan untuk menempatkan hubungan antar kelompok dalam sudut pandang yang bersifat temporal, dimana jalinan waktu atas pengalaman masa lalu suatu kelompok merupakan bagian representasi sosial yang dimobilisasi sebagai elemen identitas kelompok (Liu dan Hilton, 2005). Bagaimana sejarah membentuk perilaku kelompok tidak dapat dilihat hanya dengan memperhatikan hubungan antara representasi sosial kelompok dan sejarah secara langsung, tetapi dimediasi oleh organisme kolektif yang akan selalu menerjemahkan rangsangan sebelum respon diberikan (Liu dan Hilton, 2005).

Status keistimewaan yang dberikan pada wilayah Yogyakarta adalah wujud dari representasi kelompok berdasarkan kepentingan dan pengalaman bersama, juga terkait dengan proses yang aktif dari pembentukan dan pencitraan mengenai tujuan kelompok serta bagaimana ambisi kelompok dilihat dari sudut pandang yang lain. Selanjutnya hal itu akan membentuk identitas kolektif yang menggambarkan pencapaian sebuah prestasi atas usaha kolektif yang telah melampaui harapan anggota kelompok (Brewer, 2001). Konsep identitas kolektif menyediakan jalur penting antara identitas sosial dan tindakan kolektif dalam sebuah arena politik (Gamson, 1992).

Arena politik dan perkembangan nasionalisme di Indonesia telah menempatkan identitas subordinat di tingkat lokal menguat dan memunculkan sebuah pertanyaan serius terhadap nasib keutuhan kebangsaan ini ke depan (Jaques, 2010). Meskipun para pendiri bangsa ini telah meramu identitas kebangsaan dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang di dalamnya menawarkan kehidupan kolektif secara paripurna. Namun ancaman kerapuhan ikatan kebersamaan bangsa ini dapat terjadi jika identitas subordinat dipersepsikan tidak memuaskan oleh anggota dalam hubungannya dengan identitas superodinat. Menurut Bar-Tal (1989) dalam sistem negara-bangsa setiap elemen di dalamnya memiliki peluang untuk mengalami penguatan internal yang mengarah kepada pembentukan etno-nasionalisme.

152

Persepsi masyarakat sendiri terhadap situasi kebangsaan ini dapat ditilik dari jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 658 responden menujukkan 42,4 persen responden tidak puas terhadap kinerja pemerintah dalam menjaga kebhinekaan/pluralisme di Indonesia; dan 24,4 persen responden mengatakan sentimen etnis/kedaerahan semakin menguat (Kompas, 2013). Dampak serius dari ketidakpuasan identitas subordinat dapat mengarah pada gejala mal-integrasi sosial. Mal-integrasi ditandai oleh aksi kekerasan kolektif yang dilakukan untuk mengekspresikan ketidaksukaan secara publik; berbentuk tawuran, perusakan, kerusuhan, dan penjarahan (Djajadi, 2004).

Yogyakarta mewakili identitas etnik lokal yang menguat oleh spirit umat Islam di Indonesia, pastinya akan memiliki implikasi bagi munculnya nasionalisme baru sebagai produk perbandingan antara identitas muslim lokal terhadap identitas nasional. Bagaimana cara warga masing-masing provinsi mengekspresikan nasionalismenya dalam euforia demokrasi saat ini menarik dikaji secara mendalam karena sangat menentukan eksistensi bangsa ini ke depan. Sebagaimana disampaika oleh Bar-Tal (1989) dalam menjelaskan identitas nasional yaitu sebagai penghayatan kelompok atas dirinya sendiri sebagai suatu kelompok yang memiliki nilai-nilai dasar, kharakteristik dan reputasi dalam memperjuangkan eksistensi institusi dan tradisi yang meliputi sejarah masa lalu, tujuan saat ini dan agenda masa depan.

Berdasarkan analisa terhadap fakta-fakta di atas ditegaskan bahwa dalam sistem negara-bangsa setiap elemen di dalamnya memiliki peluang untuk mengalami penguatan internal yang mengarah kepada pembentukan etno-nasionalisme (Bar-Tal, 1989). Maka jika dikaitkan dengan pemberian status keistimewaan pada Yogyakarta menarik untuk dikaji secara mendalam bagaimana representasi sosial atas identitas keindonesiaan sebagai identitas superordinat oleh warga muslim di Yogyakarta. Melalui representasi sosial diharapkan status keistimewaan yang diberikan kepada Yogyakarta sebagai embrio dari munculnya komitmen terhadap identitas kolektif memiliki penjelasan yang bersifat komprehensif. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dua pertanyaan utama: (1) bagaimana representasi sosial atas identitas keindonesiaan oleh muslim di Yogyakarta pasca penetapan status keistimewaan, (2) bagaimana warga muslim Yogyakarta memaknai identitas keindonesiaan pasca penetapan status keistimewaan.

153

Penelitian ini akan memberikan gambaran tentang dinamika representasi sosial atas identifikasi keindonesaiaa dalam sistem negara-bangsa yang ditandai oleh adanya negosiasi antara identitas etnis di akar rumput. Penelitian ini juga akan memberikan kontribusi dengan cara mengkaji dinamika identitas Muslim lokal yang terus menegaskan dirinya, selama peristiwa pembangunan karakter kebangsaan di "rumah besar" identitas nasional, yaitu Keindonesiaan terus berlangsung. Gambaran pemahaman atas identifikasi keindonesiaan dari muslim Yogyakarta dalam iklim demokrasi perlu diungkap secara komprehensif untuk menghindari konflik terbuka yang berujung pada disintegasi bangsa.

Akhirnya secara detail tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : (1) mengetahui dinamika representasi sosial atas keindonesiaan oleh muslim Yogyakarta pasca penetapan daerah keistimewaan, (2) mengetahui pemaknaan warga muslim Yogyakarta atas identitas keindonesiaan pasca penetapan status keistimewaan.

Identitas Nasional dan Agama Dilihat dari Perspektif Teori Identitas Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh JMF Jaspars dan Suwarsih Warnaen (1979) dengan judul “Intergroup relations, ethnics identity and self-evaluation in

Indonesia” menjelaskan bahwa masing-masing kelompok etnis di Indonesia

cenderung menilai baik terhadap kelompoknya dan buruk kepada yang lainya. Namun cukup berbeda jika mereka hidup di daerah yang heterogen. Yang terjadi akan menyebabkan berkurangnya stereotipe negatif antara kelompok, dan kemudian norma kelompok baru akan muncul untuk menjembatani perbedaan di antara mereka. Dalam konteks Indonesia-an ini sangat penting untuk mencapai identitas nasional seperti apa yang dinyatakan dalam slogan "Bhinneka Tunggal Ika”.

Penelitian lain dilakukan oleh Mochammad Nur Ichwan (2011) berjudul “Official Ulema and Politics Of Re-Islamization: The Majelis Permusawaratan

Ulama, Shari'at’zation and Constested Authority in Post New Order Aceh”

menegaskan bahwa era pasca-Orde Baru disorot memajukan identitas Islam dengan menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini dapat dilihat dari otoritas khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada lembaga ulama, yang perannya diperluas dalam pembuatan setiap kebijakan di Aceh. Lembaga ulama ini mempunya peran yang sangat signifikan dalam proses

154

a pembentukan identitas muslim di wilayah serambi Mekah ini. Hal ini dibuktikan dengan produk-produk Perda Syari’at Islam yang diberlakukan pasca perundingan Helsinki.

Penelitian yang dilakukan oleh Seymour Feshbach dan Noboru Sakano (1996) yang berjudul “The Sructure and Correlates of Attitude Toward One’s

Nation in Samples of United State and Japanese College Student: A Comparatif Study”. Inti penelitian ini menggunakan studi komparatif-kuantitatif dalam

mengungkapkan struktur dan hubungan antara sikap dan nasionalismenya. Hasil penelitian menjelaskan adanya perbedaan terhadap komponen sikap nasionalisme dari mahasiswa Jepang dan Amerika. Sikap nasionalisme dari mahasiswa Jepang diperoleh dari kelekatan fase perkembangan usia anak dengan Ibunya, sedangkan pada mahasiswa Amerika sikap nasionalisme dibentuk dari kelekatan antara anak dengan Bapaknya di fase tumbuh kembangnya anak. Perbedaan sikap nasionalisme disinyalir karena adanya pengaruh budaya pada masing-masing negara. Diketahui pada mahasiswa Amerika skor tertinggi dalam nasionalisme direfleksikan pada dominasi kekuatan militer, sedangkan mahasiswa Jepang memiliki skor yang tinggi dalam nasionalisme atas identifikasi terhadap etnisnya.

Penelitian terkait dengan menguatnya identitas sosial Yogyakarta telah dilakukan oleh Muhammad Johan Nasrul Huda (2012) dengan “Judul Strategi

Pencapaian Identitas Sosial Positif Atas Status Keistimewaan Yogyakarta”. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Yogyakarta memahami keistimewaan wilayahnya meliputi aspek sejarah, politik, budaya dan pengelolaan administrasi pemerintahan. Masyarakat Yogyakarta menilai identitas sosialnya sangat positif dibandingkan dengan identitas sosial lainnya. Sehingga ketika berhadapan dengan identitas nasional masyarakat Yogyakarta memilih strategi kompetisi sosial yang diekspresikan melalui demonstrasi jalanan maupun parlementer. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status keistimewaan Yogyakarta.

Penelitian yang dilakukan oleh Huda dan kawan-kawan (2013) menemukan model identitas ganda dalam menegosiasikan hubungan antara identitas Muslim Aceh dan Yogyakarta dengan identitas Nasional guna memperoleh kepuasan atas identitas kolektif. Melalui pendekatan etnofenomenologi pertanyaan dasar penelitian seperti bagaimana proses negosiasi dilakukan dan bagaimana pemaknaan atas identitas nasional akan

155

diuraikan. Subyek dalam penelitian ini adalah elit muslim di Aceh dan Yogyakarta yang berjumlah 8 orang. Hasil penelitian menggambarkan bahwa negosiasi dilakukan dengan model identitas ganda, dimana identitas keacehan (romatisme islam, partai politik lokal, pemerintahan Aceh) dan keyogyakartaan (kepemimpinan mataram, keistimewaan, demokrasi mahzab yogya) diterima dengan terbuka menjadi bagian dari identitas nasional. Sedangkan pemaknaan atas identitas nasional ditemukan bahwa muslim Aceh memaknai identitas nasional lebih dinamis, sedangkan muslim Yogyakarta memaknai identitas nasional lebih statis.

Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan dari studi-studi terdahulu. Pertama, pada fokus permasalahan ingin menelaah lebih dalam terkait dengan dinamika representasi sosial atas identifikasi muslim Aceh dan Yogyakarta atas keindonesiaan serta faktor-faktor apa saja yang terlibat di dalamnya. Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan fenomenologi yang akan melihat langsung ke lapangan hal-hal yang dirasakan oleh masyarakat muslim Yogyakarta. Pendekatan historis digunakan untuk mengetahui bagaimana peristiwa masa lalu pada muslim Yogyakarta terlibat dalam proses identifikasi terhadap identitas nasional. Sedangkan fenomenologi digunakan untuk memahami bagaimana warga Yogyakarta merepresentasikan keindonesiaan dalam tataran individu dan kelompok. Dari beberapa perbedaan yang telah disebutkan, kiranya penelitian ini memiliki orisinalitas dan tingkat kebaruan isu terkait dengan masalah multikulturalisme dan nasionalisme dalam bingkai keindonesiaan .

Teori Representasi Sosial

Penelitian ini menggunakan teori representasi sosial dalam menjelaskan bagaimana muslim Yogyakarta memaknai keindonesiaan. Representasi sosial ialah suatu kepercayaan sosial yang didalamnya terdapat ide dan nilai, meliputi segala asumsi dan ideologi dari suatu budaya. Pernyataan ini dikuatkan dengan kutipan tentang pengertian representasi sosial oleh Myers di bawah ini:

“Social representation is socially shared beliefs widely held ideas and values, including our assumptions and cultural ideologis (Myers, 2008).”

156

Moscovici (Manstead & Hewstone, 1996), mengemukakan bahwa representasi sosial ialah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek yang berfungsi untuk memungkinkan individu dalam beradaptasi atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka, serta untuk menguasai lingkungannya. Moscovici tidak memisahkan antara individu dengan sosial, sehingga lebih memilih menggunakan istilah representasi sosial yang bersifat individual sekaligus sosial (Abdul Rahman, 2013)

Terdapat tiga kategori representasi sosial yaitu hegemonik, emansipasi dan polemik (Mascovici, 1988). Representasi hegemonik dimiliki oleh kelompok mayoritas dan berskala luas seperti penguasa, bangsa dan negara. Sedangkan representasi emansipasi dimiliki oleh subkelompok tertentu yang dibuat untuk mereka sendiri dengan tingkat otonomi tertentu dan bersifat menwarkan suatu alternatif dari kebiasaan yang sudah berjalan. Lain halnya dengan representasi polemik, biasanya muncul terkait dengan konflik sosial, perjuangan antar kelompok dan selalu bersifat kontroversi dalam masyarakat

Indonesia adalah sebuah negara yang dibangun dengan kesadaran oleh dan dengan berbagai unsur yang beraneka ragam, sifat, karakter dan bentuknya untuk meraih tujuan serta kepentingan bersama. Diantara unsur-unsur itu ada kehendak untuk bersatu karena pengalaman dan kesamaan sejarah. Bukan karena kesamaan etnis atau golongan. Seperti yang dikatan oleh Ernest Renan, bahwa ada dua hal pokok yang mendasari terbentuknya suatu bangsa : kesamaan sejarah dan keinginan bersatu (le desire d’entre ensemble). Kesamaan tujuan kepentingan, dan pengalaman sejarah itu mendorong untuk bersatu dalam sebuah negara bangsa (nation state), atau dengan kata lain mereka bersatu dalam keragaman (Bhinneka Tunggal Ika).

Representasi sosial atas keindonesiaan pada akhirnya erat kaitanya dengan sejarah panjang pembentukan suatu bangsa yang menjadi elemen di dalamnya. Sebagai seorang teoritikus nasionalisme yang cukup terkenal Anderson menggambarkan bangsa merupakan sebuah komunitas politik yang terbayang, dibayangkan secara terbatas dan berdaulat. Dengan dibayangkan bukan berarti tidak nyata, menurutnya bangsa adalah komunitas-komunitas yang orang di dalamnya percaya ada hubungan antara mereka dan anggota lain sebagai bangsa, meskipun mereka tidak pernah secara nyata bertemu dengan anggota yang lain.

157

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan untuk memahami realitas di lapangan dengan pendekatan

history dan phenomenology yang lalu diberinama pendekatan histofenomemologi. Penelitian ini menggunakan wawancara dan dokumentasi sebagai metode pengambilan data. Subyek penelitian berjumlah 6 orang yang diarahkan pada elit muslim dalam rangka memperoleh gambaran tentang representasi sosial atas keindonesiaan.

Berdasarkan tema penelitian di atas lokasi penelitian adalah DI Yogyakarta sebagai wilayah yang representatif atas munculnya penguatan identitas lokal dalam hubungannya dengan konteks keindonesiaan. Lokasi penelitian di DI Yogyakarta difokuskan di pusat kota Yogyakarta, hal ini disebabkan pusat kota mewakili segenap aspek ritme kehidupan dalam masyarakat Yogyakarta

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan sistem coding menurut Strauss dan Corbin (1990). Teknik pengkodean analisis data penelitian meliputi tahapan sebagai berikut: (1) open coding: suatu proses untuk mengurai, menganalisis, menafsirkan membandingkan, mengkategorikan data penelitian melalui proses peer review yang ketat secara rinci, (2) axial coding: prosedur bertujuan untuk melihat hubungan antara kategori-kategori, yang didasarkan pada spesifikasi dan karakteristik maping hubungan kontekstual, pemaksaan, dan karakteristik interaksional, (3) selektif coding: memilih kegiatan dan data sistematisasi dan gambar konsepsi alur cerita untuk mengatur proposisi yang membentuk aspek-aspek tertentu dari sistematis laporan

Hasil dan Analisis

Yogyakarta Merawat Keindonesiaan

Keistimewaan Yogyakarta yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui UUK Nomer 13 tahun 2012 menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki keunikan yang terlembaga secara formal dalam aristrokrasi keindonesiaan. Melalui khasanah warisan budaya dan tradisi masa lalu yang sudah terpatri dalam segenap sendi kehidupan warganya Yogyakarta patut memperoleh status keistimewaanya.

158

Titik penting yang dipakai untuk menentukan sejarah keistimewaan Yogyakarta antara lain Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 dari Presiden Soekarno dan Maklumat (Amanat) 5 September 1945 dari HB IX dan PA VIII yang berisi pernyataan dua pemimpin itu untuk menggabungkan wilayahnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).HB IX memang dikenal mempunyai wawasan yang luas, mempunyai kedekatan dengan rakyat jelata dan kemampuan yang luar biasa dalam melihat visi ke depan. Namun, HB IX juga diuntungkan oleh rakyatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam bidang politik jauh sebelum kemerdekaan.

Sejarah Yogyakarta dalam merawat keindonesiaan tidak saja ada ketika zaman kemerdekaan, dan terutama saat ibu kota Republik Indonesia harus berpindah ke Yogyakarta tahun 1946. Namun Yogyakarta menjadi kota perjuangan yang berisi pejuang dari berbagai suku, bangsa, dan agama. Semua diterima dengan senang hati oleh Sultan HB IX. Bahkan, tak sekadar diterima, sejumlah pemimpin dari daerah lain juga dibiayai hidupnya oleh HB IX

Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan bahwa relasi keindonesiaan dan keyogyakartaan berada di ruang yang sangat intim. Seandainya terjadi upaya-upaya terhadap pelemahan atas keindonesiaan di tempat lain, maka justru sebaliknya di Yogyakarta akan mempertahankan dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Hal ini dapat dipahami bahw sejarah membentuk perilaku kelompok tidak dapat dilihat hanya dengan memperhatikan hubungan antara representasi sosial kelompok dan sejarah secara langsung, tetapi dimediasi oleh organisme kolektif yang akan selalu menerjemahkan rangsangan sebelum respon diberikan (Liu dan Hilton, 2005).

Warga Yogyakarta secara tidak langsung dapat disebut sebagai organisme kolektif dalam kaitannya dengan sejarah keindonesiaan. Dimana sejarah masa lalu dianggap telah memberikan keabsahan bagi mitos atau ideologi (Sidanus dan Pratto, 1999) dan menjelaskan apa pengertian dari sesuatu itu, serta bagaimana ia menjadi dasar atas bentuk-bentuk yang berbeda dari ingatan kolektif (Paez dan Rime, 1997) yang digunakan untuk situasi saat ini. Lebih lanjut akumulasi pengalaman kesejarahan dapat menghasilkan suatu bentuk narasi kognisi (Wertsch, 2002) atau, dalam pengertian Bar-Tal (2000), etos sosial yang membentuk pola dan menerjemahkan pengalaman baru berdasarkan pada kejadian sejarah.

159

Kesadaran yang tinggi tentang hak merdeka dan nasionalisme diperoleh rakyat berkat pendidikan yang lama mereka peroleh melalui berbagai sekolah yang didirikan penjajah maupun elite bangsawan. Menurut sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo, sebenarnya sebelum Belanda melakukan gerakan Politik Etis tahun 1900- 1942, juga sebelum zaman Politik Konservatif 1800-1870, Keraton Yogyakarta telah mendirikan sekolah pada 1848, yaitu Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah itu bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga Keraton dan keluarga (putra Sentana).

Namun, pada tahun 1867, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Gubernemen yang berlokasi di Keraton, yaitu di Sri Manganti dan Pagelaran. Dengan berdirinya sekolah gubernemen itu, pihak kolonial Belanda melakukan tekanan pada Sekolah Tamanan maupun Sekolah Madya, hingga akhirnya kedua sekolah itu menghentikan aktivitasnya. Pemerintah kolonial Belanda kemudian mendirikan Sekolah Rakyat (SR). Meski mendapat pendidikan dari kolonial, priayi yang memiliki kepedulian pada nasib bangsa terus berupaya mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dari upaya mendirikan sekolah ”swasta” atau sekolah partikelir itulah lahirlah gerakan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1912), dan Taman Siswa (1922).

Berdasarkan pemaparan sejarah di atas nyata-nyata peran Yogyakarta sangat besar dalam sejarah perjuangan Indonesia. dapat dibuktikan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Bahkan saat negeri ini menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), Yogyakarta tetap mengakui mengakui Negara Kesatuan Indonesia (Kristanto dan Hariadi, 2011).

Perbandingan Representasi Sosial Atas Keindonesiaan Pada Muslim Yogyakarta

Representasi sosial tentang keindonesiaan pada Muslim Yogyakarta pasca penetapan status keistimewaan sangat beragam. Afiliasi individu dengan kelompok keagamaan memiliki pengaruh dalam melihat keindonesiaan. Terdapat nuansa kolektif dari masing-masing afiliasi keagamaan Islam dalam

Dalam dokumen Prosiding Temu Ilmiah (Halaman 153-169)